Kamis, 05 Juni 2014

Perencanaan Pendidikan



PERTANYAAN DAN JAWABAN

A.           Jelaskan Pengertian dari Perencanaan Pendidikan dan Perencanaan Pendidikan ?

Jawab :
1.             Menurut, Prof. Dr. Yusuf Enoch
Perencanaan Pendidikan, merupakan suatu proses yang yang mempersiapkan seperangkat alternative keputusan bagi kegiatan masa depan yang diarahkan kepadanpencapaian tujuan dengan usaha yang optimal dan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada di bidang ekonomi, sosial budaya serta menyeluruh suatu Negara.

2.             Beeby, C.E.
Perencanaan Pendidikan merupakan suatu usaha melihat ke masa depan ke masa depan dalam hal menentukan kebijaksanaan prioritas, dan biaya pendidikan yang mempertimbangkan kenyataan kegiatan yang ada dalam bidang ekonomi, social, dan politik untuk mengembangkan potensi system pendidikan nasioanal memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik yang dilayani oleh system tersebut.

3.             Menurut Guruge (1972)
Perencanaan Pendidikan merupakan proses mempersiapkan kegiatan di masa depan dalam bidang pembangunan pendidikan.

4.             Menurut Albert Waterson (Don Adam 1975)
Perencanaan Pendidikan adala investasi pendidikan yang dapat dijalankan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan lain yang di dasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya serta keuntungan sosial.

5.             Menurut Coombs (1982)
Perencanaan pendidikan suatu penerapan yang rasional dianalisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakat.

6.             Menurut Y. Dror (1975)
Perencanaan Pendidikan merupakan suatu proses mempersiapkan seperangkat keputusan untuk kegiatan-kegiatan di masa depan yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan cara-cara optimal untuk pembangunan ekonomi dan social secara menyeluruh dari suatu Negara.

Perencanaan pendidikan menjadi kunci efektivitas kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Namun kenyataannya, perencanaan pendidikan lebih dijadikan faktor pelengkap, sehingga sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. Penyebabnya adalah para perencana pendidikan masih kurang memahami proses dan mekanisme perencanaan dalam konteks yang lebih komprehensif.

B.            Analisiskan Posisi dalam Sistem Pendidikan ?

Jawab :
1.      Kurikulum
Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan yang mana pun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya perencana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Mengingat pentingnya peran kurikulum, maka kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana kurikulum. Pada kenyataannya, sementara pihak memang ada yang memahami kurikulum itu hanya dalam arti kata yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu. Jika demikian adanya, maka dinamika PBM serta kreativitas guru dan murid akan terhenti. Guru dan murid hanya terhenti pada sasaran materi yang dicanangkan pada buku kurikulum itu saja tanpa memperhatikan aspek lain yang telah berkembang begitu cepat di masyarakat. Di lain pihak memang ada yang memandang kurikulum dalam arti luas, yaitu kurikulum yang menyangkut semua kegiatan yang dilakukan dan dialami peserta didik dalam perkembangan, baik formal maupun informal guna mencapai tujuan pendidikan.Beane (1986) membagi kurikulum dalam empat jenis, yaitu (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi siswa.

Hal ini seiring dengan pendapat Said Hamid Hasan (1988) yang berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat empat dimensi kurikulum, yaitu (a) kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, (b) kurikulum sebagai rencana tertulis, (c) kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses, dan (d) kurikulum sebagai hasil belajar.Kurikulum sekolah kita dalam arti produk masih mengandung banyak kerancuan. Sekolah-sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA serta SMK memiliki kurikulum yang amat sarat dengan mata pelajaran. Dampak nyata yang terlihat ialah daya serap peserta didik tidak optimal dan mereka cenderung belajar tentang banyak hal, tetapi dangkal. Kurikulum 1975 dirasakan amat membengkak dan sangat gemuk di samping kurikulum tersebut dalam arti program terlalu berorientasi pada produk belajar, bukannya proses belajar. Kemudian kurikulum itu direvisi lagi dengan munculnya kurikulum 1984 yang konon telah mementingkan proses belajar dan perampingan. Namun perampingan itu juga tidak tuntas, sehingga ada komentar bahwa Kurikulum 1984 itu ramping, tetapi “montok”. Akibatnya juga mengundang rendahnya daya serap para peserta didik.Persoalan lain yang dianggap cukup urgen dalam kurikulum ialah tumpang tindih baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertical materi di kelas satu muncul lagi di kelas dua atau kelas tiga untuk mata pelajaran yang sama. Sedangkan secara horizontal muncul berbagai pokok bahasan yang sama pada beberapa mata pelajaran yang berbeda. Kesemuanya itu tentu tidak akan menguntungkan bila dilihat dari proses belajar mengajar, peserta didik akan merasa jemu untuk mengikutinya.Masalah berikutnya yang berkaitan dengan aspek kurikulum dalam arti proses belajar dan pengalaman belajar memiliki kaitan yang erat dengan perilaku guru di depan kelas dalam konteks belajar mengajar. Kurikulum dalam arti produk hanya seperti blueprint bagi suatu proses membangun sebuah gedung yang monumental. Bagaimanapun bagusnya blueprint yang telah disiapkan seorang arsitektur, blueprint tersebut akan tidak bermakna tanpa adanya pelaksana yang kompeten dalam bidang bangunan di lokasi gedung itu akan didirikan. Analog ini, kurikulum masih memerlukan intervensi dan kearifan seorang guru yang akan mengajarkannya di depan kelas.

2.      Siswa
Wajib belajar sembilan tahun telah menjadi agenda nasional yang amat penting, hal ini memang memiliki alasan dan legitimasi yang amat strategik. Suyanto (2000) menyatakan bahwa “angkatan kerja kita saat ini sebagian besar, kurang lebih 76 %, hanya memiliki pendidikan tidak lebih dari sekolah dasar.” Kondisi seperti ini cukup mencemaskan jika harus bersaing secara global dalam berbagai aspek kehidupan. Kita tidak dapat lagi menjadikan jumlah penduduk yang besar dengan upah yang murah sebagai salah satu daya tarik investor asing untuk ikut menanamkan modal di Indonesia. Justru kualitas penduduk yang perlu dijadikan sebagai daya tarik bagi para investor asing untuk memasuki Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena pada abad ke-21, ciri penting pola hubungan antarnegara dan bangsa ialah adanya interdependensi satu sama lain. Jika kita tidak dapat menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi maka kita akan banyak mengalami kerugian dalam pola hubungan antarbangsa seperti itu.Permasalahan yang ada bahwa wajib belajar sembilan tahun hanya enak diucapkan, didengar, disemboyankan, apalagi dinyanyikan. Sebagian besar bangsa ini tentu mengetahui makna wajib belajar sembilan tahun, Akan tetapi, belum tentu semua warga Negara di republic tercinta ini sadar akan arti penting wajib belajar bagi kehidupan global bangsa di abad ke-21. Oleh karena itu, wajib belajar sembilan tahun perlu diimplementasikan dengan berbagai strategi yang terpadu dan tersistematis secara rapi. Pendekatan melalui jalur pendidikan sekolah saja belum tentu menjamin keberhasilan wajib belajar sembilan tahun. Mengapa demikian ? Karena wajib belajar tidak semata-mata berurusan dengan pembebasan SPP untuk para pelajar sampai dengan tingkat SMP. Namun jauh lebih rumit sebab berurusan dengan faktor-faktor lainnya seperti arti ekonomi anak bagi orang tua terhadap pendidikan, aspirasi pendidikan masyarakat, budaya masyarakat, dan sebagainya.

Masalah berikutnya adalah masalah yang merupakan dampak negative dari perkembangan ilmu dan teknologi terhadap anak-anak pada era globalisasi ini. Perubahan teknologi yang sangat cepat dan disertai adanya semangat globalisasi akan membawa perubahan cara hidup masyarakat.

Dalam perubahan itu anak-anak tidak sedikit yang menderita. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh anak-anak Indonesia menjadi semakin beragam.
Anak-nak Indonesia akan mengalami krisis idola nasional sebagai akibat begitu meledaknya teknologi komunikasi lewat TV yang bersifat global. Lebih parahnya lagi lahan tempat bermain anak-anak menjadi semakin sempit, bahkan di kota-kota besar anak-anak memang telah mengalami kesulitan untuk mencari tanah lapang yang dapat digunakan untuk bermain. Masalah lainnya yang berkaitan dengan siswa adalah masalah siswa yang memiliki kemampuan luarbiasa. Dalam UUSPN anak-anak yang memiliki bakat istimewa, yaitu mereka yang super pintar memang memperoleh jaminan untuk bisa diperlakukan atau dididik secara khusus. Pasal 8 ayat (2) dari UUSPN menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luarbiasa berhak memperoleh perhatian khusus.” Namun demikian, pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal (2) tersebut masih harus ditetapkan dengan keputusan menteri. Inilah yang perlu segera diperhatikan oleh Departemen Pendidikan Nasional, agar system pendidikan kita segera bisa memberikan perlakuan khusus terhadap anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa.

3.      Guru
Berkaitan dengan kualitas guru ini, Raka Joni (1980) mengemukakan adanya tiga dimensi umum yang menjadi kompetensi tenaga kependidikan, antara lain:

Kompetensi personal atau pribadi, maksudnya seorang guru harus memeiliki kepribadian yang mantap yang patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Kompetensi professional, maksudnya seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.

Kompetensi kemasyarakatan, artinya seorang guru harus mampu berkomunikasi baik dengan isswa, sesame guru, maupun masyarakat luas.
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya program penataran. Penataran yang selama ini dilakukan dalam berbagai bentuk dan materi memang memiliki legitimasi akademik yang tinggi di bawah paradigma in-service-training, namun demikian, sebenarnya penataran itu saja masih belum mampu melakukan intervensi secara makro terhadap perbaikan praksis pendidikan. Indikator yang paling mudah diketahui ialah masih rendahnya nilai ujian nasional. Fenomena itu menggambarkan bahwa hasil penataran tidak bias diadopsi oleh guru kita pada proses pembelajaran di kelas. Memang banyak guru yang pada waktu ditatar menunjukkan prestasi yang baik dan menakjubkan, tetapi setelah pulang ke sekolah mereka kembali pada praktik lama, yaitu tidak mau menerapkan hasil penataran pada proses pembelajaran di kelas masing-masing. Keengganan menerapkan hasil penataran merupakan gejala umum bagi guru di mana saja dan di jenjang pendidikan mana pun, Hal ini terjadi karena materi penataran sebenarnya tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan para guru.
4.      Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang ideal adalah proses pembelajaran yang dikemas dengan memperhatikan adanya berbagai aspek baik itu kognitif, afektif, maupun psikomotor. Apabila proses pendidikan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan adanya kesimbangan ketiga aspek tersebut maka output pendidikan akan mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan masyarakat. Sebaliknya, apabila proses pembelajaran mengabaikan aspek-aspek tersebut dan hanya menitikberatkan pada aspek kognitif saja, jadinya akan lain.

Jangan diharap output pendidikan mampu menterjemahkan serta merta mengantisipasi kemajuan dan perkembangan masyarakat yang telah berjalan demikian cepat. Oleh sebab itu, pendidikan kita harus mampu mengemas proses pendidikan dengan baik. Dengan kata lain, proses belajar mengajar kita harus memperhatikan aspek kreativitas. Pengembangan kreativitas para peserta didik yang dimulai sejak awal akan mampu membentuk kebiasaan cara berpikir peserta didik yang sangat bermanfaat bagi peserta didik itu sendiri di kemudian hari.Kenyataan yang ada saat ini, hampir semua system sekolah yang ada di negeri ini kurang menyentuh dan mengembangkan aspek kreativitas. Ini terjadi akibat tuntutan kurikulum 1975 yang sangat berorientasi pada hasil belajar. Kurikulum tersebut akhirnya diperbaiki, kemudian muncul kurikulum 1984 yang sedikit bergeser orientasinya kearah proses.

Namun, praksis pendidikan telanjurt memihak pada orientasi produk. Oleh karena itu, pergeseran orientasi itu tidak semudah yang dibayangkan para pengambil kebijakan dalam sistem persekolahan kita.Kurikulum 1994 secara filosofis sangat menaruh perhatian terhadap proses pembelajaran yang dinamis sehingga system target dan produk harus diterjemahkan secara kreatif dan kontekstual. Namun, pada kenyataannya sebagian besar guru telah merasa mapan dengan semangat kerja model kurikulum 1984, guru telanjur mekanistis dalam proses pembelajaran di sekolah, akhirnya persoalan kreativitas masih saja terabaikan tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena terlalu saratnya muatan yang diemban oleh kurikulum 1994. Dengan demikian hal pokok yang dikembangkan tetap aspek kognitif, sementara afektif dan psikomotor tetap terabaikan.

5.      Partisipasi Masyarakat
UUSPN pasal 54 ayat 2 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Peran serta tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan berbasis masyarakat sehingga pendidikan tetap memiliki keterkaitan dengan kondisi dan tuntutan masyarakat.
Sementara untuk mewadahi peran serta masyarakat dibentuklah satru institusi yang bersifat independent dengan dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota, sementara untuk tingkat persekolahan dikenal dengan istilah komite sekolah.Peran serta masyarakat yang berbentuk yayasan nirlaba telah bias dilihat dengan nyata dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan baik di tingkat dasar, menengah, maupun pendidikantinggi.

Suyanto (2000) menyatakan saat ini paling tidak yayasan-yayasan pendidikan yang ada dalam masyarakat telah mampu mendirikan sekolah dasar swasta sebanyak 10.120, SLTP, SMA, dan SMK sebanyak 57.554. Namun angka-angka tersebut tidak serta merta memberikan hal yang membahagiakan kita sebab masih terdapat kecenderungan bahwa penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah-sekolah swasta tersebut masih belum memenuhi kualitas yang diharapkan.Dengan demikian, untuk melibatkan peran serta masyarakat pengusaha harus diawali dari proses sosialisasi yang positif. Pemerintah perlu meyakinkan bahwa dengan ikut serta dalam pengembangan system pendidikan nasional, para pengusaha juga akan memetik keuntungan berupa sumber daya manusia yang berkualitas bagi perusahaan mereka.

C.           Identifikasikan Mekanisme dan Prosedur Perencanaan Pendidikan ?

Jawab :
1. Mendefinisikan Permasalahan Perencanaan Pendidikan :

a. Ruang lingkup permasalahan permasalahan pendidikan

Fokus yang dibahas dalam hal ini adalah gambaran dan rumusan batasan perencanaan pendidikan.

Langkah ini menjadi sangat penting dan strategis, karena setiap kegiatan yang akan dirumuskan dalam proses perencanaan harus diarahkan dalam kerangka pemecahan masalah. Kekeliruan dalam rumusan batasan permasalahan berdampak pada kekeliruan merumuskan langkah kegiatan selanjutnya.

1. Kebutuhan akan perencanaan pendidikan
Kebutuhan akan perencanaan muncul sebagai akibat semakin intensif dan kompleksnya permasalahan yang muncul dalam masyarakat modern. Suatu permasalahan terjadi apabila suatu aktifitas atau kejadian menyimpang dari yang seharusnya terjadi.

2. Pengertian permasalahan perencanaan pendidikan
Terdapat tiga hal pokok yang harus diketahui dan diperhatikan untuk memberikan pemahaman tentang perencanaan pendidikan yang meliputi;
karakteristik perencanaan pendidikan, dimaksudkan untuk menggambarkan sifat khusus dari perencanaan pendidikan, rancangan dan kebijakan yang diambil, dimensi perencanaan pendidikan untuk memahami arti perencanaan pendidikan, seseorang perlu memahami dimensi perencanaan pendidikan, yaitu tingkat ukuran dan besaran masalah yang terkait dengan perencanaan pendidikan.
Ada 9 dimensi yang terkait dengan proses perencanaan pendidikan yaitu; (a) significance, (b) feasibilllity, (c) relevance, (d) definitivenness, (e) parsimoniousness, (f) adaptability, (g) time, (h) monitoring, (i) Subject motter.
Kendala-kendala
perencanaan pendidikan.

Kendala memegang peranan yang sangat penting dalam mendefinisikan arti perencanaan pendidikan yang utamanya meliputi; politik, ekonomi, dan waktu.
Pada umumnya kendala-kendala yang muncul pada proses perencanaan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi akan berdampak lebih besar pada tingkat di bawahnya.

3. Makna permasalahan perencanaan pendidikan
Berbeda dengan profesi lainnya perencanaan pendidikan tidak memiliki bidang pengetahuan teknis yang dikenali secara jelas. Perencanaan pendidikan terlihat sebagai perwujudan dari kecenderungan ke arah kegiatan manusia.

b. Pengkajian sejarah perencanaan pendidikan

Pengkajian mengenai sejarah perencanaan pendidikan tidak dapat dipastikan hubungannya denagan rencana pendidikan itu sendiri, karena baik perencanaan maupun pendidikan dahulu tidak pernah ada seperti bentuknya sekarang, tetapi gerakan-gerakan dan perencanaan pendidikan bersifat pararel dengan kemajuan yang dibuat, sehingga meninggalkan warisan mengenai cara-cara pemecahan permasalahan.

Warisan ini menggambarkan keteraturan perkembangan dari perencanaan yang pernah ada dan membantu memberikan pentunjuk kepada perencanaan pendidikan untuk menentukan bentuk masa depan. Sejarah dapat memberikan pemahaman tentang masa lalu, sementara perencanaan dapat menentukan masa depan. Dalam perencanaan, tanpa adanya sejarah maka tidak akan didapatkan mementum untuk melakukan sesuatu menuju masa depan.

Pada saat ini makna pendidikan dan perencanaan telah berkembang yang didasari oleh konsep sistem dimana di dalamnya terdapat interaksi diantara banyak variabel. Adapun variabel-variabel yang harus diperhatikan adalah posisi sekolah dalam lingkungan masyarakat, analisis kebutuhan dan perencanaan yang berkaitan dengan penggunaan lahan, berkaitan trasportasi, kurikulum, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dan faktor-faktor lain, baik yang bersifat terselubung maupun trasparan.

c. Kesenjangan antara kenyataaan dengan harapan dalam perencanaan pendidikan

Kenyataan (das sein), yakni suatu pandangan yang mengungkapkan bahwa sekolah harus mandiri dan tidak berada pada suatu institusi, kenyamanan pendidikan akan mengambil tempat dimana kondisi siswa sebanding dengan ketersediaan tenaga pengajar saat ini, dan para pengolola sekolah dapat menangani langsung operasional sekolah untuk disesuaikan kehendak masyarakat.

Pada kenyataan dalam perencanaan pendidikan hendaknya dipertimbangkan pula situasi belajar yang nantinya diharapkan mampu menunjang proses belajar mengajar, misalnya kaitan belajar dengan tempat bermain, kesenian atau olahraga. Begitu pula hubungannya dengan jadwal belajar juga termasuk di dalamnya jumlah hari libur yang merupakan satu rangkaian tidak terpisahkan dengan proses belajar mengajar tersebut.

Harapan dalam fIlosofi perencanaan pendidikan adalah apa yang seharusnya (das sollin). Berpijak pada pemikiran mengenai harapan di atas, jelas bahwa perencanaan pada umumnya berorientasi pada suatu sistem, artinya bagaimana suatu perencanaan pendidikan mampu memberikan solusi pemecahan masalah dan bertindak sebagai jembatan bagi berbagai perbedaaan yang ada.

d. Sumber daya dan hambatannya dalam perencanaan pendidikan

Sumber daya dan hambatan merupakan dua bagian penting yang perlu di identifikasi dan dikenali dalam perrumusan sebuah perencanaan pendidikan. Untuk menghasilkan atau mencapai solusi maksimal suatu perencanaan tergantung pada ketersediaan sumber daya dan karakter hambatan yang ada, baik secara individu maupun kelembagaan.

e. Menentukan komponen-komponen dari perencanaan pendidikan beserta prioritasnya

1. Pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan.
Perencanaan pendidikan terdiri dua komponen dasar, yaitu proses perencanaan dan isi perencanaan. Pada tulisan tujuh fase proses perencanaan dikonstruksikan untuk menyisipkan beberapa cara yang saling berhubungan yang mampu memproduksi hasil pendidikan dengan sosial, ekonomi, dan detail fisik yang berhubungan dengan masalah-masalah pendidikan.

2. Komponen: konteks pendidikan
Pendidikan fungsional untuk merencanakan pendidikan membutuhkan gambaran yang jelas dari sistem pendidikan. Kejelasan menyeluruh, asumsi yang penting untuk model proses perencanaan pendidikan dan sistem pendidikan harus di pertimbangakan secara menyeluruh.

Cara Membuat Taraf Kesukaran Test



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Untuk memperoleh informasi tentang hasil pembelajaran siswa di sekolah berbagai cara dapat dilakukan oleh guru, seperti tes tertulis, penilaian unjuk kerja, penilaian hasil karya dalam portofolio, penilaian proyek dan penilaian produk peserta didik. Diantara cara tes yang dapat mengukur penguasaan materi / bahan ajar terutama kemampuan kognitif, khususnya pengetahuan yang menyangkut fakta adalah dengan tes tertulis, baik tes pilihan maupun tes uraian.
Kegiatan penilaian hasil belajar diawali dengan menyusun tes, menguji, mengoreksi dan menentukan hasil serta membuat keputusan. Prosedur ini perlu dilakukan dengan cermat, teliti dan jelas tujuannya. Penyusun tes dewasa ini lebih banyak mempergunakan tes pilihan ganda, baik dikala tes sumatif maupun formatif ditingkat sekolah dan begitu juga Ujian Nasional. Menurut Darnis Arief (2002) kualitas butir tes pilihan ganda dapat ditentukan berdasarkan tiga karekteristik, yaitu (1) tingkat kesukaran, (2) daya pembeda, (3) berfungsi tidaknya pilihan. Selanjutnya informasi yang tidak akurat dapat menghasilkan keputusan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Mencermati hal tersebut, penulis tertarik membahas bagaimana mendapat bentuk tes / soal pilihan ganda yang berkualitas dan dapat memenuhi tuntutan materi bahan ajar sesuai dengan acuan kurikulum.
Penilaian merupakan salah satu komponen dalam kegiatan pembelajaran di samping komponen lainnya seperti kurikulum dan proses pembelajaran. Kegiatan penilaian mempunyai peranan yang amat starategis dalam mendapatkan informasi tentang perkembangan kemajuan belajar peserta didik. Melalui penilaian dapat diketahui sampai dimana efektifitas pengalaman belajar, metode mengajar dan tekhnik mengajar yang dilaksanakan oleh guru. Menurut Winkel (1989), evaluasi berfungsi antara lain untuk penentuan mutu prestasi siswa. Selanjutnya Sudjana (1991), mengemukakan bahwa penilaian merupakan suatu kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan instruksional telah dicapai oleh siswa. Seiring dengan itu Ground Lund (1991/92), memandang evaluasi sebagai proses sistematik untuk mengumpulkan, menganalisis serta menafsirkan informasi guna menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, data atau informasi itu diperoleh melalui serangkaian kegiatan yang terjadi dalam pembelajaran itu sendiri, seperti apa yang dilakukan guru, apa yang terjadi dikelas serta apa yang dilakukan dan diperoleh siswa.
Salah satu alat penilaian yang digunakan dalam pembelajaran adalah tes dalam bentuk pilihan ganda. Untuk menghasilkan tes yang berkualitas perlu dilakukan perencanaan yang matang. Menurut Yusuf (1990), tahap-tahap pengembangan tes yaitu, ” (1) perencanaan, (2) penulisan butir soal, (3) revisi butir soal, (4) perbanyak soal, (5) analisis butir soal ”. Menurut Kumaidi (1998), prosedur penting dalam pengembangan tes adalah “ Pengembangan rancangan kisi-kisi tes dan uji coba butir soal ”. Selanjutnya dikemukakan pula pengembangan naskah ujian yang tidak melakukan kedua hal tersebut, akan berakibat kualitas butir soal kurang memenuhi persyaratan pengujian, sehingga hasil pengujian tidak akan menggambarkan kemampuan dan prestasi siswa yang sesungguhnya, apalagi untuk mendapatkan kualitas butir soal yang ditentukan berdasarkan tiga karakteristik, yaitu (1) tingkat kesukaran soal, (2) daya pembeda soal, dan (3) berfungsi tidaknya pilihan.
Sementara informasi tentang hasil belajar siswa yang tidak akurat, dan penilaian tidak menggunakan prosedur yang benar, boleh jadi akan menghasilkan keputusan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu diperlukan alat yang dapat dipercaya dan dapat digunakan untuk analisis soal sebagai dasar untuk memperoleh hasil penilain yang sesuai dengan kemampuan siswa.
Tes prestasi belajar pada umumnya merupakan sekumpulan butir soal yang bertujuan untuk mengukur tingkat sejauh mana seorang siswa telah menguasai bahan atau materi pelajaran yang telah diajarkan kepadanya. Hasil prestasi belajar dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Mutu informasi tersebut ditentukan oleh mutu tes, sedangkan mutu tes ditentukan oleh mutu setiap soal yang dirakit dalam sebuah tes.
Untuk menguji setiap butir soal perlu dilakukan analisis soal. Menurut Herwindo (1991), tujuan utama analisis soal adalah untuk menguji mutu soal, pengujian mutu soal yang dapat memberikan informasi tentang karakteristik setiap butir soal, hasil analisis dapat digunakan untuk menguji apakah suatu soal diperkirakan akan berfungsi dan telah berfungsi dengan baik. Soal yang baik adalah soal yang dibuat berdasarkan kisi-kisi yang dibuat sebelumnya dan memenuhi kaidah penulisan soal. Suatu soal dapat ditelaah kesesuaiannya dengan tuntutan kisi-kisi, dan soal pilihan ganda pokok soal (stem) jangan memberikan kea rah jawaban yang benar, pilihan jawaban harus homogen dan logis.
Analisis butir soal diperlukan karena berbagai alasan, antara lain adalah (a) untuk mendapatkan informasi tentang kekuatan dan kelemahan butir soal atas dasar respon siswa, (b) informasi untuk penyempurnaan soal-soal dan (c) alat menilai butir soal untuk bank soal ( Zainul & Nasution, Silverius 1991, Daryadi, 1999).
Kualitas butir soal dapat ditentukan berdasarkan tiga karakteristik, yaitu (a) tingkat kesukaran, (b) daya pembeda, dan (c) berfungsi tidaknya pilihan.Tingkat kesukaran butir soal ialah proporsi peserta tes menjawab benar butir soal tersebut. Sedangkan daya pembeda soal ialah yang menunjukan tingkat kemampuan butir soal membedakan kelompok pandai dengan kelompok berkemampuan rendah.

B.       Tujuan
-          Dapat memahami materi ini dengan baik dan benar.
-          Dapat mengaplikasikan dalam sistem evaluasi belajar mengajar.
-          Agar menerapkan sistem evaluasi dalam awal/tengah/akhir pelajaran.
C.       Sasaran/Target
Mahasiswa, Guru – guru, dosen dan seluruh para pendidik.

D.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara membuat taraf kesukaran test ?
2.      Bagaimana daya pembeda sebuah test ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Taraf Kesukaran Soal Tes

Untuk menentukan taraf kesukaran soal, setiap jawaban siswa diperiksa, setiap jawaban yang benar diberi skor satu (1), sedangkan jawaban yang salah diberi skor nol (0). Hasil ditabulasikan, sehingga gambaran yang muncul adalah nama siswa dan jawaban mereka terhadap masing-masing soal.
Indeks kesukaran soal (P) ditentukan dengan rumus P = B__
JS
B, adalah jawaban yang benar, sedangkan JS adalah jumlah seluruh
peserta tes.
       Tingkat kesukaran butir soal adalah proporsi peserta tes menjawab benar butir soal tersebut. Taraf kesukaran soal dilambangkan dengan P. Makin besar nilai P, makin rendah taraf kesukaran soal.Artinya soal tersebut makin mudah. Taraf kesukaran soal dapat dikategorikan dengan sukar, sedang, dan mudah. Yang termasuk kategori sukar P 0,30 ke bawah. Yang termasuk kategori sedang P berada antara 0,31 sampai dengan 0,70. Sedangkan yang termasuk kategori mudah ialah bila P berada antara 0,71 dengan 1,00. Berikut ini dicontohkan dari 50 butir soal Aqidah Akhlak yang diujikan pada beberapa Madrasah yang dijawab oleh 60 orang siswa.
       Untuk jelasnya hasil analisis taraf kesukaran soal dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1 : Taraf Kesukaran Soal
No
Taraf Kesukaran
Jumlah
Prosentase ( % )
1
2
3
Mudah
Sedang
Sukar
6
34
10
12 %
68 %
20 %

Jumlah
50
100 %

Dari data di atas dapat dikemukakan bahwa 10 butir tes (20 % ) termasuk kategori sukar. Yang termasuk kategori sukar adalah nomor 16, 19, 22, 25,27,31, 32, 3,43 dan 49. Di samping itu 34 butir (68 %) termasuk kategori sedang, butir soal tersebut adalah nomor 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 12, 14, 15, 17, 18, 20, 23, 24, 26, 28, 29, 30, 33, 35, 36, 37, 38, 39,40, 41, 42, 44, 45, 46, 48 dan 50. Sedangkan sisanya 6 butir (12 % ) termasuk kategori mudah, soal tersebut adalah nomor 1, 7, 10, 13, 21 dan 47.
Dari sisi taraf kesukaran, soal-soal dapat dikategorikan sukar, sedang, dan mudah. Soal-soal dikategorikan sukar bila P dari 0 sampai 0,30 kebawah. Dikategorikan sedang bila P berada antara 0,31 sampai 0,70. Soal-soal dikategorikan mudah bila P berada 0,71 sampai dengan 1,00. Menurut Hasan dan Zainul (1991), bahwa tingkat kesukaran perangkat soal yang baik seharusnya berimbang yaitu sukar 25 %, sedang 50 % dan mudah 25 %. Setelah dianalisis ternyata dari 50 butir soal, 10 diantaranya termasuk kategori sukar. Soal-soal tersebut adalah 16, 19, 22, 25, 27, 31, 32, 34, 41, 43, dan 49. Bila diamati soal-soal kategori sukar terdiri dari soal-soal yang menanyakan tentang kisah-kisah para nabi dan Rasul Allah.
Berdasarkan analisis tes yang telah dilakukan kemudian dibandingkan dengan tuntutan kurikulum, dapat dikemukakan bahwa butir soal-soal yang termasuk kategori sukar di atas ternyata sesuai dengan tuntutan kurikulum. Kesulitan siswa menjawab dapat disebabkan oleh pemahaman yang kurang terhadap materi atau kontruksi tes itu sendiri. Faktor tersebut dapat berasal dari siswa itu sendiri ataupun dari luar siswa, terutama konstruksi tes.
Dari diri siswa salah satu adalah disebabkan oleh kemampuan siswa sendiri. Dari sisi kontruksi tes suatu soal akan sulit bila terdapat kekompleksan pada soal. Pokok soal yang komplek menyulitkan siswa memahaminya.
Disamping itu alternatif pilihan yang disediakan dapat menyebabkan sukar tidaknya suatu soal. Jika alternatif pilihan yang disediakan homogen, maka pertanyaan tersebut akan lebih sukar. Sebaliknya jika alternatif jawaban kurang homogen atau heterogen menyebabkan soal menjadi lebih mudah. Selain itu tingkat kesukaran soal juga dipengaruhi oleh sistematika tes. Tes yang disusun mulai dari yang mudah dan disusul butir yang lebih sukar, dapat menambah kepercayaan diri siswa, selanjutnya sistuasi pelaksanaan tes ikut mempengaruhi tingkat kesukaran soal. Ujian yang dilaksanakan pada situasi yang kurang nyaman karena pengaruh suhu, atau pengawasan yang mengakibatkan siswa kurang nyaman akan mempengaruhi tingkat kesukaran soal.

B.       Daya Pembeda Soal

Daya pembeda soal diperoleh melalui langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, skor siswa disusun dari yang tertinggi sampai yang terendah. Kedua, menentukan kelompok atas (pandai), yaitu yang memperoleh skor tertinggi, dan kelompok bawah (kurang), yaitu siswa yang memperoleh skor rendah. Ketiga, menghitung jumlah siswa pada masing-masing kelompok yang menjawab dengan benar setiap butir soal. Selanjutnya daya pembeda soal ditentukan dengan rumus :
BA BB
D = ____ - ____ = PA – PB
JA JB
BA adalah jumlah kelompok atas menjawab benar, BB adalah jumlah kelompok bawah yang menjawab benar, sedangkan JA adalah jumlah siswa kelompok atas dan JB adalah jumlah siswa kelompok bawah.


Berfungsi tidaknya pilihan, diketahui melalui distribusi jawaban dari kedua kelompok (kelompok atas dan kelompok bawah), untuk setiap alternatif pilihan dari setiap butir soal, caranya adalah dengan menghitung berapa orang siswwa yang memilih setiap pilihan untuk setiap soal.
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang berkemampuan rendah. Daya pembeda dilambangkan dengan D, dapat dikelompok menjadi baik, cukup, sedang dan kurang. Yang termasuk kategori cukup bila D berada antara 0,30 sampai dengan 0,39. Yang termasuk kategori sedang bila D berada antara 0,20 sampai dengan 0,29. dan yang termasuk kategori kurang bila D berada antara 0,01 sampai dengan 0,9.
Daya pembeda soal dapat digambarkan pada tabel di bawah ini :

Tabel 2 : Daya Pembeda Soal :
No
Taraf Kesukaran
Jumlah
Prosentase %
1
2
3
4
Kurang
Sedang
Cukup
Baik
28
10
10
2
56 %
20 %
20 %
4 %

Jumlah
50
100 %



Dari tabel di atas terlihat bahwa soal-soal yang baik daya bedanya adalah 2 buah ( 4 % ). Soal tersebut nomor 41 dan 49. Soal yang tergolong sedang daya bedanya sebanyak 10 butir yaitu nomor 4, 8, 22, 23, 27, 28, 29, 38, 43, dan 48. Soal yang cukup daya bedanya 10 butir ( 20 % ) yaitu nomor 2, 6, 9, 11, 17, 25, 26, 31, 40, dan 42. Sedangkan sisanya 28 butir ( 56 % ) termasuk kategori kurang daya bedanya, yaitu nomor 1,3, 5, 7, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 24, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 44, 45, 46, 47, dan 50.
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai ( berkemampuan tinggi ) dengan siswa yang bodoh ( berkemampuan rendah ). Makin tinggi daya beda makin baik butir soal. Soal yang daya bedanya tinggi harus dijawab benar oleh semua atau sebagian besar kelompok atas dan tidak dapat dijawab semua atau sebagian oleh kelompok bawah. Bila terjadi sebaliknya maka soal menyesatkan siswa.
Soal yang baik adalah soal yang mempunyai indeks daya beda antara 0,40 sampai dengan 1,00. Soal yang punya indeks daya beda cukup berada antara 0,30 sampai dengan 0,39. Yang mempunyai indeks daya beda sedang berada antara 0,20 sampai dengan 0,29. Sedangkan bila daya beda berada antara 0,01 sampai dengan 0,19 soal-soal tersebut termasuk kurang daya bedanya.
Analisis data menunjukan, dari 50 soal yang diujikan hanya dua butir soal yang tergolong baik daya bedanya. Soal-soal tersebut adalah nomor 41 dan 49. Soal nomor 41 dijawab dengan benar oleh 25 orang kelompok atas (pandai ) dan 13 orang kelompok bawah ( kemampuan rendah). Sedangkan soal nomor 49 dijawab benar oleh kelompok atas sebanyak 17 orang dan dijawab benar oleh kelompok bawah hanya sebanyak 1 orang. Sebagian besar butir tes ( 56 % ) kurang mampu membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Soal-soal tersebut adalah nomor, 1, 3, 5, 7, 10 , 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 24, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 44, 45, 46, 47, dan 50.
Soal-soal yang kurang mampu membedakan siswa yang pandai dengan siswa yang berkemampuan rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah kemampuan pokok soal untuk memberikan struktur terhadap pertanyaan. Penyebab lain seperti kekaburan butir pertanyaan. Soal yang kurang jelas dan kurang tegas perumusannya akan menyebabkan pengertian yang kurang jelas. Begitu juga soal-soal yang bersifat mendua akan menyebabkan pengertian yang berbeda-beda.
BAB III
P E N U T U P

A.      Kesimpulan

Berdasarkan deskripsi data, analisis data, serta pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: Pertama, dari tingkat kesukaran, soal-soal Aqidah akhlak termasuk kategori sedang. Hal ini terbukti dengan dapat dijawabnya soal-soal tersebut oleh sebagian besar siswa. Kedua, dari segi daya pembeda, sebagian besar soal-soal Aqidah Akhlak mampu membedakan siswa yang pandai dengan siswa yang berkemampuan rendah. Ketiga, dari segi penerkaan soal, beberapa alternatif pilihan tidak berfungsi, hal ini terlihat dari beberapa alternatif pilihan tidak dipilih oleh siswa.
Berdasarkan temuan penelitian dan kesimpulan di atas, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : Pertama, sesuai dengan kesimpulan umum, maka disarankan agar pengadministrasian tes Aqidah Akhlak MTs diawali dengan prosedur yang benar. Kedua, soal-soal yang tidak dapat membedakan siswa yang pandai dengan siswa yang berkemampuan rendah sebaiknya direvisi. Ketiga, alternatif pilihan jawaban yang tidak dipilih oleh siswa perlu direvisi.

B.       Saran

Terima kasih kami ucapakan kepada para pembaca makalah ini khususnya mahasiswa dan mahasiswi yang mempelajari makalah ini semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Mungkin makalah ini masih banyak di temukan kesalahan dan mungkin masih jauh dari sempurna. untuk itu kami memohon kritik dan sarannya yang bersifat membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Oleh Drs. H. Rasyidul Basri, M.A Widyaiswara Madya Balai Diklat Keagamaan Padang Filed under. Pendidikan Ditandai: Artikel