A.
Latar Belakang
Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan perlunya pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu menjadi sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional.
Salah satu program pembangunan yang berkaitan dengan kependudukan adalah Program Keluarga Berencana yang bertujuan mengendalikan jumlah penduduk diantaranya melalui program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Pendewasaan Usia Perkawinan diperlukan karena dilatarbelakangi beberapa hal sebagai berikut:
1. Semakin banyaknya kasus pernikahan usia dini.
2. Banyaknya kasus kehamilan tidak diinginkan.
3. Banyaknya kasus pernikahan usia dini dan kehamilan tidak diinginkan
menyebabkan pertambahan penduduk makin cepat (setiap tahun bertambah sekitar
3,2 juta jiwa).
4. Karena pertumbuhan penduduk tinggi, kualitasnya rendah.
5. Menikah dalam usia muda menyebabkan keluarga sering tidak
harmonis,sering cekcok, terjadi perselingkuhan, terjadi KDRT, rentan terhadap
perceraian.
Beberapa persiapan yang dilakukan dalam rangka berkeluarga antara lain:
1. Persiapan fisik, biologis.
2. Persiapan mental.
3. Persiapan sosial ekonomi.
4. Persiapan Pendidikan dan ketrampilan.
5. Persiapan keyakinan dan atau agama.
B. Pengertian
Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa.
Bahkan harus diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia
perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan. Dalam
istilah KIE disebut sebagai anjuran untuk mengubah bulan madu menjadi tahun
madu.
Pendewasaan usia perkawinan merupakan bagian dari program Keluarga
Berencana Nasional. Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur kawin
pertama yang pada gilirannya akan menurunkan Total Fertility Rate (TFR).
C. Tujuan
Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah Memberikan pengertian dan
kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat
mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga,
kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan
jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya
peningkatan usia kawin yang lebih dewasa.
Program Pendewasaan Usia kawin dan Perencanaan Keluarga merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan. Kerangka ini terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu: 1) Masa menunda perkawinan dan kehamilan, 2) Masa menjarangkan kehamilan dan 3) Masa mencegah kehamilan. Kerangka ini dapat dilihat seperti bagan dibawah ini.
1. Masa Menunda Perkawinan dan Kehamilan
Kelahiran anak yang baik, adalah apabila dilahirkan oleh seorang ibu yang
telah berusia 20 tahun. Kelahiran anak, oleh seorang ibu dibawah usia 20 tahun
akan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak yang bersangkutan. Oleh sebab
itu sangat dianjurkan apabila seorang perempuan belum berusia 20 tahun untuk
menunda perkawinannya. Apabila sudah terlanjur menjadi pasangan suami istri
yang masih dibawah usia 20 tahun, maka dianjurkan untuk menunda kehamilan, dengan
menggunakan alat kontrasepsi seperti yang akan diuraikan dibawah ini. Beberapa
alasan medis secara objektif dari perlunya penundaan usia kawin pertama dan
kehamilan pertama bagi istri yang belum berumur 20 tahun adalah sebagai
berikut:
a. Kondisi rahim dan panggul belum berkembang optimal sehingga dapat mengakibatkan risiko kesakitan dan kematian pada saat persalinan, nifas serta bayinya.
a. Kondisi rahim dan panggul belum berkembang optimal sehingga dapat mengakibatkan risiko kesakitan dan kematian pada saat persalinan, nifas serta bayinya.
b. Kemungkinan timbulnya risiko medik sebagai berikut:
1) Keguguran.
2) Preeklamsia (tekanan darah tinggi, cedema, proteinuria).
3) Eklamsia (keracunan kehamilan).
4) Timbulnya kesulitan persalinan.
5) Bayi lahir sebelum waktunya.
6) Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR).
7) Fistula Vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina).
8) Fistula Retrovaginal (
keluarnya gas dan feses/tinja ke vagina).
9) Kanker leher rahim.
Penundaan kehamilan pada usia dibawah 20 tahun ini dianjurkan dengan
menggunakan alat kontrasepsi sebagai berikut:
a. Prioritas kontrasepsi adalah oral pil, oleh karena peserta masih muda
dan sehat.
b. Kondom kurang menguntungkan, karena pasangan sering bersenggama
(frekuensi tinggi) sehingga akan mempunyai kegagalan tinggi.
c. AKDR/Spiral/IUD bagi yang belum mempunyai anak merupakan pilihan kedua.
AKDR/Spiral/IUD yangdigunakan harus dengan ukuran terkecil.
2. Masa Menjarangkan kehamilan
Masa menjarangkan kehamilan terjadi pada periode PUS berada pada umur 20-35
tahun. Secara empirik diketahui bahwa PUS sebaiknya melahirkan pada periode
umur 20-35 tahun, sehingga resiko-resiko medik yang diuraikan diatas tidak
terjadi. Dalam periode 15 tahun (usia 20-35 tahun) dianjurkan untuk memiliki 2
anak. Sehingga jarak ideal antara dua kelahiran bagi PUS kelompok ini adalah
sekitar 7-8 tahun. Patokannya adalah jangan terjadi dua balita dalam periode 5
tahun. Untuk menjarangkan kehamilan dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi.
Pemakaian alat kontrasepsi pada tahap ini dilaksanakan untuk menjarangkan
kelahiran agar ibu dapat menyusui anaknya dengan cukup banyak dan lama. Semua
kontrasepsi, yang dikenal sampai sekarang dalam program Keluarga Berencana
Nasional, pada dasarnya cocok untuk menjarangkan kelahiran. Akan tetapi
dianjurkan setelah kelahiran anak pertama langsung menggunakan alat kontrasepsi
spiral (IUD).
3. Masa Mencegah Kehamilan
Masa pencegahan kehamilan berada pada periode PUS berumur 35 tahun keatas.
Sebab secara empirik diketahui melahirkan anak diatas usia 35 tahun banyak
mengalami resiko medik. Pencegahan kehamilan adalah proses yang dilakukan
dengan menggunakan alat kontrasepsi. Kontrasepsi yang akan dipakai diharapkan
berlangsung sampai umur reproduksi dari PUS yang bersangkutan yaitu sekitar 20
tahun dimana PUS sudah berumur 50 tahun. Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi
PUS usia diatas 35 tahun adalah sebagai berikut:
a. Pilihan utama penggunaan kontrasepsi pada masa ini adalah kontrasepsi
mantap (MOW, MOP).
b. Pilihan ke dua kontrasepsi adalah IUD/AKDR/Spiral.
b. Pilihan ke dua kontrasepsi adalah IUD/AKDR/Spiral.
c. Pil kurang dianjurkan karena pada usia ibu yang relatif tua mempunyai
kemungkinan timbulnya akibat sampingan.
Persiapan Dini menuju Pernikahan
Polemik Nikah Dini
Fenomena pernikahan dini di Indonesia masih cukup menyita
perhatian pemerintah maupun publik. Sebagai bukti, pada tahun 2011 ini
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) makin gencar melakukan
kampanye untuk mendorong agar jangan sampai terjadi pernikahan dini. BKKBN
mencanangkan program bernama ‘Genre’ atau generasi berencana. Kampanye ini
telah mengarah ke seluruh provinsi di Indonesia. (detiknews, 18 Mei
2011)
Lembaga ini memang termasuk pihak yang paling gencar mengimbau
masyarakat agar tidak menikah muda. Pasalnya, di Indonesia masih banyak orang
yang menikah pada usia di bawah 20 tahun. Menurut lembaga ini, idealnya
perempuan menikah di usia 20-35 tahun, sedangkan untuk pria usia 25-40 tahun
dengan pertimbangan sudah matang secara medis dan psikologis. Mereka
berpandangan bahwa ketidakmatangan menikah di usia dini cenderung menyebabkan
kehancuran rumah tangga dan resiko yang bersifat medis.
Polemik pun bergulir. Sayangnya, perbincangan seputar nikah
dini ini cenderung menyudutkan pelaku nikah dini. Masyarakat pun latah
untuk ikut ‘mengharamkan’ nikah dini menyusul munculnya beberapa kasus yang
tidak diinginkan pada pelaku nikah dini. Mereka lupa untuk mencari sebab
hakiki terjadinya problematika yang muncul dari pernikahan dini ini.
Mereka hanya spontan menolak, tanpa memberi solusi lain bilamana pernikahan
dini adalah perkara yang terpaksa harus dijalani.
Namun, di tengah gencarnya propaganda larangan menikah dini ini,
tak sedikit pula yang justru mempertahankan konsep pernikahan dini.
Menurut kalangan ini, problematika yang menimpa pelaku nikah dini bukanlah
disebabkan oleh faktor usia, namun oleh kesiapan saat menikah. Sebab, tak
semua pelaku nikah dini bermasalah. Demikian pula, tak semua pelaku nikah
di usia matang tidak menuai persoalan. Intinya terletak pada kesiapan
saat menikah yang harus dipenuhi baik oleh mereka yang masih dini (belia)
maupun yang berusia matang.
Persoalan kesiapan menikah tak hanya menjadi penentu retak dan
langgengnya bahtera rumah tangga pelaku nikah dini. Persoalan ini juga
penting mengingat maraknya perceraian juga disebabkan oleh lemahnya
persiapan sebelum menikah. Pergaulan bebas muda mudi pun bisa jadi
menjadi pelarian karena mereka belum memahami konsep pernikahan atau tidak
mampu mempersiapkan pernikahan sehingga cenderung menunda pernikahan.
Dari sini penting untuk dipahami hal-hal yang harus dipersiapkan untuk menikah.
Sebagai bentuk persiapan, maka semakin dini dilakukan akan semakin
baik. Sehingga tatkala seseorang harus menikah kapanpun usianya -asal
dibolehkan syariat- maka ia harus menguasainya demi keberlangsungan behtera
rumah tangga. Lantas, apa saja yang harus dipersiapkan?
Usia Bukan Persoalan
Pada dasarnya Islam membolehkan menikahi perempuan di bawah umur,
sebelum haid atau usia 15 tahun. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di
kalangan ulama’. Demikian penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh
Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang
pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak
gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).”
Salah satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang
menyatakan:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.” (QS. at-Thalaq [65]: 04)
Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah -radhiya-Llahu
‘anha- dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ وَأَنَا اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)
“Saya dinikahi oleh Nabi saw.
ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya
berusia sembilan tahun.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Dengan demikian Islam memandang bahwa perempuan boleh menikah di
usia dini. Dengan kebolehan ini maka persiapan untuk itu pun harus
dilakukan sejak dini. Sebab, ketika seorang perempuan menikah -pada usia
berapapun- ia harus mengetahui hukum syariat yang terkait dengan pernikahan,
hak dan kewajiban suami isteri, pengasuhan anak, dll. Jika ia sudah
baligh maka ia terbebani hukum yang berkonsekuensi atas pahala dan dosa atas
perbuatannya.
Meski syariat telah membolehkan, banyak kalangan menilai rendah bentuk
pernikahan dini. Mereka memandang pernikahan dini cenderung mengalami
kegagalan. Namun, benarkah kegagalan itu disebabkan oleh dininya usia
pernikahan? Jika didalami, sebenarnya kegagalan pernikahan tidak
ditentukan oleh usia saat menikah, tapi lebih ditentukan oleh kesiapan saat
menikah. Buktinya, mereka yang menikah pada usia matang pun bisa gagal
menjalani kehidupan rumah tangga.
Persiapan, Kunci Penting
Masalahnya, banyak yang menikah masih usia belia, persiapan
menikahnya masih cenderung minim. Apalagi dalam sistem sekuler seperti
sekarang ini, penyelenggaraan pendidikan tidak mengarahkan siswa memiliki
kematangan mental (emosional dan spiritual) sehingga rawan terpelanting saat
menghadapi situasi sulit. Sebagai contoh, siswa (laki-laki) SMP/SMA yang
sudah baligh seharusnya memiliki pemahaman bahwa pada dasarnya ia diberi beban
untuk menghidupi dirinya sendiri. Ia tidak harus bergantung pada
walinya. Kemandiriannya dituntut berkembang saat menjelang baligh hingga
saat baligh ia memiliki konsep hidup untuk berusaha tidak menyerahkan
perwaliannya kepada ayahnya.
Begitu pula bagi siswi perempuan, sistem pendidikan sekuler tidak
cukup memberi bekal ketrampilan hidup termasuk ketrampilan kerumah
tanggaan. Dengan demikian, tatkala ia harus berumah tangga (meski di usia
belia) ia tak cukup memiliki kesiapan.
Berbeda dengan sistem Islam, maka dalam sistem Islam negara
memberlakukan sistem pendidikan yang mampu mengarahkan setiap siswa untuk
memiliki kemampuan sebagai orang yang mukallaf saat usia mencapai baligh. Misalnya,
mendidik saat seorang laki-laki sudah tidak harus bergantung kepada ayahnya,
saat seorang perempuan baligh layak/ dibolehkan untuk menikah, saat mereka
harus menata emosi meski berusia muda agar tidak menentang syariat dan sebagainya.
Sistem pendidikan Islam akan mampu mencetak remaja berkepribadian
Islam yang memiliki kesiapan menikah saat kapanpun kesempatan itu datang
. Mempersiapkan menikah seharusnya diberikan sejak mereka baligh.
Sebab saat itulah mereka dianggap oleh syara’ telah layak untuk menikah.
Dengan demikian, usia belia yang dianggap sebagai ancaman bagi
pernikahan bukan lagi masalah. Secara fisik maupun mental mereka mampu,
jika dipersiapkan. Inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian
pemerintah dan kaum muslim dalam menilai berbagai persoalan yang mengiringi
pernikahan dini.
Urgensi Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan yang sah menurut syariat Islam bagi
dua lawan jenis untuk melakukan interaksi khusus (hubungan jenis) dengan aturan
yang khusus. Melalui pernikahan, keberlangsungan jenis manusia akan
terwujud. Melalui pernikahan pula akan diperoleh ketenangan dan kedamaian
bagi suami isteri. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dialah Yang menciptakan kamu dari
diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa
senang kepadanya.” (TQS al-A‘râf [7]: 189)
Keluarga sakinah mawaddah wa rohmah (Samara) tidak akan
terwujud bila suami isteri tidak memahami hakikat berkeluarga. Untuk itu,
persiapan membentuk keluarga Samara ini mutlak diwujudkan sebelum pasangan
memasuki jenjang pernikahan. Lebih-lebih, menikah bukanlah sekadar pelegalan
hubungan seks laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, menikah adalah
proses membangun keluarga. Karenanya butuh persiapan yang benar-benar matang,
dari segi fisik maupun mental.
Di samping itu, perjalanan pernikahan tentu tidak semulus jalan
tol. Lika-liku permasalahan pasti dihadapi di tengah jalan.
Ketahanan suami isteri menghadapi badai rumah tangga menjadi kunci keberhasilan
mempertahankan biduk rumah tangga. Persiapan yang dilakukan sebelum
mereka menikah menentukan semua itu.
Saat ini jamak dijumpai pasangan muda-mudi yang lebih rela menunda
pernikahan dengan alasan belum ada kesiapan, baik yang berkaitan dengan materi
maupun mental. Oleh karena itu, persiapan menikah seharusnya dilakukan
sedini mungkin. Pada kondisi tertentu hal ini bisa menjadi jalan keluar
bagi mereka yang sudah memiliki calon pasangan hidup untuk segera menikah
sehingga terhindar dari dosa berpacaran dan pergaulan bebas.
Kesiapan menikah di usia dini bukan saja akan memberi kesempatan
anak muda yang tengah bergejolak nafsunya untuk memperoleh kebaikan/pahala
menikah sejak awal. Di sisi lain, juga akan menyelamatkannya dari
perbuatan dosa seperti pacaran, perzinahan dan sejenisnya tanpa harus khawatir
kandas di tengah jalan.
Persiapan Menikah
Berikut ini diantara perkara yang mutlak disiapkan sebagai bekal
untuk menikah:
Pertama, penguatan
aqidah. Setiap muslim wajib meyakini bahwa Allah SWT berkuasa
memampukan hamba-hamba-Nya yang menikah di jalan-Nya. Sikap tawakkal
kepada Allah SWT juga harus dipupuk sejak dini sebagai bekal menapaki berbagai
persoalan kehidupan rumah tangga. Intinya, kekuatan aqidah menjadi
benteng bagi setiap muslim dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Aqidah yang kuat juga akan menjaganya untuk tetap menyelesaikan semua
persoalannya menurut hukum syariat.
Kedua, pemahaman
konsep dasar pernikahan dalam Islam. Seorang muslim wajib memahami
bahwa menikah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Ia
bukanlah perjanjian antara orang berlainan jenis untuk hidup bersama.
Pernikahan harus senantiasa dibimbing oleh syariat, baik dalam tata penyelenggaraannya,
maupun selama kehidupan pernikahan berlangsung. Konsep dasar ini akan
menentukan orientasi atau tujuan seseorang menikah. Ia tidak akan mudah
melepaskan ikatan pernikahan sebelum Allah berkenan untuk melepaskannya.
Ketiga, penguasaan
hukum-hukum Islam seputar pernikahan. Setiap pasangan yang hendak
menikah seharusnya menguasai pemahaman hukum-hukum syariah tentang pernikahan,
mulai dari perkara yang harus dilakukan sebelum menikah seperti memilih calon
suami/isteri, aturan khitbah, rukun nikah, masalah kehidupan rumah tangga, hak
dan kewajiban suami isteri, masalah thalaq, hingga masalah pengasuhan anak dan
silaturahmi.
Dengan pemahaman ini, pasangan yang hendak menikah memiliki bekal
dan keyakinan bahwa biduk rumah tangga yang dijalaninya akan kokoh karena sudah
dibangun berdasarkan ketentuan syariah. Sang suami telah memilih isteri
yang dianjurkan, melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan wali bagi
anak-anaknya atau menjadi pemimpin dalam keluarga.
Demikian pula isteri, ia telah menjalankan ketaatannya kepada
suaminya, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, atau bersama-sama suami
menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabatnya dan lain sebagainya. Semua
itu akan terwujud dengan persiapan yang dilakukan sejak dini.
Keempat, membina
diri menjadi muslim/muslimah berkepribadian Islam. Pembinaan
kepribadian ini harus dilakukan sejak dini. Seorang yang berkepribadian
Islam akan berusaha mentaati seluruh aturan Allah SWT. Muslim yang
berkepribadian Islam akan bertanggung jawab dan membina diri menjadi calon
pemimpin keluarga. Demikian pula muslimah, ia harus menjaga kehormatannya
dan membina diri menjadi calon manager (pengatur) rumah tangga.
Kepribadian Islam juga akan mengarahkan kecenderungan dan gejolak
hawa nafsu seseorang senantiasa mengikuti aturan Allah. Ia bukanlah orang
yang mudah tergoda oleh kecantikan atau ketampanan orang yang bukan pasangannya
(suami/isterinya). Ia pun mampu mengendalikan gejolak emosinya sehingga
tetap mampu berpikir jernih untuk mengisi kehidupan rumah tangganya dengan
kebaikan. Kepribadian yang tidak kuat akan mudah meruntuhkan bangunan
rumah tangga. Sayangnya, inilah yang sering terjadi pada pasangan nikah
dini saat ini. Mereka kurang memliki persiapan dari sisi ini, akibatnya
cenderung merusak institusi keluarga yang seharusnya dijaga.
Kelima, pemahaman
yang memadai tentang kesehatan fisik. Bagaimanapun, perjalanan
pernikahan akan berkaitan dengan aktivitas fisik seseorang. Bagi isteri,
ia akan menjalani masa kehamilan dan menyusui. Oleh karena itu, setiap muslim
seharusnya memiliki pemahaman tentang tatacara menjaga organ-organ
reproduksinya agar berfungsi dengan baik saat manjalani kehidupan rumah
tangga. Ia harus membiasakan menjaga kesehatan sejak dini sehingga
terhindar dari penyakit yang bisa menghalangi fungsi-fungsinya sebagai isteri
dan ibu.
Demikianlah diantara beberapa perkara yang harus disiapkan sebelum
menikah. Siapapun orangnya, baik yang masih belia maupun yang berusia
matang, akan lebih mudah menjalani kehidupan rumah tangga bila semua persiapan
tersebut telah dilakukan.
Tugas Bersama
Kini, menjadi tugas bersama untuk mewujudkan semua persiapan
tersebut sejak dini. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan sistem
pendidikan yang mengarahkan terwujudnya persiapan tersebut. Dengan
kesiapan ini, tak seharusnya pergaulan bebas menjadi pilihan pasangan muda
mudi. Dengan ini pula, tudingan miring pada pelaku nikah dini akan
dieliminir karena mereka tetap mampu menjalani kehidupan rumah tangganya dengan
baik. Tingkat perceraian pun akan bisa diminimalisir karena ketahanan
rumah tangga yang telah dibangun.
Demikianlah, setiap rumah tangga yang dibangun dengan persiapan
yang matang akan melahirkan tujuan syariat yang dikehendaki. Darinya
terlahir keturunan yang shalih dan muslih, darinya pula terlahir keluarga yang
mampu menopang berjalannya tatanan kehidupan masyarakat yang menjaga amar
makruf nahi munkar.
Tentu saja, membina kesiapan menikah dalam sistem sekuler saat ini
menjadi kesulitan tersendiri. Oleh karena itu, seiring dengan upaya
menyiapkan individu umat, selayaknya kita berupaya mengganti sistem sekuler ini
dengan sistem Khilafah. Karena hanya dalam sistem khilafah Islam saja
semua persiapan menuju pernikahan akan sempurna dilaksanakan. Semoga kita
dimudahkan untuk mewujudkannya. Aamiin ya Robbal ‘Alamiin. [na]
Peran Konsultan bagi Persiapan Pernikahan
Penghasilan ini bisa berupa dari gaji dari hasil pegawai maupun
bisa juga dari hasil membuka usaha yang penting uang yang dihasilkan halal.
Jangan sampai menikah hanya modal badan saja hal ini akan sangat memberatkan
dan akan banyak timbul masalah hidup berumah tangga dengan harus menafkahi anak
istri. Dari segi materi mungkin bagian diatas yang terpenting. Kalau persiapan
dari segi mental hendaknya stiap pemuda yang akan menikah memiliki sikap
tanggung jawab, mau bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dan yang
tak kalah penting sikap setia sehati pada pasangan agar rumah tangga bisa
langgeng. Jadi mantapkan niat satukan tekad yang kuat untuk menjalani kehidupan
sesudah menikah yang mungkin akan berat dan banyak rintangannya, sehingga lebik
baik persiapan mulai sedini mungkin. Agar nantinya tidak kaget setelah menikah.
Daftar Pustaka
Ajzen, I.
1988. Attitude, Personality, and Behavior. Milton Keynes, England: Open
UniversityPress.Biro Pusat Satistik, 1986. Pola Umur Perkawinan.
JakartaFishbein, M. & Ajzen, I. 1975. Belief, Attitude, Intention and
Behavior: An Introduction to
Theory and
Reseach. Sydney: Addison-Wesley Publishing Company.Hurlock, Elizabeth.B. 1993.
Psikologi
Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang RentangKehidupan, Edisi kelima.
Jakarta: Penerbit Erlangga.Kartono, Kartini, 1987. Psikologi Wanita. Jakarta:
Gramedia.Landis, Judson dkk. 1963. Building a Succsessfull Marriage. Fourth
Edition. Berkeley: PrenticeHall,
Inc.Lasswell,
Marcia, And Lassell, Thomas, 1987. Marriage and The Family. Second
Edition.California: Wodsworth Publishing Company.Malhotra, Anju. 1997. Gender
and The Timing of Marriage: Rural-Urban Differences in Java.Journal Marriage
and Family. (51) 434-449.Marseliust. (2002). Hubungan Sikap, Norma Subyektif
dan Kontrol Perilaku yang dipersepsidengan intensi Kepatuhan Wajib Pajak
Membayar Pajak Penghasilan. Tesis.
Tidak
diterbitkan.Yogyakarta: PPS UGM.Monks, F.J. Knoers, A.M.P dan Haditono, S.T
. 1999.
Psikologi Perkembangan: Pengantar dalmBerbagai Bagiannya.Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.Oppenheimer, V.K., (1988).
Theory of
marriage timing. American Journal of Sociology, 49:563-591.Otani, K. 1991. Time Distribution in The Process to
Marriage and Pregnancy in Japan.Population Studies, 45: 475-487.Papalia, Diane
E. and Olds, Sally Wendkos. 1986. Human Development.
Third Edition.
NewYork: Mc Graw Hill Book Company.Sarwono, S. Wirawan (1997). Psikologi
Remaja. Jakarta: Raja Griya Persada
0 komentar:
Posting Komentar