Selasa, 19 Juli 2016

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

FIQH MUAMALAH

1.       a.  Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
    Dibawah ini beberapa perbedaan antara bunga dan bagi hasil, yaitu:
Sistem Bunga
Sistem Bagi hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Bunga bank dikatan riba’ ialah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen dari modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh agama Islam. Riba’ disini ialah ketika adanya pelipatan ganda terhadap bunga itu sendiri, namun ada juga yang mengatakan bahwa bunga itu riba’ karena apapun yang bertambah dari asalnya dikatakan sebagai riba’.
b. Pendapat para ulama’ terhadap bunga bank.
1. Pendapat yang Mengharamkan Bunga Bank
Muhammad abu zahrah, abul a’la al-maududi, muhammad abdul al-arobi, dan muhammad neja tulloh siddiqi adalah kelompok yeng mengharamkan bunga bank, baik yangmengambilnya maupun yang mengeluarkannya.
 Alasan-alasan bunga diharamkan menurut muhammad Neta-Jullah Siddiqi adalah sebagai berikut :
·         bunga bersifat menindas (dolim) yang menyangkut pemerasan. Dalam pinjaman konsumtif seharusnya yang lemah (kekurangan) di tolong oleh yang kuat (mampu) tetapi bunga bank pada awalnya orang lemah ditolong kemudian diharuskan membayar bunga, itu tidak titolong, tetapi memeras. Hal ini dapat dikatakan bahwa yang kuat menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Dalam pinjaman produktif dianggap pinjaman tidak adil, mengingat bunga yang harus dibyar sudah ditentukan dalam meminjam, sementara keuntungan dalam usaha belum pasti.
·         Bunga memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang kaya (kuat) yang kemudian dapat menciptakan ketidakseimbanagan kekayaan. Ini bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak Allah yang menghendaki pnyebaran pendapat dan kekayaan yang adil. Islam menganjurkan kerja sama dan persaudaraan dan bunga bertentangan dengan itu.
·         Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam modal dapat menerima setumpukan kekayaan dari bunga-bunga modalnya sehingga nereka tidak bekerja untuk menutupi kebutuhannya. Cara seperti ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi orang tersebut.
      Muhammad abu zahrah menegaskan bahwa rente (bunga) bank termasuk Riba nas’iah yang diharamkan dalam agama Islam oleh Allan dan Rasul-Nya.
2. Pendapat yang Mensamarkan/Mensyubhatkan Bunga Bank
Pendapat Musthafa Ahmad al-zarqa bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya dan sebaliknya termasuk masalah musytabihat. Masalah musytabihat adalah perkara yang belum ditemukan kejelasan hukum halal atau haramnya, sebab mengandung unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan sebagai perkara yang haram. Namun, ditinjau dari lain, ada pula unsur-unsur lain yang meringankan keharamannya. Di pihak lain bunga masih termasuk riba sebab merupakan tambahan dari pinjaman pokok. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi disisi lain bunga yang relatif kecil itu bukan merupakan keuntungan perorangan, melainkan keuntungan yang digunakan untuk kepentingan umum.
Pertimbangan besar kecilnya bunga dan segi penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat larangn riba yang unsur utamanya adalah pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin meskipun bunga bank dianggap musytabihat tidak berarti umat Islam diberikan kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi Saw. Memerintahkan umat Islam hati-hati terhadap perkara subhat dengan cara mejauhinya.
3. Pendapat yang Menghalalkan Bunga Bank
Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang menghalalkan pengambilan atau pembayaran bunga di bank yang ada dewasa ini, baik bank negara maupun bank swasta. Pendapat ini dipelopori oleh A.Hassan yang juga dikenal dengan Hasan. Alasan yang digunakan adalah firman Allah Swt.
Artinya: Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (Ali-imran: 130)
 Jadi, yang termasuk riba menurut A. Hassan adalah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen dari modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh agama Islam.
c.  Boleh: ketika ia menganggap bunga bukan bagian dari riba’ dan dan ketika      dalam keadaan dharurat.
Haram: ketika ia yakin bahwasannya bunga bank ialah riba’.
Namun alangkah lebih baiknya menggunakan bank syari’ah yang mana telah diketahui dengan pasti bagaimana sistem yang ada dalam bank syari’ah ialah untuk memajukan Islam itu sendiri dan bank syari’ah juga mengaplikasikan huklum-hukum yang ada di dalam agama Islam.

2.      a. Tindakan A yang menjual rumah yang masih disewakan kepada B, tidak dapat dibenarkan menurut Fiqh Muamalah yang mana sesuai dengan hadis rasul yang berarti: “Janganlahseseorang menjual dalam transaksi orang lain, sehingga ia membelinya atau meninggalkan transaksi tersebut.” Ha; ini dikarenakan A masih mempunyai akad dengan B yang belum batal atau selesai akadnya
b.  Menurut saya akad sewa antara A dan B tidak dapat batal demi hukum karena ia masih ada dalam kesepakatan akad yang dibuat diawal, dan masa akad belum usai dengan  akad yang telah ditentukan. Namun ketika transaksi A dengan C atas sepengetahuan B maka dapat dibenarkan.

3.      a.  Hal ini (profesor yang mendaftarka penemuan atas nama dirinya) tidak dapat dibenarkan karena di daalam penelitiannya ia di biayai oleh perguruan tinggi yang mengutusya, dan semua apa yang di dapat oleh sang profesor ialah hak dari perguruan tinggi, yang mana ia disini hanya bekerja dan di beri upah oleh perguruan tinggi tersebut. Dan kitapun tidak dapat melanggar akad yang telah ditentukan oleh kedua pihak. Dan ketika ia memiliki hak intelektual tersebut ia telah melanggar akad yang ada dan ini tidak dibenarkan oleh fiqh muamalah. Dan di dalam akad sendiri mengandung asas janji yang mengikat.
b. Ulama’ kontemporer berpendapat bahwa hak intelektual ialah bagian dari harta kekayaan disebut juga al-maal. karena kekayaan intelektual mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis . Kebanyakan ulama’ kontemporer dan juga berbagai badan fiqih internasional sebut saja sebagai contoh fiqih council dibawah Rabithah Alam Islami (Muslim World League) pada sidang rutin mereka yang ke-9, yang diadakan di kantor pusatnya di kota Mekkah, pada tanggal 12/71406 H s/d 19/7/1406 H, juga telah menegaskan akan pengakuan terhadap kekayaan intelektual tersebut.
             Saya sangat setuju dengan hal ini dikarenakan pengakuan terhadap hak intelektual adalah sesuatu yang wajib dilakukan dan merupakan hal terbaik untuk melindungi apa yang telah orang lain temukan dan ciptakan yang mana sesuai dengan hadis nabi:
مَنْ سَبَقَ إِلَى مُبَاحٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
Barang siapa telah lebih dahulu mendapatkan sesuatu yang mubah (halal) maka dialah yang lebih berhak atasnya.” Maka untuk melindungi uasaha menemukan hak intelektual tersebut dan sebagai apresiasi atas apa yang ia kerjakan maka diadakan pengakuan terhadap hak intelektual dan juga hukuman bagiu yang melanggranya.


Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

September 5, 2011
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi

Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkanBagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.


Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.


Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan kea


Beda Bunga Bank dengan Bagi Hasil

Posted: | oleh Ridwan Hidayat | Label: Analisis, Opini
Description: http://rlv.zcache.com/i_love_profit_sharing_magnet-p147155569843371123qjy4_400.jpg
ilustrasi : www.zazzle.com
Alhamdulillah, beberapa hari sebelum tulisan ini ditulis, saya berkesempatan menginvestasikan sebagian dana tabungan ke salah satu perbankan mikro syariah di Jogja. Investasi di lembaga keuangan merupakan salah satu cara agar harta (dana) yang kita miliki dapat produktif dari pada hanya diam disimpan. Investasi yang saya lakukan adalah dalam bentuk produk Simpanan Mudharobah Berjangka, atau kalau pada bank disebut deposito.

Banyak alasan mengikuti program Simpanan Mudharobah Berjangka ini. Alasan utamanya seperti yang saya bilang tadi, yaitu memproduktifkan dana yang dimiliki agar berkah. Sebab dalam ajaran Islam, tidak boleh kita menganggurkan harta. Dalam memproduktifitaskan harta itu saya lebih memilih lembaga keuangan mikro syariah atau biasa disebut Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dari pada bank syariah. Karena, selama ini BMT lebih masif dalam menggerakan sektor riil kelas bawah. Terlihat dari rajinnya para account officer-nya menawarkan pembiayaan ke warung-warung kecil dan pasar, atau lebih tepatnya pemanfaatan modal ke rakyat kecil. Banyak hal keunggulan dan resiko mengapa harus memilih investasi di BMT dari pada bank syariah. Namun, ini hanya alasan yang kesekian. Insya Allah jika ada kesempatan saya akan membahasnya. Alasan yang lebih utama untuk menjalankan investasi ini adalah pada masalah idealisme, yaitu memilih lembaga keuangan syariah dari pada konvensional.

Salah satu pembicaraan utama untuk melakukan simpanan (investasi) di lembaga keuangan adalah seberapa besar keuntungan yang akan kita peroleh. Ini adalah hal yang lumrah. Sebab, sebagai pemilik modal yang ingin memberikan modal pasti berkeinginan agar modal tersebut dapat bekerja dengan baik dan memberi kuntungan yang besar. Yang menjadi masalah adalah bagaimana sifat dari kerja uang tersebut untuk mengasilkan untung bagi si pemodal. Apakah ada pihak yang dirugikan atau tidak? Apakah keuntungan yang kita nikmati berada di atas penderitaan orang lain atau tidak? Di sinilah mengapa Islam melahirkan hukum halal dan haram. Dalam kasus ini, terdapat hukum haram dalam masalah ekonomi yang sudah sering kita dengar, yaitu riba. Dan bungan bank identik dengan riba. Sedangkan pada sistem syariah identik dengan sistem yang bernama bagi hasil. Keduanya terlihat sama, tapi ada yang membedakan.

Pada pembahasan soal bagi hasil di BMT tempat saya invest inilah saya teringat oleh seorang kawan kuliah yang berdebat dengan saya soal bagi hasil dan bunga bank’. Bagi kawan saya itu menganggap bahwa bagi hasil dengan bunga bank adalah sama saja, sama-sama hasil persentasi dari jumlah uang yang kita tabung di bank. Bagi saya, menjawab beda. Nah, inilah yang ingin saya jelaskan dari perbedaannya itu.

Sistem
Anggapan yang mengatakan bagi hasil sama dengan riba dapat dipatahkan dengan asal usul dana yang diberikan untuk pembagian bagi hasil atau bunga tersebut. Sifat bunga adalah berupa tambahan dana yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah atas kerelaan nasabah telah memberikan dana ke bank. Atau bunga bank dapat diartikan sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan ) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman). Ukuran besarnya bunga dalam bentuk persentase yang sudah ditetapkan oleh bank, kemudian dibayarkan kepada nasabah sesuai jumlah dana yang dimiliki nasabah dibank tempat ia menyimpan.

Contohnya begini, misalkan Anda butuh dana ke saya. Lalu saya pinjamkan uang senilai 1 juta rupiah dengan syarat Anda harus mengembalikan dengan bunga sebesar 10% sebagai balas jasa Anda ke saya karena telah meminjamkan dana. Maka, ketika jatuh tempo Anda harus mengembalikan dana ke saya sebesar satu juta seratus. Jadi, pihak kreditur (pihak yang butuh dana) memiliki kewajiban membayarkan beban tersebut. Ingat, adanya sifat wajib (paksa). Karena sifatnya wajib inilah, bungan sama dengan hutang. Jika peminjam tidak bisa membayar bunga, maka tetap akan dihitung sebagai hutang. Dapat disimpulkan, pihak penabung dapat untung dari bunga yang diperoleh, namun keuntungan itu bisa di dapat dari penderitaan orang lain yang gagal bayar.

Berbeda dengan bagi hasil atau sering diistilahkan dengan profit sharing. Bagi hasil memiliki akad bekerja sama. Maksudnya, dana yang diberikan oleh nasabah kepada bank dapat dikelola oleh bank dengan menghasilkan keuntungan (profit), dari profit tersebut akan disepakati pembagian keuntungannya antara pengelola dan pemilik dana ke dalam bentuk persentase. Biasanya (secara realitas), yang memiliki hak kuat untuk menentukan persentase adalah bank bukan nasabah. Namun begitu, tetap saja pembagian hak nasabah bukan dari sebuah kewajiban melainkan dari keuntungan yang diperoleh bank. Besarnya bagi hasil tergantung dari besarnya keuntungan bank yang diperoleh. Jika bank tidak untung, maka nasabah pun juga tidak mendapat bagi hasilnya. Inilah yang disebut konsep keadilan dalam islam di bidang ekonomi.

Asal dan Sifatnya
Satu hal yang terpenting dalam islam adalah tidak bolehnya kita meminjamkan uang kepada seseorang dengan menuntut pengembalian dengan adanya penambahan nilai dari jumlah pokok yang dipinjamkan. Dalam Islam, ketika meminjamkan uang maka pengembalian uangnya harus sebesar jumlah pokok yang dipinjamkan.

Pada konsep konvensional, kehadiran bunga menjadi sarana yang dibebankan kepada peminjam agar si pemilik dana mendapatkan imbalan. Inilah yang menjadi kewajiban nasabah ketika ingin meminjam uang untuk tujuan konsumtif maupun modal usaha. Bank tidak mau tahu apakah si nasabah tersebut mampu atau tidak untuk mengembalikan uang tersebut, yang penting wajib dikembalikan dengan tambahan bunga (hutang). Jika tidak sanggup, hukum akan bermain, biasanya berupa penyitaan jaminan. Jadi, bank konvensional tidak ada bedanya dengan rentenir.

Kemudian, menurut sepengetahuan saya, pinjaman dana bank yang diberikan ke nasabah tidak terlalu diperhatikan penggunaannya untuk apa. Yang paling diteliti oleh pihak bank adalah bagaimana kemampuan si peminjam untuk mengembalikan dana tersebut plus bunga, serta jaminan yang sanggup diberikan. Sebagai upaya meningkatkan keuntungan bank adalah bagaimana dapat mencari nasabah sebanya-banyaknya. Baik nasabah untuk memasukan dananya ke bank tersebut (tabungan) atau nasabah yang bisa dipinjamkan dananya (pengutang).

Bunga inilah yang menjadi sumber pendapatan bank konvensional. Pendapatan dapat diperoleh dari selisih bunga (net interest margin) antara bunga simpanan dan bunga yang dipinjamkan. Sehingga, untuk memaksimalkan pendapatan bank mereka harus mendapatkan nasabah untuk tabungan sebanyak mungkin dan mencari peminjam juga sebanyak mungkin, juga menetapkan besarnya rasio bunga (persentase) yang sekiranya dapat menarik si penabung atau pembutuh dana (hutangan).

Kemudian bagaimana dengan bagi hasil. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bagi hasil didapatkan dari sumber keuntungan bank. Kalau bank konvensional salah satu cara mencari keuntungannya adalah dengan selisih bunga simpanan dan pinjaman nasabah, maka pada keuangan syariah sumber keuntungannya dalam dengan program pembiayaan investasi serta pembiayaan konsumtif.

Pada pembiayaan investasi, pihak bank akan memberikan dana kepada nasabah yang sedang butuh mudal untuk usahanya. Ada dua tipe dalam pembiayaan investasi ini, yaitu mudharobah dan musyarokah. Mudharobah pihak bank hanya sebagai pemberi modal sedangkan nasabah yang mengelola secara teknis. Singkatnya, pihak bank bertindak sebagai investor. Kalau musyarokah, kedua pihak bank sebagai pemberi modal juga sebagai pihak bersama nasabah ikut andil dalam menjalankan usaha dengan derajat porsi kerja sesuai kesepakatan. Dari modal usaha tersebut dikelola hingga mencapai kuntungan. Dari keuntungan tersebutlah kedua belah pihak bersepakat membagi porsinya sesuai kesepakatan di awal. Keuntungan usaha ini yang menjadi keuntungan bank. Jika tidak untung, maka nasabah tidak berkewajiban membayar nilai uang kepada bank. Dan jika usaha nasabah itu rugi, bank juga ikut rugi. Seperti itu keadilannya. Sangat jauh dengan prinsip bunga tadi.

Kemudian pada pembiayaan konsumtif. Kalau di bank konvensional kita bisa berhutang tanpa bank harus tahu dana yang akan kita gunakan, maka pada bank syariah, bank berhak mengetahui keinginan nasabah terhadap dana tersebut. Tujuannya, agar bank dapat menggunakan dana tersebut untuk membeli barang yang dibutuhkan nasabah, tidak diberi tunai. Maksudnya, barang yang diinginkan nasabah akan dibeli oleh bank dengan harga jual pokok barang dipasaran, lalu dijual kepada nasabah dengan harga bank. Harga bank ke nasabah sedikit lebih mahal disebabkan bank ingin mendapatkan keuntungan yang besarnya sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini sah-sah saja, karena akadnya menjadi nilai dagang, bukan riba. Kemudian pihak nasabah dapat membayar harga jual bank tersebut dalam bentuk cicilan atau tunai pada jatuh tempo. Sistem ini disebut dengan murabahah.

Jika belum paham contoh mudahnya begini. Misalnya nasabah butuh dana ke bank syariah untuk membeli rumah dengan harga dipasaran 200 juta. Pihak bank akan mengeluarkan dana untuk membeli rumah tersebut seharga 200 juta. Kemudian menjual kepada nasabah yang membutuhkan rumah tersebut dengan harga sesuai kesepakatan 220 juta. Maka, nasabah akan membeli kepada bank (dalam bentuk hutang) senilai 220 juta yang dibayar dalam bentuk cicilan atau tunai pada jatuh tempo. Nilai 20 juta itulah yang akan menjadi nilai keuntungan bank.

Pendapatan dari pembiayaan investasi dan pembiyaan konsumtif inilah yang akan menjadi keuntungan bank. Keuntungan tersebut akan disalurkan ke dala persentase nisbah bagi hasil kepada nasabah yang telah menyimpan dananya ke bank tersebut. Sehingga, sepeti sistem bagi hasil yang dijelaskan di atas, bahwa besarnya bagi hasil yang diterima nasabah tergantung besarnya keuntungan yang diteria bank dari dana nasabah yang telah dikelola oleh bank.

Jadi jelas, bahwa dari sisi sistem, akad, dan sifat bunga bank dan bagi hasil sungguh jauh berbeda. Dari sistem bagi hasil inilah menjadi sebuah ketertarikan dalam berinvestasi. Dari sebuah ideologi (ajaran normatif) untuk meninggalkan riba terbentuk sebuah sistem bisnis dengan akad bekerja sama yang saling menguntungkan dan berkeadilan. Semakin tinggi pendapatan pengelola dana (baik bank atau badan usaha) semakin tinggi pula nisbah bagi hasil yang didapatkan. Masalahnya tinggal bagaimana memilih lembaga keuangan syariah baik makro maupun mikro yang bisa kita percaya untuk mengelola dana kita. Karena, banyak juga perbankan syariah yang tidak amanah dalam pengelolaanya, sehingga menjadi cap bahwa syariah atau konvensional sama saja. 


0 komentar: