Selasa, 28 Juni 2016

PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN

A.        Latar Belakang

Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan perlunya pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu menjadi sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional.

Salah satu program pembangunan yang berkaitan dengan kependudukan adalah Program Keluarga Berencana yang bertujuan mengendalikan jumlah penduduk diantaranya melalui program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Pendewasaan Usia Perkawinan diperlukan karena dilatarbelakangi beberapa hal sebagai berikut:

1. Semakin banyaknya kasus pernikahan usia dini.
2. Banyaknya kasus kehamilan tidak diinginkan.
3. Banyaknya kasus pernikahan usia dini dan kehamilan tidak diinginkan menyebabkan pertambahan penduduk makin cepat (setiap tahun bertambah sekitar 3,2 juta jiwa).
4. Karena pertumbuhan penduduk tinggi, kualitasnya rendah.
5. Menikah dalam usia muda menyebabkan keluarga sering tidak harmonis,sering cekcok, terjadi perselingkuhan, terjadi KDRT, rentan terhadap perceraian.
Beberapa persiapan yang dilakukan dalam rangka berkeluarga antara lain:

1. Persiapan fisik, biologis.
2. Persiapan mental.
3. Persiapan sosial ekonomi.
4. Persiapan Pendidikan dan ketrampilan.
5. Persiapan keyakinan dan atau agama.

B. Pengertian

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa.
Bahkan harus diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan. Dalam istilah KIE disebut sebagai anjuran untuk mengubah bulan madu menjadi tahun madu.
Pendewasaan usia perkawinan merupakan bagian dari program Keluarga Berencana Nasional. Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur kawin pertama yang pada gilirannya akan menurunkan Total Fertility Rate (TFR).

C. Tujuan

Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah Memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa.

Program Pendewasaan Usia kawin dan Perencanaan Keluarga merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan. Kerangka ini terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu: 1) Masa menunda perkawinan dan kehamilan, 2) Masa menjarangkan kehamilan dan 3) Masa mencegah kehamilan. Kerangka ini dapat dilihat seperti bagan dibawah ini.

1. Masa Menunda Perkawinan dan Kehamilan
Kelahiran anak yang baik, adalah apabila dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia 20 tahun. Kelahiran anak, oleh seorang ibu dibawah usia 20 tahun akan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu sangat dianjurkan apabila seorang perempuan belum berusia 20 tahun untuk menunda perkawinannya. Apabila sudah terlanjur menjadi pasangan suami istri yang masih dibawah usia 20 tahun, maka dianjurkan untuk menunda kehamilan, dengan menggunakan alat kontrasepsi seperti yang akan diuraikan dibawah ini. Beberapa alasan medis secara objektif dari perlunya penundaan usia kawin pertama dan kehamilan pertama bagi istri yang belum berumur 20 tahun adalah sebagai berikut:
a. Kondisi rahim dan panggul belum berkembang optimal sehingga dapat mengakibatkan risiko kesakitan dan kematian pada saat persalinan, nifas serta bayinya.
b. Kemungkinan timbulnya risiko medik sebagai berikut:

1) Keguguran.
2) Preeklamsia (tekanan darah tinggi, cedema, proteinuria).
3) Eklamsia (keracunan kehamilan).
4) Timbulnya kesulitan persalinan.
5) Bayi lahir sebelum waktunya.
6) Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR).
7) Fistula Vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina).
8) Fistula Retrovaginal ( keluarnya gas dan feses/tinja ke vagina).
9) Kanker leher rahim.
Penundaan kehamilan pada usia dibawah 20 tahun ini dianjurkan dengan menggunakan alat kontrasepsi sebagai berikut:
a. Prioritas kontrasepsi adalah oral pil, oleh karena peserta masih muda dan sehat.
b. Kondom kurang menguntungkan, karena pasangan sering bersenggama (frekuensi tinggi) sehingga akan mempunyai kegagalan tinggi.
c. AKDR/Spiral/IUD bagi yang belum mempunyai anak merupakan pilihan kedua.
AKDR/Spiral/IUD yangdigunakan harus dengan ukuran terkecil.

2. Masa Menjarangkan kehamilan
Masa menjarangkan kehamilan terjadi pada periode PUS berada pada umur 20-35 tahun. Secara empirik diketahui bahwa PUS sebaiknya melahirkan pada periode umur 20-35 tahun, sehingga resiko-resiko medik yang diuraikan diatas tidak terjadi. Dalam periode 15 tahun (usia 20-35 tahun) dianjurkan untuk memiliki 2 anak. Sehingga jarak ideal antara dua kelahiran bagi PUS kelompok ini adalah sekitar 7-8 tahun. Patokannya adalah jangan terjadi dua balita dalam periode 5 tahun. Untuk menjarangkan kehamilan dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi. Pemakaian alat kontrasepsi pada tahap ini dilaksanakan untuk menjarangkan kelahiran agar ibu dapat menyusui anaknya dengan cukup banyak dan lama. Semua kontrasepsi, yang dikenal sampai sekarang dalam program Keluarga Berencana Nasional, pada dasarnya cocok untuk menjarangkan kelahiran. Akan tetapi dianjurkan setelah kelahiran anak pertama langsung menggunakan alat kontrasepsi spiral (IUD).

3. Masa Mencegah Kehamilan
Masa pencegahan kehamilan berada pada periode PUS berumur 35 tahun keatas. Sebab secara empirik diketahui melahirkan anak diatas usia 35 tahun banyak mengalami resiko medik. Pencegahan kehamilan adalah proses yang dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi. Kontrasepsi yang akan dipakai diharapkan berlangsung sampai umur reproduksi dari PUS yang bersangkutan yaitu sekitar 20 tahun dimana PUS sudah berumur 50 tahun. Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi PUS usia diatas 35 tahun adalah sebagai berikut:
a. Pilihan utama penggunaan kontrasepsi pada masa ini adalah kontrasepsi mantap (MOW, MOP).
b. Pilihan ke dua kontrasepsi adalah IUD/AKDR/Spiral.
c. Pil kurang dianjurkan karena pada usia ibu yang relatif tua mempunyai kemungkinan timbulnya akibat sampingan.

Persiapan Dini menuju Pernikahan

Polemik Nikah Dini
Fenomena pernikahan dini di Indonesia masih cukup menyita perhatian pemerintah maupun publik.  Sebagai bukti, pada tahun 2011 ini BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) makin gencar melakukan kampanye untuk mendorong agar jangan sampai terjadi pernikahan dini. BKKBN mencanangkan program bernama ‘Genre’ atau generasi berencana. Kampanye ini telah mengarah ke seluruh provinsi di Indonesia.  (detiknews, 18 Mei 2011)
Lembaga ini memang termasuk pihak yang paling gencar mengimbau masyarakat agar tidak menikah muda. Pasalnya, di Indonesia masih banyak orang yang menikah pada usia di bawah 20 tahun. Menurut lembaga ini, idealnya perempuan menikah di usia 20-35 tahun, sedangkan untuk pria usia 25-40 tahun dengan pertimbangan sudah matang secara medis dan psikologis.  Mereka berpandangan bahwa ketidakmatangan menikah di usia dini cenderung menyebabkan kehancuran rumah tangga dan resiko yang bersifat medis.
Polemik pun bergulir.  Sayangnya, perbincangan seputar nikah dini ini cenderung menyudutkan pelaku nikah dini.  Masyarakat pun latah untuk ikut ‘mengharamkan’ nikah dini menyusul munculnya beberapa kasus yang tidak diinginkan pada pelaku nikah dini.  Mereka lupa untuk mencari sebab hakiki terjadinya problematika yang muncul dari pernikahan dini ini.  Mereka hanya spontan menolak, tanpa memberi solusi lain bilamana pernikahan dini adalah perkara yang terpaksa harus dijalani.
Namun, di tengah gencarnya propaganda larangan menikah dini ini, tak sedikit pula yang justru mempertahankan konsep pernikahan dini.  Menurut kalangan ini, problematika yang menimpa pelaku nikah dini bukanlah disebabkan oleh faktor usia, namun oleh kesiapan saat menikah.  Sebab, tak semua pelaku nikah dini bermasalah.  Demikian pula, tak semua pelaku nikah di usia matang tidak menuai persoalan.  Intinya terletak pada kesiapan saat menikah yang harus dipenuhi baik oleh mereka yang masih dini (belia) maupun yang berusia matang.
Persoalan kesiapan menikah tak hanya menjadi penentu retak dan langgengnya bahtera rumah tangga pelaku nikah dini.  Persoalan ini juga penting mengingat maraknya perceraian juga   disebabkan oleh lemahnya persiapan sebelum menikah.  Pergaulan bebas muda mudi pun bisa jadi menjadi pelarian karena mereka belum memahami konsep pernikahan atau tidak mampu mempersiapkan pernikahan sehingga cenderung menunda pernikahan.  Dari sini penting untuk dipahami hal-hal yang harus dipersiapkan untuk menikah. 

Sebagai bentuk persiapan, maka semakin dini dilakukan akan semakin baik.  Sehingga tatkala seseorang harus menikah kapanpun usianya -asal dibolehkan syariat- maka ia harus menguasainya demi keberlangsungan behtera rumah tangga.  Lantas, apa saja yang harus dipersiapkan?
Usia Bukan Persoalan
Pada dasarnya Islam membolehkan menikahi perempuan di bawah umur, sebelum haid atau usia 15 tahun.  Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Demikian penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).”
Salah satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. at-Thalaq [65]: 04)
Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah -radhiya-Llahu ‘anha- dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ وَأَنَا اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)
“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Dengan demikian Islam memandang bahwa perempuan boleh menikah di usia dini.  Dengan kebolehan ini maka persiapan untuk itu pun harus dilakukan sejak dini.  Sebab, ketika seorang perempuan menikah -pada usia berapapun- ia harus mengetahui hukum syariat yang terkait dengan pernikahan, hak dan kewajiban suami isteri, pengasuhan anak, dll.  Jika ia sudah baligh maka ia terbebani hukum yang berkonsekuensi atas pahala dan dosa atas perbuatannya.
Meski syariat telah membolehkan, banyak kalangan menilai rendah bentuk pernikahan dini.  Mereka memandang pernikahan dini cenderung mengalami kegagalan.  Namun, benarkah kegagalan itu disebabkan oleh dininya usia pernikahan?  Jika didalami, sebenarnya kegagalan pernikahan tidak ditentukan oleh usia saat menikah, tapi lebih ditentukan oleh kesiapan saat menikah.  Buktinya, mereka yang menikah pada usia matang pun bisa gagal menjalani kehidupan rumah tangga. 

Persiapan, Kunci Penting
Masalahnya, banyak yang menikah masih usia belia, persiapan menikahnya masih cenderung minim.  Apalagi dalam sistem sekuler seperti sekarang ini, penyelenggaraan pendidikan tidak mengarahkan siswa memiliki kematangan mental (emosional dan spiritual) sehingga rawan terpelanting saat menghadapi situasi sulit.  Sebagai contoh, siswa (laki-laki) SMP/SMA yang sudah baligh seharusnya memiliki pemahaman bahwa pada dasarnya ia diberi beban untuk menghidupi dirinya sendiri.  Ia tidak harus bergantung pada walinya.  Kemandiriannya dituntut berkembang saat menjelang baligh hingga saat baligh ia memiliki konsep hidup untuk berusaha tidak menyerahkan perwaliannya kepada ayahnya.
Begitu pula bagi siswi perempuan, sistem pendidikan sekuler tidak cukup memberi bekal ketrampilan hidup termasuk ketrampilan kerumah tanggaan.  Dengan demikian, tatkala ia harus berumah tangga (meski di usia belia) ia tak cukup memiliki kesiapan.
Berbeda dengan sistem Islam, maka dalam sistem Islam negara memberlakukan sistem pendidikan yang mampu mengarahkan setiap siswa untuk memiliki kemampuan sebagai orang yang mukallaf saat usia mencapai baligh.  Misalnya, mendidik saat seorang laki-laki sudah tidak harus bergantung kepada ayahnya, saat seorang perempuan baligh layak/ dibolehkan untuk menikah, saat mereka harus menata emosi meski berusia muda agar tidak menentang syariat dan sebagainya.
Sistem pendidikan Islam akan mampu mencetak remaja berkepribadian Islam yang memiliki kesiapan menikah saat kapanpun kesempatan itu datang .  Mempersiapkan menikah seharusnya diberikan sejak mereka baligh.  Sebab saat itulah mereka dianggap oleh syara’ telah layak untuk menikah.
Dengan demikian, usia belia yang dianggap sebagai ancaman bagi pernikahan bukan lagi masalah.  Secara fisik maupun mental mereka mampu, jika dipersiapkan.  Inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah dan kaum muslim dalam menilai berbagai persoalan yang mengiringi pernikahan dini.
Urgensi Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan yang sah menurut syariat Islam bagi dua lawan jenis untuk melakukan interaksi khusus (hubungan jenis) dengan aturan yang khusus.  Melalui pernikahan, keberlangsungan jenis manusia akan terwujud.  Melalui pernikahan pula akan diperoleh ketenangan dan kedamaian bagi suami isteri.  Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (TQS al-A‘râf [7]: 189)
Keluarga sakinah mawaddah wa rohmah (Samara) tidak akan terwujud bila suami isteri tidak memahami hakikat berkeluarga.  Untuk itu, persiapan membentuk keluarga Samara ini mutlak diwujudkan sebelum pasangan memasuki jenjang pernikahan. Lebih-lebih, menikah bukanlah sekadar pelegalan hubungan seks laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, menikah adalah proses membangun keluarga. Karenanya butuh persiapan yang benar-benar matang, dari segi fisik maupun mental.
Di samping itu, perjalanan pernikahan tentu tidak semulus jalan tol.  Lika-liku permasalahan pasti dihadapi di tengah jalan.  Ketahanan suami isteri menghadapi badai rumah tangga menjadi kunci keberhasilan mempertahankan biduk rumah tangga.  Persiapan yang dilakukan sebelum mereka menikah menentukan semua itu.
Saat ini jamak dijumpai pasangan muda-mudi yang lebih rela menunda pernikahan dengan alasan belum ada kesiapan, baik yang berkaitan dengan materi maupun mental.  Oleh karena itu, persiapan menikah seharusnya dilakukan sedini mungkin.  Pada kondisi tertentu hal ini bisa menjadi jalan keluar bagi mereka yang sudah memiliki calon pasangan hidup untuk segera menikah sehingga terhindar dari dosa berpacaran dan pergaulan bebas.
Kesiapan menikah di usia dini bukan saja akan memberi kesempatan anak muda yang tengah bergejolak nafsunya untuk memperoleh kebaikan/pahala menikah sejak awal.  Di sisi lain, juga akan menyelamatkannya dari perbuatan dosa seperti pacaran, perzinahan dan sejenisnya tanpa harus khawatir kandas di tengah jalan.
Persiapan Menikah
Berikut ini diantara perkara yang mutlak disiapkan sebagai bekal untuk menikah:
Pertama, penguatan aqidah.  Setiap muslim wajib meyakini bahwa Allah SWT berkuasa memampukan hamba-hamba-Nya yang menikah di jalan-Nya.  Sikap tawakkal kepada Allah SWT juga harus dipupuk sejak dini sebagai bekal menapaki berbagai persoalan kehidupan rumah tangga.  Intinya, kekuatan aqidah menjadi benteng bagi setiap muslim dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.  Aqidah yang kuat juga akan menjaganya untuk tetap menyelesaikan semua persoalannya menurut hukum syariat.
Kedua, pemahaman konsep dasar pernikahan dalam Islam. Seorang muslim wajib memahami bahwa menikah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.  Ia bukanlah perjanjian antara orang berlainan jenis untuk hidup bersama.  Pernikahan harus senantiasa dibimbing oleh syariat, baik dalam tata penyelenggaraannya, maupun selama kehidupan pernikahan berlangsung.  Konsep dasar ini akan menentukan orientasi atau tujuan seseorang menikah.  Ia tidak akan mudah melepaskan ikatan pernikahan sebelum Allah berkenan untuk melepaskannya.
Ketiga, penguasaan hukum-hukum Islam seputar pernikahan. Setiap pasangan yang hendak menikah seharusnya menguasai pemahaman hukum-hukum syariah tentang pernikahan, mulai dari perkara yang harus dilakukan sebelum menikah seperti memilih calon suami/isteri, aturan khitbah, rukun nikah, masalah kehidupan rumah tangga, hak dan kewajiban suami isteri, masalah thalaq, hingga masalah pengasuhan anak dan silaturahmi.
Dengan pemahaman ini, pasangan yang hendak menikah memiliki bekal dan keyakinan bahwa biduk rumah tangga yang dijalaninya akan kokoh karena sudah dibangun berdasarkan ketentuan syariah.  Sang suami telah memilih isteri yang dianjurkan, melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan wali bagi anak-anaknya atau menjadi pemimpin dalam keluarga. 
Demikian pula isteri, ia telah menjalankan ketaatannya kepada suaminya, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, atau bersama-sama suami menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabatnya dan lain sebagainya.  Semua itu akan terwujud dengan persiapan yang dilakukan sejak dini.
Keempat, membina diri menjadi muslim/muslimah berkepribadian Islam. Pembinaan kepribadian ini harus dilakukan sejak dini.  Seorang yang berkepribadian Islam akan berusaha mentaati seluruh aturan Allah SWT.  Muslim yang berkepribadian Islam akan bertanggung jawab dan membina diri menjadi calon pemimpin keluarga.  Demikian pula muslimah, ia harus menjaga kehormatannya dan membina diri menjadi calon manager (pengatur) rumah tangga.
Kepribadian Islam juga akan mengarahkan kecenderungan dan gejolak hawa nafsu seseorang senantiasa mengikuti aturan Allah.  Ia bukanlah orang yang mudah tergoda oleh kecantikan atau ketampanan orang yang bukan pasangannya (suami/isterinya).  Ia pun mampu mengendalikan gejolak emosinya sehingga tetap mampu berpikir jernih untuk mengisi kehidupan rumah tangganya dengan kebaikan.  Kepribadian yang tidak kuat akan mudah meruntuhkan bangunan rumah tangga.  Sayangnya, inilah yang sering terjadi pada pasangan nikah dini saat ini.  Mereka kurang memliki persiapan dari sisi ini, akibatnya cenderung merusak institusi keluarga yang seharusnya dijaga.
Kelima, pemahaman yang memadai tentang kesehatan fisik. Bagaimanapun, perjalanan pernikahan akan berkaitan dengan aktivitas fisik seseorang.  Bagi isteri, ia akan menjalani masa kehamilan dan menyusui.  Oleh karena itu, setiap muslim seharusnya memiliki pemahaman tentang tatacara menjaga organ-organ reproduksinya agar berfungsi dengan baik saat manjalani kehidupan rumah tangga.  Ia harus membiasakan menjaga kesehatan sejak dini sehingga terhindar dari penyakit yang bisa menghalangi fungsi-fungsinya sebagai isteri dan ibu.
Demikianlah diantara beberapa perkara yang harus disiapkan sebelum menikah.  Siapapun orangnya, baik yang masih belia maupun yang berusia matang, akan lebih mudah menjalani kehidupan rumah tangga bila semua persiapan tersebut telah dilakukan.
Tugas Bersama
Kini, menjadi tugas bersama untuk mewujudkan semua persiapan tersebut sejak dini.  Pemerintah seharusnya mempertimbangkan sistem pendidikan yang mengarahkan terwujudnya persiapan tersebut.  Dengan kesiapan ini, tak seharusnya pergaulan bebas menjadi pilihan pasangan muda mudi.  Dengan ini pula, tudingan miring pada pelaku nikah dini akan dieliminir karena mereka tetap mampu menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik.  Tingkat perceraian pun akan bisa diminimalisir karena ketahanan rumah tangga yang telah dibangun.
Demikianlah, setiap rumah tangga yang dibangun dengan persiapan yang matang akan melahirkan tujuan syariat yang dikehendaki.  Darinya terlahir keturunan yang shalih dan muslih, darinya pula terlahir keluarga yang mampu menopang berjalannya tatanan kehidupan masyarakat yang menjaga amar makruf nahi munkar.
Tentu saja, membina kesiapan menikah dalam sistem sekuler saat ini menjadi kesulitan tersendiri.  Oleh karena itu, seiring dengan upaya menyiapkan individu umat, selayaknya kita berupaya mengganti sistem sekuler ini dengan sistem Khilafah.  Karena hanya dalam sistem khilafah Islam saja semua persiapan menuju pernikahan akan sempurna dilaksanakan. Semoga kita dimudahkan untuk mewujudkannya.  Aamiin ya Robbal ‘Alamiin. [na]

 Peran Konsultan bagi Persiapan Pernikahan
Penghasilan ini bisa berupa dari gaji dari hasil pegawai maupun bisa juga dari hasil membuka usaha yang penting uang yang dihasilkan halal. Jangan sampai menikah hanya modal badan saja hal ini akan sangat memberatkan dan akan banyak timbul masalah hidup berumah tangga dengan harus menafkahi anak istri. Dari segi materi mungkin bagian diatas yang terpenting. Kalau persiapan dari segi mental hendaknya stiap pemuda yang akan menikah memiliki sikap tanggung jawab, mau bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dan yang tak kalah penting sikap setia sehati pada pasangan agar rumah tangga bisa langgeng. Jadi mantapkan niat satukan tekad yang kuat untuk menjalani kehidupan sesudah menikah yang mungkin akan berat dan banyak rintangannya, sehingga lebik baik persiapan mulai sedini mungkin. Agar nantinya tidak kaget setelah menikah.

Daftar Pustaka

Ajzen, I. 1988. Attitude, Personality, and Behavior. Milton Keynes, England: Open UniversityPress.Biro Pusat Satistik, 1986. Pola Umur Perkawinan. JakartaFishbein, M. & Ajzen, I. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to

Theory and Reseach. Sydney: Addison-Wesley Publishing Company.Hurlock, Elizabeth.B. 1993.

Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang RentangKehidupan, Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.Kartono, Kartini, 1987. Psikologi Wanita. Jakarta: Gramedia.Landis, Judson dkk. 1963. Building a Succsessfull Marriage. Fourth Edition. Berkeley: PrenticeHall,

Inc.Lasswell, Marcia, And Lassell, Thomas, 1987. Marriage and The Family. Second Edition.California: Wodsworth Publishing Company.Malhotra, Anju. 1997. Gender and The Timing of Marriage: Rural-Urban Differences in Java.Journal Marriage and Family. (51) 434-449.Marseliust. (2002). Hubungan Sikap, Norma Subyektif dan Kontrol Perilaku yang dipersepsidengan intensi Kepatuhan Wajib Pajak Membayar Pajak Penghasilan. Tesis.

Tidak diterbitkan.Yogyakarta: PPS UGM.Monks, F.J. Knoers, A.M.P dan Haditono, S.T
. 1999. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalmBerbagai Bagiannya.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Oppenheimer, V.K., (1988).

Theory of marriage timing. American Journal of Sociology, 49:563-591.Otani, K. 1991. Time Distribution in The Process to Marriage and Pregnancy in Japan.Population Studies, 45: 475-487.Papalia, Diane E. and Olds, Sally Wendkos. 1986. Human Development.

Third Edition. NewYork: Mc Graw Hill Book Company.Sarwono, S. Wirawan (1997). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Griya Persada

0 komentar: