I. Pendahuluan
Pembangunan yang berlangsung didunia selama beberapa dekade setelah
Perang Dunia ke-II telah mampu meningkatkan tingkat pendapatan rata-rata yang
jauh lebih tinggi. di hampir semua negara. Namun, bersamaan dengan itu,
pembangunan yang meningkat itu belum mampu memperbaiki tingkat hidup kaum dhuafa,
baik yang tinggal di kota-kota besar maupun yang hidup didesa-desa.
Persoalannya terletak pada pengertian tentang pembangunan yang dipahami oleh
para pelaksana pembangunan tidak relevan dengan masalah hidup yang dialami oleh
kaum tersebut dinegara-negara yang bersangkutan. Akibatnya, pendekatan yang
dipakai, strategi yang dipergunakan dan program pembangunan yang diterapkan seringkali
tidak sesuai dengan kenyataan hidup dan kepentingan mereka.
Terlalu banyak contoh untuk disebutkan, kalau konsep pembangunan itu
telah melahirkan proyek-proyek besar, jalan-jalan raya, gedung-gedung mewah,
dan lain-lain yang berlangsung bersamaan dengan linangan air mata dari mereka
yang terpinggirkan. Bahkan dinegara-negara yang sedang berkembang, kalangan
menengah yang tidak dekat dengan pusat kekuasaan seringkali mengalami
ketidak-pastian hidup. Sebab itu diantara mereka yang mempunyai ketrampilan
atau keahlian yang memadai banyak yang pindah kenegara-negara yang lebih
maju. Sementara kaum dhuafa yang
hidupnya pas-pasan atau yang lebih rendah dari itu, hanya layak untuk berpikir
tentang kemungkinan dapat hidup sampai besok pagi. Artinya, persoalan hidup
bagi mereka tidak lebih dari sekedar asal hidup. Sebagian dari mereka terdiri
dari penduduk desa yang pindah kekota (urbanisasi) untuk mengadu untung mencari
kehidupan di kota-kota besar. Mereka melihat, dikota-kota besar terdapat
kesempatan usaha yang lebih besar. Tetapi karena mereka datang tanpa modal dan
persiapan ketrampilan apapun, kesempatan yang ada itu tak mungkin diraihnya.
Akibatnya mereka terhempas menjadi gelandangan kota. Semua ini terjadi karena
terpusatnya pembangunan di kota-kota besar. Sementara itu, pendidikan juga
mengarah pada persiapan anak didik menjadi calon pegawai, bukan untuk
mengembangkan kemampuan hidup mandiri. Akibatnya, tanpa memperoleh kesempatan
kerja yang tersedia, para terpelajar itu tak berbeda dengan mereka yang tidak
berpendidikan sama sekali.
Pembangunan yang tidak berpihak pada golongan miskin tersebut pada
gilirannya telah meminggirkan sejumlah besar ummat manusia dari proses dan
hasil-hasil pembangunan. Keadaan ini dapat dilihat pada angka-angka yang ditunjukkan
dalam Human Development Report dari UNDP. Bersamaan dengan tingginya
tingkat produksi dan pertumbuhan ekonomi rata-rata dunia pada saat ini, 1,2
miliar ummat manusia hidup dengan pendapatan rata-rata kurang dari $ 1 sehari
(1993 PPP US $), dan pada tahun 1998 terdapat 2,8 miliar manusia hidup dibawah
$ 2 sehari. Dalam bidang kesehatan, kemajuan teknologi telah mampu melakukan
pembuahan buatan dan bayi tabung, serta teknologi cloning, tetapi
sekitar 968 juta umat manusia masih hidup tanpa akses terhadap sumber air, 2,4
milliar manusia tak memiliki akses terhadap sanitasi kesehatan yang paling
dasar sekalipun, 34 juta hidup dengan mengidap HIV/AID, 11 juta balita mati
setiap tahun karena berbagai sebab yang sesungguhnya dapat dicegah. (UNDP, Human
Development Report 2001: 9; Stiglitz, 2002: 253).
Semua itu berlangsung pada saat teknologi telah mampu mendekatkan
hubungan antar negara, yang pada gilirannya telah merubah pola hidup dan selera
dari rakyat dinegara-negara berkembang
menjadi lebih konsumtif dengan menirukan pola hidup dan selera dari rakyat
dinegara-negara maju (demonstration – effect). Dengan pola hidup yang
demikian dapat dibayangkan kalau sebagian besar dari pendapatan masyarakat
dikeluarkan hanya untuk konsumsi. Sedikit sekali tersisa untuk investasi.
Konsekuensi dari keadan itu adalah langkanya modal dalam masyarakat negara
berkembang dan terjadinya berbagai kebocoran dalam birokrasi pemerintah dan
masyarakat.
Hal ini mendorong kita untuk berpikir ulang tentang makna dari
pembangunan yang sesungguhnya. Bagaimana seharusnya kita memahami pembangunan
ini? Upaya apa yang harus dilakukan agar pembangunan itu tidak hanya bermanfaat
bagi mereka yang telah mampu, tetapi juga dan terutama bermanfaat untuk mereka
yang miskin atau belum mampu.
II. Hakekat Pembangunan
1. Arti Kata
Dewasa ini istilah pembangunan telah menjadi kata tunggal yang
bermakna majemuk. Kata pembangunan dapat dipahami sekaligus sebagai kata kerja,
kata benda dan kata sifat. Dilihat sebagai proses kegiatan yang berlanjut,
pembangunan dapat dipandang sebagai kata kerja. Sebagai suatu sistem, proses
kegiatan pembangunan itu berlangsung dalam suatu totalitas, mulai dari kegiatan
perencanaan, pelaksanaan sampai pada
evaluasi. Setiap kegiatan dalam proses itu tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Apa yang direncanakan, itu yang akan dilaksanakan. Apa yang
dilaksanakan, itu yang akan dievaluasi. Selanjutnya, temuan dari evaluasi
menjadi masukan kembali dalam penyusunan rencana baru, begitu seterusnya. Meski
proses kegiatan berlangsung secara berulang, namun tidak boleh bersifat rutin
dan berjalan ditempat. Kondisi baru harus menjadi makin baik dan meningkat
melalu. identifikasi dan upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang
dijumpai pada setiap tahap dalam proses kegiatan.
Dilain pihak, tujuan pembangunan juga terlihat sebagai kata benda.
Tujuan yang ingin dicapai itu dapat dilukiskan dengan angka-angka yang konkrit.
Tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan lebih adil, kesempatan kerja yang
bertambah banyak, jumlah produksi yang lebih meningkat, sarana transportasi dan
komunikasi yang lebih baik dan lebih banyak, jumlah gedung sekolah yang makin
bertambah, sarana kesehatan yang lebih banyak dan lebih bermutu, fasilitas
produksi dan pemasaran yang lebih mudah serta mendorong kegiatan ekonomi rakyat
dan usaha besar, dan sebagainya. Dengan demikian, rumusan tentang tujuan
pembangunan harus terukur secara jelas, tidak boleh kabur dan bersifat
sloganitas. Tujuan yang kabur dan tidak terukur mempersulit kegiatan evaluasi,
sehingga tidak pernah dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada untuk
meningkatkan pembangunan. Dalam ukuran yang konkrit, pembangunan baru dianggap
berhasil kalau misalnya, hasil produksi dan pelayanan yang tersedia menjadi
lebih bermutu dan lebih banyak. Dengan kata lain, pengadaannya menjadi lebih
efektif dan lebih efisien.
Karena tujuan juga dianggap sebagai
kondisi yang lebih baik, istilah pembangunan juga dapat dipandang dalam
hubungan sebagai kata sifat. Sebagai kondisi yang lebih baik, tujuan pembangunan
menjadi yang diinginkan (desirable). Persoalannya, diinginkan oleh
siapa? Selama pembangunan hanya bermanfaat bagi kelompok kecil yang kuat dan
membawa melarat bagi sebagian besar golongan miskin, maka pembangunan menjadi
tidak disukai oleh masyarakat. Masalahnya bukan terletak pada pembangunan itu
sendiri, tetapi pada kepentingan siapa yang diwakili oleh pembangunan
dimaksud..
Berhubung dengan berbagai makna tersebut, maka proses perumusan
kebijakan atau penetapan strategi pembangunan tidak boleh menjadi sempit dengan
hanya memperhatikan kepentingan dari
satu kelompok saja dalam masyarakat atau dengan hanya menunggu timbulnya
tuntutan dari masyarakat. Karena di negara-negara berkembang masyarakat miskin
pada umumnya belum ada akses terhadap pembangunan, maka tuntutan yang muncul dipermukaan juga lebih mewakili
aspirasi golongan kaya yang jumlahnya lebih sedikit.
Dalam ajaran Islam, pengertian tentang pembangunan disebutkan
sebagai “keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya” (Walal akhiratu khairullaka
minal ula, QS: 93: 4). Pengertian tersebut menempatkan pembangunan dalam
posisi yang dinamis. Maksudnya, kondisi tersebut tidak berada sebagai sesuatu
yang tetap, tetapi berada dalam posisi yang selalu berubah secara terus
menerus. Tidak pernah berhenti. Karena rangkaian perubahan itu merupakan hasil
dari kegiatan pembangunan, maka itu pembangunan dipandang sebagai proses
kegiatan yang tidak boleh berhenti, tetapi berlanjut sepanjang waktu. Setiap
waktu adalah waktu awal yang sekaligus juga waktu akhir. Dengan demikian, dalam
kehidupan terdapat proses perbaikan terus menerus tanpa henti. Sebab itu dalam
konsep Islam manusia dikatakan merugi kalau tidak lebih baik dari kondisi
kemarin, meskipun dalam kenyatan tidak menjadi lebih buruk, apalagi kalau itu
menjadi lebih mundur.
Sejalan dengan konsep tersebut diatas, dalam ilmu Manajemen
Pembangunan, pembangunan disebut sebagai
“…dynamic change of a whole society from one state of national being to
another, with the connotation that the latter state is preferable”. (Katz,:
p.2) Dalam konsep ini, ada empat aspek
yang perlu dicatat. Pertama, pembangunan itu adalah perubahan yang bersifat
dinamis (a dynamic change). Kedua, bahwa perubahan itu tidak hanya
terjadi pada sekelompok orang atau sesuatu wilayah saja, tetapi berlangsung
dalam seluruh masyarakat (a whole society). Ketiga, perubahan itu
berlangsung secara bertahap, dari suatu keadaan keadaan yang baru. Keempat,
keadaan yang baru itu lebih disukai daripada keadaan sebelumnya. Karena
pembangunan meliputi seluruh masyarakat, pembangunan mencakup berbagai sisi
kehidupan. Dalam beberapa hal, tiap sisi kehidupan berbeda dengan sisi
kehidupan lain. Dalam posisi yang berbeda, setiap individu berperilaku berbeda.
Perilaku sebagai seorang ayah tidak sama dengan perilaku sebagai suami,
perilaku sebagai anak buah berbeda sebagai perilaku sebagai pimpinan. Demikian
juga perilaku petani tidak akan sama dengan perilaku buruh, perilaku birokrat
berbeda dengan perilaku pengusaha dan seterusnya.
Karena pembangunan meliputi banyak sisi kehidupan, pembangunan harus
didekati dengan beragam bidang ilmu (holistic approach). Pendekatan yang
multi disiplin ini perlu ditekankan
untuk menghindarkan kesan yang sempit tentang pembangunan, yang menganggap
pembangunan semata-mata berada dalam lingkup bidang ekonomi, dan, karena itu
hanya menjadi urusan para ahli ekonomi saja. Sempitnya pengertian tentang
pembangunan itu telah mengakibatkan pembangunan mengalami banyak kelemahan
selama beberapa dekade sesudah Perang Dunia II. Selama masa itu, pembangunan
dipandang sebagai persoalan teknis semata yang segala permasalahannya dapat
diselesaikan secara ekonomis dan dengan perhitungan kuantitatif. Akibatnya,
pembangunan hanya mampu menyentuh permasalahan yang dapat dihitung, yang ada dipermukaan
dan yang biasanya hanya berhubungan dengan kelompok ekonomi kuat saja.
Permasalahan-permasalahan hidup yang tidak berada dipermukaan dan tidak dapat
dihitung yang dihadapi golongan ekonomi kecil, diharapkan teratasi dengan
sendirinya melalui rembesan dari hasil kegiatan dipermukaan itu (trickle-down-
effects).
Kesadaran tentang keperluan adanya pendekatan yang multi disiplin
ini telah mendorong orang untuk melihat pembangunan tidak hanya dalam satu
sektor atau bidang saja tetapi juga meliputi berbagai sektor, bidang dan daerah
(regional approach). Analisis kebijakan dalam pembangunan tidak lagi
sekedar berada dalam wawasan ilmu ekonomi, tetapi juga meliputi ilmu politik,
ilmu perwilayahan (regional science), ilmu administrasi dan kebijakan
publik. Bahkan akhir-akhir ini pendekatan ilmu jiwa atau psychology
telah mulai memasuki wilayah kajian pembangunan. Bersamaan dengan meluasnya
bidang kajian pembangunan, penggunaan matematika yang selama ini dipandang
sebagai pendekatan yang paling maju, yang mampu menyederhanakan persoalan,
mulai dipertanyakan akurasinya terhadap masalah-masalah sosial yang tidak dapat
dikalkulasikan secara matematis. Namun matematika tetap dipandang sebagai ilmu
alat atau ilmu bantu yang sangat penting, tetapi bukan segala-galanya.
2. Kriteria dan
Pendekatan Pembangunan
Kalau pembangunan dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi yang lebih
baik dimasa depan, yang menjadi pertanyaan, apa sesungguhnya yang diartikan
dengan kondisi yang lebih baik itu? Beberapa kriteria muncul selama beberapa
dekade untuk menjelaskan makna yang sesungguhnya dari pembangunan. Sampai akhir
tahun 1960-an para ahli masih mengartikan pembangunan sebagai kemajuan ekonomi
dengan menggunakan kenaikan pendapatan
per kapita sebagai satu-satunya ukuran. Sebagai satuan hitung, dipergunakan
nilai mata uang dollar Amerika. Makin tinggi pendapatan perkapita, makin tinggi
tingkat pembangunan suatu negara. Tetapi sejalan dengan berkembangnya
pembangunan, ukuran itu kemudian dirasa tidak cukup. Ukuran itu saja dirasa banyak
kekurangannya. Pertama, penggunaan nilai mata uang dollar Amerika tidak dapat
sepenuhnya menggambarkan nilai riel dari pendapatan di negara-negara lain. Daya
beli mata uang sesuatu negara pada suatu waktu tidak selalu sama dengan nilai
nominal yang diukur dalam nilai mata uang dollar. Meskipun nilai tukar mata
uang rupiah pada satu waktu misalnya Rp 8.500 per US $ 1, tetapi daya beli
rupiah sebesar Rp. 8.500 di Indonesia lebih besar dari nilai US $ 1 di Amerika
Serikat. Karena itu perhitungan pendapatan perkapita dengan menggunakan mata
uang dollar tidak selalu realistis. Kedua, perhitungan pendapatan per kapita
hanya didasarkan pada nilai pasar. Artinya, kegiatan-kegiatan yang tidak
bersifat komersial atau yang tidak dapat dihitung berdasarkan nilai pasar tidak
diperhitungkan. Dalam hal ini, misalnya kegiatan seorang pembantu rumah tangga
diperhitungkan, sementara kegiatan ibu rumah tangga dianggap tidak komersial,
karena itu tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan nasional atau pendapatan
per kapita. Ketiga, pendapatan per kapita merupakan hasil bagi dari total
pendapatan atau total produksi dalam satu tahun. Kenaikan total produksi (GDP
atau GNP) yang lebih tinggi dari kenaikan penduduk pada tahun yang sama
menghasilkan kenaikan pendapatan per kapita. Karena itu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, karena kenaikan total produksi dapat terjadi dengan hanya
kenaikan sekelompok kecil anggota masyarakat yang kaya, sementara kelompk besar
golongan miskin tidak mengalami sesuatu perubahan pendapatannya, pendapatan per
kapita penduduk secara menyeluruh dianggap telah meningkat. Sebab itu
pembangunan suatu negara yang dihitung
berdasarkan kenaikan pendapatan per kapiat tidak mencerminkan kenyataan yang
ada.
Karena itu pada awal tahun 1970-an orang mulai mempersoalkan akurasi
dari perhitungan pembangunan berdasarkan pendapatan per kapita. Sejak itu orang
mulai menyadari keperluan adanya pemerataan dan menganggap pembangunan yang
sesungguhnya terjadi bilamana pembangunan
itu dapat menimbulkan pemerataan pendapatan disamping adanya pertumbuhan yang
tercermin pada kenaikan pendapatan per kapita. Berbagai langkah kebijakan untuk
pemerataan dilakukan, antara lain melalui penerapan sistem pajak progresif,
jaminan sosial, dan sistem penggajian (flat-remuniration) yang rata.
Artinya pendapatan atau gaji golongan tertinggi tidak terlalu berbeda dari
tingkat pendapatan atau gaji golongan terendah. Tetapi pandangan inipun
kemudian dipandang kurang sempurna. Masalahnya terletak pada keadilan itu juga.
Kalau sebagian orang bekerja dengan sungguh-sungguh dan memikul tanggungjawab
yang besar harus membagi pendapatannya dengan mereka yang malas, tidak bekerja
dan tidak mempunyai sesuatu tanggungjawab, juga tidak adil.
Kelemahan lain dari pendekatan ini seperti yang diungkapkan oleh
Mahbub ul Haq terletak pada pemisahan antara strategi produksi dengan strategi
distribusi. Maka itu upaya untuk mewujudkan pertumbuhan yang menjamin
pemerataan harus dilakukan melalui penyusunan strategi produksi yang senyawa
dengan strategi distribusi (Mahbub ul Haq, 1976: 32 – 34). Karena itu sejak
akhir tahun 1970-an atau awal tahun 80-an pendekatan pemerataan inipun
dipandang ada kelemahannya. Sejak itu, sejalan dengan kritik Mahbub ul
Haq, konsep pemerataan dilengkapi dengan
istilah ‘pemerataan kegiatan dan hasil-hasilnya’, seperti yang tertuang dalam
REPELITA III dan seterusnya. Meskipun pemerintah Republik Indonesia tidak
pernah dapat merealisasikannya dalam praktek, tetapi konsep itu tetap mempunyai
makna yang cukup menarik. Konsep tersebut tidak hanya maju secara konseptual,
tetapi juga tepat secara kontektual. Konsep tersebut sesuai dengan kondisi
ekonomi, sumber daya, penyebaran penduduk dan masyarakat Indonesia sendiri.
Konsep tersebut menghendaki adanya kegiatan pembangunan yang berlangsung merata
diseluruh wilayah tanah air yang disertai dengan pemerataan hasil-hasilnya.
Kondisi yang ingin diwujudkan ini justeru berbeda dengan kenyataan yang selama
ini berlangsung, dimana kegiatan eksploitasi sumberdaya berlangsung di beberapa
daerah, sementara hasil-hasilnya terpusat dan dinikmati di Jakarta.
Kepincangan yang ada selama ini merupakan akibat dari sistem
pemerintahan yang sentralistis selama era Orde Baru. Segala keputusan dalam
bidang pemerintahan dan pembangunan di pusatkan di ibu kota negara. Karena itu
kantor pusat segala bidang usaha berada di Jakarta, mereka membayar pajak di
Jakarta. Akibatnya, meskipun kegiatan fisik ada di daerah-daerah, tetapi
kegiatan bisnis dan administrasi berlangsung di ibu kota negara. Dengan sistem
yang demikian, daerah-daerah hanya menerima limbah dari pembangunan, untuk
kemudian menunggu kemurahan hati pemerintah pusat untuk sudi menganugerahkan
sedikit dana yang pada umumnya jauh lebih kecil dari total peenrimaan negara
yang diperoleh dari daerah itu.
III. Strategi
Pembangunan dan Partisipasi Masyarakat
Pertanyaan lain dalam hubungan dengan pembangunan adalah tentang
strategi apa yang paling tepat untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya ? Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya berarti pembangunan
berlangsung diseluruh wilayah negara yang dilaksanakan dengan partisipasi aktif
secara meluas dari masyarakat. Yang dimaksudkan dengan partisipasi aktif disini
adalah keikut-sertaan banyak pihak atas dasar sukarela dalam proses kegiatan
pembangunan. Pilihan untuk ikut serta itu dilakukan dengan pertimbangan yang
rasional dan tanpa paksaan.. Ini hanya mungkin dapat dilakukan bilamana rakyat
mepunyai kemampuan, baik secara politik maupun secara ekonomi dan teknologi.
Mereka mampu ikut serta dan mampu mengambil manfaat dari keikut sertaan itu
secara wajar. Beberapa persyaratan yang perlu diindahkan dalam hal ini, antara
lain adalah:
1.
Adanya kemerdekaan atau
kebebasan untuk memilih lapangan kerja dan kegiatan yang sesuai dengan keahlian
dan keinginannya. Ini berhubungan dengan kedaulatan yang dimiliki rakyat
sebagai warga negara.
2.
Ada kemampuan atau kapabilitas
untuk memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan dan yang sesuai
dengan kegiatan yang diinginkan.
3.
Kesadaran sebagai anggota masyarakat. Terkait dengan
ini adalah, seseorang tidak hanya tahu hak-haknya dalam masyarakat, tetapi juga
tahu kewajibannya.
Diantara beberapa strategi pembangunan yang diperlukan untuk itu
adalah, pertama, yang berkenaan dengan upaya
pemberdayaan politik rakyat. Artinya, rakyat diberi wewenang untuk
mewujudkan hak demokrasinya dalam memutuskan sendiri tentang apa yang sesuai
dengan aspirasi dan kepentingannya. Kedua, pengembangan kemampuan, keahlian dan
ketrampilan, baik untuk mengolah sumberdaya setempat maupun untuk mampu
berpartisipasi aktif seperti yang dimasudkan diatas. Wujud dari strategi ini
adalah pendidikan dan pelatihan yang meluas dalam masyarakat. Disamping itu
juga pengadaan berbagai fasilitas penunjang yang diperlukan, mulai dari prasarana
phisik, pemudahan urusan secara administratif, pengadaan jaringan komunikasi
dan informasi yang dibutuhkan. Ketiga, program-program sosial kemasyarakatan
yang berkaitan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai
tersebut menjadi bagian dari kesadaran masyarakat yang antara lain tercermin
pada nilai-nila kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan kejahatan, kejujuran dan
kecurangan. Dalam masyarakat Indonesia, nilai-nilai tersebut terdapat pada
nilai-nilai agama yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila yang sekaligus menjadi dasar
negara. Nilai-nilai tersebut menjadi
landasan dalam penataan pemerintahan dan pembangunan, seperti fondasi bagi
suatu bangunan bertingkat. Nilai-nilai yang hidup itu mendorong timbulnya etos
kerja, kepercayaan diri, dan loyalitas.
IV. Peran
Manusia dan Perubahan Masyarakat
1. Peran Manusia
Dalam kajian Manajemen Pembangunan, strategi pembangunan dengan
melibatkan rakyat seecara aktif demikian disebut sebagai model pembangunan yang
berpusat pada manusia (people-centred development model) (Korten and
Klauss, 1984: 201 – 2-9). Dalam model ini, pembangunan dilihat sebagai
inisiatif dan kreatifitas dari manusia. Manusia dengan seluruh potensi fisik
dan spiritual diapandang sebagai modal utama pembangunan. Dilihat dari peran
manusia, model ini dapat disamakan dengan konsep demokrasi dalam sistem
pemerintahan, yang melihat proses penyelenggaraan pemerintahan sebagai “dari,
oleh dan untuk rakyat”. Dalam model ini, pembangunan juga dilihat sekaligus
sebagai “proses penyelenggaraan pembangunan yang berasal dari, oleh dan untuk
rakyat”. Pembangunan dianggap dari rakyat, karena kebutuhan masyarakat
menimbulkan tuntutan dari rakyat yang pada gilirannya mendorong inisiatif untuk
melaksanakan pembangunan.
Tuntutan yang timbul sebagai refleksi dari kebutuhan hidup
masyarakat tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan harus
dilihat sebagai sesuatu yang positif, sebagai buah dari keberhasilan kegiatan
pembangunan sebelumnya (achievement needs). Pembangunan sebuah SD di
suatu daerah terpencil, setelah enam tahun kemudian menimbulkan tuntutan untuk
membangun SLTP. Demikian juga setelah tiga tahun kemudian akan ada tuntutan
untuk membangun SLTA. Tuntutan itu tidak akan ada kalau pembangunan SD itu
tidak berhasil, tidak ada yang tamat atau pembanguna SD itu tidak mampu
menggerakkan gairah belajar dikalangan masyarakat. Padahal salah satu tujuan
dari pembangunan dibidang pendidikan adalah menumbuhkan minat untuk
belajar.
Selanjutnya, pembangunan itu dilaksanakan oleh rakyat. Tanpa
partisipasi rakyat tidak ada pembangunan. Kepada rakyat juga harus ditanamkan
kesadaran, bahwa pembangunan itu oleh dan untuk rakyat. Dalam masyarakat yang
belum maju atau karena keadaan alam yang tidak memungkinkan adanya inisiatif
langsung dari masyarakat, diperlukan adanya initiatif dari pemrintah, namun
penyelenggaraannya juga atas nama rakyat dan karena itu harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemilik negara. Dalam proses
selanjutnya harus diupayakan menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Pembanguna
juga untuk rakyat, karena proses pelaksanaan dan hasil dari pembangunan itu
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan mereka. Dengan kata lain, dalam
model pembangunan yang berpusat pada manusia ini, manusia ditempatkan sebagai
subjek, yang sekaligus juga sebagai
objek pembangunan.
2. Strategi Pembangunan dan Perubahan
Masyarakat
Mengingat pembangunan sebagai proses perubahan yang berkelanjutan
untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dimasa depan, ada tiga aspek yang
perlu dipertimbangkan. Pertama, pembangunan itu berorintasi kemasa depan (future
oriented).
Artinya, tujuan pembangunan yang akan dicapai melalui proses
kegiatan pembangunan bukan untuk mewujudkan kondisi masa lampau dimasa depan.
Tetapi, seperti sudah disebutkan terdahulu, suatu kondisi yang lebih baik dan
lebih disukai dari kondisi yang ada pada waktu sekarang dan pada waktu yang
lampau. Boleh jadi, kondisi itu ada persamaan secara prinsip dengan kondisi
masa lampau, tetapi bukan kondisi masa lampau itu sendiri. Kedua, kondisi
dimasa depan itu penuh ketidak pastian (uncertainty) yang timbul sebagai
akibat dari pengaruh berbagai faktor yang mungkin dapat terjadi.
Pengaruh-pengaruh itu boleh jadi sebagian dapat diprakirakan berdasarkan
perkembangan kemajuan atau kecenderungan perubahan pada masa sekarang. Sebagian
lain boleh jadi tidak dapat diprakirakan, karena sebab dari perubahan itu belum
dapat atau tidak mampu diidentifikasi. Ketiga, dalam lingkungan masyarakat,
proses kegiatan pembangunan itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang
berasal dari dalam organisasi (faktor
internal) mapun yang berasal dari luar organisasi (faktor eksternal). Yang
termasuk dalam faktor-faktor yang berasal dari dalam organisasi adalah kekuatan
dan kelemahan. Ini dapat dipahami karena setiap organisasi mempunyai kekuatan
atau kelebihan dan kelemahan atau kekurangan. Karena itu, disatu pihak, setiap
organisasi harus dapat memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan kekuatan yang
ada. Dilain pihak, harus dapat mengurangi atau menghilangkan
kelemahan-kelemahannya. Sementara yang termasuk faktor-faktor dari luar
organisasi adalah kesempatan (peluang) dan tantangan (tekanan). Proses
pembangunan menguntungkan kalau terhadap kesempatan yang terbuka terdapat
kekuatan atau kemampuan untuk memanfaatkannya. Tetapi kesempatan yang terbuka
tidak ada gunanya, kalau kesempatan itu berhadapan dengan kelemahan atau
ketidak-mampuan. Karena itu diperlukan
keterbukaan untuk menerima masukan dan saran serta upaya untuk terus menerus
meingidentifikasi dan mengatasi kelemahan yang terdapat pada setiap organisasi.
Jangan menunggu sampai terjadinya kegagalan karena adanya kelemahan yang
diabaikan atau karena tidak teridentifikasi.
Lebih jauh dari itu semua, hubungan antara strategi pembangunan dengan
lingkungan tidak berlangsung searah. Tidak hanya lingkungan yang mempengaruhi
proses pembangunan, tetapi juga sebaliknya. Proses pembangunan tidak hanya
menyesuaikan diri dan bergerak dengan memanfaatkan perubahan lingkungan, tetapi
juga melakukan perubahan terhadap lingkungan. Dengan demikian proses
pembangunan itu bukan hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana melakukan perubahan
terhadap lingkungan? Dalam melakukan
perubahan lingkungan perlu diperhatikan keterkaitan antar tiga unsur. Pertama,
lingkungan internal yang didalamnya sekurang-kurangnya terdapat kekuatan dan
kelemahan, dan lingkungan eksternal yang antara lain mengandung kesempatan dan
tantangan. Kedua, institusi atau kelompok masyarakat. Didalamnya terdapat
struktur organisasi, komposisi antar unmsur dan proses. Ketiga, strategi
pembangunan itu sendiri, yang secara singkat dapat disebutkan mengandung
sasaran dan instrument strategi yang dipakai untuk mencapai tujuan. Tujuan
akhir dapat dicapai dengan terlebih dahulu mencapai sasaran antara atau target.
Baik itu berupa individu sebagai bagian dari maasyarakat, atau kelompok /
masyarakat secara menyeluruh (Lauer,
1982: 335 –356)
Ada dua macam target atau kelompok
sasaran dari pembangunan, yakni
1.
Individu. Yang perlu diingat,
bahwa target individu atau perorangan itu juga sebenarnya tidak terlepas dari
kelompok atau masyarakat. Sudah dipahami, individu merupakan bagian dari
kelompok. Karena itu maka target individu dimaksudkan sebagai sasaran-antara
untuk mewujudkan perubahan kelompok atau msyarakat secara menyeluruh. Contoh
dari target ini dapat dilihat pada pembangunan ekonomi rakyat. Secara
individual perubahan dilakukan pada masing-masing individu, untuk kemudian
secara berantai diharapkan terjadi perubahan secara menyeluruh dalam
masyarakat. Perubahan yang bersifat individu lebih berhubungan dengan psikologi
sosial dan pendidikan. Sebab itu strategi perubahan pada target individu
memilih pendidikan sebagai strategi induk. Melalui pendidikan diharapkan secara
individu rakyat menjadi lebih mampu untuk bekerja lebih baik pada posisi yang
relatif lebih baik. Selanjutnya baru diikuti dengan strategi pengadaan sarana
dan prasarana serta berbagai fasilitas yang diperlukan. Pendekatan yang dipakai
disini adalah model pembangunan yang berpusat pada manusia. Manusia sebagai
subyek pembangunan yang harus lebih didahulukan. Semua prasarana , sarana dan
fasilitas lain untuk menunjang manusia. Bukan sebaliknya.
2.
Kelompok. Dilihat sebagai
kelompok atau institusi sebagai sasaran, strategi pembangunan diarahkan pada
perubahan komposisi, struktur dan proses. Perubahan komposisi besarnya kredit
yang diberikan akan memberi pengaruh pada perubahan kegiatan ekonomi dari
masing-masing sektor atau bidang. Besar kecilnya prioritas pembangunan antar sektor juga dapat dilihat pada
komposisi anggaran dari sektor-sektor tersebut dalam APBN atau APBD. Sementara
perubahan struktur organisasi atau struktur sosial mempunyai pengaruh pada
kegiatan dan mobilitas dalam masyarakat. Masyarakat yang feodalistis dengan
struktur sosial yang kaku menghambat perkembangan, sedangkan masyarakat yang
demokratis membuka peluang untuk lebih kreatif. Perubahan proses atau prosedur
mempengaruhi kegiatan masyarakat. Ini dapat dilihat pada upaya-upaya untuk
memperpendek birokrasi pelayanan dalam berbagai bidang seperti dalam pelayanan
kesehatan, impor dan ekspor, pengurusan kredit usaha kecil dan menengah.
Selanjutnya instrumen strategi yang dipilih disesuaikan dengan kelompok-sasaran
(target) dan strategi induk yang diambil.
IV. Kesimpulan
1.
Pada hakekatnya, pembangunan
adalah pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan prasarana dan sarana dilakukan hanya untuk menunjang kegiatan
manusia dalam pembangunan. Karena pembangunan yang berlangsung selama beberapa
dekade sesudah Perang Duni-II tidak berpusat pada manusia, maka itu pembangunan
tersebut belum mampu meningkatkan tingkat hidup dari kaum miskin dihampir semua
tempat dipermukaan bumi ini. Tanpa pengembangan kemampuan, kaum miskin tidak
mungkin dapat mengambil manfaat dari prasarana, sarana dan fasilitas yang
disediakan..
2.
Pembangunan bertujuan untuk
mewujudkan masa depan manusia yang lebih baik daripada sebelumnya. Karena itu
pembangunan merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan selalu
meningkat dari hari kehari.
3.
Pembangunan berlangsung dalam
masyarakat yang selalu berubah. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya menghadapi
tantangan dan memanfaatkan peluang dalam masyarakat yang berubah itu, tetapi
juga berperan untuk melakukan perubahan atau mengarahkan perubahan tersebut.
Untuk itu, instrumen strategi yang dipakai harus sesuai dengan kelompok sasaran
(target group) dan strategi induk
yang dipilih·
Kepustakaan
Abidin, Said Z., Kebijakan Publik, Jakarta,
Yayasan Pancur Siwah, 2004
Bryant, Coralie and Louise G. White, Managing
Development in the Third World, Boulder, Colorado: West View Press, 1982
Conyers, Diana and Peter Hills, An Introduction to
Development Planning in The Third World, New York: John Willey & Sons,
1984
Katz, Saul M., A System Approach to Development
Administration: A Framework for Analysing capability of Action for National
Development, Washington D.C., 19..
Lauer, Robert H., 3 rd.ed., Perspectives
on Social Change, Boston: Allyn and Bacon, Inc. 1982
Nafziger, E. Wayne, 2nd. Ed., The
Economics of Developing Countries, NJ., Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1990.
Swasono, Sri-Edi, Ekspose Ekonomi: Kompetensi dan
Integritas Sarjana Ekonomi, Jakarta, UI-Press, 2003
Tjiptoherijanto, Prijono dan Said Zainal Abidin, Reformasi
Administrasi dan Pembangunan
Nasional, Jakarta, L.P. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,1993
Tjokroamidjojo, Bintoro, Sistem Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara dan Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia,
Jakarta, LAN, 2004
0 komentar:
Posting Komentar