Rabu, 29 Juni 2016

Contoh Surat Lamaran Pekerjaan

Metro, 2 Desember 2015

Kepada Yth :
KEPALA HRD PT INTINUSA PERMATA
Di Tanjungan


Perihal : Lamaran Kerja

Dengan Hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama                           : Rifqy Afifah Qomar, S.Hut
Tempat, tanggal lahir  : Metro, 2 Maret 1991
Jenis Kelamin              : Perempuan
Pendidikan terakhir     : S1 Kehutanan

Alamat                       : Jl. KH. Dewantara No.116 RT.025/RW.011 Kelurahan Iringmulyo, Kecamatan Metro Timur, Lampung  
Telepon                       : 082179365668

Mengajukan diri untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang Bapak/Ibu pimpin. Untuk melengkapi beberapa data sebagai bahan pertimbangan Bapak/Ibu, saya lampirkan juga kelengkapan data diri sebagai berikut :

  1. Pas Foto 4 x 6 Berwarna.                                                        2 Lembar
  2. Foto copy KTP.                                                                      1 Lembar
  3. Surat Lamaran Kerja.                                                              1 Lembar
  4. Daftar Riwayat Hidup (Curicullum Vitae).                            1 Lembar
  5. Foto copy Transkrip Nilai (Legalisir).                                  1 Lembar
  6. Foto copy Ijazah (Legalisir).                                                   1 Lembar

Demikian surat lamaran ini dibuat sebenarnya dan atas perhatian serta kebijaksanaan Bapak/Ibu Pimpinan saya mengucapkan terimakasih.

Hormat Saya,



Rifqy Afifah Qomar, S.Hut




Kebijakan Agroforestri

Idealnya kebijakan agroforestri dikeluarkan secara bersama oleh Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan dan Kelautan. Kebijakan makro untuk pengembangan agroforestri harus diwadahi oleh kebijakan lintas sektoral yang pengembangannya nanti secara teknis dapat diterjemahkan oleh masingmasing departemen sesuai dengan wilayah kerja, teknologi dan sistem produksi yang akan dikembangkan dengan dukungan agroforestri.
Pengembangan kebijakan agroforestri seharusnya memperhatikan aspek-aspek kelembagaan, aspek ekonomi dan pemasaran serta aspek konservasi dan pelestarian hutan dan lingkungannya tanpa mengabaikan kondisi sosial dan budaya setempat.

Kebijakan di sektor kehutanan
Sejauh ini kebijakan pemerintah yang cukup menarik dalam mendukung pengembangan agroforestri yang adalah penetapan kawasan wilayah di dalam wilayah hutan negara sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KDTI) di Krui, Lampung. Masyarakat di daerah ini telah mengusahakan kebun damar secara turun temurun di kawasan hutan adat yang juga merupakan hutan negara. Model agroforestri di sini adalah agroforestri tradisional, asli dan lokal tidak dikembangkan oleh pihak luar. Karena masyarakat merasa keberatan kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan negara maka dengan SK Menteri Kehutanan No. 47/Kpts-II/1998 ditetapkanlah areal seluas 29.000 ha sebagai KDTI. Walaupun tanah masih milik negara, ada pengakuan pemerintah akan model pengelolaan yang dibangun masyarakat sendiri yang memadukan upaya peningkatan pendapatan dengan pengelolaan sumber daya hutan yang lestari. Kebijakan ini sangat mendukung dan memberikan insentif yang menarik bagi masyarakat untuk tetap mempertahankan kawasan tersebut dengan memberikan hasil ganda: ekonomi dan ekologis.
Di sektor kehutanan, pemerintah juga pernah mengeluarkan kebijakan untuk pengembangan tanaman pohon serbaguna (Multi Purpose Tree Species=MPTS) dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan.
Di sektor kehutanan khususnya di Jawa pemerintah melalui Perum Perhutani telah mengembangkan kebijakan pola tanam jati dengan tanaman pangan dalam sistem tumpang sari.
Pada tahun 1990 Perum Perhutani mengeluarkan pedoman agroforestri dalam program perhutanan sosial dengan Surat Keputusan Direksi Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) No. 671/KPTS/DIR/1990. Agroforestri dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program perhutanan sosial yang dapat menyatukan kepentingan kehutanan dan masyarakat sekitar hutan khususnya Kelompok Tani Hutan (KTH). Kebijakan Perum Perhutani sebenarnya sangat mendukung pengembangan agroforestri secara teknis, namun kelemahan utamanya adalah pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Agroforestri di kawasan milik perhutani bekembang bagus sedangkan di lahan milik rakyat cenderung sangat terbatas.
Misalnya pada model pengembangan HTI di kawasan Timur Indonesia oleh Perum Perhutani Jawa Timur pada tahun 1980-an – 1990-an Secara teknis model dan teknologi yang dikembangkan bagus sekali. Tetapi HTI kemudian dikritik karena persoalan-persoalan tata guna lahan, konflik kepemilikan lahan dan status lahan hutan yang dikelola. Partisipasi masyarakat hanya sebagai buruh. HTI kemudian berubah menjadi HKM (Hutan Kemasyarakatan) pada tahun 1996, namun kenyataannya cara pendekatan masyarakat tidak berubah. Sebetulnya dari segi teknologi, kehutanan dan agroforestri sangat potensial untuk membangun kerjasama antara masyarakat dan perum perhutani.
Kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (Collaborative forest Management) atau berbasis masyarakat (Community based forest management) telah banyak didiskusikan dan dikembangkan oleh berbagai pihak. Akhir-akhir ini pemerintah memusatkan perhatiannya pada perhutanan sosial (social forestry) sebagai payung dari semua pengelolaan yang berorientasi pada pembangunan hutan masyarakat, bersama masyarakat atau oleh masyarakat maupun yang bersifat kerjasama antara pemerintah dan masyarakat, swasta dengan masyarakat, atau LSM dengan masyarakat, maupun antara semua pihak tersebut dalam pengelolaan hutan kolaboratif.
Di sektor kehutanan kebijakan yang mendukung pengembangan agroforestri  sangat besar peluangnya dalam kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat, apakah itu dalam bentuk perhutanan sosial dengan turunannya seperti hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Gambar 4 di atas memperlihatkan peluang pengembangan agroforestri dalam empat kelompok kebijakan yang berorientasi kepada yang bisa diusulkan kepada pemerintah.
Di sektor kehutaan perhutanan sosial adalah seluruh model pengelolaan yang melibatkan peran serta masyarakat yang dapat dilakukan dalam kerjasama dengan semua pihak. Perhutanan sosial adalah melibatkan semua elemen sosial (artinya bisa masyarakat, lembaga adat, swasta, LSM atau masyarakat madani serta pemerintah sendiri). Di Departemen Kehutanan Perhutanan Sosial dibedakan ke dalam Hutan Kemasyarakatan (Diselenggarakan di kawasan hutan milik negara) dan Hutan Rakyat (Diselenggarakan dalam hutan atau lahan milik perorangan). Pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih menyukai penggunaan istilah Kehutanan Masyarakat (KM). Apapun namanya model pengelolaan hutan seperti ini memberi peluang untuk pengembangan agroforestri di dalamnya, yang menjadi persoalan adalah bagaimana pemerintah bisa mendukung dengan kebijakan yang memadai.
Perhutanan sosial menjadi payung dari Hutan Kemasyarakatan (HKM), kehutanan masyarakat (KM), hutan rakyat, hutan tanaman industri yang dikembangkan bersama masyarakat, wanatani dan sebagainya.

Kebijakan di sektor pertanian dan subsektornya
Kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang penting sejauh ini adalah upaya pengembangan budidaya lorong yang memungkinkan upaya pembangunan pertanian melalui konservasi tanah dan air. Kebijakan ini sudah dikeluarkan sejak akhir tahun 1980-an, namun hanya dalam bentuk petunjuk teknis
Di Departemen Pertanian, agroforestri belum mendapat perhatian serius untuk diwadahi dalam kebijakan di tingkat pusat. Belum ada peraturan perundangan, pedoman petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang berkaitan dengan agroforestri.
Memang ada beberapa pemikiran dasar yang menarik khususnya tentang otonomi daerah. Menurut Deptan persoalan otonomi daerah tidak begitu meresahkan bagi Deptan dibandingkan dengan Dephut karena urusan otonomi sudah dirintis sejak lama. Kewenangan dan hak untuk pengembangan agroforestri sebaiknya diserahkan kepada kebijakan daerah karena daerah yang “mempunyai wilayah” dan menguasai persoalan lokal. Deptan sudah memberikan kewenangan kepada daerah sejak tahun 1950-an dan pada tahun 1970-an memberikan kewenangan beberapa urusan kepada daerah dalam bidang tertentu. Deptan berpikir bahwa urusan wanatani adalah kewenangan dan kemampuan teknis Dephut. Namun tidak ada kebijakan tentang agroforestri dalam Dephut.
Pengembangan agroforestri lintas sektoral menjadi sulit karena masing-masing sektor jalan sendiri. Pertanian dan kehutanan perlu bersatu dalam membantu petani dan lingkungan. Di lapangan, petani berbasis hutan tidak mendapat penyuluhan dari Departemen/Dinas Pertanian dan sebaliknya petani dengan sistem produksi berbasis pertanian tidak disentuh oleh Dephut dan jajaran di bawahnya.
Ada beberapa peluang yang bisa dikembangkan. Kita dapat membuat analisis tentang peluang pengembangannya dan memberikan rekomendasi tentang kebijakan yang mungkin bisa dilakukan. Di tingkat menteri bisa dikeluarkan pedoman (SK Menteri) sedangkan juklak dan juknis dapat dikeluarkan oleh Dirjen (SK Dirjen) berdasarkan masukan dari Badan Libtang Pertanian dan instansi teknis di daerah atau di lapangan. Dirjen-Dirjen di Deptan mempunyai kewenangan tersendiri tergantung bidangnya (Bina Produksi Peternakan, Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, Bina Sarana Pertanian, Bina Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian).
Peluang pengembangan agroforestri ada di Ditjen Bina Produksi Peternakan, Tanaman Pangan, Horti dan Perkebunan). Undang-undang di bidang pertanian kebanyakan belum diubah. Deptan masih mengacu kepada beberapa Undangundang: Undang-undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Pertanian, Undang-undang No. 16/1967 tentang Peternakan (yang saat ini sedang direvisi), Undang-undang Pokok Agraria No. 5/1960 yang sedang direvisi oleh pihak masyarakat madani (civil society) dan banyak diperdebatkan. Undangundang perkebunan masih dalam tahap RUU (Rancangan Undang-Undang) dan sedang dibahas. Deptan juga mengacu kepada UU Pokok Kehutanan No 41/1999 dan PP turunannya (PP34 dan PP35 tahun 2002) untuk pengelolaan pertanian di daerah yang menjadi jurisdiksi atau wilayah kekuasaan departemen kehutanan.
Pihak Departemen Pertanian memberikan peluang kepada berbagai pihak yang bisa memberikan masukan aspek-aspek agroforestri yang mungkin dimasukkan ke dalam rancangan undang-undang peternakan dan perkebunan yang sedang disusun. Pengembangan peternakan (khususnya tanaman pakan ternak) dan perkebunan mempunyai peluang untuk menerapkan agroforestri. Salah satu kemungkinan di perkebunan adalah memberikan kewajiban bagi pengusaha perkebunan swasta seperti perkebunan kelapa sawit misalnya untuk mengembangkan ternak di kebun sawit.
Kebijakan di sektor perikanan dan kelautan
Kebijakan di Sektor Perikanan dan kelautan sangat diperlukan untuk mendukung pengembangan agroforestri yang berkaitan dengan silvofishery. Hampir semua pulau di Indonesia mempunyai areal hutan bakau di kawasan pantai yang sudah banyak dikonversi menjadi kawasan pertambakan.
Pengembangan tambak ikan di daerah bakau merupakan kebiasaan tradisional dan kini sudah dimodifikasi, antara lain dalam model pengembangan empang parit yang dikembangkan di Jambi Sumatera. Konservasi dan pengembangan hutan bakau berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan melalui BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) yang menyelenggarakan tugas dekonsentrasi pemerintah pusat. BRLKT kini telah berubah fungsi menjadi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan mempunyai tugas bukan hanya rehabilitasi kawasan pantai atau pegunungan tetapi juga seluruh DAS. Disini ada peluang untuk memasukkan kebijakan dan kewajiban bagi lembaga ini untuk mengembangkan model agroforestri tergantung pada ekosistem yang akan diperbaiki.
Kebijakan pengembangan perikanan menjadi kewenangan atau tugas Departemen Perikanan dan Kelautan. Harus diakui bahwa kebanyakan daerah (ekosistem) bakau sudah rusak atau dikonversi menjadi kawasan pertambakan. Koordinasi dan kerjasama antara Dapartemen Kehutanan dan Perikanan menjadi kebutuhan yang cukup mendesak pada saat ini. Pihak Departmen Perikanan dan Kelautan mengungkapkan kerusakan ekosistem ini dan perlu direhabilitasi tetapi kewenangan ada di Departemen Kehutanan.

Selasa, 28 Juni 2016

Pengertian Burung

Burung adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Fosil tertua burung ditemukan di Jerman dan dikenal sebagai Archaeopteryx.
Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari burung kolibri yang kecil mungil hingga burung unta, yang lebih tinggi dari orang. Diperkirakan terdapat sekitar 8.800 – 10.200 spesies burung di seluruh dunia; sekitar 1.500 jenis di antaranya ditemukan di Indonesia. Berbagai jenis burung ini secara ilmiah digolongkan ke dalam kelas Aves.
Kebanyakan burung harus makan makanan sekurang-kurangnya setengah dari berat badan mereka setiap hari.
Burung telah memberikan manfaat luar biasa dalam kehidupan manusia. Beberapa jenis burung, seperti ayam, kalkun, angsa dan bebek telah didomestikasi sejak lama dan merupakan sumber protein yang penting; daging maupun telurnya.
Burung hidup dan berkembangbiak pada sebagian besar habitat darat dan pada tujuh benua, hingga mencapai koloni ekstrim mereka pada koloni perkembangbiakan Petrel Salju hingga pada ketinggian 440 kilometer (270 mil) di pedalaman Antartika.[2] Diversitas tertinggi burung terdapat di wilayah tropis. Ini juga sudah dipikirkan sebelumnya bahwa keragaman tertinggi burung adalah hasil dari tingkat spesiasi di daerah tropis, bagaimanapun studi terbaru menemukan spesiasi tingkat tertinggi di lintang tinggi yang diimbangi dengan tingkat kepunahan lebih besar daripada di daerah tropis.[3] Beberapa familia burung telah beradaptasi terhadap kehidupan baik di lautan dunia dan pada diri mereka, dengan beberapa spesies burung laut datang ke darat hanya untuk berkembangbiak[4] dan beberapa penguin telah tercatat menyelam hingga kedalaman 300 m (980 kaki).[5]
Banyak spesies burung yang telah membangun populasi perkembangbiakan di wilayah mereka yang diintroduksi oleh manusia. Beberapa introduksi memang disengaja; contohnya Puyuh Biasa, diintroduksi ke seluruh dunia sebagai burung buruan.[6] Yang lain karena ketidaksengajaan, seperti pembentukan populasi Parkit Pendeta liar di beberapa kota di Amerika Utara setelah pelarian mereka dari penangkaran.[7] Beberapa spesies, termasuk Kuntul Kerbau,[8] Karakara Kepala-kuning[9] dan Kakatua Galah,[10] memiliki telah menyebar secara alami melampaui rentang asli mereka sebagai praktek agrikultural yang membuat habitat baru mereka yang sesuai.
Sebagian besar burung menempati berbagai lokasi dalam ekologi. Sementara beberapa burung umum yang lain menempati tempat yang sangat khusus di habitatnya atau berdasarkan dimana letak jenis makanannya berada. Bahkan di dalam sebuah habitat tunggal, seperti hutan, area ini bisa ditempati oleh berbagai jenis burung yang bervariasi, dengan beberapa spesies hidup dalam hutan kanopi, beberapa di bawah kanopi itu sendiri, serta beberapa yang lainnya dalam dalam hutan itu sendiri. Burung yang hidup di sekitar perairan umumnya mencari makanan dengan memancing, memakan tanaman, dan membajak makanan hewan lain. Burung pemangsa mengkhususkan diri pada berburu hewan atau burung lain.

Macam-macam burung

  • Anis merah
  • Anis Kembang
  • Ayam
  • Branjangan
  • Cendana
  • Burung Cenderawasih
  • Cendet
  • Cucak Rawa
  • Decu
  • Elang alap jambul
  • Elang bondol
  • Burung Jalak
  • Kacer
  • Burung Kakatua
  • Kenari
  • Love Bird
  • Burung Merak
  • Merbah
  • Burung Merpati
  • Burung Murai Batu
  • Burung Murai Daun/Cucak ijo
  • Burung Perkukut
  • Burung Perenjak Jawa
  • Pinguin
  • Burung Punai
  • Tledekan atau sulingan
Indonesia menjadi pemilik dari 1.594 jenis spesies burung dan menjadi negara ke lima terbesar dunia dari 10.000 jenis satwa itu yang kini berkembang biak.[11] Hanya saja populasi yang banyak itu kini terancam punah akibat rusaknya habitat mereka yang menjadi tempat berkembang biak dan mencari makanan. Kini lima puluh persen jenis burung di dunia terancam punah karena habitatnya terusik kegiatan manusia.[11]
Semisal, jenis-jenis merpati hutan (Columba sp.), uncal (Macropygia sp.), delimukan (Chalcopaps sp. dan Gallicolumba sp. ), pergam (Ducula sp.), dan walik (Ptilinopus sp.) merupakan keluarga merpati yang memiliki ketergantungan sangat tinggi dengan habitat hutan.[11]
·  ^ Newton, Ian (2003). The Speciation and Biogeography of Birds. Amsterdam: Academic Press. hlm. 463. ISBN 0-12-517375-X.
·  ^ Brooke, Michael (2004). Albatrosses And Petrels Across The World. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-850125-0.
·  ^ Weir, Jason T.; Schluter, D (March 2007). "The Latitudinal Gradient in Recent Speciation and Extinction Rates of Birds and Mammals". Science 315 (5818): 1574–76. doi:10.1126/science.1135590. ISSN 0036-8075. PMID 17363673.
·  ^ Schreiber, Elizabeth Anne (2001). Biology of Marine Birds. Boca Raton: CRC Press. ISBN 0-8493-9882-7.
·  ^ Sato, Katsufumi; N; K; N; W; C; B; H et al. (1 May 2002). "Buoyancy and maximal diving depth in penguins: do they control inhaling air volume?". Journal of Experimental Biology 205 (9): 1189–1197. ISSN 0022-0949. PMID 11948196.
·  ^ Hill, David (1988). The Pheasant: Ecology, Management, and Conservation. Oxford: BSP Professional. ISBN 0-632-02011-3.
·  ^ Spreyer, Mark F. (1998). "Monk Parakeet (Myiopsitta monachus)". The Birds of North America. Cornell Lab of Ornithology. doi:10.2173/bna.322.
·  ^ Arendt, Wayne J. (1 January 1988). "Range Expansion of the Cattle Egret, (Bubulcus ibis) in the Greater Caribbean Basin". Colonial Waterbirds 11 (2): 252–62. doi:10.2307/1521007. ISSN 07386028.
·  ^ Bierregaard, R.O. (1994). "Yellow-headed Caracara". di dalam Josep del Hoyo, Andrew Elliott and Jordi Sargatal (eds.). Handbook of the Birds of the World. Volume 2; New World Vultures to Guineafowl. Barcelona: Lynx Edicions. ISBN 84-87334-15-6.
·  ^ Juniper, Tony (1998). Parrots: A Guide to the Parrots of the World. London: Christopher Helm. ISBN 0-7136-6933-0.
·  ^ a b c "Populasi Burung di Indonesia Lima Besar Dunia". Indonesia Berprestasi.


Peran RTH Sebagai Habitat Burung

Berdasarkan rapat Teknis Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Jakarta pada bulan Februari 1991, dinyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu lahan yang tumbuh pohon-pohonan di dalam wilayah perkotaan di dalam tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkun...gan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid merupakan ruang terbuka hijau, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai Taman Kota atau Hutan Kota.

Kota merupakan salah satu bagian paling penting dalam kehidupan manusia, mengingat kota sebagai pusat berbagai aktivitas.banyaknya masyarakat yang melakukan berbagai aktivitas membuat mereka kadang kala jenuh ataupun stress, Dengan demikian untuk mengurangi itu semua di butuhkan suasana nyaman dan asri, maka perlu dibangun hutan kota. Desiran angin, kicauan burung dan atraksi satwa lainnya di dalam hutan kota diharapkan dapat menghalau kejenuhan dan stress yang banyak dialami oleh penduduk perkotaan.

Pada prinsipnya burung dapat berdampingan hidup dengan masyarakat kota asalkan syarat kebutuhan hidupnya terpenuhi, seperti habitat yang memadai dan aman dari berbagai bentuk gangguan. Mengingat begitu besar manfaat burung baik dari lingkungan dan ekonomi, sudah sewajarnya perlu diwujudkan upaya pelestariannya. Upaya tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab pakar burung semata tetapi semua lapisan masyarakat termasuk masyarakat perkotaan.

Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan, tempat untuk istirahat, bermain, kawin, bersarang, bertengger dan berlindung. Kemampuan areal menampung burung ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk areal serta keamanan.

Komposisi dan struktur vegetasi juga mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat di suatu habitat. Hal ini disebabkan karena tiap jenis burung mempunyai relung yang berbeda. Dengan memperbanyak jenis vegetasi dan mengatur komposisinya dimungkinkan burung mudah menentukan relungnya.

Jenis tanaman yang beragam dapat menyediakan lebih beragam pula sumber-sumber makanan bagi burung, berupa serangga, buah, ataupun nectar. Sebagai implikasinya, pemilihan tanaman dengan waktu berbuah ataupun berbunga yang berbeda akan lebih baik dalam penyediaan sumber makanan bagi burung.

Ekosistem yang lebih beragam lebih mampu mendukung kebutuhan burung karena mempunyai komponen yang lebih lengkap. Misalnya, perpaduan antara ekosistem air ( kolam, danau, sungai ), padang rumput, hutan dan pekarangan lebih baik daripada hanya hutan, hanya air, atau hanya padang rumput saja.

Dasar pemikiran kota sebagai salah satu objek pelestarian burung adalah
1. Adanya kebutuhan manusia yang semakin meningkat terhadap sumberdaya alam (termasuk burung) seiring dengan pertambahan laju manusia.
2. Akibat penggunaan sumberdaya alam (termasuk burung) oleh manusia yang kurang memperhatikan aspek kelestariannya menyebabkan terjadinya penyempitan maupun perusakan habitat alami burung yang menyebabkan merosotnya populasi burung di alam.
3. Burung sebagai komponen ekosistem alam memiliki peranan penting dan sangat bermanfaat bagi manusia.
4. Pada prinsipnya burung dapat hidup berdampingan dengan manusia sepanjang kebutuhan hidupnya terpenuhi.
5. Kota memiliki potensi pendukung bagi pelestarian burung.

Salah satu bentuk pola pembinaan habitat burung dikawasan pemukiman / RTH sebagai berikut:
1. Pemilihan spesies tumbuhan yang akan dikembangkan.
2. Kelompok sasaran.
3. Upaya menciptakan koridor bervegetasi.
4. Upaya mencegah perburuan burung.
5. Pembuatan sarang buatan dan penglepasan berbagai jenis burung.

Salah satu satwa liar yang dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Burung perlu dilestarikan, mengingat mempunyai manfaat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat, antara lain :
1. Membantu mengendalikan serangga hama,
2. Membantu proses penyerbukan bunga,
3. Burung memiliki suara yang khas yang dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan,
4. Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi rekreasi,
5. Sebagai sumber plasma nutfah,
6. Objek untuk pendidikan dan penelitian.

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG PADA HABITAT PERKEBUNAN KARET DAN SAWIT DI DESA BUMI HARJO KECAMATAN KETAHUN KABUPATEN BENGKULU UTARA


Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Indonesia
menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati dunia, sehingga
dikenal sebagai salah satu negara yang dijuluki negara maha-anekaragam
(megabiodiversity country). Salah satu kelompok hewan yang beranekaragam itu adalah
burung. Burung merupakan salah satu bagian penting dari keanekaragaman hayati,
dimana burung adalah mahkluk hidup yang bisa dijadikan indikator yang bagus untuk
perubahan ekologi lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
kekayaan jenis burung pada habitat perkebunan karet dan sawit dan perbedaan kekayaan
jenis burung pada kedua habitat tersebut.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penggunaan jala-kabut dan
penghitungan jenis menurut waktu yang ditentukan (Timed spesies counts – TSCs). Pada
metode penggunaan jala-kabut, burung yang telah tertangkap dicatat jenis dan
jumlahnya serta diberi tanda dengan cat berwarna agar burung yang tertangkap kembali
tidak tercatat jenisnya tetapi hanya dicatat jumlahnya. Sedangkan penghitungan jenis
menurut waktu yang ditentukan, burung dicatat jenisnya saja. Hasil dari kedua metode
tersebut dianalisis datanya.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kekayaan jenis burung yang terdapat
pada perkebunan karet dan sawit sebanyak 22 jenis burung yang termasuk kedalam 15
famili. Perkebunan karet terdapat 21 jenis burung yang termasuk kedalam 14 famili dan
perkebunan sawit terdapat 17 jenis burung yang teramasuk kedalam 12 famili. Indeks
keanekaragaman jenis burung pada perkebunan karet (0.68) lebih besar daripada
perkebunan sawit (0.27). Indeks kesamaan jenis burung pada perkebunan karet dan
perkebunan sawit sebesar 84,21 %.
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Peneliti menyarankan untuk
dapat melakukan penelitian yang sama di perusahaan perkebunan karet dan sawit serta
menggunakan jala-kabut (mist net) dengan ukuran yang lebih panjang.
(Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Bengkulu)