Jumat, 22 Juli 2016

Ke - IPM - an

Pemateri : Ilyas Rozak Hanafi


Diberikan Pada TM 1 SMA Muhammadiyah 1 Metro TA. 2014-2015

MELACAK JEJAK SEJARAH
 Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) berdiri 18 Juli 1961, hampir setengah abad setelah Muhammadiyah berdiri. Namun demikian, latar belakang berdirinya IPM tidak terlepas kaitannya dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma'ruf nahi mungkar yang ingin metakukan pemurnian terhadap pengamalan ajaran Islam, sekaligus sebagai salah satu konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader. Oleh karena itulah dirasakan perlu hadirnya Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi para pelajar yang terpanggit kepada misi Muhammadiyah dan ingin tampil sebagai pelopor, pelangsung penyempurna perjuangan Muhammadiyah.
 Jika dilacak jauh ke belakang, sebenarnya upaya para pelajar Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah sudah dimulai jauh sebelum lkatan Pelajar Muhammadiyah berdiri pada tahun 1961. Pada tahun 1919 didirikan Siswo Projo yang merupakan organisasi persatuan pelajar Muhammadiyah di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahun 1926, di Malang dan Surakarta berdiri GKPM (Gabungan Keluarga Pelajar Muhammadiyah). Selanjutnya pada tahun 1933 berdiri Hizbul Wathan yang di dalamnya berkumpul pelajar-pelajar Muhammadiyah.
   Setelah tahun 1947, berdirinya kantong-kantong pelajar Muhammadiyah untuk beraktivitas mulai mendapatkan resistensi dari berbagai pihak, termasuk dari Muhammadiyah sendiri. Pada tahun 1950, di Sulawesi (di daerah Wajo) didirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah, namun akhirnya dibubarkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat. Pada tahun 1954, di Yogyakarta berdiri GKPM yang berumur 2 bulan karena dibubarkan oleh Muhammadiyah. Selanjutnya pada tahun 1956 GKPM kembali didirikan di Yogyakarta, tetapi dibubarkan juga oleh Muhammadiyah (yaitu Majetis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah).
Setelah GKPM dibubarkan, pada tahun 1956 didirikan Uni SMA Muhammadiyah yang kemudian merencanakan akan mengadakan musyawarah se-Jawa Tengah. Akan tetapi, upaya ini mendapat tantangan dari Muhammadiyah, bahkan para aktifisnya diancam akan dikeluarkan dari sekolah Muhammadiyah bila tetap akan meneruskan rencananya. Pada tahun 1957 juga berdiri IPSM (Ikatan Pelajar Sekolah Muhammadiyah) di Surakarta, yang juga mendapatkan resistensi dari Muhammadiyah sendiri.
   Resistensi dari berbagai pihak, termasuk Muhammadiyah sendiri, terhadap upaya mendirikan wadah atau organisasi bagi pelajar Muhammadiyah sebenarnya merupakan refleksi sejarah dan politik di Indonesia yang terjadi pada awal gagasan ini digulirkan. Jika merentang sejarah yang lebih luas, berdirinya IPM tidak terlepas kaitannya dengan sebuah background politik ummat Islam secara keseluruhan. Ketika Partai Islam MASYUMI berdiri, organisasi-organisasi Islam di Indonesia merapatkan sebuah barisan dengan membuat sebuah deklarasi (yang kemudian terkenal dengan Deklarasi Panca Cita) yang berisikan tentang satu kesatuan ummat Islam, bahwa ummat Islam bersatu dalam satu partai Islam, yaitu Masyumi; satu gerakan mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); satu gerakan pemuda Islam, yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPll); satu gerakan pelajar Islam, yaitu Pelajar Islam Indonesia (Pll); dan satu Kepanduan Islam, yaitu Pandu Islam (PI). Ternyata, kesepakatan bulat organisasi-organisasi Islam ini tidak dapat bertahan lama, karena pada tahun 1948 PSll keluar dari Masyumi yang kemudian diikuti oleh NU yang keluar pada tahun 1952.
Muhammadiyah tetap bertahan di dalam Masyumi sampai Masyumi membubarkan diri pada tahun 1959. Bertahannya Muhammadiyah dalam Masyumi pada akhirnya menjadi mainstream yang kuat  bahwa deklarasi Panca Cita hendaknya ditegakkan demi kesatuan ummat Islam Indonesia. Selain itu, resistensi justru dari Muhammadiyah terhadap gagasan IPM juga disebabkan adanya anggapan yang merasa cukup dengan adanya kantong- kantong angkatan muda Muhammadiyah, seperti Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atut 'Aisyiyah, yang pada waktu itu cukup bisa mengakomodasikan  kepentingan para pelajar Muhammadiyah.
 Dengan kegigihan dan kemantapan para aktifis pelajar Muhammadiyah pada waktu itu untuk membentuk organisasi kader Muhammadiyah di kalangan pelajar akhirnya mulai didapat titik-titik terang danmulai muncul gejala-gejala keberhasilannya, yaitu ketika pada tahun 1958 Konferensi Pemuda Muhammadiyah Daerah di Garut berusaha melindungi aktifitas para pelajar Muhammadiyah di bawah pengawasan Pemuda Muhammadiyah. Mulai saat itulah upaya pendirian organisasi pelajar Muhammadiyah dilakukan dengan serius, intensif, dan sistematis. Pembicaraan- pembicaraan mengenai perlunya berdiri organisai pelajar Muhammadiyah banyak dilakukan oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 
Berdasar keputusan Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Garut tersebut yang diperkuat pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-2 pada tanggal 24-28 Juli 1960 di Yogyakarta, diputuskan untuk membentuk Ikatan Pelajar Muhammadiyah (Keputusan ll/No. 4). Keputusan tersebut antara lain sebagai berikut:
1.Muktamar Pemuda Muhammadiyah meminta  kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majetis   Pendidikan dan Pengajaran supaya memberi  kesempatan dan menyerahkan kompetensi  pembentukan IPM kepada PP Pemuda  Muhammadiyah.
2.Muktamar Pemuda Muhammadiyah meng amanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk menyusun konsepsi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dari pembahasan-pembahasan Muktamar tersebut, selanjutnya untuk segera dilaksanakan setelah mencapai kesepakatan pendapat dengan Majetis Pendidikan dan  Pengajaran PP Muhammadiyah .
Kata sepakat akhirnya tercapai antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majetis Pendidikan dan Pengajaran tentang pembentukan organisasi pelajar Muhammadiyah. Kesepakatan tersebut dicapai pada tanggal 15 Juni 1961 yang ditandatangani bersama antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah MajetisPendidikan  dan Pengajaran. Rencana pendirian IPM tersebut kemudian dimatangkan tagi dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta tanggal 18 20 Juli 1961. Akhirnya, secara nasional, metalui forum tersebut IPM resmi berdiri dengan penetapan tanggal 18 Juli 1961 sebagai hari kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Berkembangnya IPM menghasilkan perluasan jaringan yang bisa menjangkau seluruh sekolah Muhammadiyah di Indonesia. Pimpinan IPM tingkat ranting didirikan di setiap sekolah Muhammadiyah. Berdirinya IPM di sekolah-sekolah Muhammadiyah ini ternyata kemudian menimbulkan kontradiksi dengan kebijakan pemerintah Orde Baru di dalam UU Keormasan yang menyatakan, bahwa satu- satunya organisasi pelajar di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia hanyalah Organisasi Siswa intra-Sekolah (OSIS). Padahal, di sekolah-sekolah.
Muhammadiyah sudah terdapat organisasi pelajar Muhammadiyah, yaitu IPM. Dengan demikian, ada dualisme organisasi pelajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Dualisme itu menimbulkan ketegangan. IPM harus merubah namanya untuk tidak menggunakan kata "Pelajar". Dan ketegangan yang cukup signifikan terjadi ketika Muktamar IPM tahun 1989 yang rencananya dilangsungkan di Medan batal diselenggarakan dan tidak jelas statusnya karena tidak mendapat ijin penyelenggaraan dari pemerintah, atas nama UU Keormasan.
Situasi tidak menentu bagi eksistensi IPM berlanjut selama kurang lebih tiga tahun kemudian. Ketidakjelasan status dan eksistensi yang tidak menguntungkan itu akhirnya mencapai klimaknya pada saat Konferensi Pimpinan Wilayah IPM tahun 1992 di Yogyakarta, dimana Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu (Akbar Tanjung) berkenan menghadiri Konpiwil secara khusus dan secara implisit menyampaikan kebijakan pemerintah kepada IPM, agar IPM melakukan penyesuaian dengan kebijakan pemerintah. Menyikapi himbauan pemerintah tersebut, akhirnya Pimpinan Pusat IPM membentuk Tim Eksistensi yang bertugas untuk menyelesaikan permasalahan ini. Setelah dilakukan pengkajian intensif, Tim Eksistensi ini merekomendasikan perubahan nama dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah.
Perubahan ini bisa jadi merupakan sebuah peristiwa yang tragis dalam sejarah organisasi, karena perubahannya mengandung unsur-unsur kooptasi dari pemerintah. Bahkan ada yang menganggap bahwa IPM tidak memiliki jiwa heroism sebagaimana yang dimiliki oleh Pelajar Islam Indonesia yang tetap tidak mau mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasinya dan tidak mau mengganti kata Pelajar dari   nama organisasinya, sambil menerima konsekuensi tidak diakui keberadaannya oleh Pemerintah Orde Baru.
Namun, sesungguhnya perubahan nama tersebut, jika ditimbang-timbang, merupakan blessing in disguise (rahmat tersembunyi). Perubahan nama dari IPM ke IRM sebenarnya berpetuang semakin mempertuas jaringan dan jangkauan organisasi ini yang tidak hanya menjangkau pelajar, tetapi juga basis remaja yang lain, seperti kalangan remaja santri, remaja masjid, remaja kampung, dan lain-lain. Dengan demikian,lRM memiliki jangkauan garapan yang lebih luas yakni remaja. IRM dengan garapan yang luas tersebut mempunyai tantangan yang berat karena tanggung jawab moral yang semakin besar.
Gerakan IRM dituntut untuk dapat menjawab persoalan-persoalan keremajaan yang semakin kompleks di tengah dinamika masyarakat yang selatu mengalami perubahan. Keputusan pergantian nama ini tertuang dalam SK Pimpinan Pusat IPM Nomor Vl/PP.lPM/1992, yang selanjutnya disahkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 18 Nopember 1992 metalui SK PP Muhammadiyah Nomor 53/SK-PP/IV.B/1.b/ 1992 tentang pergantian nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Dengan demikian, secara resmi perubahan IPM menjadi IRM adalah sejak tanggal 18 Nopember 1992.
Reformasi yang terjadi di Indonesia tahun 1998 yang berhasil meruntuhkan pemerintah Orde Baru kemudian mendasari para aktivis IRM untuk memikirkan perubahan kembali nama organisasi menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Keinginan untuk mengembalikan nama dari IRM menjadi IPM muncut pertama kali pada Muktamar XII di Jakarta tahun 2000. Pada setiap permusyawaratan Muktamar setanjutnya pun, dialektika pengembalian nama terus bergulir seperti "bola liar" tanpa titik terang. Barulah titik terang itu sedikit demi sedikit muncul pada Muktamar XV IRM di Medan tahun 2006. Pada Muktamar kali ini dibentuk "Tim Eksistensi IRM" guna mengkaji basis massa IRM yang nantinya akan berakibat pada kemungkinan perubahan nama.
Keputusannya IRM kembali menjadi IPM. PP Muhammadiyah akhirnya mendukung keputusan perubahan nama itu dengan  mengeluarkan SK nomenklatur tentang perubahan nama dari Ikatan Remaja Muhammadiyah menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah atas dasar rekomendasi Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2007. Walaupun sudah ada SK nomenklatur, namun di internal IRM masih mengalami gejotak antara pro dan kontra atas keputusan perubahan   nama tersebut.
 Selanjutnya, Pimpinan Pusat IRM mengadakan konsolidasi dengan seluruh Pimpinan Wilayah IRM se-Indonesia di Jakarta, Juli 2007, untuk membicarakan tentang SK nomenklatur. Pada kesempatan itu, hadir PP Muhammadiyah untuk menjelaskan perihal SK tersebut. Pada akhir sidang, setelah metalui proses yang cukup panjang, forum memutuskan bahwa IRM akan berganti nama menjadi IPM, tetapi perubahan nama itu secara resmi dilaksanakan pada saat Muktamar XVI IRM 2008 di Solo. Konsolidasi gerakan diperkuat lagi pada Konferensi Pimpinan Wilayah (Konpiwil) IRM di Makassar, 26-29 Januari 2008 (sebelum Muktamar XVI di Solo) untuk menata konstitusi baru IPM. Maka dari itu, nama IPM disyahkan secara resmi pada tanggal 28 Oktober 2008 di Solo.

NILAl-NILAl DASAR IPM
1.  Nilai Keislaman (Menegakkan dan menjunjung  tinggi nilai-nilai ajaran Islam). Islam yang dimaksud adalah agama rahmatan til 'alamin yang membawa kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan ketentraman bagi seluruh umat manusia yang bersumber dari Al- Qur'an dan as-Sunnah. Artinya, Islam yang dihadirkan oleh IPM adalah Islam yang sesuai dengan konteks zaman yang selalu berubah-ubah dari satu masa ke masa selanjutnya.
2.Nilai Keilmuan (Terbentuknya pelajar muslim  yang berilmu). Nilai ini menun-jukkan bahwa IPM memiliki perhatian serius terhadap ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita akan mengetahui dunia secara luas, tidak hanya sebagian saja. Karena dari waktu ke waktu, ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan berubah. IPM berkeyakinan, ilmu  pengetahuan adatah jendela dunia.
3.Nilai Kekaderan (Terbentuknya pelajar muslim  yang militan dan berakhlak mulia). Sebagaiorganisasi kader, nilai ini menjadi konsekuensi  tersendiri bahwa IPM sebagai anak panah Muhammadiyah untuk mewujudkan kader yang  memiliki militansi dalam berjuang. Tetapi  militansi itu ditopang dengan nilai-nilai budi  pekerti yang mulia.
4.Nilai Kemandirian (Terbentuknya pelajar muslim yang terampil). Nilai ini ingin mewujudkan kader-kader IPM yang memiliki jiwa yang independen dan memiliki ketrampilan pada bidang tertentu (skill) sebagai bentuk kemandirian personal dan gerakan tanpa tergantung pada pihak lain.
5. Nilai Kemasyarakatan (Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya/ The Realislamic Society). Nilai kemasyarakatan dalam gerakan IPM berangkat dari kesadaran IPM untuk selalu berpihak kepada cita-cita penguatan masyarakat sipil. Menjadi suatu keniscayaan jika IPM sebagai salah satu ortom Muhammadiyah menyempurnakan tujuan  Muhammadiyah di kalangan pelajar.

JARINGAN STRUKTURAL IPM
 Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan tingkat Ranting. Pimpinan Pusat adalah kesatuan wilayah-wilayah dalam ruang lingkup nasional. Pimpinan Wilayah adalah kesatuan daerah-daerah dalam tingkat propinsi. Pimpinan Daerah adalah kesatuan cabang-cabang dalam tingkat kabupaten/kota. Sedangkan Pimpinan Cabang adatah kesatuan ranting-ranting dalam satu kecamatan. Pimpinan Ranting adalah kesatuan anggota-anggota dalam satu sekolah, desa/kelurahan atau tempat lainnya.
 Saat ini, Ikatan Pelajar Muhammadiyah telah menjangkau seluruh wilayah Indonesia, dengan 32 Pimpinan Wilayah, 355 Pimpinan Daerah, dan sejumlah Pimpinan Cabang serta Pimpinan Ranting IPM di semua sekolah Muhammadiyah tingkat SLTP dan SLTA.
MANIFESTO GERAKAN KRITIS-TRANSFORMATIF
 Satu semboyan yang sangat monumental dalam perjalanan IPM pada tahun 1990'an awal, Tri-Tertib: "Tertib lbadah, Tertib Belajar dan Tertib Berorganisasi", adalah ruh gerakan dan merupakan cita-cita dan karakter khas yang dimiliki oleh setiap anggota IPM. Paradigma pengembangan diri ini mendapatkan akar pemikirannya pada tradisi developmentalisme yang melihat sebab-musabab berbagaipermasalahan sosial berasal dari kelemahan kultural, modal manusia yang lemah, kurang adanya achievement dan berbagai kekurangan yang dimiliki pelakunya. Pada masa sekarang ini, paradigm pengembangan diri mengalami stagnasi karena sering tidak berhasil mengatasi berbagai masalah sosial yang ada.

  IPM menyempurnakan paradigma gerakannya tidak hanya berkutat pada program-program pengembangan diri tetapi juga memasuki ranah struktur dan sistem sosial yang berlaku. Di sini IPM menempatkan diri sebagai Gerakan Kritis- Transformatif. Gerakan Kritis-Transformatif memiliki tiga pondasi utama: "Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan".

STRATEGI GERAKAN KRITIS TRANSFORMATIF
  Strategi perjuangan merupakan cara praktis bagi IPM untuk melakukan gerakan-gerakan riil yang sesuai dengan basisnya. Harapannya, strategi gerakan ini menjadi pintu pembuka agar nilai-nilai yang ada dalam IPM bisa segera dijalankan oleh para pelajar di tingkat sekolah. Dengan strategi ini, IPM bisa menanamkan nilai-nilai perjuangannya kepada parakaderdan anggotanya.
1. Strategi Gerakan Keislaman
 IPM adalah gerakan Islam yang menegakkan nilai-nilai tauhid di muka bumi. Nilai-nilai tauhid yang telah diperjuangkan oleh para nabi sejak Nabi Adam A.S. hingga Muhammad SAW. Tauhid yang berisi ajaran amar ma'ruf (humanisasi dan emansipasi), nahi munkar (liberasi/pembebasan) dan tu'minuna billah (spiritualisasi). Tiga nilai itulah yang menjadi dasar bagi IPM untuk menjadikan  Islam sebagai agama yang transformatif, agama yang kritis terhadap realitas sosial, pro-perubahan, anti-ketidakaditan, anti- penindasan, anti-pembodohan serta memihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Singkatnya, itulah yang dinamakan Islam transformatif yang menjadi cara pandang IPM dalam berjuang dan harus tertanam kuat pada setiap diri kader IPM.
   Untuk mewujudkan IPM menjadi gerakan kritis, maka strategi keislaman yang harus kita bangun adalah Islam yang dinamis. Internalisasi Islam transformatif dalam diri kader dan gerakan menjadi syarat muttak. Semakin kader memahami apa itu Islam transformatif, maka semakin radikal (mendalam) pula pemahaman mereka dalam merealisasikan gerakan kritis IPM di ranah perjuangan. Selama kader-kader kita belum memahami apa itu Islam transformatif, maka selama itu pula gerakan kritis IPM akan mengalami stagnasi. Karena pemahaman Islam transformative merupakan dasar bagi terbangunnya ideology gerakan kritis IPM. Untuk membentuk ideology tersebut diperlukan beberapa tahap:
1) Membangun tradisi pengkajian Islam berparadigmakritis-transformatif.
2)Mendistribusikan wacana Islam transformatif secara massif di internal kader di seluruh struktur.
3)Membuat public sphere (ruang publik) sebagai forum dialektika pengetahuan, pemahaman, praktek keberistaman transformatif antar- kader baik dalam bentuk pengajian, diskusi  rutin, atau di ruang maya (internet).

2. Strategi Gerakan Kader
 IPM adalah gerakan kader. Maka kaderisasi nerupakan tugas utama IPM dan juga sebagai media internalisasi nilai-nilai gerakan pada setiap kader. Tanpa adanya kaderisasi, maka menjadi faktor utama lemahnya gerakan. Dengan adanya kaderisasi yang disiplin, sistematik, dan berorientasi futuristik diharapkan mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks. Dalam kaderisasi yang ideal inilah nilai-nilai Islam kritis-transformatif dapat terus ditanamkan. Untukmerealisasikan tujuan ideal di atas maka dibutuhkan strategi gerakan, yaitu:
1) Disiplin menerapkan pengkaderan dalam setiap  tingkatan.
2) Memperbanyak aktivitas-aktivitas perkaderan,  baik bersifat formal maupun informal.
3)Melakukan pendampingan intensif terhadap  kader-kader.

3. Strategi Gerakan Intelektual
 Karakter intelektual mempunyai ciri berfikir dan bertindak secara ilmu-iman-amal, iman-ilmu- amal, amal-ilmu-amal   secara  dialektis.  Tidak meman-dang remeh salah satu di antara ketiga dimensi tersebut (ilmu-iman-amal), tetapi memandang ketiganya sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dan harus dimiliki oleh setiap kader. Kader yang mampu mendialektikakan ketiga dimensi itu dalam ranah perjuangan dapat kita sebut sebagai intelek-tual kritistransformatif. Yaitu kader yang bukan hanya pandai berteori atau shaleh ritual atau melakukan kerja-kerja teknis organisatoris saja, tapi kader yang mempunyai wacana pemikiran radikal (mendalam), juga shaleh sosial dan partisipasi aktif mewujudkan perubahan sosial. Kader-kader yang mem-punyai ciri-ciri seperti inilah yang nantinya mampu menjadi pelopor gerakan kritistransformatif. Untuk mewujudkan kader yang mempunyai cirri intelektual kritis-transformatif, maka IPM memerlukan sebuah strategi intelektual. Strategi intelektual ini dapat kita wujudkan dengan berbagai cara, antara lain:
1)   Mentradisikan membaca sebagai aktivitas  wajib kader.
2)Melatih berfikir filosofis atau radikal  (mendalam).
3)Menulis sebagai media untuk menuangkan ide- ide yang ada di dalam pikiran.
4)Membuat ruang dialektika, diskusi, dan sharing sebagai media bertatih berfikir dan bertindak kritis.
5)Merealisaikan pemikiran dalam sebuah tindakan serta merefleksikannya sebagai langkah untuk menteorisasikan kembali pengalaman-pengalaman tapangan yang diperolehnya.
 Dengan menerjemahkan strategi itu, maka niscaya tradisi intelektual kritis di lingkungan IPM akan terbangun. Tradisi intelektual kritis inilah yang akan mempercepat terwujudnya  pelajar yang cinta akan ilmu.

4.StrategiGerakan Budaya
 Sebagai gerakan pelajar, IPM pun harus mampu membangun tradisi kebudayaan yang kritis- transformatif. Budaya kritis-transformatif adalah  budaya yang disemangati oleh nilai-nilai amar ma'ruf, nahi munkar, dan tu'minuna billah. Budaya terbentuk dari tiga unsur; 1) Sistem ide, gagasan, dan pemikiran 2) Sistem tindakan dan 3) Sistem artefak.
Ketiga unsur itu merupakan satu kesatuan dan kesatuan itu harus merepresentasikan nilai- nilai transformatif. Seni merupakan jenis budaya yang cukup strategis untuk dikembangkan di kalangan pelajar serta dijadikan sebagai alat perjuangan bagi IPM. Seni yang mampu membangun kritisme terhadap realitas sosial, menyuarakan kepedihan penindasan dan ketidakadilan, membangun semangat perlawan terhadap kedhaliman serta seni yang mampu menghadirkan Tuhan yang berjuang bersama untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai seni tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk karya lagu, puisi, cerpen, novel, drama, teater, lukisan, poster, kaos, karikatur, monolog dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.  Untuk mewujudkankan seni yang kritis dibutuhkan kader-kader yang secara serius mengelutinya. Mereka inilah yang nantinya bertanggungjawab membangun counter culture terhadap hegemoni budaya kapitalis.
Membuat genre baru tentang kebudayaan yang kritis. Tapi yang menjadi perhatian kita adalah, bahwa selama ini kita belum mampu memproduksi artefak- artefak seni budaya yang dikenal dan cukup mempengaruhi masyarakat atau bahkan gerakan kita sendiri. Karena itu, strategi budaya yang dapat kita lakukan adatah:
1. Membangun komunitas seni-budaya yang  bernuansa kritis.
2. Memproduksi artefak-artefak seni danbudaya dalam berbagai hat (lagu, puisi, cerpen, karikatur, lukisan, kaos, poster, pin, sticker, dit.) yang isinya bermuatan nilai-nilai kritis.
3. Mendistribusikan bentuk-bentuk seni dan budaya lokal secara massif di kalangan pelajar.
4. Apresiasi terhadap artefak-artefak tersebut baik untuk kader-kader kita maupun orang lain.

5. Strategi Gerakan Kewirausahaan
-Salah satu bentuk dari kemandirian gerakan IPM adatah adanya keteramplian pada bidang tertentu. Hal ini sebagai bekal kader IPM ke depan maupun organisasi IPM itu sendiri. Dengan bekal kemandirian inilah, IPM mampu mencetak kader yang memiliki bekal mandiri di hidupnya yang akan datang.
Kemandirian itu diwujudkan datam bidang kewirausahaan. Kita masih ingat, kelahiran Muhammadiyah karena para pedagang yang sukses. KHA Dahlan pun seorang pedang. Karena itu, sejak di bangku sekolah, IPM harus mencetak para kader yang memiliki kemandirian dalam hidup. Karena itu, ada beberapa strategi yang harus dicapai dalam strategi gerakan kewirausahaan ini:
1) Menghidupkan dan menumbuhkembangkan koperasi sekolah yang dikelota oleh siswa/ IPM ranting sekolah.
2) Mengadakan forum-forum diskusi tentang dunía kewirausahaan sebagai bekal dan modal dalam berusaha di masa yang akan datang.
3)   Melakukan kunjungan-kunjungan ke pusat- pusat pemberdayaan ekonomi, agar para siswa mampu belajar kepada perusahaan-perusahaan tersebut.

6. Strategi Gerakan Kemasyarakatan
 Sebagai salah satu gerakan sosial, IPM bercita-cita mengangkat harkat dan martabat manusia (khususnya pelajar) dalam kondisi yang lebih manusiawi, adil, damai, dan sejahtera. Apabila ada dehumanisasi, ketidakaditan, diskriminasi, penindasan, dan pembodohan IRM akan bersuara lantang dan maju ke depan untuk melakukan perubahan, baik itu dengan penyadaran, pendampingan, pemberdayaan, maupun perlawanan. Realitas kedhaliman di bumi ini semakin hari semakin canggih dan tidak kita sadari kehadirannya. Karena itu, IPM harus kritis dalam membaca segala bentuk kedhaliman dalam realitas ini. Bagaimana agar IPM kritis terhadap realitas?
1)Terlibat aktif bersama rakyat dalam pergulatan sosial untuk menemukan problem sosial.
2)Mampu membaca dan mengenali stakeholders (pihak-pihak yang terkait dalam masyarakat) sehingga IPM bisa memetakan posisinya.
3) Dapat menjelaskan bagaimana relasi/hubungan yang terjadi dalam stakeholders dan realitas sosial tersebut, apakah ada yang dirugikan atau ada yang untungkan? Ada yang ditindas-ada yang  menindas? Kalau relasi timpang itu terjadi apa yang harus dilakukan IPM?
4) Melakukan pendidikan politik bagi pelajar secara massif, khususnya tentang apa itu negara, apa tujuannya, serta relasinya dengan rakyat dalam perbincangan politik.
5) Merespon wacana-wacana politik kontemporer dalam perspektif politik advokatif.
6) Melakukan aksi-aksiadvokatif untuk memperjuangkan kepentingan rakyat

AGENDA AKSI
Agenda aksi merupakan bentuk kegiatan konkrit dari strategi yang telah dijelaskan di atas. Agenda aksi bisa dipahami sebagai produk rill dari kegiatan IPM.

1. Pengajian Islam Rutin (PIR)
   Pengajian Islam Rutin atau disingkat PIR merupakan kegiatan rutin tentang dunia Islam dan yang terkait dengannya yang diadakan oleh pengurus IPM Ranting. Kegiatan ini diadakan sebagai penguatan nilai-nilai keislaman yang berwawasan rahmatan til alamin di kalangan pelajar.
   Tujuan PIR adalah mewujudkan pribadi-pribadi kader Muhammadiyah yang militan di kalangan pelajar sehingga memiliki wawasan keislaman yang rahmatan til 'alamin serta manyambung silaturahmi di antara para pelajar dan guru.

2. Sekolah Kader
   Sekolah Kader merupakan suatu proses pendidikan yang disusun secara terpadu meliputi penyadaran, pemberdayaan, dan pembelaan terhadap kader IPM. Berlangsung dalam jangka waktu tertentu setelah perkaderan formal tingkat muda (TM 11). Untuk alumni TM 111 dan TM Utama tidak ada karena, diharapkan langsung mampu berkiprah dalam kancah yang lebih luas. Alasan lain adalah, karena letak geografis yang cukup luas sehingga bisa mengakibatkan ketidakefektifan kegiatan. Selain itu, jika alumni TM I dan TM || masih "dipikirkan", maka alumni TM lll dan TM Utama harus sudah "memikirkan".
  Tujuan Sekolah Kader adalah terbentuknya kader pelopor-ideologis yang memiliki komitmen dan loyalitas tinggi terhadap ikatan, berwawasan luas, berlandaskan akidah Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta mampu menjadi inti penggerak organisasi dan pelangsung tongkat estafeta kepemimpinan IRM  demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

3. Gerakan Iqra
Gerakan Iqra adalah gerakan pembudayaan tradisi membaca dan menulis kepada kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah di seluruh tingkatan. Tujuan gerakan Iqra adalah: 1). Mewujudkan tradisi membaca dan menulis di tubuh ikatan; 2). Mencipkan ruang khusus untuk melakukan diskursus wacana-wacana kontemporer; 3). Mewujudkan kader IPM yang peka dan kritis terhadap realitas; 4). Mewadahi minat dan potensi kader untuk megasah dan mengembangkan IPTEK.


4. Gerakan Budaya Tanding
Gerakan budaya tanding merupakan proses stimulasi kesadaran kritis pelajar dalam menanggapi hegemoni budaya kapitalis-industri media. Gerakan kebudayaan IPM mengarahkan pelajar pada penolakan terhadap bentuk-bentuk budaya konsumtif yang diintroduksikan metalui media-media massa. Media massa sebagai instrumen kebudayaan harus ditanggapi secara kritis karena perannya dalam penanaman nilai-nilai yang akan berimplikasi pada bentuk atau artefak budaya yang dipraktikkan pelajar. Budaya sendiri merupakan struktur yang kompleks dengan mencakup 3 unsur; 1) sistem ide,  gagasan. 2) Sistem tindakan. 3) sistem artefak atau bendawi.
Sementara, gagasan budaya dipandang dalam dua persepsi umum, yakni; pertama, Kebudayaan sebagai hasil cipta rasa dan karsa yanga memiliki estetika dan intelektualitas. Kedua, Kebudayaan merupakan rangkaian perilaku/praktik hidup sehari-hari (realisme sosial) Gerakan budaya tanding IPM berangkat dari problem realitas pelajar yang banyak terpengaruh dari budaya-budaya pop sebagai implikasi dari globalisasi dan teknologi komunikasi. Sehingga, IPM berkewajiban untuk melakukan perlawanan terhadap berbagai bentuk hegemoni yang mampu mereduksi identitas kebangsaan pelajar, baik artefak budayanya maupun corak pikir yang berimplikasi pada perilaku konsumerisme, perilaku kebarat-baratan, maupun kesadaran kritis yang merosot.
Tujuan gerakan budaya tanding adatah: 1). Menciptakan ruang khusus bagi kader untuk melakukan elaborasi wacana budaya pop. 2). Mewujudkan kader IPM yang peka terhadap hegemoni budaya global me-lalui industri media. 3). Mewadahi kader ikatan yang berkonsentrasi pada kajian budaya dalam   Tanfidz Muktamar XVI IRM 20 mengampanyekan gerakan kearifan lokal sebagai sintesis atas budaya global metalui industri media.

5. Gerakan Kewirausahaan
  Kewirausahaan merupakan spirit kemandirian pelajar Muhammadiyah yang harus kita kawal bersama, mengingat kondisi pelajar yang semakin menggantungkan keberlangsungan hidup organisasi (IPM) kepada pihak lain. Hal ini secara berkesinambungan  harus dihilangkan pada setiap level pimpinan selain itu spirit kemandirian adalah mental kebangkitan pelajar baru untuk Indonesia yang berkemajuan.
  Kewirausahaan diprogramkan secara massif sehingga inti dan warna kemandirian terlihat pada level pimpinan ranting yang merupakan trend setter pelajar yang mandiri dan eksis dan merupakan bentuk kelompok sosial elit. Gerakan kewirausahaan wajib disyiarkan secara akbar dan bersama. Gerakan kewirausahaan bermuara pada pelajar untuk memotivasi jiwa kemandirian pelajar (Ranting) serta mampu melepaskan diri dari ketergantungan bentuk pendanaan praktis.
 Tujuan gerakan kewirausahaan: 1).Terwujudnya pelajar yang bermental mandiri dan memiliki spirit perubahan; 2). Memberikan modal keilmuan mengenai enterpreneurship; 3). Pengembangan kegiatan inovatif yang berorientasi pada kemandirian wirausaha pelajar. 


6. Gerakan Advokasi Pelajar
 Pelajar sebagai bagian dari warga Negara dalam kehidupan masyarakat dan bernegara relative termarginalkan, sedikit banyak hanya sebagai korban (objek) kebijakan kekuasaan yang tidak pro pelajar. Meskipun hak-hak pelajar sebagai warga negara sudah dijamin oleh undang-undang, namun
dalam prakteknya, pelajar masih ditempatkan sebagai objek pendidikan. Sehingga tak jarang kita melihat pelajar selalu ditindas dengan berbagai tugas, beban biaya yang tinggi dan model komunikasi yang tidak humanis. Dari berbagai fenomena yang muncul seperti tersebut di atas, maka IPM perlu memberikan sumbangsih terhadap persoalan pendidikan terutama persoalan kepelajaran dalam bentuk pengakomodirian aspirasi dan pembelaan hak-hak pelajar (advokasi pelajar).Gerakan advokasi pelajar adatah gerakan pelajar untuk menjaring aspirasi dan pembelaan hak-hak pelajar menuju pelajar yang berdaulat.
Tujuan dari gerakan advokasi pelajar adalah: 1). Memperjuangkan aspirasi pelajar; 2). Menjaring aspirasi pelajar dan terlibat aktif dalam proses pembuatan kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah, parlemen, dan masyarakat. 3). Memperjuangkan hak-hak Pelajar; 4). Menjadikan pelajar berani dalam mengeluarkan pendapat.


Selasa, 19 Juli 2016

Hukum Syair dan Sastra dalam Islam


JIKA Islam telah mengajak untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya, maka Islam juga menekankan agar kita mengungkapkan perasaan dan kecintaan itu yang juga merupakan suatu keindahan tersendiri.
Yang paling menonjol di bidang seni sastra adalah syair, prosa, kisah, dan lainnya dari seluruh jenis seni sastra. Rasulullah Saw sendiri pernah mendengar syair dan menaruh perhatian padanya. Di antaranya adalah qasidah Ka’ab bin Zuhair yang terkenal dengan judul Baanat Su’aadu dan qasidahnya Nabighah Al-Ja’di. Beliau berdoa untuknya dan mempergunakan syair tersebut untuk berkhidmah pada dakwah dan membelanya.
Rasulullah juga pernah mempergunakan sebuah syair sebagai dalil, dalam sabdanya:
“Perkataan yang paling benar diucapkan oleh penyair adalah perkataan Lubaid: Ingatlah, bahwa segala sesuatu selain Allah itu batil” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Para sahabat Rasul juga berdalil dengan mempergunakan syair. Dengan syair pula mereka menafsirkan makna Al-Qur’an. Bahkan di antara mereka ada yang pakar di bidang syair ini. Sebagaimana diceritakan dari Ali ra, ada sejumlah imam sahabat yang pakar di bidang syair.
Sebagian besar imam adalah penyair, seperti Abdullah bin Mubarak, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, dan yang lainnya. Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya di antara sebagian bayan adalah sangat menarik” (HR. Malik, Ahmad dan Bukhari)
“Sesungguhnya di antara bayan itu menarik, dan sesungguhnnya di antara syair adalah bernilai hikmah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwa sesungguhnya di sana ada sebagian syair yang tidak termasuk hikmah, bahkan berlawanan dengan hikmah. Seperti syair orang yang memuji kebatilan dan kebanggaan yang palsu, sindiran yang memusuhi dan ghazal (bermesraan) yang vulgar dan yang lainnya dari syair-syair yang tidak sesuai dengan norma-norma akhlaq dan nilai-nilai kemuliaan.
Al-Qur’an mencela para penyair yang tidak bermoral yang sama sekali tidak mengenal akhlaq.
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak meryebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezhaliman. Dan orang-orang yang zhalim itu keluar akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (QS. Asy Syu’ara’: 224-227).
Sya’ir dan sastra secara umum atau lebih umum lagi seni, mempunyai tujuan dan fungsi, yang keberadaannya tidak sia-sia. Yakni sya’ir dan sastra serta seni yang mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran. (Dikutip dari Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah, Dr. Yusuf Qardhawi, Citra Islami Press, 1997).*
Hukum Teater
Dalam seni sandiwara dan kisah, seseorang menyusun skenario, lalu menampilkan berbagai aktor atau adegan yang bukan sebenarnya, apakah ini termasuk bohong yang diharamkan menurut syari’at?
Jawaban saya adalah, “Sesungguhnya itu tidak termasuk bohong yang dilarang, karena para pendengar mengenal dengan baik dan tahu betul bahwa maksudnya bukan memberitahu para pembaca, pendengar atau pemirsa kalau peristiwa itu benar-benar terjadi. Itu semua mirip dengan kata-kata atau suara yang ada pada burung dan hewan. Dia merupakan bentuk seni dan seakan pengucapan binatang yang diperankan oleh manusia. Sebagaimana Al Qur’an menceritakan bicaranya semut atau burung Hud-hud di hadapan Sulaiman AS, tentu keduanya tidak berbicara dengan bahasa Arab fasih seperti Al Qur’an, akan tetapi Al Qur’an menerjemahkan apa yang diucapkan oleh keduanya pada saat itu.”
Saya juga pernah ikut serta dalam menyusun sandiwara dua kali.
Pertama, sandiwara yang memerankan Nabi Yusuf AS, yaitu ketika awal aktivitas saya di bidang seni pada saat masih kelas satu SMA. Saat itu saya terpengaruh dengan sandiwaranya “Syauqi” yang populer.
Kedua, sandiwara bersejarah tentang Sa’id bin Jubair dan Hajjaj bin Yusuf yang saya beri judul “Alim dan Thaghut,” dan pernah saya perankan di banyak negara dan mendapat sambutan baik.
Berbeda dengan yang pertama, karena yang pertama itu berkaitan dengan Nabi yang diutus, dan kesepakatan ulama’ saat ini menegaskan bahwa Nabi itu tidak boleh diperankan (dengan orang). (Sumber: Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an & Sunnah  [Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh], Dr. Yusuf Qardhawi, 1997. Citra Islami Press).*

Dilarang berkata : ”Allah Tidak Akan Mengampunimu”

Posted on by Situs islam: www.almanhaj.or.id , www.alsofwah.or.id , www.muslim.or.id
Tugas seorang muslim adalah menganjurkan perbuatan ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar. Demikianlah Allah gambarkan ciri kaum muslimin. Bahkan ciri ini telah menyebabkan Allah memberikan sebutan begitu istimewa kepada ummat Islam. Allah menamakan ummat Islam sebagai Ummat Terbaik yang disajikan untuk segenap ummat manusia.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran ayat 110)
Aktifitas amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan bagian integral dari kegiatan menyeru manusia ke jalan Allah atau Da’wah Islamiyyah. Kegiatan ini menuntut hadirnya kegairahan dan emosi positif pada diri pelakunya. Tanpa adanya kegairahan maka seorang muslim tidak akan mau meluruskan penyimpangan saudaranya. Tanpa gairah mana mungkin seseorang akan tergerak untuk menyadarkan orang lain agar meninggalkan perbuatan mungkar yang biasa dia kerjakan. Tanpa gairah mana mungkin seseorang akan punya motivasi untuk mendorong saudaranya mengerjakan perbuatan ma’ruf sesuai anjuran Islam. Namun perlu diingat bahwa bilamana emosi yang melandasi suatu tindakan da’wah bukanlah emosi positif namun sebaliknya malah emosi negatif, maka kegiatan yang asalnya merupakan suatu kebaikan bisa mendatangkan bencana. Bahkan bencana bagi pelaku da’wah itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan emosi positif ialah perasaan yang membara namun tetap terkendali dalam batas-batas yang dibenarkan oleh ajaran Islam. Sedangkan emosi negatif ialah perasaan yang berlebihan sehingga menyebabkan aktifis da’wah melampaui batas yang dibenarkan Islam tatkala ia sedang menasehati saudaranya.
Salah satu bentuk tindakan melampaui batas ialah seperti memandang dirinya berhak menentukan siapa yang bakal diampuni Allah dan siapa yang tidak. Ia lupa bahwa hak mengampuni manusia sepenuhnya berada di tangan Allah Yang Maha Pengampun. Seorang da’i berhak memberitahu saudaranya yang terlibat kemaksiatan untuk menghentikan perbuatannya melanggar aturan Islam, namun ia tidak perlu dan tidak dibenarkan untuk mengancam si pelaku maksiat bahwa kemksiatannya tidak bakal diampuni Allah. Allah sangat sanggup dan berkuasa penuh untuk mengampuni siapa saja yang dikehendakiNya. Perhatikan hadits berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ
مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي
قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ أَوْ كَمَا قَالَ
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: Ada seorang lelaki yang berkata: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan.” Allah berfirman: ”Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosanya dan Aku telah menghapuskan amalmu.” (Hadits shahih riwayat Muslim).
Bahkan dalam hadits lainnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan peristiwa yang pernah terjadi pada Bani Israil. Suatu ketika ada abang-beradik dari Bani Israil. Salah seorang diantara keduanya sering berbuat dosa sedangkan yang lainnya rajin beribadah. Maka setiap kali si pelaku dosa melakukan maksiatnya, maka si ’abid selalu mencegahnya, namun si pelaku dosa terus saja mengulangi perbuatan dosanya. Hingga pada suatu hari ketika si pelaku dosa berbuat maksiat di hadapan saudaranya, maka kali itu ia tidak saja mencegah perbuatan dosa saudaranya. Si ’abid mengucapkan kalimat yang melampaui batas dimana ia sampai tega mengatakan bahwa saudaranya tidak bakal diampuni Allah dan bahkan tidak akan masuk surga. Maka apa yang akhirnya terjadi pada kedua abang-beradik ini? Marilah ikuti jalan ceritanya dengan langsung membaca haditsnya di bawah ini:
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَوَاخِيَيْنِ
فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ
فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ
فَيَقُولُ أَقْصِرْ فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ أَقْصِرْ
فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا فَقَالَ
وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ
فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ
فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا
أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ
اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلْآخَرِ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Ada dua orang laki-laki dari kalangan Bani Israil yang saling bersaudara. Yang satu rajin ibadah dan lainnya berbuat dosa. Lelaki yang rajin beribadah selalu berkata kepada saudaranya, ‘Hentikan perbuatan dosamu!” Suatu hari ia melihat saudaranya berbuat dosa dan ia berkata lagi, ‘Hentikan perbuatan dosamu!” “Biarkan antara aku dan Tuhanku. Apakah kamu diutus untuk mengawasiku?” jawabnya. Ia berkata lagi, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu” atau “Dia tidak akan memasukanmu ke surga.” Kemudian Allah mengutus malaikat kepada keduanya untuk mengambil ruh keduanya hingga berkumpul di sisi-Nya. Allah berkata kepada orang yang berdosa itu,“Masuklah kamu ke surga berkat rahmat-Ku.”Lalu Allah bertanya kepada lelaki yang rajin beribadah,“Apakah kamu mampu menghalangi antara hamba-Ku dan rahmat-Ku?”Dia menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah berfirman untuk yang rajin beribadah (kepada para malaikat): “Bawalah dia masuk ke dalam neraka.” Abu Hurairah– semoga Allah meridhainya – berkomentar, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh ia berkata dengan satu kalimat yang membinasakan dunia dan akhiratnya.”(HR Abu Dawud).
Ya Allah, tanamkanlah selalu kegairahan dalam diri kami untuk berda’wah di jalanMu. Namun hindarknalah kami dari berlaku melampaui batas ketika sedang berda’wah sehingga menghilangkan sifat rendah hati kami. Ya Allah, hindarkanlah kami dari mengucapkan sesuatu yang dapat membinasakan dunia dan akhirat kami. Amin ya Rabb.


Hakekat Pembangunan dan Perubahan Masyarakat


 I.          Pendahuluan

Pembangunan yang berlangsung didunia selama beberapa dekade setelah Perang Dunia ke-II telah mampu meningkatkan tingkat pendapatan rata-rata yang jauh lebih tinggi. di hampir semua negara. Namun, bersamaan dengan itu, pembangunan yang meningkat itu belum mampu memperbaiki tingkat hidup kaum dhuafa, baik yang tinggal di kota-kota besar maupun yang hidup didesa-desa. Persoalannya terletak pada pengertian tentang pembangunan yang dipahami oleh para pelaksana pembangunan tidak relevan dengan masalah hidup yang dialami oleh kaum tersebut dinegara-negara yang bersangkutan. Akibatnya, pendekatan yang dipakai, strategi yang dipergunakan dan program pembangunan yang diterapkan seringkali tidak sesuai dengan kenyataan hidup dan kepentingan mereka.

Terlalu banyak contoh untuk disebutkan, kalau konsep pembangunan itu telah melahirkan proyek-proyek besar, jalan-jalan raya, gedung-gedung mewah, dan lain-lain yang berlangsung bersamaan dengan linangan air mata dari mereka yang terpinggirkan. Bahkan dinegara-negara yang sedang berkembang, kalangan menengah yang tidak dekat dengan pusat kekuasaan seringkali mengalami ketidak-pastian hidup. Sebab itu diantara mereka yang mempunyai ketrampilan atau keahlian yang memadai banyak yang pindah kenegara-negara yang lebih maju.  Sementara kaum dhuafa yang hidupnya pas-pasan atau yang lebih rendah dari itu, hanya layak untuk berpikir tentang kemungkinan dapat hidup sampai besok pagi. Artinya, persoalan hidup bagi mereka tidak lebih dari sekedar asal hidup. Sebagian dari mereka terdiri dari penduduk desa yang pindah kekota (urbanisasi) untuk mengadu untung mencari kehidupan di kota-kota besar. Mereka melihat, dikota-kota besar terdapat kesempatan usaha yang lebih besar. Tetapi karena mereka datang tanpa modal dan persiapan ketrampilan apapun, kesempatan yang ada itu tak mungkin diraihnya. Akibatnya mereka terhempas menjadi gelandangan kota. Semua ini terjadi karena terpusatnya pembangunan di kota-kota besar. Sementara itu, pendidikan juga mengarah pada persiapan anak didik menjadi calon pegawai, bukan untuk mengembangkan kemampuan hidup mandiri. Akibatnya, tanpa memperoleh kesempatan kerja yang tersedia, para terpelajar itu tak berbeda dengan mereka yang tidak berpendidikan sama sekali.

Pembangunan yang tidak berpihak pada golongan miskin tersebut pada gilirannya telah meminggirkan sejumlah besar ummat manusia dari proses dan hasil-hasil pembangunan. Keadaan ini dapat dilihat pada angka-angka yang ditunjukkan dalam Human Development Report dari UNDP. Bersamaan dengan tingginya tingkat produksi dan pertumbuhan ekonomi rata-rata dunia pada saat ini, 1,2 miliar ummat manusia hidup dengan pendapatan rata-rata kurang dari $ 1 sehari (1993 PPP US $), dan pada tahun 1998 terdapat 2,8 miliar manusia hidup dibawah $ 2 sehari. Dalam bidang kesehatan, kemajuan teknologi telah mampu melakukan pembuahan buatan dan bayi tabung, serta teknologi cloning, tetapi sekitar 968 juta umat manusia masih hidup tanpa akses terhadap sumber air, 2,4 milliar manusia tak memiliki akses terhadap sanitasi kesehatan yang paling dasar sekalipun, 34 juta hidup dengan mengidap HIV/AID, 11 juta balita mati setiap tahun karena berbagai sebab yang sesungguhnya dapat dicegah. (UNDP, Human Development Report 2001: 9; Stiglitz, 2002: 253).

Semua itu berlangsung pada saat teknologi telah mampu mendekatkan hubungan antar negara, yang pada gilirannya telah merubah pola hidup dan selera dari rakyat dinegara-negara  berkembang menjadi lebih konsumtif dengan menirukan pola hidup dan selera dari rakyat dinegara-negara maju (demonstration – effect). Dengan pola hidup yang demikian dapat dibayangkan kalau sebagian besar dari pendapatan masyarakat dikeluarkan hanya untuk konsumsi. Sedikit sekali tersisa untuk investasi. Konsekuensi dari keadan itu adalah langkanya modal dalam masyarakat negara berkembang dan terjadinya berbagai kebocoran dalam birokrasi pemerintah dan masyarakat.

Hal ini mendorong kita untuk berpikir ulang tentang makna dari pembangunan yang sesungguhnya. Bagaimana seharusnya kita memahami pembangunan ini? Upaya apa yang harus dilakukan agar pembangunan itu tidak hanya bermanfaat bagi mereka yang telah mampu, tetapi juga dan terutama bermanfaat untuk mereka yang miskin atau belum mampu.
 
II.        Hakekat Pembangunan

1.         Arti Kata

Dewasa ini istilah pembangunan telah menjadi kata tunggal yang bermakna majemuk. Kata pembangunan dapat dipahami sekaligus sebagai kata kerja, kata benda dan kata sifat. Dilihat sebagai proses kegiatan yang berlanjut, pembangunan dapat dipandang sebagai kata kerja. Sebagai suatu sistem, proses kegiatan pembangunan itu berlangsung dalam suatu totalitas, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan sampai pada  evaluasi. Setiap kegiatan dalam proses itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apa yang direncanakan, itu yang akan dilaksanakan. Apa yang dilaksanakan, itu yang akan dievaluasi. Selanjutnya, temuan dari evaluasi menjadi masukan kembali dalam penyusunan rencana baru, begitu seterusnya. Meski proses kegiatan berlangsung secara berulang, namun tidak boleh bersifat rutin dan berjalan ditempat. Kondisi baru harus menjadi makin baik dan meningkat melalu. identifikasi dan upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dijumpai pada setiap tahap dalam proses kegiatan.

Dilain pihak, tujuan pembangunan juga terlihat sebagai kata benda. Tujuan yang ingin dicapai itu dapat dilukiskan dengan angka-angka yang konkrit. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan lebih adil, kesempatan kerja yang bertambah banyak, jumlah produksi yang lebih meningkat, sarana transportasi dan komunikasi yang lebih baik dan lebih banyak, jumlah gedung sekolah yang makin bertambah, sarana kesehatan yang lebih banyak dan lebih bermutu, fasilitas produksi dan pemasaran yang lebih mudah serta mendorong kegiatan ekonomi rakyat dan usaha besar, dan sebagainya. Dengan demikian, rumusan tentang tujuan pembangunan harus terukur secara jelas, tidak boleh kabur dan bersifat sloganitas. Tujuan yang kabur dan tidak terukur mempersulit kegiatan evaluasi, sehingga tidak pernah dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada untuk meningkatkan pembangunan. Dalam ukuran yang konkrit, pembangunan baru dianggap berhasil kalau misalnya, hasil produksi dan pelayanan yang tersedia menjadi lebih bermutu dan lebih banyak. Dengan kata lain, pengadaannya menjadi lebih efektif dan lebih efisien.

Karena tujuan juga dianggap sebagai  kondisi yang lebih baik, istilah pembangunan juga dapat dipandang dalam hubungan sebagai kata sifat. Sebagai kondisi yang lebih baik, tujuan pembangunan menjadi yang diinginkan (desirable). Persoalannya, diinginkan oleh siapa? Selama pembangunan hanya bermanfaat bagi kelompok kecil yang kuat dan membawa melarat bagi sebagian besar golongan miskin, maka pembangunan menjadi tidak disukai oleh masyarakat. Masalahnya bukan terletak pada pembangunan itu sendiri, tetapi pada kepentingan siapa yang diwakili oleh pembangunan dimaksud..

Berhubung dengan berbagai makna tersebut, maka proses perumusan kebijakan atau penetapan strategi pembangunan tidak boleh menjadi sempit dengan hanya  memperhatikan kepentingan dari satu kelompok saja dalam masyarakat atau dengan hanya menunggu timbulnya tuntutan dari masyarakat. Karena di negara-negara berkembang masyarakat miskin pada umumnya belum ada akses terhadap pembangunan, maka tuntutan  yang muncul dipermukaan juga lebih mewakili aspirasi golongan kaya yang jumlahnya lebih sedikit.

Dalam ajaran Islam, pengertian tentang pembangunan disebutkan sebagai “keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya” (Walal akhiratu khairullaka minal ula, QS: 93: 4). Pengertian tersebut menempatkan pembangunan dalam posisi yang dinamis. Maksudnya, kondisi tersebut tidak berada sebagai sesuatu yang tetap, tetapi berada dalam posisi yang selalu berubah secara terus menerus. Tidak pernah berhenti. Karena rangkaian perubahan itu merupakan hasil dari kegiatan pembangunan, maka itu pembangunan dipandang sebagai proses kegiatan yang tidak boleh berhenti, tetapi berlanjut sepanjang waktu. Setiap waktu adalah waktu awal yang sekaligus juga waktu akhir. Dengan demikian, dalam kehidupan terdapat proses perbaikan terus menerus tanpa henti. Sebab itu dalam konsep Islam manusia dikatakan merugi kalau tidak lebih baik dari kondisi kemarin, meskipun dalam kenyatan tidak menjadi lebih buruk, apalagi kalau itu menjadi lebih mundur.

Sejalan dengan konsep tersebut diatas, dalam ilmu Manajemen Pembangunan,  pembangunan disebut sebagai “…dynamic change of a whole society from one state of national being to another, with the connotation that the latter state is preferable”. (Katz,: p.2)  Dalam konsep ini, ada empat aspek yang perlu dicatat. Pertama, pembangunan itu adalah perubahan yang bersifat dinamis (a dynamic change). Kedua, bahwa perubahan itu tidak hanya terjadi pada sekelompok orang atau sesuatu wilayah saja, tetapi berlangsung dalam seluruh masyarakat (a whole society). Ketiga, perubahan itu berlangsung secara bertahap, dari suatu keadaan keadaan yang baru. Keempat, keadaan yang baru itu lebih disukai daripada keadaan sebelumnya. Karena pembangunan meliputi seluruh masyarakat, pembangunan mencakup berbagai sisi kehidupan. Dalam beberapa hal, tiap sisi kehidupan berbeda dengan sisi kehidupan lain. Dalam posisi yang berbeda, setiap individu berperilaku berbeda. Perilaku sebagai seorang ayah tidak sama dengan perilaku sebagai suami, perilaku sebagai anak buah berbeda sebagai perilaku sebagai pimpinan. Demikian juga perilaku petani tidak akan sama dengan perilaku buruh, perilaku birokrat berbeda dengan perilaku pengusaha dan seterusnya.

Karena pembangunan meliputi banyak sisi kehidupan, pembangunan harus didekati dengan beragam bidang ilmu (holistic approach). Pendekatan yang multi disiplin ini  perlu ditekankan untuk menghindarkan kesan yang sempit tentang pembangunan, yang menganggap pembangunan semata-mata berada dalam lingkup bidang ekonomi, dan, karena itu hanya menjadi urusan para ahli ekonomi saja. Sempitnya pengertian tentang pembangunan itu telah mengakibatkan pembangunan mengalami banyak kelemahan selama beberapa dekade sesudah Perang Dunia II. Selama masa itu, pembangunan dipandang sebagai persoalan teknis semata yang segala permasalahannya dapat diselesaikan secara ekonomis dan dengan perhitungan kuantitatif. Akibatnya, pembangunan hanya mampu menyentuh permasalahan yang dapat dihitung, yang ada dipermukaan dan yang biasanya hanya berhubungan dengan kelompok ekonomi kuat saja. Permasalahan-permasalahan hidup yang tidak berada dipermukaan dan tidak dapat dihitung yang dihadapi golongan ekonomi kecil, diharapkan teratasi dengan sendirinya melalui rembesan dari hasil kegiatan dipermukaan itu (trickle-down- effects).

Kesadaran tentang keperluan adanya pendekatan yang multi disiplin ini telah mendorong orang untuk melihat pembangunan tidak hanya dalam satu sektor atau bidang saja tetapi juga meliputi berbagai sektor, bidang dan daerah (regional approach). Analisis kebijakan dalam pembangunan tidak lagi sekedar berada dalam wawasan ilmu ekonomi, tetapi juga meliputi ilmu politik, ilmu perwilayahan (regional science), ilmu administrasi dan kebijakan publik. Bahkan akhir-akhir ini pendekatan ilmu jiwa atau psychology telah mulai memasuki wilayah kajian pembangunan. Bersamaan dengan meluasnya bidang kajian pembangunan, penggunaan matematika yang selama ini dipandang sebagai pendekatan yang paling maju, yang mampu menyederhanakan persoalan, mulai dipertanyakan akurasinya terhadap masalah-masalah sosial yang tidak dapat dikalkulasikan secara matematis. Namun matematika tetap dipandang sebagai ilmu alat atau ilmu bantu yang sangat penting, tetapi bukan segala-galanya.

2.         Kriteria dan Pendekatan Pembangunan

Kalau pembangunan dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dimasa depan, yang menjadi pertanyaan, apa sesungguhnya yang diartikan dengan kondisi yang lebih baik itu? Beberapa kriteria muncul selama beberapa dekade untuk menjelaskan makna yang sesungguhnya dari pembangunan. Sampai akhir tahun 1960-an para ahli masih mengartikan pembangunan sebagai kemajuan ekonomi dengan menggunakan   kenaikan pendapatan per kapita sebagai satu-satunya ukuran. Sebagai satuan hitung, dipergunakan nilai mata uang dollar Amerika. Makin tinggi pendapatan perkapita, makin tinggi tingkat pembangunan suatu negara. Tetapi sejalan dengan berkembangnya pembangunan, ukuran itu kemudian dirasa tidak cukup. Ukuran itu saja dirasa banyak kekurangannya. Pertama, penggunaan nilai mata uang dollar Amerika tidak dapat sepenuhnya menggambarkan nilai riel dari pendapatan di negara-negara lain. Daya beli mata uang sesuatu negara pada suatu waktu tidak selalu sama dengan nilai nominal yang diukur dalam nilai mata uang dollar. Meskipun nilai tukar mata uang rupiah pada satu waktu misalnya Rp 8.500 per US $ 1, tetapi daya beli rupiah sebesar Rp. 8.500 di Indonesia lebih besar dari nilai US $ 1 di Amerika Serikat. Karena itu perhitungan pendapatan perkapita dengan menggunakan mata uang dollar tidak selalu realistis. Kedua, perhitungan pendapatan per kapita hanya didasarkan pada nilai pasar. Artinya, kegiatan-kegiatan yang tidak bersifat komersial atau yang tidak dapat dihitung berdasarkan nilai pasar tidak diperhitungkan. Dalam hal ini, misalnya kegiatan seorang pembantu rumah tangga diperhitungkan, sementara kegiatan ibu rumah tangga dianggap tidak komersial, karena itu tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan nasional atau pendapatan per kapita. Ketiga, pendapatan per kapita merupakan hasil bagi dari total pendapatan atau total produksi dalam satu tahun. Kenaikan total produksi (GDP atau GNP) yang lebih tinggi dari kenaikan penduduk pada tahun yang sama menghasilkan kenaikan pendapatan per kapita. Karena itu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena kenaikan total produksi dapat terjadi dengan hanya kenaikan sekelompok kecil anggota masyarakat yang kaya, sementara kelompk besar golongan miskin tidak mengalami sesuatu perubahan pendapatannya, pendapatan per kapita penduduk secara menyeluruh dianggap telah meningkat. Sebab itu pembangunan  suatu negara yang dihitung berdasarkan kenaikan pendapatan per kapiat tidak mencerminkan kenyataan yang ada.

Karena itu pada awal tahun 1970-an orang mulai mempersoalkan akurasi dari perhitungan pembangunan berdasarkan pendapatan per kapita. Sejak itu orang mulai menyadari keperluan adanya pemerataan dan menganggap pembangunan yang sesungguhnya  terjadi bilamana pembangunan itu dapat menimbulkan pemerataan pendapatan disamping adanya pertumbuhan yang tercermin pada kenaikan pendapatan per kapita. Berbagai langkah kebijakan untuk pemerataan dilakukan, antara lain melalui penerapan sistem pajak progresif, jaminan sosial, dan sistem penggajian (flat-remuniration) yang rata. Artinya pendapatan atau gaji golongan tertinggi tidak terlalu berbeda dari tingkat pendapatan atau gaji golongan terendah. Tetapi pandangan inipun kemudian dipandang kurang sempurna. Masalahnya terletak pada keadilan itu juga. Kalau sebagian orang bekerja dengan sungguh-sungguh dan memikul tanggungjawab yang besar harus membagi pendapatannya dengan mereka yang malas, tidak bekerja dan tidak mempunyai sesuatu tanggungjawab, juga tidak adil.

Kelemahan lain dari pendekatan ini seperti yang diungkapkan oleh Mahbub ul Haq terletak pada pemisahan antara strategi produksi dengan strategi distribusi. Maka itu upaya untuk mewujudkan pertumbuhan yang menjamin pemerataan harus dilakukan melalui penyusunan strategi produksi yang senyawa dengan strategi distribusi (Mahbub ul Haq, 1976: 32 – 34). Karena itu sejak akhir tahun 1970-an atau awal tahun 80-an pendekatan pemerataan inipun dipandang ada kelemahannya. Sejak itu, sejalan dengan kritik Mahbub ul Haq,  konsep pemerataan dilengkapi dengan istilah ‘pemerataan kegiatan dan hasil-hasilnya’, seperti yang tertuang dalam REPELITA III dan seterusnya. Meskipun pemerintah Republik Indonesia tidak pernah dapat merealisasikannya dalam praktek, tetapi konsep itu tetap mempunyai makna yang cukup menarik. Konsep tersebut tidak hanya maju secara konseptual, tetapi juga tepat secara kontektual. Konsep tersebut sesuai dengan kondisi ekonomi, sumber daya, penyebaran penduduk dan masyarakat Indonesia sendiri. Konsep tersebut menghendaki adanya kegiatan pembangunan yang berlangsung merata diseluruh wilayah tanah air yang disertai dengan pemerataan hasil-hasilnya. Kondisi yang ingin diwujudkan ini justeru berbeda dengan kenyataan yang selama ini berlangsung, dimana kegiatan eksploitasi sumberdaya berlangsung di beberapa daerah, sementara hasil-hasilnya terpusat dan dinikmati di Jakarta.

Kepincangan yang ada selama ini merupakan akibat dari sistem pemerintahan yang sentralistis selama era Orde Baru. Segala keputusan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan di pusatkan di ibu kota negara. Karena itu kantor pusat segala bidang usaha berada di Jakarta, mereka membayar pajak di Jakarta. Akibatnya, meskipun kegiatan fisik ada di daerah-daerah, tetapi kegiatan bisnis dan administrasi berlangsung di ibu kota negara. Dengan sistem yang demikian, daerah-daerah hanya menerima limbah dari pembangunan, untuk kemudian menunggu kemurahan hati pemerintah pusat untuk sudi menganugerahkan sedikit dana yang pada umumnya jauh lebih kecil dari total peenrimaan negara yang diperoleh dari daerah itu. 

III.       Strategi Pembangunan dan Partisipasi Masyarakat

Pertanyaan lain dalam hubungan dengan pembangunan adalah tentang strategi apa yang paling tepat untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ? Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya berarti pembangunan berlangsung diseluruh wilayah negara yang dilaksanakan dengan partisipasi aktif secara meluas dari masyarakat. Yang dimaksudkan dengan partisipasi aktif disini adalah keikut-sertaan banyak pihak atas dasar sukarela dalam proses kegiatan pembangunan. Pilihan untuk ikut serta itu dilakukan dengan pertimbangan yang rasional dan tanpa paksaan.. Ini hanya mungkin dapat dilakukan bilamana rakyat mepunyai kemampuan, baik secara politik maupun secara ekonomi dan teknologi. Mereka mampu ikut serta dan mampu mengambil manfaat dari keikut sertaan itu secara wajar. Beberapa persyaratan yang perlu diindahkan dalam hal ini, antara lain adalah:
1.      Adanya kemerdekaan atau kebebasan untuk memilih lapangan kerja dan kegiatan yang sesuai dengan keahlian dan keinginannya. Ini berhubungan dengan kedaulatan yang dimiliki rakyat sebagai warga negara.
2.      Ada kemampuan atau kapabilitas untuk memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan dan yang sesuai dengan kegiatan yang diinginkan.
3.      Kesadaran  sebagai anggota masyarakat. Terkait dengan ini adalah, seseorang tidak hanya tahu hak-haknya dalam masyarakat, tetapi juga tahu kewajibannya. 

Diantara beberapa strategi pembangunan yang diperlukan untuk itu adalah, pertama, yang berkenaan dengan upaya  pemberdayaan politik rakyat. Artinya, rakyat diberi wewenang untuk mewujudkan hak demokrasinya dalam memutuskan sendiri tentang apa yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya. Kedua, pengembangan kemampuan, keahlian dan ketrampilan, baik untuk mengolah sumberdaya setempat maupun untuk mampu berpartisipasi aktif seperti yang dimasudkan diatas. Wujud dari strategi ini adalah pendidikan dan pelatihan yang meluas dalam masyarakat. Disamping itu juga pengadaan berbagai fasilitas penunjang yang diperlukan, mulai dari prasarana phisik, pemudahan urusan secara administratif, pengadaan jaringan komunikasi dan informasi yang dibutuhkan. Ketiga, program-program sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi bagian dari kesadaran masyarakat yang antara lain tercermin pada nilai-nila kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan kejahatan, kejujuran dan kecurangan. Dalam masyarakat Indonesia, nilai-nilai tersebut terdapat pada nilai-nilai agama yang tercermin dalam nilai-nilai  Pancasila yang sekaligus menjadi dasar negara. Nilai-nilai tersebut  menjadi landasan dalam penataan pemerintahan dan pembangunan, seperti fondasi bagi suatu bangunan bertingkat. Nilai-nilai yang hidup itu mendorong timbulnya etos kerja, kepercayaan diri, dan loyalitas.

IV.       Peran Manusia dan Perubahan Masyarakat

1.         Peran Manusia

Dalam kajian Manajemen Pembangunan, strategi pembangunan dengan melibatkan rakyat seecara aktif demikian disebut sebagai model pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centred development model) (Korten and Klauss, 1984: 201 – 2-9). Dalam model ini, pembangunan dilihat sebagai inisiatif dan kreatifitas dari manusia. Manusia dengan seluruh potensi fisik dan spiritual diapandang sebagai modal utama pembangunan. Dilihat dari peran manusia, model ini dapat disamakan dengan konsep demokrasi dalam sistem pemerintahan, yang melihat proses penyelenggaraan pemerintahan sebagai “dari, oleh dan untuk rakyat”. Dalam model ini, pembangunan juga dilihat sekaligus sebagai “proses penyelenggaraan pembangunan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat”. Pembangunan dianggap dari rakyat, karena kebutuhan masyarakat menimbulkan tuntutan dari rakyat yang pada gilirannya mendorong inisiatif untuk melaksanakan pembangunan.

Tuntutan yang timbul sebagai refleksi dari kebutuhan hidup masyarakat tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan harus dilihat sebagai sesuatu yang positif, sebagai buah dari keberhasilan kegiatan pembangunan sebelumnya (achievement needs). Pembangunan sebuah SD di suatu daerah terpencil, setelah enam tahun kemudian menimbulkan tuntutan untuk membangun SLTP. Demikian juga setelah tiga tahun kemudian akan ada tuntutan untuk membangun SLTA. Tuntutan itu tidak akan ada kalau pembangunan SD itu tidak berhasil, tidak ada yang tamat atau pembanguna SD itu tidak mampu menggerakkan gairah belajar dikalangan masyarakat. Padahal salah satu tujuan dari pembangunan dibidang pendidikan adalah menumbuhkan minat untuk belajar. 

Selanjutnya, pembangunan itu dilaksanakan oleh rakyat. Tanpa partisipasi rakyat tidak ada pembangunan. Kepada rakyat juga harus ditanamkan kesadaran, bahwa pembangunan itu oleh dan untuk rakyat. Dalam masyarakat yang belum maju atau karena keadaan alam yang tidak memungkinkan adanya inisiatif langsung dari masyarakat, diperlukan adanya initiatif dari pemrintah, namun penyelenggaraannya juga atas nama rakyat dan karena itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemilik negara. Dalam proses selanjutnya harus diupayakan menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Pembanguna juga untuk rakyat, karena proses pelaksanaan dan hasil dari pembangunan itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan mereka. Dengan kata lain, dalam model pembangunan yang berpusat pada manusia ini, manusia ditempatkan sebagai subjek, yang sekaligus  juga sebagai objek pembangunan. 

2.         Strategi Pembangunan dan Perubahan Masyarakat

Mengingat pembangunan sebagai proses perubahan yang berkelanjutan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dimasa depan, ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan. Pertama, pembangunan itu berorintasi kemasa depan (future oriented).

Artinya, tujuan pembangunan yang akan dicapai melalui proses kegiatan pembangunan bukan untuk mewujudkan kondisi masa lampau dimasa depan. Tetapi, seperti sudah disebutkan terdahulu, suatu kondisi yang lebih baik dan lebih disukai dari kondisi yang ada pada waktu sekarang dan pada waktu yang lampau. Boleh jadi, kondisi itu ada persamaan secara prinsip dengan kondisi masa lampau, tetapi bukan kondisi masa lampau itu sendiri. Kedua, kondisi dimasa depan itu penuh ketidak pastian (uncertainty) yang timbul sebagai akibat dari pengaruh berbagai faktor yang mungkin dapat terjadi. Pengaruh-pengaruh itu boleh jadi sebagian dapat diprakirakan berdasarkan perkembangan kemajuan atau kecenderungan perubahan pada masa sekarang. Sebagian lain boleh jadi tidak dapat diprakirakan, karena sebab dari perubahan itu belum dapat atau tidak mampu diidentifikasi. Ketiga, dalam lingkungan masyarakat, proses kegiatan pembangunan itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari dalam  organisasi (faktor internal) mapun yang berasal dari luar organisasi (faktor eksternal). Yang termasuk dalam faktor-faktor yang berasal dari dalam organisasi adalah kekuatan dan kelemahan. Ini dapat dipahami karena setiap organisasi mempunyai kekuatan atau kelebihan dan kelemahan atau kekurangan. Karena itu, disatu pihak, setiap organisasi harus dapat memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan kekuatan yang ada. Dilain pihak, harus dapat mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahannya. Sementara yang termasuk faktor-faktor dari luar organisasi adalah kesempatan (peluang) dan tantangan (tekanan). Proses pembangunan menguntungkan kalau terhadap kesempatan yang terbuka terdapat kekuatan atau kemampuan untuk memanfaatkannya. Tetapi kesempatan yang terbuka tidak ada gunanya, kalau kesempatan itu berhadapan dengan kelemahan atau ketidak-mampuan. Karena itu  diperlukan keterbukaan untuk menerima masukan dan saran serta upaya untuk terus menerus meingidentifikasi dan mengatasi kelemahan yang terdapat pada setiap organisasi. Jangan menunggu sampai terjadinya kegagalan karena adanya kelemahan yang diabaikan atau karena tidak teridentifikasi.

Lebih jauh dari itu semua, hubungan antara strategi pembangunan dengan lingkungan tidak berlangsung searah. Tidak hanya lingkungan yang mempengaruhi proses pembangunan, tetapi juga sebaliknya. Proses pembangunan tidak hanya menyesuaikan diri dan bergerak dengan memanfaatkan perubahan lingkungan, tetapi juga melakukan perubahan terhadap lingkungan. Dengan demikian proses pembangunan itu bukan hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungan.


Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana melakukan perubahan terhadap lingkungan?  Dalam melakukan perubahan lingkungan perlu diperhatikan keterkaitan antar tiga unsur. Pertama, lingkungan internal yang didalamnya sekurang-kurangnya terdapat kekuatan dan kelemahan, dan lingkungan eksternal yang antara lain mengandung kesempatan dan tantangan. Kedua, institusi atau kelompok masyarakat. Didalamnya terdapat struktur organisasi, komposisi antar unmsur dan proses. Ketiga, strategi pembangunan itu sendiri, yang secara singkat dapat disebutkan mengandung sasaran dan instrument strategi yang dipakai untuk mencapai tujuan. Tujuan akhir dapat dicapai dengan terlebih dahulu mencapai sasaran antara atau target. Baik itu berupa individu sebagai bagian dari maasyarakat, atau kelompok / masyarakat secara menyeluruh (Lauer,  1982: 335 –356)

Ada dua macam target atau kelompok sasaran dari pembangunan, yakni
1.            Individu. Yang perlu diingat, bahwa target individu atau perorangan itu juga sebenarnya tidak terlepas dari kelompok atau masyarakat. Sudah dipahami, individu merupakan bagian dari kelompok. Karena itu maka target individu dimaksudkan sebagai sasaran-antara untuk mewujudkan perubahan kelompok atau msyarakat secara menyeluruh. Contoh dari target ini dapat dilihat pada pembangunan ekonomi rakyat. Secara individual perubahan dilakukan pada masing-masing individu, untuk kemudian secara berantai diharapkan terjadi perubahan secara menyeluruh dalam masyarakat. Perubahan yang bersifat individu lebih berhubungan dengan psikologi sosial dan pendidikan. Sebab itu strategi perubahan pada target individu memilih pendidikan sebagai strategi induk. Melalui pendidikan diharapkan secara individu rakyat menjadi lebih mampu untuk bekerja lebih baik pada posisi yang relatif lebih baik. Selanjutnya baru diikuti dengan strategi pengadaan sarana dan prasarana serta berbagai fasilitas yang diperlukan. Pendekatan yang dipakai disini adalah model pembangunan yang berpusat pada manusia. Manusia sebagai subyek pembangunan yang harus lebih didahulukan. Semua prasarana , sarana dan fasilitas lain untuk menunjang manusia. Bukan sebaliknya.
2.            Kelompok. Dilihat sebagai kelompok atau institusi sebagai sasaran, strategi pembangunan diarahkan pada perubahan komposisi, struktur dan proses. Perubahan komposisi besarnya kredit yang diberikan akan memberi pengaruh pada perubahan kegiatan ekonomi dari masing-masing sektor atau bidang. Besar kecilnya prioritas pembangunan  antar sektor juga dapat dilihat pada komposisi anggaran dari sektor-sektor tersebut dalam APBN atau APBD. Sementara perubahan struktur organisasi atau struktur sosial mempunyai pengaruh pada kegiatan dan mobilitas dalam masyarakat. Masyarakat yang feodalistis dengan struktur sosial yang kaku menghambat perkembangan, sedangkan masyarakat yang demokratis membuka peluang untuk lebih kreatif. Perubahan proses atau prosedur mempengaruhi kegiatan masyarakat. Ini dapat dilihat pada upaya-upaya untuk memperpendek birokrasi pelayanan dalam berbagai bidang seperti dalam pelayanan kesehatan, impor dan ekspor, pengurusan kredit usaha kecil dan menengah. Selanjutnya instrumen strategi yang dipilih disesuaikan dengan kelompok-sasaran (target) dan strategi induk yang diambil. 


IV.       Kesimpulan

1.            Pada hakekatnya, pembangunan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan  prasarana dan sarana  dilakukan hanya untuk menunjang kegiatan manusia dalam pembangunan. Karena pembangunan yang berlangsung selama beberapa dekade sesudah Perang Duni-II tidak berpusat pada manusia, maka itu pembangunan tersebut belum mampu meningkatkan tingkat hidup dari kaum miskin dihampir semua tempat dipermukaan bumi ini. Tanpa pengembangan kemampuan, kaum miskin tidak mungkin dapat mengambil manfaat dari prasarana, sarana dan fasilitas yang disediakan..
2.            Pembangunan bertujuan untuk mewujudkan masa depan manusia yang lebih baik daripada sebelumnya. Karena itu pembangunan merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan selalu meningkat dari hari kehari.
3.            Pembangunan berlangsung dalam masyarakat yang selalu berubah. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dalam masyarakat yang berubah itu, tetapi juga berperan untuk melakukan perubahan atau mengarahkan perubahan tersebut. Untuk itu, instrumen strategi yang dipakai harus sesuai dengan kelompok sasaran (target group)  dan strategi induk yang dipilih·



Kepustakaan

Abidin, Said Z., Kebijakan Publik, Jakarta, Yayasan Pancur Siwah, 2004
Bryant, Coralie and Louise G. White, Managing Development in the Third World, Boulder, Colorado: West View Press, 1982
Conyers, Diana and Peter Hills, An Introduction to Development Planning in The Third World, New York: John Willey & Sons, 1984
Katz, Saul M., A System Approach to Development Administration: A Framework for Analysing capability of Action for National Development, Washington D.C., 19..
Lauer, Robert H., 3 rd.ed., Perspectives on Social Change, Boston: Allyn and Bacon, Inc. 1982
Nafziger, E. Wayne, 2nd. Ed., The Economics  of Developing Countries,  NJ., Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1990.
Swasono, Sri-Edi, Ekspose Ekonomi: Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi, Jakarta, UI-Press, 2003
Tjiptoherijanto, Prijono dan Said Zainal Abidin, Reformasi Administrasi dan        Pembangunan Nasional, Jakarta, L.P. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,1993
Tjokroamidjojo, Bintoro, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara dan Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta, LAN, 2004






*) Prof. Dr. Said Zainal Abidin adalah Guru Besar Tetap STIA-LAN-red