Senin, 22 Oktober 2018

Jurnal Ilyas Rozak Hanafi


MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER PELAJAR MELALUI
PEMBENTUKAN REVOLUSI MENTAL

Ilyas Rozak Hanafi
Dosen STAI Ma`arif Kalirejo Lampung Tengah

PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu negara yang tengah dilanda krisis multidimensi yang berkepanjangan. Ketika Negara - negara lain (Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan lain - lain) telah bangkit dengan segera setelah mengalami krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997, Indonesia sampai saat ini masih terus mengalami krisis, dan masih kelihatan suram untuk bangkit dari keterpurukan. Krisis ini sebenarnya mengakar pada menurunnya kualitas moral bangsa atau lemahnya mentalitas dan hancurnya karakter generasi muda.
Tantangan globalisasi yang ada di hadapan kita merupakan hal yang tak bisa diingkari. Revolusi teknologi, transportasi, informasi, dan komunikasi menjadikan dunia ini tanpa batas. Kita bisa mengetahui sesuatu yang terjadi di belahan benua lain dalam hitungan detik melalui internet dan lain - lain.
Pengetahuan dan teknologi menjadi garda depan yang harus diprioritaskan dalam era globalisasi. Jepang, Singapura, Malaysia, Korea Selatan sudah berlari tunggang langgang untuk mengejar ketertinggalan dan mengubah diri tidak hanya sebagai penonton pasif, tapi juga aktor kreatif yang ikut dalam proses kompetensi ketat globalisasi.
Globalisasi memberi peluang bagi siapa saja yang mau dan mampu memanfaatkannya, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan manusia lainnya[1]. Kata kunci globalisasi adalah kompetensi[2]. Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia sendiri disaat semua Negara berpacu dan berlomba membuat teknologi secanggih mungkin untuk mengimbangi globalisasi, Indonesia malah sibuk dengan permasalahan dan semakin terpuruk.
Globalisasi sudah menembus semua penjuru dunia, bahkan sampai daerah terpencil sekalipun, masuk ke rumah - rumah, membombardir pertahanan moral dan agama, sekuat apa pun dipertahankan.
Televisi, internet, koran, handphone, dan lain - lain adalah media informasi dan komunikasi yang berjalan dengan cepat, menggulung sekat-sekat tradisional yang selama ini dipegang sekuat - kuatnya.
Moralitas menjadi melonggar. Sesuatu yang dulu dianggap tabu, sekarang menjadi biasa - biasa saja. Cara berpakaian, berinteraksi dengan lawan jenis, menikmati hiburan di tempat - tempat special dan menikmati narkoba menjadi tren dunia modern yang sulit ditanggulangi. Globalisasi menyediakan seluruh fasilitas yang dibutuhkan manusia, positif maupun negative. Banyak manusia terlena dengan menuruti semua keinginannya, apalagi memiliki rezeki melimpah dan lingkungan kondusif.
Akhirnya, karakter bangsa berubah menjadi rapuh, mudah diterjang ombak, terjerumus dalam tren budaya yang melenakan, dan tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan. Prinsip - prinsip moral, budaya bangsa, dan perjuangan hilang dari karakteristik mereka. Inilah yang menyebabakan dekadensi moral serta hilangnya kreativitas dan produktivitas bangsa. Sebab, ketika karakter suatu bangsa rapuh maka semangat berkreasi dan berinovasi dalam kompetensi yang kekat akan mengendur, dan mudah dikalahkan oleh semangat konsumerisme, hedonism, dan pesimisifisme yang instan dan menenggelamkan.
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat Ali Ibrahim Akbar, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill)[3]. Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang - orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Melihat masyarakat Indonesia sendiri juga lemah sekali dalam penguasaan soft skill.
Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi membuat sebuah gebrakan dalam masa pemerintahannya yaitu tentang Revolusi Mental, khususnya revolusi mental dalam dunia pendidikan. Karena pendidikan adalah awal dari generasi muda yang berkarakter. Program ini diharapkan mampu mengubah dan membenahi karakter bangsa Indonesia. Namun, saat ini revolusi mental ini sedang menjadi sorotan dan menjadi pertanyaan khalayak umum.








PEMBAHASAN

A.      Pendidikan Karakter Pelajar
Pendidikan merupakan suatu sistem  yang teratur dan mengemban misi yang cukup luas yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial sampai kepada masalah kepercayaan atau keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal mempunyai suatu muatan beban yang cukup berat dalam melaksanakan misi pendidikan tersebut. Lebih - lebih kalau dikaitkan dengan pesatnya perubahan zaman dewasa ini yang sangat berpengaruh terhadap pelajar dalam berfikir, bersikap dan berperilaku, khususnya terhadap mereka yang masih dalam tahap perkembangan dalam transisi yang mencari identitas diri[4].
1.         Pengertian Pendidikan Karakter
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah, bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak sedangkan pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina, kepribadiannya sesuai dengan nilai - nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Karakter merupakan nilai - nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dalam perkembangannya , istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang  atau kelompok lain agar menjadi dewasa  untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental[5].
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang  atau kelompok lain agar menjadi dewasa  untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental[6]. Sedangkan karakter  menurut Pusat Bahasa Depdiknas, adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak.
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991)[7] adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seserorang yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. 
Definisi pendidikan karakter selanjutnya  dikemukakan oleh elkind dan sweet (2004).
“Character education is the deliberate esffort  to help people understand, care about, and act upon caore ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able tu judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”[8]
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter  adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu memperngaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru bebicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tenting pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat diantara mereka tentang pendekatan  dari modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan -pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di Negara - negara barat, seperti : pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yaitu melalui penanaman nilai - nilai sosial tertentu.
Berdasarkan grand desain yang dikembangkan kemendiknas, secara psikologis social cultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif dan psikomotorik) dari konteks interaksi social cultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam kontek totalitas proses psikologis  dan social cultural tersebut dapat dikelompokan dalam: olah hati, olah piker, olah raga dan kinestetik, serta olah rasa dan karsa, keempat hal tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, bahkan saling melengkapi dan saling keterkaitan.
Pengkategorikan nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakikatnya perilaku seseorang yang berkarakter  merupakan perwujudan fungsi toalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afekti dan psikomotorik) dan fungsi totalitas social-kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Jadi, Pendidikan karakter adalah sebuah system  yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, srta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nlai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, linkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insane kamil.
Tugas pendidik di semua jenjang pendidikan tidak terbatas pada pemenuhan otak anak dengan berbagai ilmu pengetahuan. Pendidik selayaknya mengajarkan pendidikan menyeluruh yang memasukkan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya,  pendidik harus mampu menjadikan perkataan dan tingkah laku anak didiknya di kelas menjadi baik yang pada akhirnya nanti akan tertanam pendidikan karakter yang baik dikelak kemudian hari.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada anak adalah usaha yang strategis.
Permasalahan serius yang tengah dihadapi  bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Proses belajar juga berlangsung secara pasif dan kaku sehingga menjadi tidak menyenangkan bagi anak. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar tahu). Semuanya ini telah membunuh karakter anak sehingga menjadi tidak kreatif. Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan melibatkan aspek knowledge, feeling, loving, dan acting. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan latihan otot - otot akhlak secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.  Selain itu keberhasilan pendidikan karakter ini juga harus ditunjang dengan usaha memberikan lingkungan pendidikan dan sosialisasi yang baik dan menyenangkan bagi anak.
Dengan demikian, pendidikan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan spiritual). Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia yang utuh. Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya dalam aspek kognitif, namun juga dalam karakternya. Anak yang unggul dalam karakter akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam hidupnya.  Ia juga akan menjadi seseorang yang lifelong learner. Pada saat menentukan metode pembelajaran yang utama adalah menetukan kemampuan apa yang akan diubah dari anak setelah menjalani pembelajaran tersebut dari sisi karakterya. Apabila kita ingin mewujudkan karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik sukses dalam pendidikan dan pengajarannya.

2.         Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter
Dalam TAP MPR No. II/MPR/1993, disebutkan bahwa pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mandiri, maju, tanggunh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional, serta sehat jasmani rohani.
Berangkat dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan kondisi, sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan, dan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa memiliki landasan yuridis yang kuat. Namun, sinyal tersebut baru disadari ketika terjadi krisis akhlak yang menerpa semua lapisan masyarakat. Tidak terkecuali juga pada anak-anak usia sekolah. Untuk mencegah lebih parahnya krisis akhlak, kini upaya tersebut mulai dirintis melalui Pendidikan Karakter bangsa.
Dalam pemberian Pendidikan Karakter bangsa di sekolah, para pakar berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang. Pertama, bahwa Pendidikan Karakter bangsa diberikan berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran. Pendapat kedua, Pendidikan Karakter bangsa diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran PKNpendidikan agama, dan mata pelajaran lain yang relevan. Pendapat ketiga, Pendidikan Karakter bangsa terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Pendidikan karakter bertujuan sebagai berikut :
a.        Versi Pemerintah
Pendidikan memiliki tujuan yang sangat mulia bagi kehidupan manusia. Dan berkaitan dengan pentingnya diselenggarakan pendidikan karakter disemua lembaga formal. Menrut Presiden republic Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, sedikitnya ada lima dasar  yang menjadi tujuan dari perlunya menyelenggarakan pendidikan karakter. Kelima tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
1)        Membentuk Manusia Indonesia yang Bermoral
Persoalan moral merupakan masalah serius yang menimpa bangsa Indonesia. Setiap saat, masyarakat dihadapkan pada kenyataan merebaknya dekadensi moral yang menimpa kaum remaja, pelajar, masyarakat pada umumnya, bahkan para pejabat pemerintah.
Ciri yang paling kentara  tentang terjadinya dekadensi  moral di tengah-tengah masyarakat antara lain merebaknya aksi-aksi kekerasan, tawuran massa, pembunuhan, pemerkosaan, perilaku yang menjurus pada pornografi dsb. Dalam dunia pemerintahan, fenomena dekadensi moral juga tidak kalah santernya, misalnya perilaku ketidakjujuran, korupsi dan tindakan-tindakan manipulasi lainnya.
Problem moral seperti ini jelas meresahkan semua kalangan. Ironisnya, maraknya aksi-aksi tidak bermoral tersebut justru banyak dilakukakan oleh kalangan terdidik. Dan, hal itu terjadi saat bangsa Indonesia sudah memiliki ribuan lembaga pendidikan yang tersebar di berbagai tempat. Maka, tidak heran bila banyak para pegawai yang mempertanyakan fungsi lembaga pendidikan  jika sekedar mengutamakan nilai, namun mengabaikan etika dan moral.
Dengan demikian bisa dipahami jika tuntutan diselenggarakannya pendidikan karakter semakin santer dibicarakan dengan tujuan agar generasi masa depa menjadi sosok manusia yang berkarakter, yang mampu berperilaku positif dalam segala hal.
2)        Membentuk Manusia Indonesi yang Cerdas dan Rasional
Pendidikan karakter tidak hanya bertujuan membentuk manusia Indonesia yang bermoral, beretika dan berakhlak, melainkan juga membentuk manusia yang cerds dan rasional, mengambil keputusan yang tepat, serta cerdas dalam memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Kecerdasan dalam memanfaakan potensi diri  dan bersikap rasional  merupakan cirri orang yang berkepribadian dan berkarakter. Inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia   saat ini, yakni tatanan masyarakat yang cerdas dan rasional.
Berbagai tindakan destruktif  dan tidak moral dan sering kali dilakukan  oleh masyarakat Indonesia belakangan ini menunjukkan  adanya kecenderungan bahwa masyarakat sudah tidak memoerdulikan  lagi rasional dan dan kecerdasan mereka dalam bertindak dan mengambil keputusan. Akibatnya, mereka seringkali terjerumus ke dalam perilaku yang cenderung merusak, baik merusak lingkungan maupun diri sendiri, terutama karakter dan kepribadian.
Upaya yang perlu dilakukan agar masyarakat mampu memanfaatkan kecerdasan  dan rasionalitas dalam bertindak adalah menanamkan nilai-nilai kepribadian tersebut pada generasi masa depan sejak dini. Para peserta didik  merupakan harapan kita. Oleh karena itu, mereka harus dibekali pendidikan karakter sejak sekarang agar generasi masa depan indonesi tidak lagi menjadi generasi yang irasional dan tak berkarakter.
3)        Membentuk Manusia Indonesia yang Inovatif dan Suka Bekerja Keras
Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai yang diselenggarakan  untuk menanamkan semangat suka bekerja keras, disiplin, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik, yang diharapkan akan mengakar menjadi karakter dan kepribadiannya. Oleh karena itu, pendidikan karakter bertujuan mencetak generasi bangsa agar tumbuh menjadi pribadi yang inovatif dan mau bekerja keras.
Saat ini, sikap kurang bekerja keras dan tidak kreatif merupakan masalah  yang menyebabkan  bangsa Indonesia jauh tertinggal  dari Negara-negara lain. Padahal,  setiap tahun, lembaga pendidikan sudah meluluskan ribuan peserta didik dengan rata-rata nilai yang tinggi. Dari sinilah timbul suatu pertanyaan, mengapa tidak ada korelasi yang jelas antara tingginya nilai yang diperoleh peserta didik dengan sikap keatif, inovatif, dan kerja keras, sehingga bangsa Indonesia tetap jauh tertinggal dalamkancah internasional ?
Disisi lain, kita juga sering menemukan fakta bahwa tidak sedikit orang Indonesia yang cerdas sekaligus memiliki potensi dan kreatif, namun mereka justru tidak dimanfaatkan oleh pemerintah. Hidup mereka terpinggirkan dan tersisihkan. Potensi mereka terbuang percuma, sehingga nilai-nilai pendidikan yang mereka peroleh seakan  tidak berguna sama sekali. Tak hanya itu , pemerintah juga seolah-olah lebih mementingkan partisipasi politik untuk ditetapkan pada pos-pos tertentu. Dengan demikian, yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah kader politk, bukan sosok yang benar berkualitas dan berkompeten secara moral dan intelektual. Nah dengan  adanya pendidikan karakter, diharapkan para peserta didik dan generasi mudah kita memiliki semangat juang yang besar, serta bersedia bekerja keras sekaligus inovatif dalam mengelolah potensi mereka. Sehingga mereka dapat menjadi bibi - bibit manusia yang unggul pada masa depan.
4)        Membentuk Manusia Indonesia yang optimis dan Percaya Diri
Sikap optimis dan percaya diri merupakan sikap yang harus ditanamkan kepada peserta didik sejak dini.  Kurangnya sikap optimis dan percaya diri menjadi factor yang menjadikan bangsa Indonesia kehilangan semangat  utuk dapat bersaing menciptakan kemajuan disegala bidang.  Pada masa depan, tentu saja kita akan semakin membutuhkan sosok-sosok yang selalu optimis dan penuh percaya diri dalam menghadapi berbagai situasi. Dan, hal itu terwujud apabila tidak ada upaya untuk menanamkan kedua sikap tersebut kepada generasi penerus sejak dini.
Penyelenggaraan pendidikan karakter merupakan salah satu langkah yang sangat tepat untuk membentuk kepribadian peserta didik menjadi pribadi yang optimis dan percaya diri. Sejak sekarang, peserta didik tidak hanya diarahkan untuk sekedar mengejar nilai namun juga membekalinya dengan wawasan mengenai cara berperilaku di tengah - tengah lingkungan, keluarga dan masyarakat.

5)        Membentuk Manusia Indonesia yang Berjiwa Patriot
Salah satu prinsip yang dimiliki konsep pendidikan karakter adalah terbinanya sikap cinta tanah air. Hal yang paling inti dari sikap ini adalah kerelaan untuk berjuang, berkorban serta kesiapan diri dalam memberikan bantuan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Harus kita akui bahwa sikap tolong-menolong dan semangat juang untuk saling meberikan bantuan  sudah semakin luntur dari kehidupan masyarakat. Sikap kepedulian yang semula merupakan hal yang paling kita banggakan sepertinya sudah tergantikan dengan tumbuh sumburnya sikap-sikap individualis dan egois. Kepekaan social pun sudah berada pada taraf yang meprihatinkan. Maka tidak heran  bila setiap saat kita menyaksikan masalah-masalah social yang terjadi di lingkungan kita , yang salah satu factor penyebabnya adalah terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain.

Maka, disinilah pentingnya pendidikan karakter supaya peserta didik benar-benar menyadari bahwa ilmu yang diperoleh harus dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang
b.        Versi Pengamat
Berikut ini ada pendapat beberapa ahli mengenai tujuan pendidikan Karakter :
1)        Sahrudin dan Sri Iriani berpendapat bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk masyarakat yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergorong royong, berjiwa patriotic, berkembang dinamis, serta berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus berdasarkan Pancasila.
2)        Menurut Sahrudin, pendidikan karakter memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :
a)         Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
b)        Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur.
c)         Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif.
Fungsi dan tujuan pendidikan karakter itu sendiri itu dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara benar dan menggunakan media yang tepat.
Tugas pendidik di semua jenjang pendidikan tidak terbatas pada pemenuhan otak anak dengan berbagai ilmu pengetahuan. Pendidik selayaknya mengajarkan pendidikan menyeluruh yang memasukkan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya,  pendidik harus mampu menjadikan perkataan dan tingkah laku anak didiknya di kelas menjadi baik yang pada akhirnya nanti akan tertanam pendidikan karakter yang baik dikelak kemudian hari.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada anak adalah usaha yang strategis
Masalah serius yang tengah dihadapi  bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Proses belajar juga berlangsung secara pasif dan kaku sehingga menjadi tidak menyenangkan bagi anak. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar tahu). Semuanya ini telah membunuh karakter anak sehingga menjadi tidak kreatif. Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan melibatkan aspek knowledgefeeling, loving, dan acting.
Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan latihan otot-otot akhlak secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.  Selain itu keberhasilan pendidikan karakter ini juga harus ditunjang dengan usaha memberikan lingkungan pendidikan dan sosialisasi yang baik dan menyenangkan bagi anak. Dengan demikian, pendidikan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan spiritual). Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia yang utuh. Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya dalam aspek kognitif, namun juga dalam karakternya. Anak yang unggul dalam karakter akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam hidupnya.  Ia juga akan menjadi seseorang yang lifelong learner.
Pada saat menentukan metode pembelajaran yang utama adalah menetukan kemampuan apa yang akan diubah dari anak setelah menjalani pembelajaran tersebut dari sisi karakternya. Apabila kita ingin mewujudkan karakter tersebut dalam kehidupan sehari - hari, maka sudah menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik sukses dalam pendidikan dan pengajarannya.

3.         Ciri - Ciri Dasar Pendidikan Karakter
Forester[9] menyebutkan paling tidak  ada empat ciri - ciri dasar dalam pendidikan karakter :
a.         Keteraturan  interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan herarki nilai. Maka nilai menjadi  pedoman yang bersifat  normative dalam setiap tindakan.
b.        Koherensi yang member keberanian membuat seseorang teguh ada prinsip, dan tidak mudah terombang ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi dapat meruntuhkan kredibilitas seseorang.
c.         Otonomi. Disana seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat dari penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain.
d.        Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan apapun yang di pandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Lebih lanjut Madjid[10] menyebutkan bahwa kematangan keempat karakter tersebut diatas, memungkinkan seseorang melewati tahap individualitas menuju profesionalitas. Orang - orang modern sering mencampur adukan antara individualitas menuju personalitas, antara  aku alami dan aku rohani, antara indepedensi eksterior dan interior. Karakter inilah yang menentukan performa seseorang dalam segala tindakannya.
Kemudian Rosworth Kidder dalam “how Good People Make Tough Choices (1995)”[11] yang dikutip oleh Majid (2010)[12] menyampaikan tujuan kualitas yang diperlukan dalam pendidikan karakter.
a.         Pemberdayaan (empowered), maksudnya bahwa guru harus mampu memberdayakan dirinya untuk mengajarkan pendidikan karakter dengan dimulai dari dirinya sendiri.
b.        Efektif ( effective), proses pendidikan karakter harus dilaksanakan dengan efektif.
c.         Extended into community, maksudnya bahwa komunitas harus membantu dan mendukung  sekolah dalam menanamkan nilai-nilai tersebur kepada peserta didik.
d.        Embedded, integrasikan seluruh nilai ke dalam kurikulum dan seluruh rangkaian proses pembelajaran.
e.         Enganged, melibatkan komunitas dan menampilkan topic-topik yang cukup esensial.
f.         Epistemological, harus ada koherensi antara cara berpikir makna etik dengan upaya yang dilakukan untuk membantu peserta didik menerapkannya secara  benar.
g.        Evaluative, menurut Kidder[13] terdapat lima hal yang harus diwujudkan dengan menilai manusia berkarakter, (a) diawali dengan kesadaran etik; (b) adanya kesadaran diri untk berpikir dan membuat keputusan tentang etik; (c) mempunyai kapasitas untuk menampilkan kepercayaan diri secara praktis dalam kehidupan; (d) mempunyai kapasitas dalam menggunakan pengalaman praktis terhadap sebuah komunitas; (e) mempunyai kapasitas untuk menjadi agen perubahan  (agent of change) dalam merealisasikan ide-ide etik dan menciptakan suasana yang berbeda.



4.         Prinsip - Prinsip Pendidikan Karakter
Pendidikan di sekolah akan berjalan lancar, jika dalam pelaksanaannya memperhatikan beberapa prinsip pendidikan karakter. Kemendiknas memberikan beberapa rekomendasi prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif sebagai berikut :
a.         Memperomosikan nila-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
b.        Mengidentifikasikan karakter secara komperehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku.
c.         Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk mebangun karakter.
d.        Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
e.         Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukan perilaku yang baik.
f.         Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna  dan menantang  yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses.
g.        Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik.
h.        Memfungsikan seluruh staf seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.
i.          Adanya pembagian kepemimpinan  moral dan dukungan luas  dalam  membangun inisiatif pendidikan karakter.
j.          Memfungsikan keluarga  dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.
k.        Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.
Berdasarkan pada prinsip - prinsip yang direkomendasikan olah kemendiknas, dasyim budimasyah berpendapat  bahwa program pendidikan karakter disekolah perlu dikembangkan dengang berlandaskan pada prinsip - prinsip sebagai berikut :
a.         Pendidikan karakter disekolah harus dilaksanakan secara berkelanjutan (kontinuitas). Hal ini mengandung arti bahwa proses pengembangan nilai - nilai karakter merupakan proses yang panjang, mulai sejak awal peserta didik masuk sekolah hingga mereka lulus sekolah pada suatu satuan pendidikan.
b.        Pendidikan karakter hendaknya dikembangkan melalui semua mata pelajaran terintegrasi, melalui pengembangan diri, dan budaya suatu satuan pendidikan.  Pembinaan karakter bangsa dilakukan dengan  mengintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran, dalam kegiatan kurikuler pelajaran, sehingga semua mata pelajaran diarahkan pada pengembangan nilai-nilai karakter tersebut. Pengembangan nilai-nilai karakter uga dapat dilakukan dengan melalui pengembangan diri, baik melalui konseling maupun kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan kepramukaan dan lain sebagainya.
c.         Sejatinya nilai - nilai karakter tidak diajarkan (dalam bentuk pengetahuan), jika hal tersebut diintegrasikan dalam mata pelajaran, kecuali bila dalam bentuk mata pelajaran agama yang (yang di dalamnya mengandung ajaran) maka tetap diajarkan dengan proses, pengetahuan (knowing), melakukan (doing), dan akhirnya membiasakan (habit).
Proses pendidikan dilakukan peserta didik dengan secara aktif (active learning) dan menyenangkan (enjoy full learning). Proses ini menunjukkan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Sedangkan guru menerapkan “tutwuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukan agama.

5.         Komponen Pendukung dalam Pendidikan Karakter
Sebagaimana halnya dunia pendidikan pada umumnya, pendidikan yang mensyaratkan  keterlibatan banyak pihak di dalamnya. Kita tidak bisa menyerahkan tugas pengajaran, terutama dalam rangka mengembangkan karakter  peserta didik, hanya semata-mata kepada guru. Sebab, setiap peserta didik memiliki latar belakang yang berbeda, yang ikut menentukan kepribadian dan karakternya. Oleh karena itu, guru, orang tua maupun masyarakat seharusnya memiliki keterlibatan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam rangka menjalankan pendidikan karakter diantaranya sebagai berikut :
a.        Partisipasi Masyarakat
Dalam hal ini, masyarakat meliputi tenaga pendidik, orangtua, anggota masyarakat, dan peserta didik itu sendiri, semua komponen itu hendaknya dapat bekerja sama dan membantu memberikan masukan, terutama mengenai langkah-langkah penanaman karakter bagi peserta didik. Oleh sebab itu, setiap sekolah yang akan menerapkan pendidikan karakter bagi peserta didiknya harus memiliki badan khusus yang dibentuk sebagai sarana komunikasi antara peserta didik, tenaga pendidik, orangtua dan masyarakat. Badan ini bertugas membicarakan konsep dan nilai - nilai yang diperlukan untuk mendidik karakter peserta didik.
b.        Kebijakan Pendidikan
Meskipun pendidikan karakter lebih mengedepankan aspek moral dan tingkah laku, namun bukan berarti  sama sekali tidak menetapkan kebijakan-kebijakan. Sebagaimana dalam dunia formal pada umunnya. Sekolah tetap menetapkan landasan filosofi yang tepat dalam membuat pendidikan karakter, serta menentukkan dan menetapkan tujuan, visi dan misi, maupun beberapa kebijakan lainnya, hal ini bisa dilakukan dengan mengadopsi kebijakan pendidikan formal atau kebijakan baru.
c.         Kesepakatan
Betapapun pentingnya dan mendesaknya lembaga pendidikan menerapkan pendidikan karakter sebagai tambahan kurikulum di dalamnya, namun bukan berarti itu ditetapkan secara sepihak. Sekolah harus mengadakan pertemuan dengan orang tua peserta didik terlebih dahulu dengan melibatkan  tenaga guru dan perwakilan masyarakat guna mencari kesepakatan-kesepakatan di antara mereka. Pertemuan itu bertujuan memperoleh kesepakatan definisi pendidikan karakter, fungsi dan manfaatnya, serta cara mewujudkannya.
d.        Kurikulum Terpadu
Agar tujuan penerapan karakter dapat berjalan secara maksimal, sekolah perlu membuat kurikulum terpadu  di semua tingkatan kelas. Sebab, setiap peserta didik memiliki hak yang sama untuk mendapatkan materi mengenai pengembangan karakter. Oleh karena itu, meskipun pendidikan karakter perlu diperkenalkan sejak dini, namun bukan berarti tidak berlaku bagi peserta didik yang sudah dewasa. Dan, salah satu cara penerapannya adalah pemberlakuan kurikulum terpadu dengan semua mata pelajaran.
e.         Pengalaman Pembelajaran
Pendidikan karakter sebenarnya lebih menitik beratkan pada pengalaman daripada sekedar pemahaman. Oleh karena itu, melibatkan peserta didik dalam berbagai aktivitas positif dapat membantunya mengenal dan mempelajari kenyataan yang dihadapi. Pelayanan yang baik oleh seorang guru berupa kerja sama, pendampingan, dan pengarahan optimal, yang merupakan komponen yang perlu diberlakukan secara nyata. Sebab, hal itu akan memberikan kesan positif bagi peserta didik dan mempengaruhi cara berpikirnya sekaligus karakternya
f.         Evaluasi
Guru perlu melakukan evaluasi sejauh mana keberhasilan pendidikan karakter yang sudah diterapkan .evaluasi dilakukan tidak dalam ragka mendapatkan nilai, melainkan mengetahui sejauh mana peserta didik mengalami perilaku di bandingkan sebelumnya. Dalam hal ini, guru harus mengapresiasi setiap aktivitas kebaikan  yang dilakukan peserta didik, kemudian memberinya penjelasan mengenai akibat aktivitas tersebut dalam pengembangan karakternya.
g.        Bantuan Orang Tua
Untuk mendukung keberhasilan, pihak sekolah hendaknya meminta orangtua peserta didik untuk ikut terlibat memberikan pengajaran karakter ketika peserta didik berada di rumah. Bahkan, sekolah perlu memberikan gambaran umum tentang prinsip-prinsip yang diterapkan disekolah dan dirumah, seperti aspek kejujuran, dan lain sebagainya. Tanpa melibatkan peran orangtua di rumah, berarti sekolah akan tetap kesulitan menerapkan pendidikan karakter terhadap peserta didik. Sebab, interaksinya justru lebih banyak di habiskan dirumah bersama keluarga.
h.        Pengembangan Staf
Perlu disediakan waktu pelatihan dan pengembangan bagi para staf di sekolah sehingga mereka dapat membuat dan melaksanakan pendidikan karakter secara berkelanjutan. Hal itu termasuk waktu untuk diskusi dan pemahaman dari proses dan program, serta demi menciptakan pelajaran dan kurikulum selanjutnya. Perlu di ingat bahwa semua pihak disekolah merupakan sarana yng perlu dimanfaatkan untuk membantu menjalankan pendidikan karakter
i.          Program
Program kependidikan karakter harus dipertahankan dan diperbaharui melalui pelaksanaan dengan perhatian khusus pada tingkat komitmen yang tinggi dari atas, dana yang memadai, dukungan untuk koordinasi distrik staf yang berkualitas tinggi, pengembangan profesional berkelanjutan dan jaringan, serta dukungan system bagi guru yang melaksanakan program tersebut.


6.         Penerapan dan Pengembangan Pendidikan karakter
Pijakan utama yang harus dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan pendidikan karakter ialah nilai moral universal yang dapat digali dari agama.  Meskipun demikian, ada beberapa nilai karakter dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan  kepada peserta didik. Yakni rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ciptaany-Nya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, mampu bekerjasama, percaya diri, kreatif, mau bekerja keras, pantang menyerah, adil, serta memiliki sikap kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan cinta persatuan. Dengan ungkapan lain dalam upaya menerapkan pendidikan karakter guru harus berusaha menumbuhkan nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan sekedar pengajaran dan wacana.
Beberapa pendapat lain menyatakan bahwa nilai-nilai karakter dasar yang harus diajarkan kepada peserta didik sejak dini adalah sifat dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil dan punya integritas.
Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah hendaknya berpijak pada nilai-nilai karakter tersebut, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak absolute atau relative), yang sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Pembentukan karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuaanya., jika tidak terlatih(menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut, karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasan diri.[14] Dengan demikian diperlukan tiga komponen yang baik (component og good character) yaitu moral knowing(pengetahuan tentang moral), moral feeling  atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action, atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam system pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan.
Dimensi - dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral ( moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri ( Conscience), percaya diri (self asteem), kepekaan terhadap derita orang lain (empathy), kerendahan hati (humility), cinta kebenaran (Loving the good), pengendalian diri (self control). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act Morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu system pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindakn secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan Negara serta dunia internasional.
7.         Upaya  Pendidikan Karakter dalam Mencapai  Tujuan Pembelajaran
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, Sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Pendidikan karakter saaat ini merupakan topic yang banyak di bicarakan di kalangan pendidik. Pendidikan karakter diyakini sebagai aspek  penting dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM), karena turut memajukan suatu bangsa. Karakter masyarakat yang berkualitas perlu  dibentuk dan dibina sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa “emas” namun kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Implementasi pendidikan karakter  dirasa sangat urgen dilaksanakan dalam rangka membina generasi muda penerus bangsa.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.
Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekeri, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya.
Terdapat empat jenis pendidikan karakter yang selama ini dilaksanakan dalam proses pendidikan :
a.         Pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral).
b.        Pendidikan karakter berbasis nilai budaya , antara lain yang berupa budi pekerti, Pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi lingkungan).
c.         Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan).
d.        Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis).
Relevan dengan konsep diatas pendidikan merupakan suatu proses humanisasi, artinya dengan pendidikan manusia akan lebih bermartabat, berkarakter, terampil, yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap tataran sistem sosial sehingga akan lebih baik, aman dan nyaman. Pendidikan juga akan menjadikan manusia cerdas, pintar, kreatif, inovatif, mandiri dan bertanggung jawab.
Pendidikan nilai diharapkan merupakan suatu hal yang dapat mengimbangi tradisi pembelajaran yang selama ini lebih menitikberatkan pada penguasaan kompetensi intelektual/kognitif semata.Pendidikan nilai adalah upaya untuk membina, membiasakan, mengembangkan dan membentuk sikap serta memperteguh watak untuk membentuk manusia yang berkarakter.
Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan lembaga pendidikan (Indonesia) termasuk sarjana yang pandai dan mahir dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi tidak memiliki mental yang kuat, bahkan mereka cenderung amoral.
Bahkan dewasa ini juga banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari - hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan meghafal tentang bagusnya sifat jujur, berani, kerja keras, kebersihan dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan di hafal sebagai bahan ujian.
Pendidikan karakter bukanlah suatu proses menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap malas, malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Disinilah bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik pendidikan denga karakter peserta didik. Bisa dikatakan, dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan soal mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul,yang beriman, bertakwa, profesional, sebagaiman disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional[15].
Maka tidaklah heran, jika banyak ilmuwan yang percaya, bahwa karakter suatu bangsa akan sangat terkait dengan prestasi yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai kehidupan. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotic, berkembang dinamis, berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila.
                
B.       Pembentukan Revolusi Mental Pelajar
1.         Dasar Revolusi Mental Pelajar
Revolusi (dari bahasa latin revolutio, yang berarti "berputar arah") adalah perubahan fundamental (mendasar) dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat. Kata kuncinya adalah Perubahan dalam Waktu Singkat.
Revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat baik pemerintah atau rakyat dengan cara yang cepat untuk mengangk kembali nilai - nilai strategi yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan Kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi.
Revolusi mental mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan dan kemoderenan, sehingga menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Revolusi karakter bangsa atau yang dikenal juga sebagai revolusi mental dapat dijalankan, baik melalui pendidikan maupun kebudayaan yang kemudian diturunkan ke sistem persekolahan yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Sistem persekolahan sebagai turunan dari sistem pendidikan harus mampu menumbuhkan budaya sekolah yang kondusif bagi penciptaan revolusi pendidikan lingkungan belajar yang baik bagi siswa.

Pemupukan jiwa revolusi mental di kalangan peserta didik dapat ditempuh melalui pendidikan karakter yang terintegrasi ke dalam mata pelajaran yang relevan, pendidikan agama, dan pendidikan kewargaan. Beberapa mata pelajaran yang relevan antara lain, (i) sejarah yang mengajarkan kisah-kisah kepahlawanan, patriotisme, nasionalisme, dan pengabdian; (ii) geografi yang diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran teritorial, orientasi lokasi, kesadaran kewarganegaraan; (iii) antropologi/sosiologi yang bermanfaat untuk memperkuat pemahaman multikulturalisme, pluralisme, interaksi sosial, dan pengakuan atas keragaman etnis, budaya, agama; (iv) bahasa Indonesia sangat penting untuk meneguhkan identitas kebangsaan dan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Pendidikan agama dan pendidikan kewargaan yang memberi kontribusi penting pada proses pembentukan karakter anak didikakan lebih efektif dilaksanakan melalui keteladanan, yang menuntut guru menjadi suri tauladan bagi siswa. Pendidikan karakter tidak akan merasuk ke dalam jiwa anak didik jika diajarkan hanya melalui instructional learning approach semata. Oleh karena itu, arah kebijakan dan strategi yang diperlukan adalah sebagai berikut :
Arah kebijakan dan strategi untuk mendorong tercapainya sasaran strategis terkait pemberdayaan pelaku budaya dalam melestarikan kebudayaan yaitu melakukan penguatan perilaku pelaku budaya yang mandiri dan berkepribadian melalui :
a.         Meningkatkan ketersediaan serta keterjangkauan layanan pelaku budaya dan masyarakat pendukung terhadap warisan budaya dan karya budaya.
b.        Meningkatkan mutu karya dan pelaku budaya serta meningkatkan mutu layanan dalam pelestarian warisan budaya.
c.         Memberdayakan pelaku budaya dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan.
Arah kebijakan dan strategi untuk mendorong tercapainya sasaran strategis terkait peningkatan mutu pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan karakter adalah sebagai berikut :
a.         Mengembangkan pendidikan kewargaan di sekolah untuk menumbuhkan jiwa kebangsaan, memperkuat nilai-nilai toleransi, menumbuhkan penghargaan pada keragaman sosial-budaya, memperkuat pemahaman mengenai hak-hak sipil dan kewargaan, serta tanggung jawab sebagai warga negara yang baik (good citizen). Strategi yang diperlukan berupa penguatan pendidikan kewargaan yang terintegrasi ke dalam mata pelajaran yang relevan (PKN, IPS (sejarah, geografi, sosiologi/antropologi) dan bahasa Indonesia).
b.        Meningkatkan kualitas pendidikan karakter pada anak-anak usia sekolah pada semua jenjang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, untuk membina budi pekerti, watak, dan kepribadian peserta didik melalui : (i) penguatan pendidikan karakter yang terintegrasi ke dalam mata pelajaran; (ii) pengembangan kurikulum jenjang pendidikan dasar yang memberi porsi yang proporsional bagi pelajaran budi pekerti untuk membina karakter dan memupuk kepribadian siswa yang sesuai dengan nilai-nilai moralitas dan etika sosial; dan (iii) peningkatan kualitas guru yang bertindak sebagai role model dengan memberi keteladanan sikap dan perilaku baik bagi peserta didik.
c.         Membangun budaya sekolah yang kondusif bagi penciptaan lingkungan belajar yang baik dan menyenangkan bagi siswa untuk mendorong terlaksananya pendidikan karakter melalui, (i) pelibatan peran orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan persekolahan dan proses pembelajaran, untuk mencegah perilaku menyimpang yang tak sesuai dengan norma susila dan nilai moral; dan (ii) pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pemberian bimbingan - penyuluhan dalam proses pembelajaran, untuk mendukung siswa dalam mengembangkan segenap potensi dan kepribadian dengan sempurna.
2.         Pendidikan Revolusi Mental di Sekolah
“Sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, ketika karakternya tergadai” (Thomas Lickona, 1992)
Pendidikan karakter ini muncul sejak tahun 2010, pada masa itu menteri Pendidikan M. Nuh membuat kebijakan pendidikan di Indonesia harus berkarakter guna melahirkan generasi emas Indonesia 2020. Hal dikarenakan saat ini Indonesia mengalami krisis karakter, fenomena ini dapat kita lihat dari dari potret pendidikan di Indonesia.
Persoalan praktik-praktik kebohongan dalam dunia pendidikan mulai dari menyontek pada saat ujian sampai plagiarisme[1] hak cipta dan perjokian Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) serta praktik jual-beli izajah palsu. Jika sebagai peserta didik saja sudah terbiasa dengan tipu-menipu alias manipulasi ujian, maka ketika nanti sudah lulus dan bekerja akan kembali melahirkan para koruptor baru dan budaya korupsi tidak akan pernah hilang di Negara kita.
Dunia pendidikan sangat bertanggung jawab dalam meghasilkan lulusan - lulusan yang memiliki akademis bagus dan moral yang baik. Walaupun pada kenyataannya potret pendidikan di Negara kita dari segi akademis sangat bagus tetapi dari segi karakter ternyata masih bermasalah. Siapa yang tidak mengelus dada ketika melihat seorang pelajar yang tidak punya sopan santun, pendendam, mencontek, hobi narkoba, tawuran, membolos sekolah, aborsi, berjudi bahkan bagus nilainya untuk “mata pelajaran” pornografi. Contoh-contoh tersebut merupakan jenis kenakalan pelajar yang umum. Namun, tidak menutup mata pelajar yang patut dibanggakan juga ada, seperti mereka yang menjuarai olimpiade sains, baik ditingkat nasional maupun internasional. Bahkan, ada pelajar Indonesia yang berhasil menjadi juara umum dalam International Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuan  Muda se-Dunia yang diikuti ratusaan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada 12-17 April 2010.
Manakala Indonesia dikatakan oleh banyak pihak sebagai negara yang soft nationdan rapuhnya moral anak bangsa, pendidikan dituding gagal dalam menciptakan sumber daya manusia berkualitas. Institusi-institusi pendidikan terutama sekolah-sekolah dinilai gagal memenuhi tujuan pendidikan.
Kegagalan pendidikan di Indonesia menghasilkan manusia yang berkarakter diperkuat oleh pendapat I Ketut Sumarta dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan yang Memekarkan Rasa”. Dalam tulisannya, Ketut Sumarta mengungkapkan bahwa pendidikan nasional kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin. Dari sini lahirlah manusia-manusia yang berotak pintar, manusia yang berprestasi secara kuantitatif akademik, tetapi tidak berkecerdasan budi sekaligus sangat bertentangan tidak mandiri[2].
Dalam dunia pendidikan, terdapat tiga ranah yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotrik. Ranah kognitif berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknlogi, ranah afektif berkaitan dengan (sikap) attitude, moralitas, spirit, dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan keterampilan bersifat procedural dan cenderung mekanis.
Dalam realitas pembelajaran di sekolah, usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan, tetapi pada kenyataannya yang dominan adalah ranah kognitif, kemudian psikmotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan kemampuan bersifat hard skill, tetapi miskin soft skill karena ranah afektif terabaikan. Gejala ini tampak pada output pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pintar, juara kelas, tetapi miskin kemampuan membangun relasi, kurang mampu berinteraksi dan bekerjasama, cenderung egois serta menjadi pribadi yang tertutup.
Padahal, pendidikan pada esensinya merupakan sebuah upaya membangun kecerdasan manusia, baik kecerdasan kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Oleh karena itu, pendidikan secara terus menerus dibangun dan dikembangkan agar menghasilkan generasi yang unggul; unggul dalam ilmu, iman dan amal. Ada pepatah mengatakan, “Jika engkau ingin melihat masa depan suatu bangsa, lihatlah kondisi generasi penerusnya hari ini ”. Dengan demikian, pembentukan karakter terbaik pada anak menjadi hal yang sangat penting karena anak merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan eksistensi bangsa. Berbagai pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, menyatakan bahwa terbentuknya karakter kpribadian manusia ditentukan oleh factor  nature dan nurture, dan tidak ada kata terlambat dalam membentuk karakter anak bangsa.
Bangsa Indonesia pasti tidak ingin menjadi bangsa yang tertinggal dan terbelakang. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk kemajuan dan memperbaiki kualitas bangsa, seperti, pembaharuan kurikulum, peningkatan anggaran, atau standarisasi kompetensi pendidikan. Namun, usaha tersebut dirasa masih belum mencapai hasil yang diharapkan sesuai tujuan pendidikan itu sendiri. Tingginya biaya sekolah, buruknya fasilitas-fasilitas sekolah di daerah-daerah pelosok, minimnya kesejahteraan dan kualitas guru, melengkapi masalah bangsa ini.
Guna menghadapi kecanggihan teknologi dan komunikasi yang terus berkembang, perbaikan sumber daya manusia juga perlu terus diupayakan untuk membentuk manusia yang cerdas, terampil, mandiri dan berakhlak mulia. Berbagai wacana pun santer disebarkan. Salah satuya adalah wacana pendidikan karakter yang dianggap mampu memberikan jawaban atas kebuntuan permasalahan dalam sistem pendidikan.
Kita sebenarnya sudah terlambat dalam menerapkan pendidikan karakter, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa percuma menerapkan pendidikan karakter karena negara kita sudah terlanjur banyak korupsi. Pemikiran tersebut merupakan  pemikiran yang terlalu pesimis. Masih banyak generasi muda kita yang duduk di bangku sekolah dan dengan butuh pendidikan karakter agar di masa depan menjadi manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual saja, tapi juga karakter. Dan lembaga pendidikan diharapkan dapat menjadi motor penggeraknya serta guru diharapkan menjadi peran utamanya.
Lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga sosial lainnya di Indonesia memiliki beban yang sangat berat dalam menghadapi pelemahan nilai, pelemahan moral dan orientasi kebangsaan seperti masalah cinta tanah air, ikatan kebangsaan, solidaritas kebangsaan jatidiri bangsa dan lebih luas lagi dalam membela martabat dan kedaulatan bangsa di tengah berbagai ekspansi nilai-nilai luar yang memperlemah kebangsaan.
Menurut William Bernnett (1991), sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak (character building). Apalagi , bagi anak didik yang tidak mendapatkan pendidikan karakter sama sekali di lingkungan dan keluarga mereka. Oleh karena itu, peran dan kontribusi guru sangat dominan karena anak didik sangat membutuhkan bimbingan sebab anak belum siap menghadapi problem yang terjadi di lingkungan masyarakat. Sebagai sebuah lembaga, sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik anak agar pintar, cerdas, serta memiliki karakter positif sebagaimana diharapkan setiap orang tua. Namun sekarang ini, banyak orang tua mengeluh bahwa pendidikan karakter di sekolah telah diabaikan[3]. Tampaknya, hal tersebut disebabkan gagasan pendidikan karakter masih berada dalam wilayah konsep semata yang terletak dibenak para pendidik dan pemerhati pendidikan serta hanya menjadi komoditas isu pendidikan yang menjadi wacana[4]. Sekolah harus merespon kenyataan tersebut dengan membumikan gagasan pendidikan karakter, yaitu dengan mengimplementasikan atau menerapkan gagasan pendidikan karakter melalui berbagai strategi untuk membentuk peserta didik yang berkarakter.
Tanpa karakter yang positif, seseorang dengan mudah melakukan sesuatu apa pun yang dapat menyakiti atau menyengsarakan orang lain. Oleh karena itu, kita perlu membentuk karakter untuk mengelola diri dari hal-hal yang negative. Karakter yang terbangun diharapkan akan mendorong setiap manusia untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan suara hatinya.
Pendidikan secara filosofis merupakan satu kesatuan dengan kehidupan, yang menunjukan proses bagaimana manusia mengenal diri dengan segenap potensi yang dimilikinya dan memahami apa yang tengah dihadapinya dalam realitas kehidupan nyata (Suyanto, 2006: ix).
Pendidikan adalah proses yang memanusiakan manusia[5]  yang terus-menerus dialami sepanjang hayat. Pendidikan mencakup segala aspek keseharian saat seseorang belajar, mengamati, mendengarkan, membaca, menonton, bekerja dan lain sebagainya.
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan pada Pasal 3, yang berbunyi pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang harus dilaksanakan secara sistematis. Hal ini berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Meninjau dari fungsi pendidikan itu sendiri dan dilihat dari permasalahan yang ada, sebenarnya hal tersebuat merupakan asal-usul adanya kurikulum 2013 atau disingkat dengan K13.
Pendidikan karakter di Indonesia sudah diterapkan oleh beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. Salah satunya system Bourding School atau memadukan antara sekolah dan pesantren.
Selain itu, untuk yang hanya sekolah saja. Sekolah membuat program sendiri tentang pendidikan karakter mulai dari kultur sekolah, ekstrakulikuler yang dapat membangun karakter anak bangsa seperti pramuka.


[1] M. Mastuhu. Sistem Pendidikan Nasional Visioner. (Tangerang : Lentera Hati. 2007) hal. 49 - 50
[2] A.Qodri Azizy. Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM, dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2004) hal. 26

[3] Akbar, Ali Ibrahim. Pendidikan Karakter. (USA : Harvard University. 2000) hal. 12
[4] Departemen Agama, Kendali Mutu. Pendidikan Agama Islam (Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 2001) hal.  10
[5] Sudirman N. Ilmu Pendidikan (Bandung : Remaja Rosdakarya.1992) hal. 4
[6] Ibid. Sudirman N. Ilmu Pendidikan. hal. 4
[7] Abdullah Munir. Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Pedagogia. 2010) hal. 4
[8] Pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli dan inti atas nilai-nilai etis/susila. Dimana kita berpikir tentang macam -macam karakter yang kita inginkam untuk anak kiat, ini jelas bahwa kita ingin mereka mampu untuk menilai apa itu kebenaran, sangat peduli tentang apa itu kebenaran/hak -hak, dan kemudian melakukan apa yang mereka percaya menjadi yang sebenarnya, bahkan dalam menghadapi tekanan dari tanpa dan dalam godaan
[9] Heri Gunawan. Pendidkan Karakter (Bandung : Alfabeta. 2012) hal.36
[10] Ibid, hal.37
[11] Ibid, hal.37
[12] Abdul Majid. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam (Bandung : Remaja Rosdakarya. 2010) hal.27
[13] Op cit, Heri Gunawan, Pendidkan Karakter. hal.38
[14] Ari Ginanjar Agustian. Rahasia Membangkitkan Emosional Spiritual Quetiont Power (Jakarta : Arga. 2006) hal.86
[15] Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab