FIQH MUAMALAH
1. a. Perbedaan antara Bunga dan Bagi
Hasil
Dibawah ini beberapa perbedaan antara bunga dan bagi hasil, yaitu:
Sistem Bunga
|
Sistem Bagi hasil
|
Penentuan
bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
|
Penentuan
besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
pada kemungkinan untung rugi
|
Besarnya
persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
|
Besarnya
rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
|
Pembayaran
bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang
dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
|
tergantung
pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan
ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
|
Jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau
keadaan ekonomi sedang “booming”
|
Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
|
Eksistensi
bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
|
Tidak ada
yang meragukan keabsahan bagi hasil
|
Bunga bank
dikatan riba’ ialah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen dari
modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba yang
diharamkan oleh agama Islam. Riba’ disini ialah ketika adanya pelipatan ganda
terhadap bunga itu sendiri, namun ada juga yang mengatakan bahwa bunga itu
riba’ karena apapun yang bertambah dari asalnya dikatakan sebagai riba’.
b. Pendapat para ulama’ terhadap bunga bank.
1. Pendapat yang Mengharamkan Bunga Bank
Muhammad abu zahrah, abul a’la
al-maududi, muhammad abdul al-arobi, dan muhammad neja tulloh siddiqi adalah
kelompok yeng mengharamkan bunga bank, baik yangmengambilnya maupun yang
mengeluarkannya.
Alasan-alasan bunga diharamkan
menurut muhammad Neta-Jullah Siddiqi adalah sebagai berikut :
·
bunga
bersifat menindas (dolim) yang menyangkut pemerasan. Dalam pinjaman konsumtif
seharusnya yang lemah (kekurangan) di tolong oleh yang kuat (mampu) tetapi
bunga bank pada awalnya orang lemah ditolong kemudian diharuskan membayar
bunga, itu tidak titolong, tetapi memeras. Hal ini dapat dikatakan bahwa yang
kuat menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Dalam pinjaman produktif dianggap
pinjaman tidak adil, mengingat bunga yang harus dibyar sudah ditentukan dalam
meminjam, sementara keuntungan dalam usaha belum pasti.
·
Bunga
memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang kaya (kuat) yang
kemudian dapat menciptakan ketidakseimbanagan kekayaan. Ini bertentangan dengan
kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak Allah yang menghendaki
pnyebaran pendapat dan kekayaan yang adil. Islam menganjurkan kerja sama dan
persaudaraan dan bunga bertentangan dengan itu.
·
Bunga dapat
menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam modal dapat menerima
setumpukan kekayaan dari bunga-bunga modalnya sehingga nereka tidak bekerja
untuk menutupi kebutuhannya. Cara seperti ini berbahaya bagi masyarakat juga
bagi pribadi orang tersebut.
Muhammad abu zahrah menegaskan bahwa rente (bunga) bank termasuk Riba nas’iah
yang diharamkan dalam agama Islam oleh Allan dan Rasul-Nya.
2. Pendapat yang Mensamarkan/Mensyubhatkan Bunga Bank
Pendapat Musthafa Ahmad al-zarqa
bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para
nasabahnya dan sebaliknya termasuk masalah musytabihat. Masalah musytabihat
adalah perkara yang belum ditemukan kejelasan hukum halal atau haramnya, sebab
mengandung unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan sebagai perkara yang
haram. Namun, ditinjau dari lain, ada pula unsur-unsur lain yang meringankan
keharamannya. Di pihak lain bunga masih termasuk riba sebab merupakan tambahan
dari pinjaman pokok. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi disisi lain bunga
yang relatif kecil itu bukan merupakan keuntungan perorangan, melainkan
keuntungan yang digunakan untuk kepentingan umum.
Pertimbangan besar kecilnya bunga
dan segi penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat larangn riba yang unsur
utamanya adalah pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin
meskipun bunga bank dianggap musytabihat tidak berarti umat Islam diberikan
kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi Saw. Memerintahkan umat Islam
hati-hati terhadap perkara subhat dengan cara mejauhinya.
3. Pendapat yang Menghalalkan Bunga Bank
Pendapat yang ketiga adalah pendapat
yang menghalalkan pengambilan atau pembayaran bunga di bank yang ada dewasa
ini, baik bank negara maupun bank swasta. Pendapat ini dipelopori oleh A.Hassan
yang juga dikenal dengan Hasan. Alasan yang digunakan adalah firman Allah Swt.
Artinya: Janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda (Ali-imran: 130)
Jadi, yang termasuk riba
menurut A. Hassan adalah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen
dari modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba
yang diharamkan oleh agama Islam.
c. Boleh: ketika ia menganggap bunga
bukan bagian dari riba’ dan dan ketika dalam
keadaan dharurat.
Haram: ketika ia yakin bahwasannya
bunga bank ialah riba’.
Namun alangkah lebih baiknya
menggunakan bank syari’ah yang mana telah diketahui dengan pasti bagaimana
sistem yang ada dalam bank syari’ah ialah untuk memajukan Islam itu sendiri dan
bank syari’ah juga mengaplikasikan huklum-hukum yang ada di dalam agama Islam.
2. a. Tindakan A yang menjual rumah yang masih disewakan
kepada B, tidak dapat dibenarkan menurut Fiqh Muamalah yang mana sesuai dengan
hadis rasul yang berarti: “Janganlahseseorang menjual dalam
transaksi orang lain, sehingga ia membelinya atau meninggalkan transaksi
tersebut.” Ha; ini dikarenakan A masih mempunyai akad dengan B yang belum batal
atau selesai akadnya
b. Menurut saya akad sewa antara A dan B tidak dapat batal demi hukum
karena ia masih ada dalam kesepakatan akad yang dibuat diawal, dan masa akad
belum usai dengan akad yang telah ditentukan. Namun ketika transaksi A
dengan C atas sepengetahuan B maka dapat dibenarkan.
3. a. Hal ini (profesor yang
mendaftarka penemuan atas nama dirinya) tidak dapat dibenarkan karena di daalam
penelitiannya ia di biayai oleh perguruan tinggi yang mengutusya, dan semua apa
yang di dapat oleh sang profesor ialah hak dari perguruan tinggi, yang mana ia
disini hanya bekerja dan di beri upah oleh perguruan tinggi tersebut. Dan
kitapun tidak dapat melanggar akad yang telah ditentukan oleh kedua pihak. Dan
ketika ia memiliki hak intelektual tersebut ia telah melanggar akad yang ada
dan ini tidak dibenarkan oleh fiqh muamalah. Dan di dalam akad sendiri
mengandung asas janji yang mengikat.
b. Ulama’ kontemporer berpendapat bahwa
hak intelektual ialah bagian dari harta kekayaan disebut juga al-maal. karena
kekayaan intelektual mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis .
Kebanyakan ulama’ kontemporer dan juga berbagai badan fiqih internasional sebut
saja sebagai contoh fiqih council dibawah Rabithah Alam Islami (Muslim World
League) pada sidang rutin mereka yang ke-9, yang diadakan di kantor pusatnya di
kota Mekkah, pada tanggal 12/71406 H s/d 19/7/1406 H, juga telah menegaskan
akan pengakuan terhadap kekayaan intelektual tersebut.
Saya
sangat setuju dengan hal ini dikarenakan pengakuan terhadap hak intelektual
adalah sesuatu yang wajib dilakukan dan merupakan hal terbaik untuk melindungi
apa yang telah orang lain temukan dan ciptakan yang mana sesuai dengan hadis
nabi:
مَنْ سَبَقَ إِلَى مُبَاحٍ فَهُوَ
أَحَقُّ بِهِ
“Barang siapa telah lebih dahulu mendapatkan sesuatu yang mubah (halal) maka
dialah yang lebih berhak atasnya.” Maka untuk melindungi uasaha menemukan hak
intelektual tersebut dan sebagai apresiasi atas apa yang ia kerjakan maka
diadakan pengakuan terhadap hak intelektual dan juga hukuman bagiu yang
melanggranya.
Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
September 5, 2011
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba.
Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai
perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu
untung
Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad
dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang
dipinjamkanBagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah
keuntungan yang diperoleh
Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan
apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha
merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan
berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa
kalangan
Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan kea
Beda
Bunga Bank dengan Bagi Hasil
ilustrasi :
www.zazzle.com
|
Alhamdulillah,
beberapa hari sebelum tulisan ini ditulis, saya berkesempatan menginvestasikan
sebagian dana tabungan ke salah satu perbankan mikro syariah di Jogja.
Investasi di lembaga keuangan merupakan salah satu cara agar harta (dana) yang
kita miliki dapat produktif dari pada hanya diam disimpan. Investasi yang saya
lakukan adalah dalam bentuk produk Simpanan Mudharobah Berjangka, atau kalau
pada bank disebut deposito.
Banyak
alasan mengikuti program Simpanan Mudharobah Berjangka ini. Alasan utamanya
seperti yang saya bilang tadi, yaitu memproduktifkan dana yang dimiliki agar
berkah. Sebab dalam ajaran Islam, tidak boleh kita menganggurkan harta. Dalam
memproduktifitaskan harta itu saya lebih memilih lembaga keuangan mikro syariah
atau biasa disebut Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dari pada bank syariah.
Karena, selama ini BMT lebih masif dalam menggerakan sektor riil kelas bawah.
Terlihat dari rajinnya para account officer-nya menawarkan pembiayaan ke
warung-warung kecil dan pasar, atau lebih tepatnya pemanfaatan modal ke rakyat
kecil. Banyak hal keunggulan dan resiko mengapa harus memilih investasi di BMT
dari pada bank syariah. Namun, ini hanya alasan yang kesekian. Insya Allah jika
ada kesempatan saya akan membahasnya. Alasan yang lebih utama untuk menjalankan
investasi ini adalah pada masalah idealisme, yaitu memilih lembaga keuangan
syariah dari pada konvensional.
Salah satu
pembicaraan utama untuk melakukan simpanan (investasi) di lembaga keuangan
adalah seberapa besar keuntungan yang akan kita peroleh. Ini adalah hal yang
lumrah. Sebab, sebagai pemilik modal yang ingin memberikan modal pasti
berkeinginan agar modal tersebut dapat bekerja dengan baik dan memberi
kuntungan yang besar. Yang menjadi masalah adalah bagaimana sifat dari kerja
uang tersebut untuk mengasilkan untung bagi si pemodal. Apakah ada pihak yang
dirugikan atau tidak? Apakah keuntungan yang kita nikmati berada di atas
penderitaan orang lain atau tidak? Di sinilah mengapa Islam melahirkan hukum
halal dan haram. Dalam kasus ini, terdapat hukum haram dalam masalah ekonomi
yang sudah sering kita dengar, yaitu riba. Dan bungan bank identik dengan riba.
Sedangkan pada sistem syariah identik dengan sistem yang bernama bagi hasil.
Keduanya terlihat sama, tapi ada yang membedakan.
Pada
pembahasan soal bagi hasil di BMT tempat saya invest inilah saya teringat oleh
seorang kawan kuliah yang berdebat dengan saya soal bagi hasil dan bunga bank’.
Bagi kawan saya itu menganggap bahwa bagi hasil dengan bunga bank adalah sama
saja, sama-sama hasil persentasi dari jumlah uang yang kita tabung di bank.
Bagi saya, menjawab beda. Nah, inilah yang ingin saya jelaskan dari
perbedaannya itu.
Sistem
Anggapan
yang mengatakan bagi hasil sama dengan riba dapat dipatahkan dengan asal usul
dana yang diberikan untuk pembagian bagi hasil atau bunga tersebut. Sifat bunga
adalah berupa tambahan dana yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah atas
kerelaan nasabah telah memberikan dana ke bank. Atau bunga bank dapat
diartikan sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabah yang
membeli atau menjual produknya.
Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada
nasabah (yang memiliki simpanan ) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada
bank (nasabah yang memperoleh pinjaman). Ukuran besarnya bunga dalam bentuk persentase yang sudah ditetapkan
oleh bank, kemudian dibayarkan kepada nasabah sesuai jumlah dana yang dimiliki
nasabah dibank tempat ia menyimpan.
Contohnya
begini, misalkan Anda butuh dana ke saya. Lalu saya pinjamkan uang senilai 1
juta rupiah dengan syarat Anda harus mengembalikan dengan bunga sebesar 10%
sebagai balas jasa Anda ke saya karena telah meminjamkan dana. Maka, ketika
jatuh tempo Anda harus mengembalikan dana ke saya sebesar satu juta seratus.
Jadi, pihak kreditur (pihak yang butuh dana) memiliki kewajiban membayarkan
beban tersebut. Ingat, adanya sifat wajib (paksa). Karena sifatnya wajib
inilah, bungan sama dengan hutang. Jika peminjam tidak bisa membayar bunga,
maka tetap akan dihitung sebagai hutang. Dapat disimpulkan, pihak penabung
dapat untung dari bunga yang diperoleh, namun keuntungan itu bisa di dapat dari
penderitaan orang lain yang gagal bayar.
Berbeda
dengan bagi hasil atau sering diistilahkan dengan profit sharing. Bagi hasil
memiliki akad bekerja sama. Maksudnya, dana yang diberikan oleh nasabah kepada
bank dapat dikelola oleh bank dengan menghasilkan keuntungan (profit), dari
profit tersebut akan disepakati pembagian keuntungannya antara pengelola dan
pemilik dana ke dalam bentuk persentase. Biasanya (secara realitas), yang
memiliki hak kuat untuk menentukan persentase adalah bank bukan nasabah. Namun
begitu, tetap saja pembagian hak nasabah bukan dari sebuah kewajiban melainkan
dari keuntungan yang diperoleh bank. Besarnya bagi hasil tergantung dari
besarnya keuntungan bank yang diperoleh. Jika bank tidak untung, maka nasabah
pun juga tidak mendapat bagi hasilnya. Inilah yang disebut konsep keadilan
dalam islam di bidang ekonomi.
Asal dan
Sifatnya
Satu hal
yang terpenting dalam islam adalah tidak bolehnya kita meminjamkan uang kepada
seseorang dengan menuntut pengembalian dengan adanya penambahan nilai dari jumlah
pokok yang dipinjamkan. Dalam Islam, ketika meminjamkan uang maka pengembalian
uangnya harus sebesar jumlah pokok yang dipinjamkan.
Pada konsep
konvensional, kehadiran bunga menjadi sarana yang dibebankan kepada peminjam
agar si pemilik dana mendapatkan imbalan. Inilah yang menjadi kewajiban nasabah
ketika ingin meminjam uang untuk tujuan konsumtif maupun modal usaha. Bank
tidak mau tahu apakah si nasabah tersebut mampu atau tidak untuk mengembalikan
uang tersebut, yang penting wajib dikembalikan dengan tambahan bunga (hutang).
Jika tidak sanggup, hukum akan bermain, biasanya berupa penyitaan jaminan.
Jadi, bank konvensional tidak ada bedanya dengan rentenir.
Kemudian,
menurut sepengetahuan saya, pinjaman dana bank yang diberikan ke nasabah tidak
terlalu diperhatikan penggunaannya untuk apa. Yang paling diteliti oleh pihak
bank adalah bagaimana kemampuan si peminjam untuk mengembalikan dana tersebut
plus bunga, serta jaminan yang sanggup diberikan. Sebagai upaya meningkatkan
keuntungan bank adalah bagaimana dapat mencari nasabah sebanya-banyaknya. Baik
nasabah untuk memasukan dananya ke bank tersebut (tabungan) atau nasabah yang
bisa dipinjamkan dananya (pengutang).
Bunga
inilah yang menjadi sumber pendapatan bank konvensional. Pendapatan dapat
diperoleh dari selisih bunga (net interest margin) antara bunga simpanan dan
bunga yang dipinjamkan. Sehingga, untuk memaksimalkan pendapatan bank mereka
harus mendapatkan nasabah untuk tabungan sebanyak mungkin dan mencari peminjam
juga sebanyak mungkin, juga menetapkan besarnya rasio bunga (persentase) yang
sekiranya dapat menarik si penabung atau pembutuh dana (hutangan).
Kemudian
bagaimana dengan bagi hasil. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bagi hasil
didapatkan dari sumber keuntungan bank. Kalau bank konvensional salah satu cara
mencari keuntungannya adalah dengan selisih bunga simpanan dan pinjaman
nasabah, maka pada keuangan syariah sumber keuntungannya dalam dengan program
pembiayaan investasi serta pembiayaan konsumtif.
Pada
pembiayaan investasi, pihak bank akan memberikan dana kepada nasabah yang
sedang butuh mudal untuk usahanya. Ada dua tipe dalam pembiayaan investasi ini,
yaitu mudharobah dan musyarokah. Mudharobah pihak bank hanya sebagai pemberi
modal sedangkan nasabah yang mengelola secara teknis. Singkatnya, pihak bank
bertindak sebagai investor. Kalau musyarokah, kedua pihak bank sebagai pemberi
modal juga sebagai pihak bersama nasabah ikut andil dalam menjalankan usaha
dengan derajat porsi kerja sesuai kesepakatan. Dari modal usaha tersebut dikelola
hingga mencapai kuntungan. Dari keuntungan tersebutlah kedua belah pihak
bersepakat membagi porsinya sesuai kesepakatan di awal. Keuntungan usaha ini
yang menjadi keuntungan bank. Jika tidak untung, maka nasabah tidak
berkewajiban membayar nilai uang kepada bank. Dan jika usaha nasabah itu rugi,
bank juga ikut rugi. Seperti itu keadilannya. Sangat jauh dengan prinsip bunga
tadi.
Kemudian
pada pembiayaan konsumtif. Kalau di bank konvensional kita bisa berhutang tanpa
bank harus tahu dana yang akan kita gunakan, maka pada bank syariah, bank
berhak mengetahui keinginan nasabah terhadap dana tersebut. Tujuannya, agar
bank dapat menggunakan dana tersebut untuk membeli barang yang dibutuhkan
nasabah, tidak diberi tunai. Maksudnya, barang yang diinginkan nasabah akan
dibeli oleh bank dengan harga jual pokok barang dipasaran, lalu dijual kepada
nasabah dengan harga bank. Harga bank ke nasabah sedikit lebih mahal disebabkan
bank ingin mendapatkan keuntungan yang besarnya sesuai kesepakatan kedua belah
pihak. Hal ini sah-sah saja, karena akadnya menjadi nilai dagang, bukan riba.
Kemudian pihak nasabah dapat membayar harga jual bank tersebut dalam bentuk
cicilan atau tunai pada jatuh tempo. Sistem ini disebut dengan murabahah.
Jika belum
paham contoh mudahnya begini. Misalnya nasabah butuh dana ke bank syariah untuk
membeli rumah dengan harga dipasaran 200 juta. Pihak bank akan mengeluarkan
dana untuk membeli rumah tersebut seharga 200 juta. Kemudian menjual kepada
nasabah yang membutuhkan rumah tersebut dengan harga sesuai kesepakatan 220
juta. Maka, nasabah akan membeli kepada bank (dalam bentuk hutang) senilai 220
juta yang dibayar dalam bentuk cicilan atau tunai pada jatuh tempo. Nilai 20
juta itulah yang akan menjadi nilai keuntungan bank.
Pendapatan
dari pembiayaan investasi dan pembiyaan konsumtif inilah yang akan menjadi
keuntungan bank. Keuntungan tersebut akan disalurkan ke dala persentase nisbah
bagi hasil kepada nasabah yang telah menyimpan dananya ke bank tersebut. Sehingga,
sepeti sistem bagi hasil yang dijelaskan di atas, bahwa besarnya bagi hasil
yang diterima nasabah tergantung besarnya keuntungan yang diteria bank dari
dana nasabah yang telah dikelola oleh bank.
Jadi jelas,
bahwa dari sisi sistem, akad, dan sifat bunga bank dan bagi hasil sungguh jauh
berbeda. Dari sistem bagi hasil inilah menjadi sebuah ketertarikan dalam
berinvestasi. Dari sebuah ideologi (ajaran normatif) untuk meninggalkan riba
terbentuk sebuah sistem bisnis dengan akad bekerja sama yang saling
menguntungkan dan berkeadilan. Semakin tinggi pendapatan pengelola dana (baik
bank atau badan usaha) semakin tinggi pula nisbah bagi hasil yang didapatkan.
Masalahnya tinggal bagaimana memilih lembaga keuangan syariah baik makro maupun
mikro yang bisa kita percaya untuk mengelola dana kita. Karena, banyak juga
perbankan syariah yang tidak amanah dalam pengelolaanya, sehingga menjadi cap
bahwa syariah atau konvensional sama saja.
0 komentar:
Posting Komentar