MEMBANGUN
PENDIDIKAN KARAKTER PELAJAR MELALUI
PEMBENTUKAN
REVOLUSI MENTAL
Ilyas Rozak
Hanafi
Dosen STAI
Ma`arif Kalirejo Lampung Tengah
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah
satu negara yang tengah dilanda krisis multidimensi yang berkepanjangan. Ketika
Negara - negara lain (Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan lain - lain) telah
bangkit dengan segera setelah mengalami krisis moneter yang melanda Asia pada
tahun 1997, Indonesia sampai saat ini masih terus mengalami krisis, dan masih
kelihatan suram untuk bangkit dari keterpurukan. Krisis ini sebenarnya mengakar
pada menurunnya kualitas moral bangsa atau lemahnya mentalitas dan hancurnya karakter
generasi muda.
Tantangan globalisasi yang ada di hadapan kita merupakan hal yang tak bisa
diingkari. Revolusi teknologi, transportasi, informasi, dan komunikasi
menjadikan dunia ini tanpa batas. Kita bisa mengetahui sesuatu yang terjadi di
belahan benua lain dalam hitungan detik melalui internet dan lain - lain.
Pengetahuan dan teknologi menjadi garda depan yang harus diprioritaskan
dalam era globalisasi. Jepang, Singapura, Malaysia, Korea Selatan sudah berlari
tunggang langgang untuk mengejar ketertinggalan dan mengubah diri tidak hanya
sebagai penonton pasif, tapi juga aktor kreatif yang ikut dalam proses kompetensi ketat globalisasi.
Globalisasi memberi peluang bagi siapa saja yang mau dan mampu
memanfaatkannya, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan manusia lainnya[1]. Kata kunci
globalisasi adalah kompetensi[2]. Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia sendiri disaat semua Negara
berpacu dan berlomba membuat teknologi secanggih mungkin untuk mengimbangi
globalisasi, Indonesia malah sibuk dengan permasalahan dan semakin terpuruk.
Globalisasi sudah menembus semua penjuru dunia, bahkan sampai daerah
terpencil sekalipun, masuk ke rumah - rumah,
membombardir pertahanan moral dan agama, sekuat apa pun dipertahankan.
Televisi, internet, koran, handphone, dan lain - lain adalah
media informasi dan komunikasi yang berjalan dengan cepat, menggulung
sekat-sekat tradisional yang selama ini dipegang sekuat - kuatnya.
Moralitas menjadi melonggar. Sesuatu yang dulu dianggap tabu, sekarang
menjadi biasa - biasa saja. Cara berpakaian, berinteraksi dengan lawan jenis, menikmati
hiburan di tempat - tempat special dan menikmati narkoba menjadi tren dunia modern yang sulit
ditanggulangi. Globalisasi menyediakan seluruh fasilitas yang dibutuhkan
manusia, positif maupun negative. Banyak manusia terlena dengan menuruti semua
keinginannya, apalagi memiliki rezeki melimpah dan lingkungan kondusif.
Akhirnya, karakter bangsa berubah menjadi rapuh, mudah diterjang ombak,
terjerumus dalam tren budaya yang melenakan, dan tidak memikirkan akibat yang
ditimbulkan. Prinsip - prinsip moral, budaya bangsa, dan perjuangan hilang dari karakteristik
mereka. Inilah yang menyebabakan dekadensi moral serta hilangnya kreativitas
dan produktivitas bangsa. Sebab, ketika karakter suatu bangsa rapuh maka
semangat berkreasi dan berinovasi dalam kompetensi yang kekat akan mengendur,
dan mudah dikalahkan oleh semangat konsumerisme, hedonism, dan pesimisifisme
yang instan dan menenggelamkan.
Indonesia
memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai
pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut,
pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk di
sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga
mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan
masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat Ali
Ibrahim Akbar, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill)[3]. Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20
persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang - orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan
lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini
mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting
untuk ditingkatkan. Melihat masyarakat Indonesia sendiri juga lemah sekali dalam
penguasaan soft skill.
Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi membuat sebuah gebrakan dalam masa
pemerintahannya yaitu tentang Revolusi Mental, khususnya revolusi mental dalam dunia pendidikan. Karena pendidikan adalah awal
dari generasi muda yang berkarakter. Program ini diharapkan mampu mengubah dan
membenahi karakter bangsa Indonesia. Namun, saat ini revolusi mental ini sedang
menjadi sorotan dan menjadi pertanyaan khalayak umum.
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Karakter Pelajar
Pendidikan
merupakan suatu sistem yang teratur dan mengemban misi yang cukup luas
yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan fisik, kesehatan,
keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial sampai kepada masalah
kepercayaan atau keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah sebagai suatu
lembaga pendidikan formal mempunyai suatu muatan beban yang cukup berat dalam
melaksanakan misi pendidikan tersebut. Lebih - lebih kalau dikaitkan dengan
pesatnya perubahan zaman dewasa ini yang sangat berpengaruh terhadap pelajar
dalam berfikir, bersikap dan berperilaku, khususnya terhadap mereka yang masih
dalam tahap perkembangan dalam transisi yang mencari identitas diri[4].
1.
Pengertian Pendidikan Karakter
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas
adalah, bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat tabiat, temperamen dan watak, sementara itu, yang disebut dengan
berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak
sedangkan pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina, kepribadiannya sesuai dengan nilai - nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan.
Karakter merupakan nilai - nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat. Dalam perkembangannya , istilah pendidikan atau
paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa
agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang
dijalankan seseorang atau kelompok lain agar menjadi dewasa untuk
mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental[5].
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan
atau paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang
dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha
yang dijalankan seseorang atau kelompok lain agar menjadi dewasa
untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental[6]. Sedangkan karakter
menurut Pusat Bahasa Depdiknas, adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan watak, sementara
itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat dan berwatak.
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona
(1991)[7] adalah pendidikan
untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang
hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seserorang yaitu tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan
sebagainya.
Definisi pendidikan karakter
selanjutnya dikemukakan oleh elkind dan sweet (2004).
“Character education is the deliberate
esffort to help people understand, care about, and act upon caore ethical
values. When we think about the kind of character we want for our children, it
is clear that we want them to be able tu judge what is right, care deeply about
what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of
pressure from without and temptation from within”[8]
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
memperngaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru bebicara
atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait
lainnya.
Para pakar pendidikan pada umumnya
sependapat tenting pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur
pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat diantara
mereka tentang pendekatan dari modus pendidikannya. Berhubungan dengan
pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan -pendekatan
pendidikan moral yang dikembangkan di Negara - negara barat, seperti :
pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan
pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan
pendekatan tradisional, yaitu melalui penanaman nilai - nilai sosial tertentu.
Berdasarkan grand desain yang dikembangkan
kemendiknas, secara psikologis social cultural pembentukan karakter dalam diri
individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif,
afektif, konatif dan psikomotorik) dari konteks interaksi social cultural
(dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam kontek
totalitas proses psikologis dan social cultural tersebut dapat
dikelompokan dalam: olah hati, olah piker, olah raga dan kinestetik, serta olah
rasa dan karsa, keempat hal tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, bahkan
saling melengkapi dan saling keterkaitan.
Pengkategorikan nilai didasarkan pada
pertimbangan bahwa pada hakikatnya perilaku seseorang yang berkarakter
merupakan perwujudan fungsi toalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi
individu manusia (kognitif, afekti dan psikomotorik) dan fungsi totalitas
social-kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Jadi, Pendidikan karakter adalah sebuah system yang menanamkan nilai-nilai
karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran
individu, tekad, srta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan
nlai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
linkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insane kamil.
Tugas pendidik di semua jenjang pendidikan
tidak terbatas pada pemenuhan otak anak dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Pendidik selayaknya mengajarkan pendidikan menyeluruh yang memasukkan beberapa
aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya, pendidik harus mampu
menjadikan perkataan dan tingkah laku anak didiknya di kelas menjadi baik yang
pada akhirnya nanti akan tertanam pendidikan karakter yang baik dikelak
kemudian hari.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk
dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukkan
karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter
pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa
dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada anak adalah usaha yang
strategis.
Permasalahan serius yang tengah
dihadapi bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan yang ada sekarang ini
terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang
memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Proses
belajar juga berlangsung secara pasif dan kaku sehingga menjadi tidak menyenangkan
bagi anak. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter (seperti
budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek
otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar tahu). Semuanya ini telah membunuh
karakter anak sehingga menjadi tidak kreatif. Padahal, pembentukan karakter
harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan melibatkan aspek
knowledge, feeling, loving, dan acting. Pembentukan karakter dapat diibaratkan
sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang
memerlukan latihan otot - otot akhlak secara terus-menerus agar menjadi kokoh
dan kuat. Selain itu keberhasilan pendidikan karakter ini juga harus
ditunjang dengan usaha memberikan lingkungan pendidikan dan sosialisasi yang
baik dan menyenangkan bagi anak.
Dengan demikian, pendidikan yang sangat
dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan
karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh
dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan spiritual).
Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan
anak sebagai manusia yang utuh. Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya
dalam aspek kognitif, namun juga dalam karakternya. Anak yang unggul dalam
karakter akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam
hidupnya. Ia juga akan menjadi seseorang yang lifelong learner. Pada saat
menentukan metode pembelajaran yang utama adalah menetukan kemampuan apa yang
akan diubah dari anak setelah menjalani pembelajaran tersebut dari sisi
karakterya. Apabila kita ingin mewujudkan karakter tersebut dalam kehidupan
sehari-hari, maka sudah menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik
sukses dalam pendidikan dan pengajarannya.
2.
Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter
Dalam TAP MPR No. II/MPR/1993, disebutkan
bahwa pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti
luhur, berkepribadian mandiri, maju, tanggunh, cerdas, kreatif, terampil,
berdisiplin, beretos kerja profesional, serta sehat jasmani rohani.
Berangkat dari hal tersebut diatas, secara
formal upaya menyiapkan kondisi, sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan,
dan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan
watak dan budi pekerti generasi muda bangsa memiliki landasan yuridis yang
kuat. Namun, sinyal tersebut baru disadari ketika terjadi krisis akhlak yang
menerpa semua lapisan masyarakat. Tidak terkecuali juga pada anak-anak usia
sekolah. Untuk mencegah lebih parahnya krisis akhlak, kini upaya tersebut mulai
dirintis melalui Pendidikan Karakter bangsa.
Dalam pemberian Pendidikan Karakter bangsa
di sekolah, para pakar berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang
berkembang. Pertama, bahwa Pendidikan Karakter bangsa diberikan berdiri sendiri
sebagai suatu mata pelajaran. Pendapat kedua, Pendidikan Karakter bangsa
diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran PKN, pendidikan agama, dan mata pelajaran lain yang relevan.
Pendapat ketiga, Pendidikan Karakter bangsa terintegrasi ke dalam semua mata
pelajaran.
Pendidikan karakter bertujuan untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah
pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui
pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi
serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud
dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi
mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi
perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan
oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah
merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata
masyarakat luas. Pendidikan karakter bertujuan sebagai
berikut :
a.
Versi Pemerintah
Pendidikan memiliki tujuan yang sangat
mulia bagi kehidupan manusia. Dan berkaitan dengan pentingnya diselenggarakan
pendidikan karakter disemua lembaga formal. Menrut Presiden republic Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono, sedikitnya ada lima dasar yang menjadi tujuan
dari perlunya menyelenggarakan pendidikan karakter. Kelima tujuan tersebut
adalah sebagai berikut :
1)
Membentuk Manusia Indonesia yang Bermoral
Persoalan moral merupakan masalah serius
yang menimpa bangsa Indonesia. Setiap saat, masyarakat dihadapkan pada
kenyataan merebaknya dekadensi moral yang menimpa kaum remaja, pelajar,
masyarakat pada umumnya, bahkan para pejabat pemerintah.
Ciri yang paling kentara tentang
terjadinya dekadensi moral di tengah-tengah masyarakat antara lain
merebaknya aksi-aksi kekerasan, tawuran massa, pembunuhan, pemerkosaan,
perilaku yang menjurus pada pornografi dsb. Dalam dunia pemerintahan, fenomena
dekadensi moral juga tidak kalah santernya, misalnya perilaku ketidakjujuran,
korupsi dan tindakan-tindakan manipulasi lainnya.
Problem moral seperti ini jelas meresahkan
semua kalangan. Ironisnya, maraknya aksi-aksi tidak bermoral tersebut justru
banyak dilakukakan oleh kalangan terdidik. Dan, hal itu terjadi saat bangsa
Indonesia sudah memiliki ribuan lembaga pendidikan yang tersebar di berbagai
tempat. Maka, tidak heran bila banyak para pegawai yang mempertanyakan fungsi
lembaga pendidikan jika sekedar mengutamakan nilai, namun mengabaikan
etika dan moral.
Dengan demikian bisa dipahami jika
tuntutan diselenggarakannya pendidikan karakter semakin santer dibicarakan
dengan tujuan agar generasi masa depa menjadi sosok manusia yang berkarakter,
yang mampu berperilaku positif dalam segala hal.
2)
Membentuk Manusia Indonesi yang Cerdas dan
Rasional
Pendidikan karakter tidak hanya bertujuan
membentuk manusia Indonesia yang bermoral, beretika dan berakhlak, melainkan
juga membentuk manusia yang cerds dan rasional, mengambil keputusan yang tepat,
serta cerdas dalam memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Kecerdasan dalam
memanfaakan potensi diri dan bersikap rasional merupakan cirri
orang yang berkepribadian dan berkarakter. Inilah yang dibutuhkan bangsa
Indonesia saat ini, yakni tatanan masyarakat yang cerdas dan
rasional.
Berbagai tindakan destruktif dan
tidak moral dan sering kali dilakukan oleh masyarakat Indonesia
belakangan ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa masyarakat sudah
tidak memoerdulikan lagi rasional dan dan kecerdasan mereka dalam
bertindak dan mengambil keputusan. Akibatnya, mereka seringkali terjerumus ke
dalam perilaku yang cenderung merusak, baik merusak lingkungan maupun diri
sendiri, terutama karakter dan kepribadian.
Upaya yang perlu dilakukan agar masyarakat
mampu memanfaatkan kecerdasan dan rasionalitas dalam bertindak adalah
menanamkan nilai-nilai kepribadian tersebut pada generasi masa depan sejak
dini. Para peserta didik merupakan harapan kita. Oleh karena itu, mereka
harus dibekali pendidikan karakter sejak sekarang agar generasi masa depan
indonesi tidak lagi menjadi generasi yang irasional dan tak berkarakter.
3)
Membentuk Manusia Indonesia yang Inovatif
dan Suka Bekerja Keras
Pendidikan karakter merupakan pendidikan
nilai yang diselenggarakan untuk menanamkan semangat suka bekerja keras,
disiplin, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik, yang diharapkan akan
mengakar menjadi karakter dan kepribadiannya. Oleh karena itu, pendidikan
karakter bertujuan mencetak generasi bangsa agar tumbuh menjadi pribadi yang
inovatif dan mau bekerja keras.
Saat ini, sikap kurang bekerja keras dan tidak
kreatif merupakan masalah yang menyebabkan bangsa Indonesia jauh
tertinggal dari Negara-negara lain. Padahal, setiap tahun, lembaga
pendidikan sudah meluluskan ribuan peserta didik dengan rata-rata nilai yang
tinggi. Dari sinilah timbul suatu pertanyaan, mengapa tidak ada korelasi yang
jelas antara tingginya nilai yang diperoleh peserta didik dengan sikap keatif,
inovatif, dan kerja keras, sehingga bangsa Indonesia tetap jauh tertinggal
dalamkancah internasional ?
Disisi lain, kita juga sering menemukan
fakta bahwa tidak sedikit orang Indonesia yang cerdas sekaligus memiliki
potensi dan kreatif, namun mereka justru tidak dimanfaatkan oleh pemerintah.
Hidup mereka terpinggirkan dan tersisihkan. Potensi mereka terbuang percuma,
sehingga nilai-nilai pendidikan yang mereka peroleh seakan tidak berguna
sama sekali. Tak hanya itu , pemerintah juga seolah-olah lebih mementingkan
partisipasi politik untuk ditetapkan pada pos-pos tertentu. Dengan demikian,
yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah kader politk, bukan sosok yang
benar berkualitas dan berkompeten secara moral dan intelektual. Nah
dengan adanya pendidikan karakter, diharapkan para peserta didik dan
generasi mudah kita memiliki semangat juang yang besar, serta bersedia bekerja
keras sekaligus inovatif dalam mengelolah potensi mereka. Sehingga mereka dapat
menjadi bibi - bibit manusia yang unggul pada masa depan.
4)
Membentuk Manusia Indonesia yang optimis
dan Percaya Diri
Sikap optimis dan percaya diri merupakan
sikap yang harus ditanamkan kepada peserta didik sejak dini. Kurangnya
sikap optimis dan percaya diri menjadi factor yang menjadikan bangsa Indonesia
kehilangan semangat utuk dapat bersaing menciptakan kemajuan disegala
bidang. Pada masa depan, tentu saja kita akan semakin membutuhkan sosok-sosok
yang selalu optimis dan penuh percaya diri dalam menghadapi berbagai situasi.
Dan, hal itu terwujud apabila tidak ada upaya untuk menanamkan kedua sikap
tersebut kepada generasi penerus sejak dini.
Penyelenggaraan pendidikan karakter
merupakan salah satu langkah yang sangat tepat untuk membentuk kepribadian
peserta didik menjadi pribadi yang optimis dan percaya diri. Sejak sekarang,
peserta didik tidak hanya diarahkan untuk sekedar mengejar nilai namun juga
membekalinya dengan wawasan mengenai cara berperilaku di tengah - tengah
lingkungan, keluarga dan masyarakat.
5)
Membentuk Manusia Indonesia yang Berjiwa
Patriot
Salah satu prinsip yang dimiliki konsep
pendidikan karakter adalah terbinanya sikap cinta tanah air. Hal yang paling
inti dari sikap ini adalah kerelaan untuk berjuang, berkorban serta kesiapan
diri dalam memberikan bantuan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Harus kita
akui bahwa sikap tolong-menolong dan semangat juang untuk saling meberikan
bantuan sudah semakin luntur dari kehidupan masyarakat. Sikap kepedulian
yang semula merupakan hal yang paling kita banggakan sepertinya sudah
tergantikan dengan tumbuh sumburnya sikap-sikap individualis
dan egois. Kepekaan social pun sudah berada pada taraf yang meprihatinkan. Maka
tidak heran bila setiap saat kita menyaksikan masalah-masalah social yang
terjadi di lingkungan kita , yang salah satu factor penyebabnya adalah
terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain.
Maka, disinilah pentingnya pendidikan
karakter supaya peserta didik benar-benar menyadari bahwa ilmu yang diperoleh
harus dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang
b.
Versi Pengamat
Berikut ini ada pendapat beberapa ahli
mengenai tujuan pendidikan Karakter :
1)
Sahrudin
dan Sri Iriani berpendapat bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk
masyarakat yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergorong royong, berjiwa patriotic, berkembang dinamis, serta berorientasi
ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa
kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus berdasarkan Pancasila.
2)
Menurut
Sahrudin, pendidikan karakter memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :
a)
Mengembangkan
potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik.
b)
Memperkuat
dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur.
c)
Meningkatkan
peradaban bangsa yang kompetitif.
Fungsi dan tujuan pendidikan karakter itu
sendiri itu dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara benar dan
menggunakan media yang tepat.
Tugas pendidik di semua jenjang pendidikan
tidak terbatas pada pemenuhan otak anak dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Pendidik selayaknya mengajarkan pendidikan menyeluruh yang memasukkan beberapa
aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya, pendidik harus mampu
menjadikan perkataan dan tingkah laku anak didiknya di kelas menjadi baik yang
pada akhirnya nanti akan tertanam pendidikan karakter yang baik dikelak
kemudian hari.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk
dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukkan
karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter
pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa
dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada anak adalah usaha yang
strategis
Masalah serius yang tengah dihadapi
bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan yang ada sekarang ini terlalu
berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan
pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Proses belajar juga
berlangsung secara pasif dan kaku sehingga menjadi tidak menyenangkan bagi
anak. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter (seperti budi
pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak
kiri (hafalan, atau hanya sekedar tahu). Semuanya ini telah membunuh karakter
anak sehingga menjadi tidak kreatif. Padahal, pembentukan karakter harus
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan melibatkan aspek knowledge, feeling,
loving, dan acting.
Pembentukan karakter dapat diibaratkan
sebagai pembentukan seseorang menjadi body
builder (binaragawan)
yang memerlukan latihan otot-otot akhlak secara terus-menerus agar menjadi
kokoh dan kuat. Selain itu keberhasilan pendidikan karakter ini juga
harus ditunjang dengan usaha memberikan lingkungan pendidikan dan sosialisasi
yang baik dan menyenangkan bagi anak. Dengan demikian, pendidikan yang sangat
dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan
karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh
dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan spiritual).
Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan
anak sebagai manusia yang utuh. Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya
dalam aspek kognitif, namun juga dalam karakternya. Anak yang unggul dalam
karakter akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam
hidupnya. Ia juga akan menjadi seseorang yang lifelong learner.
Pada saat menentukan metode pembelajaran
yang utama adalah menetukan kemampuan apa yang akan diubah dari anak setelah
menjalani pembelajaran tersebut dari sisi karakternya. Apabila kita ingin
mewujudkan karakter tersebut dalam kehidupan sehari - hari, maka sudah
menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik sukses dalam pendidikan
dan pengajarannya.
3.
Ciri - Ciri Dasar Pendidikan Karakter
Forester[9] menyebutkan paling
tidak ada empat ciri - ciri dasar dalam pendidikan karakter :
a.
Keteraturan
interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan herarki nilai. Maka nilai
menjadi pedoman yang bersifat normative dalam setiap tindakan.
b.
Koherensi
yang member keberanian membuat seseorang teguh ada prinsip, dan tidak mudah
terombang ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar
yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi dapat
meruntuhkan kredibilitas seseorang.
c.
Otonomi.
Disana seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi
nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat dari penilaian atas keputusan
pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain.
d.
Keteguhan
dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan
apapun yang di pandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan
atas komitmen yang dipilih.
Lebih lanjut Madjid[10] menyebutkan bahwa
kematangan keempat karakter tersebut diatas, memungkinkan seseorang melewati tahap
individualitas menuju profesionalitas. Orang - orang modern sering mencampur
adukan antara individualitas menuju personalitas, antara aku alami dan
aku rohani, antara indepedensi eksterior dan interior. Karakter inilah yang
menentukan performa seseorang dalam segala tindakannya.
Kemudian Rosworth Kidder dalam “how Good People Make Tough Choices (1995)”[11] yang dikutip oleh Majid (2010)[12] menyampaikan tujuan
kualitas yang diperlukan dalam pendidikan karakter.
a.
Pemberdayaan
(empowered), maksudnya bahwa guru harus mampu
memberdayakan dirinya untuk mengajarkan pendidikan karakter dengan dimulai dari
dirinya sendiri.
b.
Efektif
( effective), proses pendidikan karakter harus
dilaksanakan dengan efektif.
c.
Extended into community, maksudnya bahwa komunitas harus membantu
dan mendukung sekolah dalam menanamkan nilai-nilai tersebur kepada
peserta didik.
d.
Embedded, integrasikan seluruh nilai ke dalam
kurikulum dan seluruh rangkaian proses pembelajaran.
e.
Enganged, melibatkan komunitas dan menampilkan
topic-topik yang cukup esensial.
f.
Epistemological, harus ada koherensi antara cara berpikir
makna etik dengan upaya yang dilakukan untuk membantu peserta didik
menerapkannya secara benar.
g.
Evaluative, menurut Kidder[13] terdapat lima hal
yang harus diwujudkan dengan menilai manusia berkarakter, (a) diawali dengan
kesadaran etik; (b) adanya kesadaran diri untk berpikir dan membuat keputusan
tentang etik; (c) mempunyai kapasitas untuk menampilkan kepercayaan diri secara
praktis dalam kehidupan; (d) mempunyai kapasitas dalam menggunakan pengalaman
praktis terhadap sebuah komunitas; (e) mempunyai kapasitas untuk menjadi agen
perubahan (agent of change) dalam merealisasikan ide-ide etik dan
menciptakan suasana yang berbeda.
4.
Prinsip - Prinsip Pendidikan Karakter
Pendidikan di sekolah akan berjalan
lancar, jika dalam pelaksanaannya memperhatikan beberapa prinsip pendidikan
karakter. Kemendiknas memberikan beberapa rekomendasi prinsip untuk mewujudkan
pendidikan karakter yang efektif sebagai berikut :
a.
Memperomosikan
nila-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
b.
Mengidentifikasikan
karakter secara komperehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku.
c.
Menggunakan
pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk mebangun karakter.
d.
Menciptakan
komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
e.
Memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukan perilaku yang baik.
f.
Memiliki
cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang
menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka
untuk sukses.
g.
Mengusahakan
tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik.
h.
Memfungsikan
seluruh staf seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung
jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.
i.
Adanya
pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam
membangun inisiatif pendidikan karakter.
j.
Memfungsikan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun
karakter.
k.
Mengevaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi
karakter positif dalam kehidupan peserta didik.
Berdasarkan pada prinsip - prinsip yang
direkomendasikan olah kemendiknas, dasyim budimasyah berpendapat bahwa
program pendidikan karakter disekolah perlu dikembangkan dengang berlandaskan
pada prinsip - prinsip sebagai berikut :
a.
Pendidikan
karakter disekolah harus dilaksanakan secara berkelanjutan (kontinuitas). Hal
ini mengandung arti bahwa proses pengembangan nilai - nilai karakter merupakan
proses yang panjang, mulai sejak awal peserta didik masuk sekolah hingga mereka
lulus sekolah pada suatu satuan pendidikan.
b.
Pendidikan
karakter hendaknya dikembangkan melalui semua mata pelajaran terintegrasi,
melalui pengembangan diri, dan budaya suatu satuan pendidikan. Pembinaan
karakter bangsa dilakukan dengan mengintegrasikan dalam seluruh mata
pelajaran, dalam kegiatan kurikuler pelajaran, sehingga semua mata pelajaran
diarahkan pada pengembangan nilai-nilai karakter tersebut. Pengembangan
nilai-nilai karakter uga dapat dilakukan dengan melalui pengembangan diri, baik
melalui konseling maupun kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan kepramukaan
dan lain sebagainya.
c.
Sejatinya
nilai - nilai karakter tidak diajarkan (dalam bentuk pengetahuan), jika hal
tersebut diintegrasikan dalam mata pelajaran, kecuali bila dalam bentuk mata
pelajaran agama yang (yang di dalamnya mengandung ajaran) maka tetap diajarkan
dengan proses, pengetahuan (knowing), melakukan (doing), dan akhirnya membiasakan (habit).
Proses pendidikan dilakukan peserta didik
dengan secara aktif (active learning) dan menyenangkan (enjoy full learning). Proses ini menunjukkan bahwa proses
pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Sedangkan
guru menerapkan “tutwuri handayani” dalam
setiap perilaku yang ditunjukan agama.
5.
Komponen Pendukung dalam Pendidikan Karakter
Sebagaimana halnya dunia pendidikan pada
umumnya, pendidikan yang mensyaratkan keterlibatan banyak pihak di
dalamnya. Kita tidak bisa menyerahkan tugas pengajaran, terutama dalam rangka
mengembangkan karakter peserta didik, hanya semata-mata kepada guru.
Sebab, setiap peserta didik memiliki latar belakang yang berbeda, yang ikut
menentukan kepribadian dan karakternya. Oleh karena itu, guru, orang tua maupun
masyarakat seharusnya memiliki keterlibatan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Selain itu ada beberapa komponen yang
perlu diperhatikan dalam rangka menjalankan pendidikan karakter diantaranya
sebagai berikut :
a.
Partisipasi Masyarakat
Dalam hal ini, masyarakat meliputi tenaga
pendidik, orangtua, anggota masyarakat, dan peserta didik itu sendiri, semua
komponen itu hendaknya dapat bekerja sama dan membantu memberikan masukan,
terutama mengenai langkah-langkah penanaman karakter bagi peserta didik. Oleh
sebab itu, setiap sekolah yang akan menerapkan pendidikan karakter bagi peserta
didiknya harus memiliki badan khusus yang dibentuk sebagai sarana komunikasi
antara peserta didik, tenaga pendidik, orangtua dan masyarakat. Badan ini
bertugas membicarakan konsep dan nilai - nilai yang diperlukan untuk mendidik
karakter peserta didik.
b.
Kebijakan Pendidikan
Meskipun pendidikan karakter lebih
mengedepankan aspek moral dan tingkah laku, namun bukan berarti sama
sekali tidak menetapkan kebijakan-kebijakan. Sebagaimana dalam dunia formal
pada umunnya. Sekolah tetap menetapkan landasan filosofi yang tepat dalam
membuat pendidikan karakter, serta menentukkan dan menetapkan tujuan, visi dan
misi, maupun beberapa kebijakan lainnya, hal ini bisa dilakukan dengan
mengadopsi kebijakan pendidikan formal atau kebijakan baru.
c.
Kesepakatan
Betapapun pentingnya dan mendesaknya
lembaga pendidikan menerapkan pendidikan karakter sebagai tambahan kurikulum di
dalamnya, namun bukan berarti itu ditetapkan secara sepihak. Sekolah harus
mengadakan pertemuan dengan orang tua peserta didik terlebih dahulu dengan
melibatkan tenaga guru dan perwakilan masyarakat guna mencari
kesepakatan-kesepakatan di antara mereka. Pertemuan itu bertujuan memperoleh
kesepakatan definisi pendidikan karakter, fungsi dan manfaatnya, serta cara mewujudkannya.
d.
Kurikulum Terpadu
Agar tujuan penerapan karakter dapat
berjalan secara maksimal, sekolah perlu membuat kurikulum terpadu di
semua tingkatan kelas. Sebab, setiap peserta didik memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan materi mengenai pengembangan karakter. Oleh karena itu, meskipun
pendidikan karakter perlu diperkenalkan sejak dini, namun bukan berarti tidak
berlaku bagi peserta didik yang sudah dewasa. Dan, salah satu cara penerapannya
adalah pemberlakuan kurikulum terpadu dengan semua mata pelajaran.
e.
Pengalaman Pembelajaran
Pendidikan karakter sebenarnya lebih
menitik beratkan pada pengalaman daripada sekedar pemahaman. Oleh karena itu,
melibatkan peserta didik dalam berbagai aktivitas positif dapat membantunya
mengenal dan mempelajari kenyataan yang dihadapi. Pelayanan yang baik oleh seorang guru
berupa kerja sama, pendampingan, dan pengarahan optimal, yang merupakan
komponen yang perlu diberlakukan secara nyata. Sebab, hal itu akan memberikan
kesan positif bagi peserta didik dan mempengaruhi cara berpikirnya sekaligus
karakternya
f.
Evaluasi
Guru perlu melakukan evaluasi sejauh mana
keberhasilan pendidikan karakter yang sudah diterapkan .evaluasi dilakukan
tidak dalam ragka mendapatkan nilai, melainkan mengetahui sejauh mana peserta
didik mengalami perilaku di bandingkan sebelumnya. Dalam
hal ini, guru harus mengapresiasi setiap aktivitas kebaikan yang
dilakukan peserta didik, kemudian memberinya penjelasan mengenai akibat
aktivitas tersebut dalam pengembangan karakternya.
g.
Bantuan Orang Tua
Untuk mendukung keberhasilan, pihak
sekolah hendaknya meminta orangtua peserta didik untuk ikut terlibat memberikan
pengajaran karakter ketika peserta didik berada di rumah. Bahkan, sekolah perlu
memberikan gambaran umum tentang prinsip-prinsip yang diterapkan disekolah dan
dirumah, seperti aspek kejujuran, dan lain sebagainya. Tanpa melibatkan peran
orangtua di rumah, berarti sekolah akan tetap kesulitan menerapkan pendidikan
karakter terhadap peserta didik. Sebab, interaksinya justru lebih banyak di
habiskan dirumah bersama keluarga.
h.
Pengembangan Staf
Perlu disediakan waktu pelatihan dan
pengembangan bagi para staf di sekolah sehingga mereka dapat membuat dan
melaksanakan pendidikan karakter secara berkelanjutan. Hal itu termasuk waktu
untuk diskusi dan pemahaman dari proses dan program, serta demi menciptakan
pelajaran dan kurikulum selanjutnya. Perlu di ingat bahwa semua pihak disekolah
merupakan sarana yng perlu dimanfaatkan untuk membantu menjalankan pendidikan
karakter
i.
Program
Program kependidikan karakter harus
dipertahankan dan diperbaharui melalui pelaksanaan dengan perhatian khusus pada
tingkat komitmen yang tinggi dari atas, dana yang memadai, dukungan untuk
koordinasi distrik staf yang berkualitas tinggi, pengembangan profesional
berkelanjutan dan jaringan, serta dukungan system bagi guru yang melaksanakan
program tersebut.
6.
Penerapan dan Pengembangan Pendidikan karakter
Pijakan utama yang harus dijadikan sebagai
landasan dalam menerapkan pendidikan karakter ialah nilai moral universal yang
dapat digali dari agama. Meskipun demikian, ada beberapa nilai karakter
dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan kepada peserta
didik. Yakni rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ciptaany-Nya, tanggung
jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, mampu bekerjasama,
percaya diri, kreatif, mau bekerja keras, pantang menyerah, adil, serta
memiliki sikap kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan
cinta persatuan. Dengan ungkapan lain dalam upaya menerapkan pendidikan karakter
guru harus berusaha menumbuhkan nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan
yang nyata, bukan sekedar pengajaran dan wacana.
Beberapa pendapat lain menyatakan bahwa
nilai-nilai karakter dasar yang harus diajarkan kepada peserta didik sejak dini
adalah sifat dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur,
tanggung jawab, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil dan punya
integritas.
Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah hendaknya berpijak pada nilai-nilai karakter
tersebut, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak
atau tinggi (yang bersifat tidak absolute atau relative), yang sesuai dengan
kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Pembentukan karakter dikembangkan melalui
tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada
pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu
mampu bertindak sesuai dengan pengetahuaanya., jika tidak terlatih(menjadi
kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut, karakter juga menjangkau wilayah
emosi dan kebiasan diri.[14] Dengan demikian
diperlukan tiga komponen yang baik (component
og good character) yaitu moral knowing(pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi)
tentang moral, dan moral action, atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan
agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam system
pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan
mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan.
Dimensi - dimensi yang termasuk dalam
moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral ( moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek
emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan
dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu
kesadaran akan jati diri (
Conscience),
percaya diri (self asteem), kepekaan terhadap derita orang
lain (empathy), kerendahan hati (humility), cinta kebenaran (Loving the good), pengendalian diri (self control). Moral action merupakan perbuatan
atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya.
Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik
(act Morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari
karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu system
pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung
nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindakn secara bertahap dan
saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau
emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan Negara serta dunia internasional.
7.
Upaya Pendidikan Karakter dalam Mencapai
Tujuan Pembelajaran
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia
dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan.
Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang
sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, Sekolah harus
diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan
dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika,
bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan
penelitian, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard
skill) saja,
tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan
hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard
skill dan
sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia
bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu
pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Pendidikan karakter saaat ini merupakan
topic yang banyak di bicarakan di kalangan pendidik. Pendidikan karakter
diyakini sebagai aspek penting dalam peningkatan sumber daya manusia
(SDM), karena turut memajukan suatu bangsa. Karakter masyarakat yang
berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, karena usia dini
merupakan masa “emas” namun kritis bagi pembentukan karakter seseorang.
Implementasi pendidikan karakter dirasa sangat urgen dilaksanakan dalam
rangka membina generasi muda penerus bangsa.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to
foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah,
semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku
warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi
karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini
mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait
lainnya. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna
yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat
yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara
umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter
dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan
nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam
rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter
dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang
bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki
tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.
Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan
isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan
kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan
dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta
persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari:
dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab;
kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya
integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak
kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi
nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut
atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah
itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut
peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada
lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial
yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti
perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di
kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat
meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi
pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam
pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan
kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya
sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur
pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara
mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan
pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan
pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan
klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional,
yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan
untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekeri, yang
hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan
sebagainya.
Terdapat empat jenis pendidikan karakter
yang selama ini dilaksanakan dalam proses pendidikan :
a.
Pendidikan
karakter berbasis nilai religius, yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan
(konservasi moral).
b.
Pendidikan
karakter berbasis nilai budaya , antara lain yang berupa budi pekerti,
Pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin
bangsa (konservasi lingkungan).
c.
Pendidikan
karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan).
d.
Pendidikan
karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran
pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
(konservasi humanis).
Relevan dengan konsep diatas pendidikan
merupakan suatu proses humanisasi, artinya dengan pendidikan manusia akan lebih
bermartabat, berkarakter, terampil, yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap
tataran sistem sosial sehingga akan lebih baik, aman dan nyaman. Pendidikan
juga akan menjadikan manusia cerdas, pintar, kreatif, inovatif, mandiri dan
bertanggung jawab.
Pendidikan nilai diharapkan merupakan
suatu hal yang dapat mengimbangi tradisi pembelajaran yang selama ini lebih
menitikberatkan pada penguasaan kompetensi intelektual/kognitif
semata.Pendidikan nilai adalah upaya untuk membina, membiasakan, mengembangkan
dan membentuk sikap serta memperteguh watak untuk membentuk manusia yang
berkarakter.
Munculnya gagasan program pendidikan
karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses
pendidikan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan,
banyak yang menyebut pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan lembaga
pendidikan (Indonesia) termasuk sarjana yang pandai dan mahir dalam menjawab
soal ujian, berotak cerdas, tetapi tidak memiliki mental yang kuat, bahkan
mereka cenderung amoral.
Bahkan dewasa ini juga banyak pakar bidang
moral dan agama yang sehari - hari mengajar tentang kebaikan, tetapi
perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak
diajarkan meghafal tentang bagusnya sifat jujur, berani, kerja keras,
kebersihan dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan
dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan di hafal sebagai bahan
ujian.
Pendidikan karakter bukanlah suatu proses
menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter
memerlukan pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur,
ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap malas, malu membiarkan
lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih
secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Disinilah bisa kita pahami, mengapa ada
kesenjangan antara praktik pendidikan denga karakter peserta didik. Bisa
dikatakan, dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang
sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai
program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan soal mendasar dalam dunia
pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul,yang
beriman, bertakwa, profesional, sebagaiman disebutkan dalam tujuan pendidikan
nasional[15].
Maka tidaklah heran, jika banyak ilmuwan
yang percaya, bahwa karakter suatu bangsa akan sangat terkait dengan prestasi
yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai kehidupan. Pendidikan karakter pada
intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotic, berkembang dinamis,
berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh
iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila.
B. Pembentukan Revolusi Mental Pelajar
1.
Dasar
Revolusi Mental Pelajar
Revolusi (dari
bahasa latin revolutio, yang berarti "berputar arah")
adalah perubahan fundamental (mendasar) dalam struktur
kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat.
Kata kuncinya adalah Perubahan dalam Waktu Singkat.
Revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat baik
pemerintah atau rakyat dengan cara yang cepat untuk mengangk kembali nilai - nilai
strategi yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara untuk mampu menciptakan
ketertiban dan Kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di
era globalisasi.
Revolusi mental mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan perilaku yang
berorientasi pada kemajuan dan kemoderenan, sehingga menjadi bangsa besar dan
mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Revolusi
karakter bangsa atau yang dikenal juga sebagai revolusi mental dapat
dijalankan, baik melalui pendidikan maupun kebudayaan yang kemudian diturunkan
ke sistem persekolahan yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Sistem
persekolahan sebagai turunan dari sistem pendidikan harus mampu menumbuhkan
budaya sekolah yang kondusif bagi penciptaan revolusi pendidikan
lingkungan belajar yang baik bagi siswa.
Pemupukan
jiwa revolusi mental di kalangan peserta didik dapat ditempuh melalui
pendidikan karakter yang terintegrasi ke dalam mata pelajaran yang relevan,
pendidikan agama, dan pendidikan kewargaan. Beberapa mata pelajaran yang
relevan antara lain, (i) sejarah yang mengajarkan kisah-kisah kepahlawanan,
patriotisme, nasionalisme, dan pengabdian; (ii) geografi yang diperlukan untuk
menumbuhkan kesadaran teritorial, orientasi lokasi, kesadaran kewarganegaraan;
(iii) antropologi/sosiologi yang bermanfaat untuk memperkuat pemahaman multikulturalisme,
pluralisme, interaksi sosial, dan pengakuan atas keragaman etnis, budaya,
agama; (iv) bahasa Indonesia sangat penting untuk meneguhkan identitas
kebangsaan dan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Pendidikan agama dan
pendidikan kewargaan yang memberi kontribusi penting pada proses pembentukan
karakter anak didikakan lebih efektif dilaksanakan melalui keteladanan, yang
menuntut guru menjadi suri tauladan bagi siswa. Pendidikan karakter tidak akan
merasuk ke dalam jiwa anak didik jika diajarkan hanya melalui instructional
learning approach semata. Oleh karena itu, arah kebijakan dan strategi
yang diperlukan adalah sebagai berikut :
Arah
kebijakan dan strategi untuk mendorong tercapainya sasaran strategis terkait
pemberdayaan pelaku budaya dalam melestarikan kebudayaan yaitu melakukan
penguatan perilaku pelaku budaya yang mandiri dan berkepribadian melalui :
a.
Meningkatkan ketersediaan serta keterjangkauan layanan
pelaku budaya dan masyarakat pendukung terhadap warisan budaya dan karya
budaya.
b.
Meningkatkan mutu karya dan pelaku budaya serta
meningkatkan mutu layanan dalam pelestarian warisan budaya.
c.
Memberdayakan pelaku budaya dalam pelestarian dan
pengembangan kebudayaan.
Arah kebijakan dan strategi untuk mendorong
tercapainya sasaran strategis terkait peningkatan mutu pembelajaran yang
berorientasi pada pendidikan karakter adalah sebagai berikut :
a.
Mengembangkan pendidikan kewargaan di sekolah untuk
menumbuhkan jiwa kebangsaan, memperkuat nilai-nilai toleransi, menumbuhkan
penghargaan pada keragaman sosial-budaya, memperkuat pemahaman mengenai hak-hak
sipil dan kewargaan, serta tanggung jawab sebagai warga negara yang baik (good
citizen). Strategi yang diperlukan berupa penguatan pendidikan kewargaan
yang terintegrasi ke dalam mata pelajaran yang relevan (PKN, IPS (sejarah,
geografi, sosiologi/antropologi) dan bahasa Indonesia).
b.
Meningkatkan kualitas pendidikan karakter pada
anak-anak usia sekolah pada semua jenjang pendidikan, khususnya pendidikan
dasar dan menengah, untuk membina budi pekerti, watak, dan kepribadian peserta
didik melalui : (i) penguatan pendidikan karakter yang terintegrasi ke dalam
mata pelajaran; (ii) pengembangan kurikulum jenjang pendidikan dasar yang
memberi porsi yang proporsional bagi pelajaran budi pekerti untuk membina
karakter dan memupuk kepribadian siswa yang sesuai dengan nilai-nilai moralitas
dan etika sosial; dan (iii) peningkatan kualitas guru yang bertindak
sebagai role model dengan memberi keteladanan sikap dan perilaku
baik bagi peserta didik.
c.
Membangun budaya sekolah yang kondusif bagi penciptaan
lingkungan belajar yang baik dan menyenangkan bagi siswa untuk mendorong
terlaksananya pendidikan karakter melalui, (i) pelibatan peran orang tua dan
masyarakat dalam pengelolaan persekolahan dan proses pembelajaran, untuk
mencegah perilaku menyimpang yang tak sesuai dengan norma susila dan nilai
moral; dan (ii) pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan pendidikan dan
pemberian bimbingan - penyuluhan dalam proses pembelajaran, untuk mendukung
siswa dalam mengembangkan segenap potensi dan kepribadian dengan sempurna.
2.
Pendidikan Revolusi
Mental di Sekolah
“Sebuah bangsa sedang menuju
jurang kehancuran, ketika karakternya tergadai” (Thomas Lickona, 1992)
Pendidikan
karakter ini muncul sejak tahun 2010, pada masa itu menteri Pendidikan M. Nuh
membuat kebijakan pendidikan di Indonesia harus berkarakter guna melahirkan
generasi emas Indonesia 2020. Hal dikarenakan saat ini Indonesia mengalami
krisis karakter, fenomena ini dapat kita lihat dari dari potret pendidikan di
Indonesia.
Persoalan
praktik-praktik kebohongan dalam dunia pendidikan mulai dari menyontek pada
saat ujian sampai plagiarisme[1] hak cipta dan perjokian Seleksi
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) serta praktik jual-beli izajah palsu.
Jika sebagai peserta didik saja sudah terbiasa dengan tipu-menipu alias
manipulasi ujian, maka ketika nanti sudah lulus dan bekerja akan kembali
melahirkan para koruptor baru dan budaya korupsi tidak akan pernah hilang di
Negara kita.
Dunia pendidikan
sangat bertanggung jawab dalam meghasilkan lulusan - lulusan yang
memiliki akademis bagus dan moral yang baik. Walaupun pada kenyataannya potret
pendidikan di Negara kita dari segi akademis sangat bagus tetapi dari segi
karakter ternyata masih bermasalah. Siapa yang tidak mengelus dada ketika
melihat seorang pelajar yang tidak punya sopan santun, pendendam, mencontek,
hobi narkoba, tawuran, membolos sekolah, aborsi, berjudi bahkan bagus nilainya
untuk “mata pelajaran” pornografi. Contoh-contoh tersebut merupakan jenis
kenakalan pelajar yang umum. Namun, tidak menutup mata pelajar yang patut
dibanggakan juga ada, seperti mereka yang menjuarai olimpiade sains, baik
ditingkat nasional maupun internasional. Bahkan, ada pelajar Indonesia yang
berhasil menjadi juara umum dalam International Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuan Muda se-Dunia yang
diikuti ratusaan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada 12-17 April 2010.
Manakala
Indonesia dikatakan oleh banyak pihak sebagai negara yang soft nationdan
rapuhnya moral anak bangsa, pendidikan dituding gagal dalam menciptakan sumber
daya manusia berkualitas. Institusi-institusi pendidikan terutama
sekolah-sekolah dinilai gagal memenuhi tujuan pendidikan.
Kegagalan
pendidikan di Indonesia menghasilkan manusia yang berkarakter diperkuat oleh
pendapat I Ketut Sumarta dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan yang
Memekarkan Rasa”. Dalam tulisannya, Ketut Sumarta mengungkapkan bahwa
pendidikan nasional kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan
berpikir dan menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan
kecerdasan batin. Dari sini lahirlah manusia-manusia yang berotak pintar,
manusia yang berprestasi secara kuantitatif akademik, tetapi tidak berkecerdasan
budi sekaligus sangat bertentangan tidak mandiri[2].
Dalam dunia
pendidikan, terdapat tiga ranah yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu ranah
kognitif, afektif, dan psikomotrik. Ranah kognitif berorientasi pada ilmu
pengetahuan dan teknlogi, ranah afektif berkaitan dengan (sikap) attitude, moralitas,
spirit, dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan
keterampilan bersifat procedural dan cenderung mekanis.
Dalam
realitas pembelajaran di sekolah, usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah
tersebut memang selalu diupayakan, tetapi pada kenyataannya yang dominan adalah
ranah kognitif, kemudian psikmotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan
kemampuan bersifat hard skill, tetapi miskin soft
skill karena ranah afektif terabaikan. Gejala ini tampak pada output pendidikan
yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pintar, juara kelas, tetapi miskin
kemampuan membangun relasi, kurang mampu berinteraksi dan bekerjasama,
cenderung egois serta menjadi pribadi yang tertutup.
Padahal,
pendidikan pada esensinya merupakan sebuah upaya membangun kecerdasan manusia,
baik kecerdasan kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Oleh karena itu,
pendidikan secara terus menerus dibangun dan dikembangkan agar menghasilkan
generasi yang unggul; unggul dalam ilmu, iman dan amal. Ada pepatah mengatakan,
“Jika engkau ingin melihat masa depan suatu bangsa, lihatlah kondisi generasi
penerusnya hari ini ”. Dengan demikian, pembentukan karakter terbaik pada anak
menjadi hal yang sangat penting karena anak merupakan generasi penerus yang
akan melanjutkan eksistensi bangsa. Berbagai pendapat dari banyak pakar
pendidikan anak, menyatakan bahwa terbentuknya karakter kpribadian manusia
ditentukan oleh factor nature dan nurture,
dan tidak ada kata terlambat dalam membentuk karakter anak bangsa.
Bangsa
Indonesia pasti tidak ingin menjadi bangsa yang tertinggal dan terbelakang.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk kemajuan dan memperbaiki kualitas
bangsa, seperti, pembaharuan kurikulum, peningkatan anggaran, atau standarisasi
kompetensi pendidikan. Namun, usaha tersebut dirasa masih belum mencapai hasil
yang diharapkan sesuai tujuan pendidikan itu sendiri. Tingginya biaya sekolah,
buruknya fasilitas-fasilitas sekolah di daerah-daerah pelosok, minimnya
kesejahteraan dan kualitas guru, melengkapi masalah bangsa ini.
Guna
menghadapi kecanggihan teknologi dan komunikasi yang terus berkembang,
perbaikan sumber daya manusia juga perlu terus diupayakan untuk membentuk
manusia yang cerdas, terampil, mandiri dan berakhlak mulia. Berbagai wacana pun
santer disebarkan. Salah satuya adalah wacana pendidikan karakter yang dianggap
mampu memberikan jawaban atas kebuntuan permasalahan dalam sistem pendidikan.
Kita
sebenarnya sudah terlambat dalam menerapkan pendidikan karakter, tetapi lebih
baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa percuma
menerapkan pendidikan karakter karena negara kita sudah terlanjur banyak
korupsi. Pemikiran tersebut merupakan pemikiran yang terlalu
pesimis. Masih banyak generasi muda kita yang duduk di bangku sekolah dan
dengan butuh pendidikan karakter agar di masa depan menjadi manusia yang tidak
hanya cerdas secara intelektual saja, tapi juga karakter. Dan lembaga
pendidikan diharapkan dapat menjadi motor penggeraknya serta guru diharapkan
menjadi peran utamanya.
Lembaga
pendidikan dan lembaga-lembaga sosial lainnya di Indonesia memiliki beban yang
sangat berat dalam menghadapi pelemahan nilai, pelemahan moral dan orientasi
kebangsaan seperti masalah cinta tanah air, ikatan kebangsaan, solidaritas
kebangsaan jatidiri bangsa dan lebih luas lagi dalam membela martabat dan
kedaulatan bangsa di tengah berbagai ekspansi nilai-nilai luar yang memperlemah
kebangsaan.
Menurut
William Bernnett (1991), sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang
memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak (character
building). Apalagi , bagi anak didik yang tidak mendapatkan pendidikan
karakter sama sekali di lingkungan dan keluarga mereka. Oleh karena itu, peran
dan kontribusi guru sangat dominan karena anak didik sangat membutuhkan
bimbingan sebab anak belum siap menghadapi problem yang terjadi di lingkungan
masyarakat. Sebagai sebuah lembaga, sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk
mendidik anak agar pintar, cerdas, serta memiliki karakter positif sebagaimana
diharapkan setiap orang tua. Namun sekarang ini, banyak orang tua mengeluh
bahwa pendidikan karakter di sekolah telah diabaikan[3]. Tampaknya, hal tersebut disebabkan
gagasan pendidikan karakter masih berada dalam wilayah konsep semata yang
terletak dibenak para pendidik dan pemerhati pendidikan serta hanya menjadi
komoditas isu pendidikan yang menjadi wacana[4]. Sekolah harus merespon kenyataan
tersebut dengan membumikan gagasan pendidikan karakter, yaitu dengan
mengimplementasikan atau menerapkan gagasan pendidikan karakter melalui
berbagai strategi untuk membentuk peserta didik yang berkarakter.
Tanpa
karakter yang positif, seseorang dengan mudah melakukan sesuatu apa pun yang
dapat menyakiti atau menyengsarakan orang lain. Oleh karena itu, kita perlu
membentuk karakter untuk mengelola diri dari hal-hal yang negative. Karakter
yang terbangun diharapkan akan mendorong setiap manusia untuk mengerjakan
sesuatu sesuai dengan suara hatinya.
Pendidikan
secara filosofis merupakan satu kesatuan dengan kehidupan, yang menunjukan
proses bagaimana manusia mengenal diri dengan segenap potensi yang dimilikinya
dan memahami apa yang tengah dihadapinya dalam realitas kehidupan nyata (Suyanto,
2006: ix).
Pendidikan adalah
proses yang memanusiakan manusia[5] yang terus-menerus dialami
sepanjang hayat. Pendidikan mencakup segala aspek keseharian saat seseorang
belajar, mengamati, mendengarkan, membaca, menonton, bekerja dan lain
sebagainya.
Pendidikan
karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu
individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan
bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Menurut
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan pada Pasal 3, yang
berbunyi pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Berdasarkan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang
harus dilaksanakan secara sistematis. Hal ini berkaitan dengan pembentukan
karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan
santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Meninjau
dari fungsi pendidikan itu sendiri dan dilihat dari permasalahan yang ada,
sebenarnya hal tersebuat merupakan asal-usul adanya kurikulum 2013 atau
disingkat dengan K13.
Pendidikan
karakter di Indonesia sudah diterapkan oleh beberapa sekolah atau lembaga
pendidikan. Salah satunya system Bourding School atau memadukan antara sekolah
dan pesantren.
Selain itu,
untuk yang hanya sekolah saja. Sekolah membuat program sendiri tentang
pendidikan karakter mulai dari kultur sekolah, ekstrakulikuler yang dapat
membangun karakter anak bangsa seperti pramuka.
[2] A.Qodri Azizy. Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam,
Persiapan SDM, dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar. 2004) hal. 26
[4] Departemen Agama, Kendali Mutu. Pendidikan Agama Islam (Jakarta : Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 2001) hal. 10
[8] Pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk
membantu memahami manusia, peduli dan inti atas nilai-nilai etis/susila. Dimana
kita berpikir tentang macam -macam karakter yang kita inginkam untuk anak kiat,
ini jelas bahwa kita ingin mereka mampu untuk menilai apa itu kebenaran, sangat
peduli tentang apa itu kebenaran/hak -hak, dan kemudian melakukan apa yang
mereka percaya menjadi yang sebenarnya, bahkan dalam menghadapi tekanan dari
tanpa dan dalam godaan
[12] Abdul Majid. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam (Bandung : Remaja
Rosdakarya. 2010) hal.27
[14] Ari Ginanjar Agustian. Rahasia Membangkitkan Emosional Spiritual
Quetiont Power (Jakarta : Arga. 2006) hal.86
[15] Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab