Rabu, 22 Juni 2016

Epistemologi Pendidikan Islam Dalam Perspektif K. H. Ahmad Dahlan

BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejalan dengan dinamika dan pasang surut sejarah umat Islam di Indonesia, sejarah pendidikan Islam pun mengalami dinamika dan pasang surut pula. Pada awal abad ke XX, dunia pendidikan Islam di Indoesia masih ditandai oleh adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Disatu segi terdapat madrasah yang mengajarkan pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum dan disatu sisi terdapat lembaga pendidikan umum yang tidak mengajarkan pendidikan agama. Pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, terutama jika dihubungkan dengan perhubungan perkembangan masyarakat umat Islam berada dalam kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikan yang tradisional.
K. H. Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaru pendidikan Islam dari tanah Jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat Islam khususnya di Indonesia. Dialah tokoh yang berusaha memasukan pendidikan umum kedalam kurikulum madrasah dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum lembaga pendidikan umum. Melalui pendidikan K. H. Ahmad Dahlan mengiginkan agar umat  dan bangsa Indonesia memiliki jiwa kebangsaan dan kecintaan kepada Tanah Air.
Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih[1]. Pendidikan Islam perspektif K.H. Ahmad Dahlan tentunya didasari dari gagasan dasarnya.
Sikap K.H. Ahmad Dahlan dipraktekkan dalam misi dahwahnya yang diawali dari tempat kelahirannya Yogyakarta Mengutip perkataan al-Ghazali, K.H. Ahmad Dahlan mengatakan bahwa manusia itu semuanya mati (perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama itu senantiasa dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih.
Dialah tokoh yang telah berhasil mengembangkan dan menyebarkan gagasan modern keseluruh pelosok tanah air melalui oraganisasi Muhammadiyah yang didirikannya, dan hingga kini makin menunjukan eksistensi secara fungsional. Muhammadiyah merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Bahkan Pendidikan telah menjadi cap dagang gerakan Muhammadiyah besarnya jumlah lembaga pendidikan merupakan bukti konkrit peran penting Muhammadiyah dalam proses pemberdayaan umat islam dan pencerdasan bangsa. Dalam konteks ini Muhammadiyah tidak hanya berhasil mengantarkan bangsa Indoensia dan umat Islam lepas dari kebodohan dan penindasan, tetapi juga menawarkan suatu model pembaharuan sistem pendidikan moderen yang telah terjaga identitas dan kelangsungannya.
Epistemologi pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad dahlan sangat membawa pengaruh pada pendidikan di Indonesia. Pengetahuan yang didapatnya telah berhasil direalisasikan dan menghasilkan pendidikan Islam yang lebih modern. Dari epistemologi dalam pendidikan islam tradisional mulai diubah dengan pendidikan islam yang modern. Jika dibandingkan dengan pendidikan pada masa sebelum K.H. Ahmad Dahlan dimana problem epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional telah membawa masyarakat pada masa itu kurang mampu berkompetisi secara produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban. Tanpa mengurangi pemikiran para intelektual muslim lainnya, paling tidak pemikiran K.H Ahmad Dahlan tentang pendidikan islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia.
  1. PEMBATASAN MASALAH
Penelitian ini mebatasai tentang Epistemologi pendidikan Islam dalam perspektif  K. H. Ahmad Dahlan.
  1. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana epistemologi pendidikan Islam dalam perspektif K. H. Ahmad Dahlan ?

  1. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1.      Tujuan Pennelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsi tentang epistemologi pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan.

2.      Kegunaan Penelitian
a.       Sumbangan pemikiran mengenai perkembangan pendidikan Islam di Indonesia oleh K.H. Ahmad Dahlan.
b.      Sebagai bahan refrensi bagi mahasiswa yang akan mengkaji tentang konsep pendidikan Islam di Indonesia.
  1. METODE PENELITIAN
1.      JENIS PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan ( library research ), yaitu suatu penelitian yang diadakan di perpustakaan dengan cara mengumpulkan buku – buku literature yang dipergunakan dengan mempelajarinya.[2]
2.      SIFAT PENELITIAN
Sedangkan dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian diferensial, yaitu : “ Penelitian tidak hanya melukiskan suatu peristiwa saja, akan tetapi juga mengambil kesimpulan umum dari masalah yang tengah dibahasnya “.[3]
3.      METODE PENGUMPULAN DATA
Sesuai dengan jenis data, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi, yaitu : “tekhnik mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, notulen, agenda, dan lain-lain sebagainya “.[4] Metode ini digunakan karena semua data didapat dari buku-buku dan  dokumen lainya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
4.      METODE ANALISIS DATA
Metode analisis data yang digunakan adalah “ Content Analysis “ atau analisis isi, dengan pendekatan rasionalistik dan pola piker deduktif, yaitu : “ Berangkat dari pengetahuan / fakta yang bersifat umum kemudian ditarik sebuah generealisasi yang sifatnya lebih khusus “.[5]




 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


  1.  EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN
Dalam filsafat pendidikan, epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat, yang terdiri dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan[6]. Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa epistemologi membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Dalam kamus populer filsafat epistemologi diartikan cabang filsafat yang meneliti pengetahuan manusia, kepercayaan dan dasar pengalaman[7]. Bagaimana dan apa yang kita ketahui tentang pengetahuan itu. Epistemologi lazimnya disebut teori pengetahuan yang secara umum membicarakan karakteristik, dan kebenaran pengetahuan[8].     Persoalan epistemologi yaitu :
1.                  Problem asal pengetahuan, apakah sumber-sumber pengetahuan, darimana pengetahuan yang benar dan bagaimana kita dapat mengetahui?.
2.                  Apakah yang menjadi karakteristik pengetahuan adakah dunia nyata diluar akar, apabila ada dapatkah diketahui?.
3.                  problem mencoba kebenaran, apakah pengetahuan itu benar bagaimana membedakan antara kebenaran dan kekeliruan?. [9]
Dari batasan tersebut secara luas epistemologi dapat dikatakan sebagai pengetahuan. Dengan demikian epistemologi pendidikan ialah ilmu pengetahuan tentang pendidikan. Epistemologi pendidikan  berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan pendidikan
Pembicaran tentang epistemologi pendidikan akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui pendidikan tersebut. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemologi tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda.         


                                                                     
  1.  PENDIDIKAN ISLAM
1.      Pengertian Pendidikan Islam

Dalam konteks Islam istilah pendidikan pada umumnya mengacu pada term al tarbiyah, al ta’dib, dan al ta’lim. Pengunaan istilah al tarbiyah berasal dari kata rabb, yang pengertian dasarnya menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Istilah tarbiyah ini lebih popular digunakan dalam praktek pendidikan Islam dibandingkan al ta’dib dan al ta’lim. Dari ketiga istilah pendidikan dalam konteks Islam tersebut, para ahli pendidikan memformulasikan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut :
a.                   al- Syaibaniy ; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.[10]
b.                  Muhammad  fadhil al-Jamaly mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.[11]
c.                   Ahmad D. Marimba ; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama(insane kamil).[12]
d.                  Ahmad Tafsir ; mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbhingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai denga ajaran Islam .[13]
Dari batasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam yang diyakininya.

2.      Dasar Pendidikan Islam
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik kearah pencapaian pendidikan Islam adalah Al- Quran dan sunnah Rasulullah (hadis).
Menetapkan al-quran dan hadis sebagai dasar pendidikan islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebagai pedoman, al-Quran tidak ada keraguan padanya ( Q.S. Al Baqarah/2:2)

Yang artinya : Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.[14]

          

Yang artinya :  Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[15]
Ia tetap terpelihara kesucian dan kebenarannya (Q.S.Al Hajr/15:9), baik dalam pembinaan aspek kehidupan spiritual maupun aspek social budaya dan pendidikan. Demikian pula dengan kebenaran hadis sebagai dasar kedua bagi pendidikan Islam.  Salah satunya hadis



Yang artinya : “ Didiklah anak-anak kamu atas tiga hal :  mencintai Nabi kamu, mencintai ahli baitnya dan membaca Al-Qur’an itu berada pada naungan singgah sana allah pada hari yang tidak ada perlindungan-Nya “ (HR. atau-Tabrani)[16]

3.      Tujuan Pendidikan Islam
Dalam merumuskan tujuan Pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu ;
1)      Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal.
2)      Sifat-sifat dasar manusia.
3)      Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
4)      Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini setidaknya ada 3 macam dimensi ideal islam, yaitu ; (a) mengandung nilai yang berupaya menigkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi. (b) mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang baik. (c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat ( fi al-dunya hasah wa fi al-akhirat al-akhirat al-hasanas )[17]
Berdasrkan batasan diatas, para ahli pendidikan (muslim) mencoba merumuskan tujuan pendidikan islam. Di antaranya al-Syaibani, mengemukakan bahwa tujuan pendidikan islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat. Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, pisik, kemauan, dan akalnyasecara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagaikahlifah fil al-radh. Pendekatan tujuan ini memilki makna, bahwa upaya pendidikan adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealiasikan “kehendak” Tuhan sesuai dengan syairat islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikanya.
Menurut Muhammad Fhadil al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam menurut al-Quran meliputi ; (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggungjawabnya dalam kehidupan ini. (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk social dan tanggung jawabnya sebagai makhluk social dan tanggungjawabnya dalam tatanan kehidupan  bermasyarakat. (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memekmurkan alam semesta. (4) menjelaskan hubungannya dengan khaliq sebagai pencipta alam semesta.[18]
 Muhammad Athiyah al- Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu : (1) membentuk akhlak mulia (2) mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat (3) persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaaatannya (4) menumbuhka semngat ilmiah di lkalangan peserta didik (5) mempersiapkan tenaga professional yang tampil.[19]
Kongres se-Dunia ke II tentang pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad, menyatakan bahwa :
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangna kepribadian manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan seimbang yang melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitriah peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. [20]

4.      Metode Pendidikan Islam

Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya kearah tujuan yang dicita-citakan. Bagaimana baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan Islam, tidak akan berarti apa-apa, manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam penerapan metode secara percuma. Karenanya, metode adalah syarat untuk efesiensinya aktivitas kependidikan Islam. Hal ini berarti bahwa metode persoalan yang esensial, karena tujuan pendidikan Islam itu akan tercapai secara tepat guna manakala jalan yang ditempuh menuju cita-cita tersebut benar-benar tepat.[21] Secara literal metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berati melalui dan hodos yang berati jalan. Jadi metode berati jalan yang dilalui[22].
.
Di antara karakteristik metode pendidikan Islam adalah :
a.       Keseluruhan prose penerapan metode pendidikan Islam, mulai dari pembentikannya, penginaannya sampai pada pengembangannya tetap didasarkan pada nilai-nilai asasi Islam sebagai ajaran yang universal.
b.      Proses pembentukan, penerapan dan pengembangannya tetap tidak dapat dipisahkan dengan konsep al-akhlak  al-karimah sebagai tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.
c.       Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel dalam artian senantiasa membuka diri dan dapat menerima perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupi proses kependidikan Islam tersebut, baik dari segi peserta didik, pendidik, materi pelajaran dan lain-lain.
d.      Metode prndidikan Islam berusaha sungguh-sungguh untuk menyeimbangkan antar teori dan praktek.
e.         Metode pendidikan Islam dalam penerapannya menekankan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa dalam batas-batas kesopanan dan al-akhlah alkarimah.
f.       Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan nilai-nilai keteladanan dan kebebasan pendidik dalam menggunakan serta mengkombinasikan berbagai metode pendidikkan yang ada dalam mencapai tujuan pengajarannya.
g.      Metode pendidikan Islam dalam penreapannya berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan bagi terciptannya interaksi edukatif yang kondisif.
h.      Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahkan proses pengajaran dalam mencapai tujuannya secara efektif dan efesien.
Seluruh karakteristik tersebut harus diketahui dan difahami oleh para pendidik muslim. Dalam konteks ini, menurut M. Arifin, persoalan terpenting yang harus dilihat para pendidik adalah prinsip bahwa penggunaan metode dalam proses kependidikan Islam harus mampu membimbing, mengarahkan dan membina anak didik menjadi yang matang atau dewasa dalam sikap dan kepribadiannya, sehingga tergambar dalam dirinya tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.[23]  
Hal yang terpenting dari penerapan metode  dalam aktivitas kependidikan Islam adalah prinsip bahwa tidak ada metode yang paling ideal untuk semua tujuan pendidikan, semua ilmu dan mata pelajaran, semua tahap pertumbuhan dan perkembangan, semua taraf kematangan dan kencerdasan, semua guru dan pendidik, dan semua keadaan dan suasanayang meliputi proses kependidikan itu. Untuk itu sangat dituntut sikap arif dan dan bijaksana dari para pendidik dalam memilih dan menerapkan metode pendidikan yang relevan dengan semua situasi dan suasana yang meliputi proses kependidikan Islam sehingga tujuan yang didingnkan dapat tercapai secara maksimal.

5.      Alat Pendidikan

Alat pendidikan menurut Sutari Imam Barnadib ialah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan di dalam pendidikan [24] . dikemukakannya bahwa alat pendidikan bukan suatu resep, yang sewaktu-waktu dapat digunakan secara tepat guna dan mantap. Alt pendidikan merupakan sesuatu yang harus dipilih, sesuai dengan tujuan pendidikan. Yang jelas alat pendidikan tidak terbatas pada benda-benda yang bersifat konkret saja, tetapi juga berupa nasihat, tuntunan, bimbingan, contoh, hukuman, ancaman, dan sebagainya. Selain dari itu, alat pendidikan dapat juga berupa situasi tertentu.
Persoalan yang dihadapi alat pendidikan menurut Sutari pada garis besarnya ada empat, yaitu :
a)      Tujuan apa yang akan dicapai
b)      Alat mana yang tersedia
c)      Pendidik mana yang akan menggunakannya
d)     Kepad anak didik mana alat itu digunakan, yang dalam hal ini menyangkut : jenis kelamin, umur, bakat, perkembangannya, dan lingkungan alam sekitarnya[25].
Berdasarkan kondisi tersebut,maka alat pendidikan dapat saja berubah, tergantung dari apakah dengan alat tersebut tujuan pendidikan akan dicapai. Lebih dari itu alat pendidikan pun tergantung pada siapa yang menggunakannya. Karena itu alat pendidikan menyangkut : siapa yamg menggunakannya, untuk tujuan apa alat itu digunakan, kepada siapa alat itu dperuntukkan, dalam situasi mana dan serasikah alat tersebut dengan lingkungan alam sekitar, kelamin, bakat, usia, dan tingkat perkembangan anak didik.
Disini tampaknya alat penggunaan alat pendidikan yang tepat tergantung pada banyak factor. Kemampuan menyesuaikan antara alat yang digunakan dengan factor yang mendukung merupakan penentu bagi berhasil tidaknya suatu pendidikan mencapai tujuannya.
Pendidikan Islam, bagaimanapun merujuk kepada Nabi sebagi pendidik agung. Cerminan bagi pendidikan islam bersumber dari tokoh ini, sebab beliau telah mendapat pendidikan yang paling baik, yang belum pernah diperoleh manusia. Kemudian sesuai dasar islam yang digunakan adalah Al qur’an dan hadist serta sunnah rasull, maka apapun yang dilakukan Rasull dinilai sebagai teladan yang baik bagi pendidik muslim. Teladan yang baik, cara pergaulan yang baik, nasihat dan peringatan Rasull merupakan alat pendidikan yang digunakan beliau. Dengan demikian Secara garis besarnya, alat pendidikan yang utama dalam Islam adalah teladan, persahabatan, nasihat dan peringatan. Tentunya alat-alat pendidikan tersebut, semasa hayat rasull telah dapat digunkan secara tepat sesuai dengan tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia agar bertauhid. Diperkirakan semasa hayatnya, rasull telah mampu mendidik sekitar 120.000 lebih orang-orang yang berada disekitarnya. Dan oleh para sahabat, dan para penerus ajaran beliau hingga sekarang jumlah itu terus bertambah dari masa ke masa.
  1. EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM K.H. AHMAD DAHLAN
Menurut Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan.[26] Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam menata  dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci bagi meningkatkan kemajuan umat Islam adalah dengan kembali pada al-Quran dan hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan . Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan menurut Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertical ( khaliq ) maupun horizontal (makhluk ).[27]   Dalam pandangan islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai abd Allah dan khalifah fi al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberukan Allah dengan al-ruh dan al-aql. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan kentundukan dan kepatuhan manusia kepada kholiqnya.[28] Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertical maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaanya.
Islam menekankan kepada umatnya yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta, baik alam mikro maupun makro. Meskipun dalam banyak tempat al-quran senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al quran juga mengakui akan keterbatasan kempauan akal. Ada realitas fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S. Ar Ra’d/ 13:2)
 






Yang artinya : Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan        (mu)     dengan            Tuhanmu[29].

(Q.S. Lukman/ 31:10)

 







Yang artinya : Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik[30].
              
Dan (Q. S.  Al Munafiqun/ 63:3 )
 





Yang artinya : Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.[31]
Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di ala mini memilki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia) mendayagunakan berbagi media, baik yang diperoleh melalui pertsepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun nilaham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan kesemua dimensi tersebut. Menurut Dahlan, pengembangan merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini ditengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan atau mempelajari epistemologi secara langsung, sesuai prinsip- prinsip alqur-an dan Sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu.[32] Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Dahlan melihat bahwa problem epistemologi dalam pendidikan-Islam-tradisional disebabkan karena ideologinya ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi religius yang membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab kalsik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam mazhab Safi’i. Ideologi ilmiah semacam ini digunakan sebagai pelindung oleh kelompok tradisional guna mempertahankan semantik statis terhadap epistemologi yang dikembangkannya.
Islam merupakan agama taghayyir yang menghendaki modernisasi (tajdid) . prinsip ini ditegaskan oleh Allah dalam al-Qura’an,bahwa tidak akan teradi modernisasi pada suatu kaum, kecuali mereka sendiri berupaya kearah tersebut. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an dijelaskan yaitu ( Q. S Ra’d / 13: 11)
 





                        Yang artinya :Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[33]
Di sini, Islam mencela sifat jumuad dan taqlid yang membabi buta. Karenanya, Islam mendorong manusia meningkatkan kreatifitas berpikirnya dan melakukan prakarsa. Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistemayis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian  menurut Ahmad Dahlan disebut proses ijtihad, yaitu mengerahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Proses tersebut manakala otoritas-otoritas yang lebih tinggi tidak bisa menyelesaikan persoalan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, pendidikan mrupakan slah satu bentuk atikulasi tajdid  yang strategis dalam memahami ajaran Islam ( al-Qur’an dan Hadis ) secara proporsional. Dalam hal ini sepertinya dahlan menyadari bahwa umat Islam telah demikian lama terpasung oleh faham dan amal agama yang menyimpang dari universalitas ajaran Islam.[34]
Sesungguhnya K. H Ahmad Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi prilaku individu maupun sosial yang elah menjadi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memeberikan kebebasan pserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat dilogis. Padahal, menurut Dahlan,pengembangan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi[35]. Dari batasan ini terlihat bahwa dahlan ingin meletakan visi dasar bagi reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan sistem pendidikan modern secara harmonis dan integral. Terbentuknya manusia muslim yang berbudi pekeri luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya adalah arah dari pendidikan Islam yang dikehendaki K. H. Ahmad Dahlan. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Dengan demikian epistemologi pendidikan Islam dalam perspektif K. H. Ahmad Dahlan mengarah kepada suatu pendidikan Islam yang modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Gagasan dasar yang bertumpu pada Al-qur’an dan hadis menjadi epistemologi dasar dalam pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan. Lembaga pendidikan Islam yang berorientasi pada pendidikan modern menjadi ide pembahuruannya dalam bidang pendidikan. Komitmen K.H. Ahmad Dahlan yang kuat dalam pendidikan agama menjadi ciri khas organisasi yang didirikannya pada tahun 1912, yaitu organisasi muhammadiyah[36].
D.  POKOK POKOK PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN
         K. H Ahmad Dahlan menganggap bahwa pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Ia berpendapat bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian yang baik adlah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Alquran dan Hadis. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan Alquran dan Hadis, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pda kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.[37]
K. H. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa pendidikkan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya yang demikian itu, sesungguhnya K.H.Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun-menurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
         Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan yang demikian itu, merupakan respon pragmatis terhadap kondisi umat islam yang tidak menguntungkan di Indonesia. Seperti dapat diketahui bahwa dibawah kolonialisme Belanda, umat Islam tertinggal secara ekonmi karena tidak memiliki akses kesektor-sektor pemerintahan atau perusahaan-perusahaan swasta. Situasi yang demikian itu menjadi perhatian K.H.Ahmad Dahlan yang berusaha memperbaharui sistem pendidikan umat Islam.
K.H. Ahmad Dahlan sadar, bahwa tingakat partisipasi muslim yang rendah dalam sektor-sektor pemerintahan itu karena kebijakan pemerintah kolonial yang menutup peluang bagi  muslim untuk masuk. Berkaitan dengan kenyataan serupa ini, K.H. Ahmad Dahlan berusaha memperbaikinya dengan memberikan pencerahaan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini K.H Ahmad Dahlan mengutip ayat 13 Al Ra’d, yang artinya sesungguhnya tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah diri mereka.
Berdasarkan ide-idenya itu, terlihat bahwa K.H. Ahmad Dahlan menggunakan pendekatan self corrective terhadap umat Islam. Menurut K.H Ahmad Dahlan bahwa pandangan muslim tradisionalis terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari sikap semacam ini mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan kemunduran dunia Islam, sementara kelompok yang lain telah mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi. K.H  Ahmad Dahlan terobsesi dengan kekuatan sistem pendidikan barat seperti terlihat pada sekolah-sekolah misionaris maupun pemerintah. K.HAhmad Dahlan berpandangan bahwa kemajuan materi merupakan prioritas karena dengan cara itu kesejahteran mereka akan bisa sejajar dengan kaum kolonal.
         Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut diatas dilaksanakn lebih lanjut melalui organisasi muhammadiyah yang didirikannya. Salah satu kegiatan atau program unggulan pertama telah berdiri satu tahun sebelum muhammdiyah sebagai sebuah organisasi berdiri. Pada tahun 1911 K.H Ahmad Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum. Proyek yang pertama diwujudkan dalam bentuk pendirian sekolah di rumahnya . Di sekolah ini pendidikan agama diberikan oleh K.H Ahmad Dahlan sendiri, sementara untuk pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah .
         Usaha awal ini belum mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat seperti tercermin pada sedikitnya jumlah siswa yang mendaftarkan diri di sekolah tersebut. Ketika sekolah ini dibuka hanya ada sembilan orang siswa yang mendaftar. Kecilnya jumlah siswa yang mendaftar merupakn bukti bahwa pada saat itu masyarakat muslim masih belum banyak mengetahui tentang manfaat ilmu pengetahuan umum. Hal itu juga menjadi bukti bahwa orang-orang Islam masih belum dapat membedakan antara ilmu-ilmu umum dan Belanda sebagai agen imperialis. Akibatnya, ilmu-ilmu yang dibawa oleh Belanda tidak dilihat sebagai sesuatu yang bebas menilai, tetapi sebagai simbol orang Belanda yang kafir. Mempelajari ilmu-ilmu ini dianggap sebagai peniruan pada orang kafir yang dilarang oleh agama.
         Tanggapan yang kurang memuaskan dari masyarakat terhadap sekolah dengan model baru ini tidak mengendorkan semangat K.H Ahmad Dahlan. Ia tidak segan-segan menjenguk anak-anak sampai kerumahnya untuk mengajar mereka masuk sekolah. K.H Ahmad Dahlan juga meminta bantuan keuangan pada anggota-anggota Budi Utomo. Usaha yang sungguh-sungguh itu membuahkan hasil seperti tergambar dalam jumlah murid yang meningkat 20 siswa dalam waktu enam bulan. Anggota –anggota Budi Utomo juga menyiapkan diri untuk membantu  dengan mendekati pemerintah untuk mendapatkan bantuan keuangan. Pada tanggal 1 Desember 1911, sekolah tersebut diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dan menjadi sekolah sekolah dasar pertama di Yogjakarta yang memberikan pelajaran agama dan ilmu-ilmu pengetauan umum.
Pendirian organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijah 1330 H turut mempercepat pendirian sekolah –sekolah baru ini. Pada saat yang sama dalam masyarakat sudah mulai tumbuh kesadaran dan kebutuhan akan ilmu pengetahuan umum, sehingga kemudian Muhammadiyah mendirikan sekolah di Krangkajen (1913) Lempuyangan (1915) dan Pasargede (1916). Disamping itu, pada tahun 1920 Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Isalmiyah dipindah ke Suronatan karena gedung yang lama tidak lagi cukup untuk menampung siswa yang jumlahnya terus bertambah. Sekolah yang baru ini dikhususkan untuk siswa putra, sementara anak-anak perempuan masih menempati sekolah lama di Kauman; kemudian sekolah ini diberi nama baru Sekolah Pawiyatan Muhammadiyah. Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu umum tersebut sekaligus dianggap setara dengan Volk Schools (sekolah rakyat). Menigkatnya jumlah siswa yang belajar di sekolah-sekolah muhammadiyah menuntut adanya sekolah guru. Pada tahun 1918, muhammadiyah membantu sebuah madrasah yang disebut Qism al-Arqa dirumah K.H Ahmad Dahlan. Sekolah yang menerima lulusan volk school atau mereka yang memilki latar belakang pendidikan yang setara ini mengajar pendidikan agama dan bahasa Arab. Lulusan dari sekolah ini diharapkan mampu mengajarkan agama di sekolah-sekolah pemerintah atau sekolah-sekolah muhammadiyah. Pada tahun 1920, di sekolah-sekolah muhammadiyah terdapat 787 siswa dan 32 guru.
Selain membangun sekolah-sekolah muhammadiyah yang dipimpin oleh K.H Ahmad Dahlan juga mengembangkan program pendidikan agama untuk masyarakat umum, baik yang dilakukan melalui pengajian-pengajian maupun kursus formal. Misalnya, muhammadiyah menyelanggarakan kursus pendidikan agama untuk siswa sekolah pemerintah yang tidak mendapatkan pendidikan agama. Muhammadiyah juga menyelenggarakan mingguan atau bulanan disamping menjalankan penerbit yang berkaitan dengan persoalan-persoalan agama.  
Perkembangan skolah muhammadiyah mengalami “booming” setelah tahun 1921. Pada tahun itu pemerintah mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan pendirian cabang-cabang muhammadiyah di luar Yogyakarta. Mengikuti diberlakukannya peraturan ini, Muhammadiayah melakukan restrukturisasi organisasi, dimana urusan-urusan sekolah yang sebelumnya ditangani langsung oleh K.H Ahmad Dahlan, kemudian ditangani oleh bagian sekolah. Sebagai dampak positif dari adanya lembaga ini, sekolah-sekolah baru terus dibangun. Pada tahun 1912 muhammabiyah membangun HIS Met de Qur’an, yang tingkatnya setar dengan HIS pemerintah, tetapi mengajarkan pendidikan agama.
Setelah tahun 1920, sekolah-sekolah muhammadiayah didirikan di beberapa daerah provinsi mengikuti cabang-cabang muhammadiyah. Verslag Muhammadiyah (1923) menyebutkan bahwa tahun 1923 organisasi tersebut memiliki 14 cabang yang terdapat dilima provinsi: Yogyakarta, Jawa Timur, Jaea Barat, dan Jakarta. Pada saat K.H Ahmad Dahlan meninggal (tahun 1923) jumlah siswa di sekolah-sekolah muhammadiyah menigkat menjadi 1084 siswa dan jumlah guru sudah mencapai 48 orang.
Berkaitan dengan sekolah-sekolah muhammaditah tidak ada batas berkaitan dengan jumlah alumni yang dapat disebutkan di sini satu persatu secara keseluruhan. Diantara alumni muhammadiyah yang dapat disebutkan  disini, Prof. D. Baroroh Baried yang disebut dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan. Ia adalah guru besar wanita pertama di universitas Gajah Mada di Yogyakarta.[38]
Meskipun demikian, dengan banyaknya sekolah dan perguruan tinggi  yang dimiliki Muhammadiyah, yang dimiliki jurusan dan program studi yang bermacam-macam secara mudah dapat dipastikan bahwa sekolah Muhammadiayah telah mengahasilkan alumni yang banyak dengan beragam pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk karier mereka sendiri dan juga untuk membangun masyarakat muslim Indonesia.
Selain melakukan kegiatan pendidikan sebagaimana tersebut diatas, K.H Ahmad Dahlan juga berkiprah dalam pembinaan kehidupan beragama yang juga berkaitan erat dengan bidang pendidikan dalam arti informal tapi aktual, karena hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Semangat dan citc-cita pembaruannya dalam bidang keagamaan telah tertanam sejak ia kembali dari Mekkah pada kunjungannya yang pertama. Ia memperkenalkan cita-citanya mulai dari pembetulan posisi kiblat, arah orang besembahyang. Sebelumnya, kiblat tersebut mengarah lurus ke barat. Kemudian, ia mengorganisai kawan-kawannya di daerah Kauman untuk melakukan kerja sosial dnl memperbaiki kesehatan lingkungan, seperti membersihkan jalan dan paritan.
Dilihat dari kondisi kehidupan keberagaman umat Islam sekarang, apa yang dilakukan K.H Ahmad Dahlan dalam meperkenalkan semngat pembahuruannya relative cukup sederhana. Namun, dilihat dari kondisi kehidupan keberagaman umat waktu itu, pembetulan posisi kiblat kearah ka’bah dan mengajak masyarakat menyadari lingkungan yang sehat merupakan kerja mendasar. Hal ini terbukti, dimana ia mendapat tantangan keras dalam mengupayakan pembetulan posisi kiblat Masjid Sultan di Yogyakarta. Karena tantangan tersebut, akhirnya ia gagal. Adapun dalam masalah kesehatan, menurut K.H Ahmad Dahlan kesadaran umat baru sampai pada tarap teoritis. Karenanya, agar kesadaran terhadap kesehatan lingukungan menjadi suatu sikap hidup perlu digalakkan. Inilah gagasan asal dari semangat dan cita-cita pembaruannya dalam bidang keagamaan.
Kegagalnnya dalam membetulkan posisi kiblat Masjid Sultan, menyebabkan ia berusha membangun langgarnya sendiri dengan letak kiblat yang tepat. Namun, kali ini pun ia mendapat tantangan keras dari penghulu. Kiai Haji Mohammad Halil memerintahkan menghacurkan langgar tersebut. Karena begitu kecewa, ia memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya, Yogyakarta. Untuk mengobati kekecewaan dan menghilangkan keputusannya, seorang keluarganya membangun sebuah langgar untuknya dengan jaminan bahwa K.H Ahmad Dahlan boleh mangajarkan dan mempraktikan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Berselang beberapa lama, K.H Ahmad Dahlan menggatikan ayahnya sebagai khatib di Masjid Sultan. Sejak itu, K.H Ahmad Dahlan telah diakui sebagai seorang ulama oleh kiai-kiai lain. Karena kejujuran dan kesungguhannya dalam pekerjaan ia memperoleh sebutan ketib amin, Khatib yang dipercaya.
Dalam perkembangannya selanjutnya kehadiran K.H Ahmad Dahlan dengan organisasi berikut aktivitasnya disambut luas oleh masayarakat. Pengurus muhammadiyah menerima permintaan dari bebagai tempat di Jawa untuk mendirikan cabang-cabangnya. Untuk maksud ini anggaran dasar dari organisasi itu membatasi diri pada kegiatan-kegiatan di Yogyakarta saja, haruslah lebih dahulu diubah. Hal ini dilakukan pada tahun 1020 ketika bidang kegiatan muhammadiyah diluaskan meliputi seluruh pulau Jawa dan pada tahun berikutnya (1921) keseluruh Indonesia.[39]
Perluasan organisasi muhammadiyah ini berlangsung demikian cepat disebabkan oleh beberapa faktor. Pribadi K.H Ahmad Dahlan dan caranya ia berpropaganda dengan memperlihatkan toleransi dan pengertian kepada pendengarnya sangat memeberikan bantuan untuk memperoleh sambutan yang sangat memuaskan. Mereka yang mengenal pembaruan di Mesir melihat pula pada muhammadiyah sebagai jalan untuk mnyebarkan pemikiran-pemikiran pembaruan tersebut di Indonesia, dan oleh sebab itu mereka memberikan bentuannya kepada organisasi itu. K.H Ahmad Dahlan sendiri, dan ini dapat dikemukakan secara pasti, telah mengetahui tentang pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh pada tahu 1912.    










BAB III
SEJARAH SINGKAT

A.       SOSIAL KULTURAL K.H. AHMAD DAHLAN
 

Hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat islam waktu itu yang tenggelam dalam kemujudan  ( stagnasi ) , kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan politik Kolonial Belanda yang sanga merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekah. Kemudian ide tersebut lebh dimantapkan setelah kunjungan yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungan tersebut merupakan proses terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di timur tengah pada awal abad XX.

Dampak memperkaya ide pembaharuannya, pada kunjungannya tersebut Dahlan menyempatkan diri bertemu dan berdiskusi dengan Rasyid Ridho. Bias dari kobtak intelektual ini dapat dilihat dari dinamika inteluaktualnya. Bias tersebut antara lain ; Pertama, menjadikan pemahamannya tentang ajaran islam semakin mendalam dan komprehensif. Kedua, kencenderunagan yang hanya mempelajari kitab-kitab para ulama mulai bergeser kearah pencarian dan penelaahan secara mendalam langsung dari sumber aslinya, Al-qur’an dan Sunnahnya. Ketiga, bangkitnya semangat untuk memurnikan kembali ajaran dan pemahaman umat terhadap ajaran islam sesuai dengan Al-Q!ur’an dan Sunnah Rasulullah.
Secara umum, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu ; Pertama, berupaya memurnikan (purifakasi) ajaran islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat islam. Kedua, mengajak umat islam untuk keluar dari jaring pemikiran           

B.         RIWAYAT HIDUP K.H. AHMAD DAHLAN
K.H.Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 25 februari 1923. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H.Abu bakar,beliau adalah seorang imam dan khatib Masjid besar Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H.Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta .Nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy.
.
              Semasa kecilnya Muhammad Darwis tak pernah pergi sekolah, ia adalah putra zaman peralihan abad XIX-XX, disaat seorang putra pemangku masjid kesultanan Yogya dianggap haram bersekolah formal { Belanda } . Oleh karena itu ketika menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Pada usia 8 tahun ia telah lancar membaca Al-Qur’an hingga khatam. Menjelang dewasa ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu, diantaranya ia belajar fiqih pada K.H.Muhammad Shaleh, dan nahwu kepada K.H.Muhsin, keduanya adalah kakak ipar Darwis sendiri. Selain itu ia juga belajar ilmu falak pada K.H.R Dahlan, belajar ilmu hadits kepada K.H.Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh, Qira’at Qur’an kepada Syekh Amin dan Sayyid Bakri, serta beberapa guru lainnya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relative muda ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupayauntuk lebih mendalaminya.

Pada tahun 1889 M,ia dikawinkan dengan Siti Walidah putri K.H.Muhammad Fadil, kepada penghulu kesultanan Yogya. Jadi Siti Walidah itu masih saudara sepupu M.Darwis .

Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru. Pada tahun 1890 M Darwis berangkat ke Makkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim disana selama setahun .Setelah musim haji selesai ia pulang, dan tiba di Yogyakarta pada minggu pertama bulan safar 1309 H/ 1891 M. Dan berganti nama H.A.Dahlan. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903 M, ia berangkat lagi ke Makkah dan menetap selama dua tahun . Di kota ini K.H.Ahmad Dahlan berhadapan langsung dengan tradisi pemikiran dan pembaharuan pemikiran islam ke Makkah seperti Jamaluddin Al-Afghani,          Muhammad  Abduh, dan        Rasyid Ridha.

Pengamatan langsung terhadap daerah pusat islam banyak mempengaruhi pemikiran K.H.A.Dahlan, sehingga mendorong keinginannya untuk melakukan gerakan pembaharuan islam di Indonesia. Intensitasnya dalam membaca majalah al manar dan beberapa majalah sejenis dari tanah Melayu dan Sumatra barat, yang banyak memuat ide-ide Muhammad Abduh, berpengaruh terhadap pemikiran K.H.A.Dahlan dari Yogyakarta. Ahmad Dahlan bukan seorang penulis sebagaiman Muhammad Natsir. Oeh karena itu, gagasan – gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itu ia lebih dikenal sebagai pelakudibandingkan sebagai pemikir. K.H. Ahmad Dahlan juga menjadi khatib di masjid kesultanan Yogyakarta, disamping sebagai guru di sekolah-sekolah pemerintah seperti Kweekschool di Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, K.H.Ahmad Dahlantelah membuat trobodan dan strategi dakwah; ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, beliau brharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu,karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersifat permanen. Melalui organisasi tersebut, selain sistem pengajaran dapat diatur sedemikian rupa, juga lebih dapat terhindar dari kebangkrutan manakala pendirinya telah meninggal, sebagaimana sistem pesantren tradisional ketika kiayinya telah wafat.
Akhirnya, pada 18 November 1912, kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Organisasi ini mempunyai maksud “ meyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad Saw. Kepada penduduj bumi putara “, dan “ memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya “. Untuk mencapai tujuan trsebut, organisasi berupaya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mangadakan rapat-rapatdan tabligh di manadibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat dan majalah-majalah.
Dalam mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi ini dalam tahun-tahun pertama tidaklah mengadakan pembagian tugas yang jelas di antara anggota pengurus. Hal ini semata-mata disebabkan oleh ruang gerak yang masih sangat terbatas, yaitu sampai sekurang-kurangnya tahun 1917 pada daerah Kauman, Yogyakarta, saja. Ahmad Dahlan sendiri aktif bertabligh, aktif pula mengajar di sekolah Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti sholat, dan dalam memeberikan bantuan kepada fakir miskin dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk meraka. Sifat sosial dan pendidikan dari muhammadiyah memanglah telah diletakkan di dalam masa-masa awal tersebut.  










BAB IV
PEMBAHASAN

A.        DASAR DASAR PENDIDIKAN K.H AHMAD DAHLAN
Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih. K.H Ahmad Dahlan adalah slah satu pembaharu pemikiran pendidikan Islam yang mampu menagkap pesan Al’Quran dan mengkontekstualisasikannya yang bersifat alamiah inilah yang menempatkan Muhammadiyahsebagai organisasi Islam. Pembaharuan K.H.Ahmad Dahlan sering dikaitkan dengan pembaru Islam sebelumnya sebagaimana yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah, Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dll, namun gerakan amal usahanya yang bercorak taranformasional menjadi cirri khas pembaharuan beliau.
Bila dilihat secara komparatif, epistemology beliau terbangun dai dua aksioma, aksioma dasar dan aksioma operasional. Aksioma dasar yang dijadikan acuan dalam melakukan domestifikasiIslam dalm ranah empiric adalah Al’Quran dan As Sunnah Rasul. Dengan nalar logis, kritis dan berdimensi praksis menjadi pilar utama sebagi operasioanlisasi aksioma dasar tersebut.
Dalam pemikiran beliau, akal suci sebagai metode dalam melaksanakan ajaran agama. Sumber komplemanter untuk memahami agama terdiri dari hadits, ijma dan Qiyas. Serta inovasi untuk memasukan ilmu-ilmu filosofis yang rasional.
Fakta otentik yang monumental mewarnai pemikiran beliau seperti kepiawaian beliau dalam ilmu falaq denganm memakai pendekatan hisab, kisah surat Al Ma’un serta pendirian berbagai institusi social berupa rumsh sakit, ‘aisyiah, sekolah-sekolah, dsb. Semua ini semakin mengukuhkan sosok beliau sebagai penggerak pendidikan.
Dapat disimpulkan bahwa pemikiran beliau dari pengkajian Alqur’an,musyawarah dan amal. Menekankan perlunya penyatun dimensi ajaran kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan dimensi ijtihad dan tajdid social keagamaan. Menempuh system gerakan persyarikatan dalam mengaktualisasikan cita-cita pembaharuannya. Bersikap responsive dan adatif dalam menhadapi perkembanagan zaman.
Dengan muhammadiyah beliau berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang beragam, dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi, dan dari berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum. Beliu juga memperkenalkan manajemen pendidikan ke dalam system pendidikan yang dirancangkannya.
Sekali lagi yang menjadi landasan dasar K.H Ahmad Dahlan dalam pemikiran pendidikannya adlah kembali ke Al Qur’an dan hadis, serta dengan mengoperasionalkan nalar logis, kritis dan dimensi praksis.
B.        KONTRUKSI PENDIDIKAN K.H. AHMAD DAHLAN
Dalam dunia pendidikan Islam khusunya Indonesia, K.H  Ahmad Dahlan memberikan kontribusi yang tidak sedikit, diantaranya pengabdopsian substansi dan metodologi pendidikan agama, memberikan muatan pengajaran Islam pada sekolah-sekolah umum modern Belanda menerapkan system kooperatif, dst. Kesemuanya tercangkup dalam usaha beliau sebagai persentasi pendidikan integralitik yang merupakan system pendidikan yang melatih persaan murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hiduo, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etnis Islam. K.H Ahmad Dahlan memberikan ide klasik dalm pendidikan, namun tetap menrik perhatian karena merelisasikan ke tataran praksis selalu tidak mudah.
  Kontruksi pendidikan K.H Ahmad Dahlan dapat dilihat pada kegiatan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan, muhammadiyah melanjutkan model sekolah ysng digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen ( sekolah Belanda ).. Disamping sekolah desa di kampungnya sendiri, K.H Ahmad Dahlan juga membuka sekolah yang sama di kampung Yogya yang lain. Hubungan K.H Ahmad dahlan dengan murid-murid sejkolah pendidikan guru dilanjutkan terus. Upaya beberapa waktu dia masih mengajar agama di sana , walaupunhanya diizinkan di luar jam sekolah. Sedangkan beberapa anggota Muhammadiyah lainnya, setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama, mendapatkan izin mengajar pada sekolah calon pegawai di Magelang.
K.H. Ahmad Dahlan sebagai pemimpin dalam Muhammadiyah sangat dekat dan memperhatikan anak-anak remaja dan pemuda. Kedekatan dan kepedulian beliau
Disamping mendirikan sekolah yang mengikuti model gubernemen, muhammadiyah dalam angka waktu singkat juga mendirikan sekolah yang lebih bersifat agama seperti Madrasah Diniyah. Sekolah seperti Madrasah Diniyah ini dimaksudkan untuk mengganti dan memperbaiki pemgajian Alquran yang tradisional. Untuk pengajian kitab, muhammadiyah juga segera mencari penggantinya sesuai dengan tuntutan jaman modern, usaha tersebut dapt dianggap sebagai realisasidari rencana sarekat islam yang semenjak tahun 1912 berusaha mendirikan sekolah pendidikan agama, yang dapat menyaingi sekolah pendidikan gubernemen.
Pada tanggal 8 Desember 1921, muhammadiyah sudah dapat mendirikan pondok muhammadiyah sebagai sekolah pendidikan guru agama. Dalam sekolah tersebut, pelajaran umum diberikan oleh dua orang guru dari sekolah pendidikan (kweekscol), sedangkan K.H. Ahmad Dahlan sendiri dan beberapa orang guru lainnya memberkan pelajaran agama yang lebih mendalam.
C.        KONSEP PENDIDIKAN ISLAM K.H. AHMAD DAHLAN
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan uamt. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi :
1. Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
2. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
3. Model Mengajar
Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
§ Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
§ Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
§ Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.




[1] Abdul Munir Mulkhan, Etika Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan, (Artikel publikasi)” Yogyakarta

[2] M. Anwar Ahmad, Prinsip-prinsip Metodologi Research. (Yogyakarta :  Subangsih.1975)h.2

[3] Kartini Kartono, Pengantar Metodelogi Riset Sosial , ( Bandung  : Mandar Maju, 1996) h. 30

[4] Suharsimi Arikunto, Prosedure Penelitian Suatu Pendekatan Praktis , ( Jakarta : Rineka Cipta, 1996 ), h.234

[5] Sutrisno Hadi , Metodologi Research Jilid I , ( Yogyakarta : Andi Offset. 1997) , h. 35
[6] Sudarminta, Epitemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta :Pustaka Filsafat, 2002.hl 18

[7] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002.Cet. 3. hl 22

[8] Asmoro Achmadi, filsafat Umum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.Cet. 5. hl 14
[9]  Asmoro Achmadi, filsafat Umum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.Cet. 5. hl 14
[10]  Omar Mohammad Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, h. 399
[11]  Muhammad Fadhil al-Jamaly, (al-Syirkat al-Tunisiyatli al-Tauzi’, 1977),  h.3

[12]  Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), h. 19

[13]  Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992), h.  19
[14] Depag RI, Al-Qura’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Pustaka Amani, 2005), h.2

[15] Ibid , h.355
[16]  Abdullah nashih ulwan, Pendidikan Agama Dalam Islam, (Jakarta amani, 1995), jld 1. h 123.
[17] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), h. 33
[18]  Muhammad Fadhil al-Jamaly, Nahwat Tarbiyat Mukminat, h. 17

[19]  Mohammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 17

[20]Teks asli dari rumusan kongres tersebut tentang tujuan pendidikan islam adalah ; Education should aim at the ballanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect of rasional self, feeling, and bodily sense. Education should therefore cater for growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization pf complete submission to Allah in the level of individual, the community  and humanity at large. Second World Confrence and Curriculla, Recommendation, 15 th to 20 th, March 1980 Islamabad. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h.206-7 
[21] Abdurahman saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-qur’an Terj. HM. Arifin, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), h. 197

[22] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), h .97
[23] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), h .99

[24] Sutari Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta :IKIP_FKIP GAMA Press) 1984. h113
[25] Lihat barnadib, Op. Cit ,h 113
[26] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1994), h.221

[27] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta : Sipress,1993), h. 66

[28] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, h. 99
[29] Depag RI, Al-Qura’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Pustaka Amani, 2005), h. 366


[30] Depag RI, Al-Qura’an dan Terjemahannya, (Jakarta :Pustaka Amani, 2005), h.58

[31] Ibid , h.


[32] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam ;Rekonstruksi Pemikiran Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung : Mizan, 1986), h.76
[33] Depag RI, Al-Qura’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Pustaka Amani, 2005), h. 337





[34] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme, h.218

[35] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta : Sipress,1993), h.146
[36] Abudin Nata,Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997) cet.1 ,hal. 205
[38] Nata abudin, op. cit , hlm. 106
[39] Deliar Noer, op. cit., hlm.87

0 komentar: