BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
MASALAH
Sejalan dengan dinamika dan pasang
surut sejarah umat Islam di Indonesia, sejarah pendidikan Islam pun mengalami
dinamika dan pasang surut pula. Pada awal abad ke XX, dunia pendidikan Islam di
Indoesia masih ditandai oleh adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara
pendidikan agama dengan pendidikan umum. Disatu segi terdapat madrasah yang
mengajarkan pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum dan disatu sisi
terdapat lembaga pendidikan umum yang tidak mengajarkan pendidikan agama.
Pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, terutama
jika dihubungkan dengan perhubungan perkembangan masyarakat umat Islam berada
dalam kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikan yang tradisional.
K. H. Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaru pendidikan Islam dari tanah
Jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat Islam khususnya di Indonesia .
Dialah tokoh yang berusaha memasukan pendidikan umum kedalam kurikulum madrasah
dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum lembaga pendidikan umum.
Melalui pendidikan K. H. Ahmad Dahlan mengiginkan agar umat dan bangsa Indonesia memiliki jiwa kebangsaan
dan kecintaan kepada Tanah Air.
Gagasan
dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci,
temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya
adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman
beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini diperoleh pengetahuan tentang
bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan
umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih[1].
Pendidikan Islam perspektif K.H. Ahmad Dahlan tentunya didasari dari gagasan
dasarnya.
Sikap K.H. Ahmad Dahlan dipraktekkan dalam misi dahwahnya yang
diawali dari tempat kelahirannya Yogyakarta Mengutip
perkataan al-Ghazali, K.H. Ahmad Dahlan mengatakan bahwa manusia itu semuanya
mati (perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama
itu senantiasa dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal
pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih.
Dialah tokoh yang telah berhasil mengembangkan dan menyebarkan
gagasan modern keseluruh pelosok tanah air melalui oraganisasi Muhammadiyah
yang didirikannya, dan hingga kini makin menunjukan eksistensi secara
fungsional. Muhammadiyah merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia ,
bahkan di dunia. Bahkan Pendidikan telah menjadi cap dagang gerakan
Muhammadiyah besarnya jumlah lembaga pendidikan merupakan bukti konkrit peran
penting Muhammadiyah dalam proses pemberdayaan umat islam dan pencerdasan
bangsa. Dalam konteks ini Muhammadiyah tidak hanya berhasil mengantarkan bangsa
Indoensia dan umat Islam lepas dari kebodohan dan penindasan, tetapi juga menawarkan
suatu model pembaharuan sistem pendidikan moderen yang telah terjaga identitas
dan kelangsungannya.
Epistemologi pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad dahlan sangat
membawa pengaruh pada pendidikan di Indonesia . Pengetahuan yang
didapatnya telah berhasil direalisasikan dan menghasilkan pendidikan Islam yang
lebih modern. Dari epistemologi dalam pendidikan islam tradisional mulai diubah
dengan pendidikan islam yang modern. Jika dibandingkan dengan pendidikan pada
masa sebelum K.H. Ahmad Dahlan dimana problem epistemologi dalam pendidikan Islam
tradisional telah membawa masyarakat pada masa itu kurang mampu berkompetisi
secara produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban. Tanpa mengurangi
pemikiran para intelektual muslim lainnya, paling tidak pemikiran K.H Ahmad Dahlan
tentang pendidikan islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam
di Indonesia.
- PEMBATASAN MASALAH
Penelitian ini mebatasai tentang Epistemologi pendidikan Islam dalam
perspektif K. H. Ahmad Dahlan.
- RUMUSAN MASALAH
Bagaimana epistemologi pendidikan Islam dalam perspektif K. H. Ahmad
Dahlan ?
- TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1.
Tujuan Pennelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsi tentang epistemologi pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad
Dahlan.
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Sumbangan pemikiran mengenai
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia oleh K.H. Ahmad Dahlan.
b.
Sebagai bahan refrensi bagi
mahasiswa yang akan mengkaji tentang konsep pendidikan Islam di Indonesia.
- METODE PENELITIAN
1.
JENIS PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan ( library research ),
yaitu suatu penelitian yang diadakan di perpustakaan dengan cara mengumpulkan
buku – buku literature yang dipergunakan dengan mempelajarinya.[2]
2.
SIFAT PENELITIAN
Sedangkan dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian
diferensial, yaitu : “ Penelitian tidak hanya melukiskan suatu peristiwa saja,
akan tetapi juga mengambil kesimpulan umum dari masalah yang tengah dibahasnya
“.[3]
3.
METODE PENGUMPULAN DATA
Sesuai dengan jenis data, maka metode pengumpulan data yang
digunakan adalah metode dokumentasi, yaitu : “tekhnik mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa catatan, notulen, agenda, dan lain-lain
sebagainya “.[4]
Metode ini digunakan karena semua data didapat dari buku-buku dan dokumen lainya yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian.
4.
METODE ANALISIS DATA
Metode analisis data yang digunakan
adalah “ Content Analysis “ atau analisis isi, dengan pendekatan rasionalistik
dan pola piker deduktif, yaitu : “ Berangkat dari pengetahuan / fakta yang
bersifat umum kemudian ditarik sebuah generealisasi yang sifatnya lebih khusus
“.[5]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN
Dalam filsafat pendidikan, epistemologi merupakan cabang
dari ilmu filsafat, yang terdiri dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme
yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga
berarti pengetahuan[6].
Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu
pengetahuan tentang pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
epistemologi membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya
sendiri. Dalam kamus populer filsafat epistemologi diartikan cabang filsafat
yang meneliti pengetahuan manusia, kepercayaan dan dasar pengalaman[7].
Bagaimana dan apa yang kita ketahui tentang pengetahuan itu. Epistemologi
lazimnya disebut teori pengetahuan yang secara umum membicarakan karakteristik,
dan kebenaran pengetahuan[8]. Persoalan epistemologi yaitu :
1.
Problem asal pengetahuan,
apakah sumber-sumber pengetahuan, darimana pengetahuan yang benar dan bagaimana
kita dapat mengetahui?.
2.
Apakah yang menjadi
karakteristik pengetahuan adakah dunia nyata diluar akar, apabila ada dapatkah
diketahui?.
3.
problem mencoba kebenaran,
apakah pengetahuan itu benar bagaimana membedakan antara kebenaran dan
kekeliruan?. [9]
Dari batasan tersebut secara luas epistemologi dapat
dikatakan sebagai pengetahuan. Dengan demikian epistemologi pendidikan ialah
ilmu pengetahuan tentang pendidikan. Epistemologi pendidikan berhubungan dengan apa yang perlu diketahui
dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan pendidikan
Pembicaran tentang epistemologi pendidikan akan berkutat
pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui pendidikan
tersebut. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa
teori tentang pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemologi tidak akan lepas
dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak
teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya
perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat
kebenarannya yang berbeda.
- PENDIDIKAN ISLAM
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Dalam konteks Islam istilah
pendidikan pada umumnya mengacu pada term al
tarbiyah, al ta’dib, dan al ta’lim. Pengunaan istilah al tarbiyah
berasal dari kata rabb, yang pengertian dasarnya menunjukan makna tumbuh,
berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau
eksistensinya. Istilah tarbiyah ini lebih popular digunakan dalam praktek
pendidikan Islam dibandingkan al ta’dib dan al ta’lim. Dari ketiga istilah
pendidikan dalam konteks Islam tersebut, para ahli pendidikan memformulasikan
pengertian pendidikan Islam sebagai berikut :
a.
al- Syaibaniy ; mengemukakan
bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta
didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut
dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi
dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.[10]
b.
Muhammad fadhil al-Jamaly mendefinisikan pendidikan Islam
sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih
dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia.
Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang
lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun
perbuatannya.[11]
c.
Ahmad D. Marimba ; mengemukakan
bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadiannya yang utama(insane kamil).[12]
d.
Ahmad Tafsir ; mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai bimbhingan yang diberikan oleh seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai denga ajaran Islam .[13]
Dari batasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan
seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi
Islam. Melalui pendekatan ini, akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam yang diyakininya.
2.
Dasar Pendidikan Islam
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian
muslim, maka pendidikan islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan
landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan
pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan
pendidikan islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang
dapat menghantarkan peserta didik kearah pencapaian pendidikan Islam adalah Al-
Quran dan sunnah Rasulullah (hadis).
Menetapkan al-quran dan hadis sebagai
dasar pendidikan islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan
pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua
dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam
sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebagai pedoman, al-Quran tidak ada
keraguan padanya ( Q.S. Al Baqarah/2:2)
Yang artinya : Kitab (Al Quran) ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.[14]
Yang artinya : Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[15]
Ia tetap terpelihara
kesucian dan kebenarannya (Q.S.Al Hajr/15:9), baik dalam pembinaan aspek
kehidupan spiritual maupun aspek social budaya dan pendidikan. Demikian pula
dengan kebenaran hadis sebagai dasar kedua bagi pendidikan Islam. Salah satunya hadis
Yang artinya : “ Didiklah
anak-anak kamu atas tiga hal : mencintai
Nabi kamu, mencintai ahli baitnya dan membaca Al-Qur’an itu berada pada naungan
singgah sana allah
pada hari yang tidak ada perlindungan-Nya “ (HR. atau-Tabrani)[16]
3. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam merumuskan tujuan Pendidikan
Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu ;
1)
Tujuan dan tugas manusia di
muka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal.
2)
Sifat-sifat dasar manusia.
3)
Tuntutan masyarakat dan
dinamika peradaban kemanusiaan.
4)
Dimensi-dimensi kehidupan ideal
Islam. Dalam aspek ini setidaknya ada 3 macam dimensi ideal islam, yaitu ; (a)
mengandung nilai yang berupaya menigkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka
bumi. (b) mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan yang baik. (c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara
kepentingan kehidupan dunia dan akhirat ( fi al-dunya hasah wa fi al-akhirat
al-akhirat al-hasanas )[17]
Berdasrkan batasan diatas, para ahli pendidikan (muslim) mencoba
merumuskan tujuan pendidikan islam. Di antaranya al-Syaibani, mengemukakan
bahwa tujuan pendidikan islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.
Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta
didik, baik ruh, pisik, kemauan, dan akalnyasecara dinamis, sehingga akan
terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya
sebagaikahlifah fil al-radh. Pendekatan tujuan ini memilki makna, bahwa upaya
pendidikan adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan
merealiasikan “kehendak” Tuhan sesuai dengan syairat islam, serta mengisi tugas
kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama
pendidikanya.
Menurut
Muhammad Fhadil al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam menurut al-Quran meliputi ;
(1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah
lainnya dan tanggungjawabnya dalam kehidupan ini. (2) menjelaskan hubungannya
sebagai makhluk social dan tanggung jawabnya sebagai makhluk social dan
tanggungjawabnya dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat. (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya
untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memekmurkan alam semesta. (4)
menjelaskan hubungannya dengan khaliq sebagai pencipta alam semesta.[18]
Muhammad Athiyah al- Abrasyi, menyimpulkan
bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu : (1) membentuk
akhlak mulia (2) mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat (3) persiapan untuk
mencari rizki dan memelihara segi kemanfaaatannya (4) menumbuhka semngat ilmiah
di lkalangan peserta didik (5) mempersiapkan tenaga professional yang tampil.[19]
Kongres se-Dunia ke II tentang
pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad ,
menyatakan bahwa :
Tujuan
pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangna kepribadian manusia
(peserta didik) secara menyeluruh dan seimbang yang melalui latihan jiwa, akal
pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena
itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitriah peserta
didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik
secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut
berkembang kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim
terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara
pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. [20]
4.
Metode Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya
membutuhkan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya kearah
tujuan yang dicita-citakan. Bagaimana baik dan sempurnanya suatu kurikulum
pendidikan Islam, tidak akan berarti apa-apa, manakala tidak memiliki metode
atau cara yang tepat dalam penerapan metode secara percuma. Karenanya, metode
adalah syarat untuk efesiensinya aktivitas kependidikan Islam. Hal ini berarti
bahwa metode persoalan yang esensial, karena tujuan pendidikan Islam itu akan
tercapai secara tepat guna manakala jalan yang ditempuh menuju cita-cita
tersebut benar-benar tepat.[21]
Secara literal metode berasal dari bahasa Greek
yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta
yang berati melalui dan hodos yang
berati jalan. Jadi metode berati jalan yang dilalui[22].
.
Di antara karakteristik metode pendidikan Islam adalah :
a.
Keseluruhan prose penerapan
metode pendidikan Islam, mulai dari pembentikannya, penginaannya sampai pada
pengembangannya tetap didasarkan pada nilai-nilai asasi Islam sebagai ajaran
yang universal.
b.
Proses pembentukan, penerapan
dan pengembangannya tetap tidak dapat dipisahkan dengan konsep al-akhlak al-karimah
sebagai tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.
c.
Metode pendidikan Islam bersifat
luwes dan fleksibel dalam artian senantiasa membuka diri dan dapat menerima
perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupi proses kependidikan
Islam tersebut, baik dari segi peserta didik, pendidik, materi pelajaran dan
lain-lain.
d.
Metode prndidikan Islam berusaha
sungguh-sungguh untuk menyeimbangkan antar teori dan praktek.
e.
Metode
pendidikan Islam dalam penerapannya menekankan kebebasan peserta didik untuk
berkreasi dan mengambil prakarsa dalam batas-batas kesopanan dan al-akhlah
alkarimah.
f.
Dari segi pendidik, metode
pendidikan Islam lebih menekankan nilai-nilai keteladanan dan kebebasan
pendidik dalam menggunakan serta mengkombinasikan berbagai metode pendidikkan
yang ada dalam mencapai tujuan pengajarannya.
g.
Metode pendidikan Islam dalam
penreapannya berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan bagi
terciptannya interaksi edukatif yang kondisif.
h.
Metode pendidikan Islam merupakan
usaha untuk memudahkan proses pengajaran dalam mencapai tujuannya secara
efektif dan efesien.
Seluruh
karakteristik tersebut harus diketahui dan difahami oleh para pendidik muslim.
Dalam konteks ini, menurut M. Arifin, persoalan terpenting yang harus dilihat
para pendidik adalah prinsip bahwa penggunaan metode dalam proses kependidikan Islam
harus mampu membimbing, mengarahkan dan membina anak didik menjadi yang matang
atau dewasa dalam sikap dan kepribadiannya, sehingga tergambar dalam dirinya
tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.[23]
Hal yang terpenting dari penerapan
metode dalam aktivitas kependidikan Islam
adalah prinsip bahwa tidak ada metode yang paling ideal untuk semua tujuan
pendidikan, semua ilmu dan mata pelajaran, semua tahap pertumbuhan dan
perkembangan, semua taraf kematangan dan kencerdasan, semua guru dan pendidik,
dan semua keadaan dan suasanayang meliputi proses kependidikan itu. Untuk itu
sangat dituntut sikap arif dan dan bijaksana dari para pendidik dalam memilih
dan menerapkan metode pendidikan yang relevan dengan semua situasi dan suasana
yang meliputi proses kependidikan Islam sehingga tujuan yang didingnkan dapat
tercapai secara maksimal.
5.
Alat Pendidikan
Alat pendidikan menurut Sutari Imam Barnadib ialah suatu tindakan atau
perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai
suatu tujuan di dalam pendidikan [24]
. dikemukakannya bahwa alat pendidikan bukan suatu resep, yang sewaktu-waktu
dapat digunakan secara tepat guna dan mantap. Alt pendidikan merupakan sesuatu
yang harus dipilih, sesuai dengan tujuan pendidikan. Yang jelas alat pendidikan
tidak terbatas pada benda-benda yang bersifat konkret saja, tetapi juga berupa
nasihat, tuntunan, bimbingan, contoh, hukuman, ancaman, dan sebagainya. Selain
dari itu, alat pendidikan dapat juga berupa situasi tertentu.
Persoalan yang dihadapi alat
pendidikan menurut Sutari pada garis besarnya ada empat, yaitu :
a)
Tujuan apa yang akan dicapai
b)
Alat mana yang tersedia
c)
Pendidik mana yang akan
menggunakannya
d)
Kepad anak didik mana alat itu
digunakan, yang dalam hal ini menyangkut : jenis kelamin, umur, bakat,
perkembangannya, dan lingkungan alam sekitarnya[25].
Berdasarkan kondisi tersebut,maka alat pendidikan dapat saja
berubah, tergantung dari apakah dengan alat tersebut tujuan pendidikan akan
dicapai. Lebih dari itu alat pendidikan pun tergantung pada siapa yang
menggunakannya. Karena itu alat pendidikan menyangkut : siapa yamg
menggunakannya, untuk tujuan apa alat itu digunakan, kepada siapa alat itu
dperuntukkan, dalam situasi mana dan serasikah alat tersebut dengan lingkungan
alam sekitar, kelamin, bakat, usia, dan tingkat perkembangan anak didik.
Disini tampaknya alat penggunaan alat pendidikan yang tepat tergantung
pada banyak factor. Kemampuan menyesuaikan antara alat yang digunakan dengan
factor yang mendukung merupakan penentu bagi berhasil tidaknya suatu pendidikan
mencapai tujuannya.
Pendidikan Islam, bagaimanapun merujuk kepada Nabi sebagi pendidik
agung. Cerminan bagi pendidikan islam bersumber dari tokoh ini, sebab beliau
telah mendapat pendidikan yang paling baik, yang belum pernah diperoleh
manusia. Kemudian sesuai dasar islam yang digunakan adalah Al qur’an dan hadist
serta sunnah rasull, maka apapun yang dilakukan Rasull dinilai sebagai teladan
yang baik bagi pendidik muslim. Teladan yang baik, cara pergaulan yang baik,
nasihat dan peringatan Rasull merupakan alat pendidikan yang digunakan beliau.
Dengan demikian Secara garis besarnya, alat pendidikan yang utama dalam Islam adalah
teladan, persahabatan, nasihat dan peringatan. Tentunya alat-alat pendidikan
tersebut, semasa hayat rasull telah dapat digunkan secara tepat sesuai dengan
tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia agar bertauhid. Diperkirakan semasa
hayatnya, rasull telah mampu mendidik sekitar 120.000 lebih orang-orang yang
berada disekitarnya. Dan oleh para sahabat, dan para penerus ajaran beliau
hingga sekarang jumlah itu terus bertambah dari masa ke masa.
- EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM K.H. AHMAD DAHLAN
Menurut Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari
pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan.[26]
Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses
pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki
daya analisis yang tajam dalam menata
dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci bagi meningkatkan
kemajuan umat Islam adalah dengan kembali pada al-Quran dan hadis, mengarahkan
umat pada pemahaman ajaran islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai
disiplin ilmu pengetahuan . Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui
pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan menurut Dahlan hendaknya didasarkan pada
landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi konsep dan
tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertical ( khaliq ) maupun
horizontal (makhluk ).[27]
Dalam pandangan islam, paling
tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai abd Allah dan khalifah fi
al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberukan Allah dengan al-ruh dan al-aql. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat
mengembangkan potensi al-ruh untuk
menalar petunjuk pelaksanaan kentundukan dan kepatuhan manusia kepada
kholiqnya.[28]
Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu
dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis
bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertical maupun horizontal dalam
konteks tujuan penciptaanya.
Islam menekankan kepada umatnya yang
ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta, baik alam mikro
maupun makro. Meskipun dalam banyak tempat al-quran senantiasa menekankan
pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al quran juga mengakui akan
keterbatasan kempauan akal. Ada
realitas fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S.
Ar Ra’d/ 13:2)
Yang artinya : Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu
lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan
bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur
urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu
meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu[29].
(Q.S. Lukman/ 31:10)
(Q.S. Lukman/ 31:10)
Yang artinya
: Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan
gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan
memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan
air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan
yang baik[30].
Dan (Q. S. Al Munafiqun/ 63:3 )
Yang artinya : Yang demikian itu adalah karena bahwa
sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati
mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.[31]
Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di ala mini memilki dua
dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua
dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan
Islam ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia)
mendayagunakan berbagi media, baik yang diperoleh melalui pertsepsi inderawi,
akal, kalbu, wahyu maupun nilaham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam
hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan
kesemua dimensi tersebut. Menurut Dahlan, pengembangan merupakan proses integrasi
ruh dan jasad. Konsep ini ditengahkannya dengan menggariskan perlunya
pengkajian ilmu pengetahuan atau mempelajari epistemologi secara langsung,
sesuai prinsip- prinsip alqur-an dan Sunnah, bukan semata-mata dari kitab
tertentu.[32]
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah,
terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam
tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Dahlan melihat bahwa problem epistemologi
dalam pendidikan-Islam-tradisional disebabkan karena ideologinya ilmiahnya
hanya terbatas pada dimensi religius yang membatasi diri pada pengkajian
kitab-kitab kalsik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam mazhab Safi’i. Ideologi
ilmiah semacam ini digunakan sebagai pelindung oleh kelompok tradisional guna
mempertahankan semantik statis terhadap epistemologi yang dikembangkannya.
Islam merupakan agama taghayyir yang menghendaki modernisasi (tajdid) . prinsip ini ditegaskan oleh
Allah dalam al-Qura’an,bahwa tidak akan teradi modernisasi pada suatu kaum,
kecuali mereka sendiri berupaya kearah tersebut. Dalam salah satu ayat
Al-Qur’an dijelaskan yaitu ( Q. S Ra’d / 13:
11 )
Yang artinya :Bagi manusia
ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.[33]
Di sini, Islam mencela sifat jumuad dan taqlid yang
membabi buta. Karenanya, Islam mendorong manusia meningkatkan kreatifitas
berpikirnya dan melakukan prakarsa. Untuk itu diperlukan kerangka metodologis
yang bebas, sistemayis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses
perumusan kerangka ideal yang demikian
menurut Ahmad Dahlan disebut proses ijtihad, yaitu mengerahkan otoritas
intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Proses
tersebut manakala otoritas-otoritas yang lebih tinggi tidak bisa menyelesaikan
persoalan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, pendidikan mrupakan slah satu
bentuk atikulasi tajdid yang strategis dalam memahami ajaran Islam (
al-Qur’an dan Hadis ) secara proporsional. Dalam hal ini sepertinya dahlan
menyadari bahwa umat Islam telah demikian lama terpasung oleh faham dan amal
agama yang menyimpang dari universalitas ajaran Islam.[34]
Sesungguhnya K. H Ahmad Dahlan mencoba menggugat
praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu, pelaksanaan pendidikan
hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi prilaku individu
maupun sosial yang elah menjadi model baku
dalam masyarakat. Pendidikan tidak memeberikan kebebasan pserta didik untuk
berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan
pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat dilogis. Padahal, menurut Dahlan,pengembangan
daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci,
merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi[35]. Dari batasan ini terlihat bahwa dahlan ingin
meletakan visi dasar bagi reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan
sistem pendidikan modern secara harmonis dan integral. Terbentuknya manusia
muslim yang berbudi pekeri luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham
masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya
adalah arah dari pendidikan Islam yang dikehendaki K. H. Ahmad Dahlan. Untuk
menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya
dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang
dilaksanakan.
Dengan demikian epistemologi pendidikan Islam dalam perspektif K. H.
Ahmad Dahlan mengarah kepada suatu pendidikan Islam yang modern dan
profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan
peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Gagasan dasar yang bertumpu pada
Al-qur’an dan hadis menjadi epistemologi dasar dalam pendidikan menurut K.H.
Ahmad Dahlan. Lembaga pendidikan Islam yang berorientasi pada pendidikan modern
menjadi ide pembahuruannya dalam bidang pendidikan. Komitmen K.H. Ahmad Dahlan
yang kuat dalam pendidikan agama menjadi ciri khas organisasi yang didirikannya
pada tahun 1912, yaitu organisasi muhammadiyah[36].
D. POKOK POKOK
PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN
K. H Ahmad Dahlan menganggap bahwa
pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan.
Ia berpendapat bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan
di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang
berkepribadian yang baik adlah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Alquran dan
Hadis. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan Alquran dan Hadis, maka dalam
proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pda kehidupan dan
ajaran-ajaran Nabi.[37]
K. H. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa pendidikkan harus membekali
siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai
kemajuan materiil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya
yang demikian itu, sesungguhnya K.H.Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis
yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun-menurun tanpa
mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan yang
demikian itu, merupakan respon pragmatis terhadap kondisi umat islam yang tidak
menguntungkan di Indonesia .
Seperti dapat diketahui bahwa dibawah kolonialisme Belanda, umat Islam tertinggal
secara ekonmi karena tidak memiliki akses kesektor-sektor pemerintahan atau
perusahaan-perusahaan swasta. Situasi yang demikian itu menjadi perhatian K.H.Ahmad
Dahlan yang berusaha memperbaharui sistem pendidikan umat Islam.
K.H. Ahmad Dahlan sadar, bahwa tingakat partisipasi muslim yang
rendah dalam sektor-sektor pemerintahan itu karena kebijakan pemerintah
kolonial yang menutup peluang bagi muslim untuk masuk. Berkaitan dengan kenyataan
serupa ini, K.H. Ahmad Dahlan berusaha memperbaikinya dengan memberikan
pencerahaan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman
bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini K.H Ahmad Dahlan mengutip
ayat 13 Al Ra’d, yang artinya sesungguhnya tuhan tidak akan mengubah nasib
suatu kaum, sehingga mereka mengubah diri mereka.
Berdasarkan ide-idenya itu, terlihat bahwa K.H. Ahmad Dahlan
menggunakan pendekatan self corrective
terhadap umat Islam. Menurut K.H Ahmad Dahlan bahwa pandangan muslim tradisionalis
terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari sikap
semacam ini mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan kemunduran dunia Islam,
sementara kelompok yang lain telah mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi. K.H Ahmad Dahlan terobsesi dengan kekuatan sistem
pendidikan barat seperti terlihat pada sekolah-sekolah misionaris maupun
pemerintah. K.HAhmad Dahlan berpandangan bahwa kemajuan materi merupakan
prioritas karena dengan cara itu kesejahteran mereka akan bisa sejajar dengan
kaum kolonal.
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan
pendidikan sebagaimana tersebut diatas dilaksanakn lebih lanjut melalui
organisasi muhammadiyah yang didirikannya. Salah satu kegiatan atau program unggulan
pertama telah berdiri satu tahun sebelum muhammdiyah sebagai sebuah organisasi
berdiri. Pada tahun 1911 K.H Ahmad Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang
diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan
pada saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum. Proyek yang pertama
diwujudkan dalam bentuk pendirian sekolah di rumahnya . Di sekolah ini
pendidikan agama diberikan oleh K.H Ahmad Dahlan sendiri, sementara untuk
pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru
di sekolah pemerintah .
Usaha awal ini belum mendapatkan
tanggapan yang baik dari masyarakat seperti tercermin pada sedikitnya jumlah
siswa yang mendaftarkan diri di sekolah tersebut. Ketika sekolah ini dibuka
hanya ada sembilan orang siswa yang mendaftar. Kecilnya jumlah siswa yang
mendaftar merupakn bukti bahwa pada saat itu masyarakat muslim masih belum
banyak mengetahui tentang manfaat ilmu pengetahuan umum. Hal itu juga menjadi
bukti bahwa orang-orang Islam masih belum dapat membedakan antara ilmu-ilmu
umum dan Belanda sebagai agen imperialis. Akibatnya, ilmu-ilmu yang dibawa oleh
Belanda tidak dilihat sebagai sesuatu yang bebas menilai, tetapi sebagai simbol
orang Belanda yang kafir. Mempelajari ilmu-ilmu ini dianggap sebagai peniruan
pada orang kafir yang dilarang oleh agama.
Tanggapan yang kurang memuaskan dari
masyarakat terhadap sekolah dengan model baru ini tidak mengendorkan semangat K.H
Ahmad Dahlan. Ia tidak segan-segan menjenguk anak-anak sampai kerumahnya untuk
mengajar mereka masuk sekolah. K.H Ahmad Dahlan juga meminta bantuan keuangan
pada anggota-anggota Budi Utomo. Usaha yang sungguh-sungguh itu membuahkan
hasil seperti tergambar dalam jumlah murid yang meningkat 20 siswa dalam waktu
enam bulan. Anggota –anggota Budi Utomo juga menyiapkan diri untuk
membantu dengan mendekati pemerintah
untuk mendapatkan bantuan keuangan. Pada tanggal 1 Desember 1911, sekolah
tersebut diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dan menjadi sekolah
sekolah dasar pertama di Yogjakarta yang memberikan pelajaran agama dan
ilmu-ilmu pengetauan umum.
Pendirian organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 M
atau 8 Dzulhijah 1330 H turut mempercepat pendirian sekolah –sekolah baru ini.
Pada saat yang sama dalam masyarakat sudah mulai tumbuh kesadaran dan kebutuhan
akan ilmu pengetahuan umum, sehingga kemudian Muhammadiyah mendirikan sekolah
di Krangkajen (1913) Lempuyangan (1915) dan Pasargede (1916). Disamping itu,
pada tahun 1920 Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Isalmiyah dipindah ke Suronatan
karena gedung yang lama tidak lagi cukup untuk menampung siswa yang jumlahnya
terus bertambah. Sekolah yang baru ini dikhususkan untuk siswa putra, sementara
anak-anak perempuan masih menempati sekolah lama di Kauman; kemudian sekolah
ini diberi nama baru Sekolah Pawiyatan Muhammadiyah. Sekolah-sekolah
Muhammadiyah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu umum tersebut sekaligus
dianggap setara dengan Volk Schools
(sekolah rakyat). Menigkatnya jumlah siswa yang belajar di sekolah-sekolah muhammadiyah
menuntut adanya sekolah guru. Pada tahun 1918, muhammadiyah membantu sebuah
madrasah yang disebut Qism al-Arqa dirumah K.H Ahmad Dahlan. Sekolah yang menerima
lulusan volk school atau mereka yang
memilki latar belakang pendidikan yang setara ini mengajar pendidikan agama dan
bahasa Arab. Lulusan dari sekolah ini diharapkan mampu mengajarkan agama di sekolah-sekolah
pemerintah atau sekolah-sekolah muhammadiyah. Pada tahun 1920, di
sekolah-sekolah muhammadiyah terdapat 787 siswa dan 32 guru.
Selain membangun sekolah-sekolah muhammadiyah yang dipimpin oleh K.H
Ahmad Dahlan juga mengembangkan program pendidikan agama untuk masyarakat umum,
baik yang dilakukan melalui pengajian-pengajian maupun kursus formal. Misalnya,
muhammadiyah menyelanggarakan kursus pendidikan agama untuk siswa sekolah
pemerintah yang tidak mendapatkan pendidikan agama. Muhammadiyah juga
menyelenggarakan mingguan atau bulanan disamping menjalankan penerbit yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan agama.
Perkembangan skolah muhammadiyah mengalami “booming” setelah tahun
1921. Pada tahun itu pemerintah mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan
pendirian cabang-cabang muhammadiyah di luar Yogyakarta .
Mengikuti diberlakukannya peraturan ini, Muhammadiayah melakukan
restrukturisasi organisasi, dimana urusan-urusan sekolah yang sebelumnya ditangani
langsung oleh K.H Ahmad Dahlan, kemudian ditangani oleh bagian sekolah. Sebagai
dampak positif dari adanya lembaga ini, sekolah-sekolah baru terus dibangun.
Pada tahun 1912 muhammabiyah membangun HIS Met de Qur’an, yang tingkatnya setar
dengan HIS pemerintah, tetapi mengajarkan pendidikan agama.
Setelah tahun 1920, sekolah-sekolah muhammadiayah didirikan di
beberapa daerah provinsi mengikuti cabang-cabang muhammadiyah. Verslag
Muhammadiyah (1923) menyebutkan bahwa tahun 1923 organisasi tersebut memiliki
14 cabang yang terdapat dilima provinsi: Yogyakarta, Jawa Timur, Jaea Barat,
dan Jakarta. Pada saat K.H Ahmad Dahlan meninggal (tahun 1923) jumlah siswa di sekolah-sekolah
muhammadiyah menigkat menjadi 1084 siswa dan jumlah guru sudah mencapai 48
orang.
Berkaitan dengan sekolah-sekolah muhammaditah tidak ada batas
berkaitan dengan jumlah alumni yang dapat disebutkan di sini satu persatu
secara keseluruhan. Diantara alumni muhammadiyah yang dapat disebutkan disini, Prof. D. Baroroh Baried yang disebut
dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan.
Ia adalah guru besar wanita pertama di universitas Gajah Mada di Yogyakarta.[38]
Meskipun demikian, dengan banyaknya sekolah dan perguruan
tinggi yang dimiliki Muhammadiyah, yang
dimiliki jurusan dan program studi yang bermacam-macam secara mudah dapat
dipastikan bahwa sekolah Muhammadiayah telah mengahasilkan alumni yang banyak
dengan beragam pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk karier mereka
sendiri dan juga untuk membangun masyarakat muslim Indonesia.
Selain melakukan kegiatan pendidikan sebagaimana tersebut diatas, K.H
Ahmad Dahlan juga berkiprah dalam pembinaan kehidupan beragama yang juga
berkaitan erat dengan bidang pendidikan dalam arti informal tapi aktual, karena
hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Semangat dan citc-cita pembaruannya dalam bidang keagamaan telah
tertanam sejak ia kembali dari Mekkah pada kunjungannya yang pertama. Ia
memperkenalkan cita-citanya mulai dari pembetulan posisi kiblat, arah orang
besembahyang. Sebelumnya, kiblat tersebut mengarah lurus ke barat. Kemudian, ia
mengorganisai kawan-kawannya di daerah Kauman untuk melakukan kerja sosial dnl
memperbaiki kesehatan lingkungan, seperti membersihkan jalan dan paritan.
Dilihat dari kondisi kehidupan keberagaman umat Islam sekarang, apa
yang dilakukan K.H Ahmad Dahlan dalam meperkenalkan semngat pembahuruannya
relative cukup sederhana. Namun, dilihat dari kondisi kehidupan keberagaman
umat waktu itu, pembetulan posisi kiblat kearah ka’bah dan mengajak masyarakat
menyadari lingkungan yang sehat merupakan kerja mendasar. Hal ini terbukti,
dimana ia mendapat tantangan keras dalam mengupayakan pembetulan posisi kiblat
Masjid Sultan di Yogyakarta. Karena tantangan tersebut, akhirnya ia gagal.
Adapun dalam masalah kesehatan, menurut K.H Ahmad Dahlan kesadaran umat baru sampai
pada tarap teoritis. Karenanya, agar kesadaran terhadap kesehatan lingukungan
menjadi suatu sikap hidup perlu digalakkan. Inilah gagasan asal dari semangat
dan cita-cita pembaruannya dalam bidang keagamaan.
Kegagalnnya dalam membetulkan posisi kiblat Masjid Sultan,
menyebabkan ia berusha membangun langgarnya sendiri dengan letak kiblat yang
tepat. Namun, kali ini pun ia mendapat tantangan keras dari penghulu. Kiai Haji
Mohammad Halil memerintahkan menghacurkan langgar tersebut. Karena begitu
kecewa, ia memutuskan untuk meninggalkan kota
kelahirannya, Yogyakarta . Untuk mengobati
kekecewaan dan menghilangkan keputusannya, seorang keluarganya membangun sebuah
langgar untuknya dengan jaminan bahwa K.H Ahmad Dahlan boleh mangajarkan dan
mempraktikan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Berselang beberapa lama, K.H
Ahmad Dahlan menggatikan ayahnya sebagai khatib di Masjid Sultan. Sejak itu, K.H
Ahmad Dahlan telah diakui sebagai seorang ulama oleh kiai-kiai lain. Karena
kejujuran dan kesungguhannya dalam pekerjaan ia memperoleh sebutan ketib amin, Khatib yang dipercaya.
Dalam perkembangannya selanjutnya kehadiran K.H Ahmad Dahlan dengan
organisasi berikut aktivitasnya disambut luas oleh masayarakat. Pengurus muhammadiyah
menerima permintaan dari bebagai tempat di Jawa untuk mendirikan
cabang-cabangnya. Untuk maksud ini anggaran dasar dari organisasi itu membatasi
diri pada kegiatan-kegiatan di Yogyakarta saja, haruslah lebih dahulu diubah.
Hal ini dilakukan pada tahun 1020 ketika bidang kegiatan muhammadiyah diluaskan
meliputi seluruh pulau Jawa dan pada tahun berikutnya (1921) keseluruh Indonesia .[39]
Perluasan organisasi muhammadiyah ini berlangsung demikian cepat
disebabkan oleh beberapa faktor. Pribadi K.H Ahmad Dahlan dan caranya ia
berpropaganda dengan memperlihatkan toleransi dan pengertian kepada
pendengarnya sangat memeberikan bantuan untuk memperoleh sambutan yang sangat
memuaskan. Mereka yang mengenal pembaruan di Mesir melihat pula pada muhammadiyah
sebagai jalan untuk mnyebarkan pemikiran-pemikiran pembaruan tersebut di Indonesia ,
dan oleh sebab itu mereka memberikan bentuannya kepada organisasi itu. K.H
Ahmad Dahlan sendiri, dan ini dapat dikemukakan secara pasti, telah mengetahui
tentang pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh pada tahu 1912.
BAB III
SEJARAH SINGKAT
A.
SOSIAL KULTURAL K.H. AHMAD DAHLAN
Hampir seluruh pemikiran Dahlan
berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat islam
waktu itu yang tenggelam dalam kemujudan
( stagnasi ) , kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin
diperparah dengan politik Kolonial Belanda yang sanga merugikan bangsa Indonesia .
Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide
pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya
pertama ke Mekah. Kemudian ide tersebut lebh dimantapkan setelah kunjungan yang
kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungan tersebut merupakan proses
terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupun tak langsung
dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di timur tengah pada awal abad XX.
Dampak memperkaya ide pembaharuannya,
pada kunjungannya tersebut Dahlan menyempatkan diri bertemu dan berdiskusi
dengan Rasyid Ridho. Bias dari kobtak intelektual ini dapat dilihat dari
dinamika inteluaktualnya. Bias tersebut antara lain ; Pertama, menjadikan
pemahamannya tentang ajaran islam semakin mendalam dan komprehensif. Kedua,
kencenderunagan yang hanya mempelajari kitab-kitab para ulama mulai bergeser
kearah pencarian dan penelaahan secara mendalam langsung dari sumber aslinya,
Al-qur’an dan Sunnahnya. Ketiga, bangkitnya semangat untuk memurnikan kembali
ajaran dan pemahaman umat terhadap ajaran islam sesuai dengan Al-Q!ur’an dan
Sunnah Rasulullah.
Secara umum, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat
diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu ; Pertama, berupaya memurnikan (purifakasi) ajaran islam dari khurafat,
tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah
umat islam. Kedua, mengajak umat islam untuk keluar dari jaring pemikiran
B. RIWAYAT HIDUP K.H. AHMAD DAHLAN
K.H.Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta , pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 25
februari 1923. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam
ilmu agama. Ayahnya bernama K.H.Abu bakar,beliau adalah seorang imam dan khatib
Masjid besar Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri
K.H.Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta
.Nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy.
.
Semasa kecilnya Muhammad Darwis tak pernah pergi sekolah, ia adalah putra zaman peralihan abad XIX-XX, disaat seorang putra pemangku masjid kesultanan Yogya dianggap haram bersekolah formal { Belanda } . Oleh karena itu ketika menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Pada usia 8 tahun ia telah lancar membaca Al-Qur’an hingga khatam. Menjelang dewasa ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu, diantaranya ia belajar fiqih pada K.H.Muhammad Shaleh, dan nahwu kepada K.H.Muhsin, keduanya adalah kakak ipar Darwis sendiri. Selain itu ia juga belajar ilmu falak pada K.H.R Dahlan, belajar ilmu hadits kepada K.H.Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh, Qira’at Qur’an kepada Syekh Amin dan Sayyid Bakri, serta beberapa guru lainnya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relative muda ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupayauntuk lebih mendalaminya.
Semasa kecilnya Muhammad Darwis tak pernah pergi sekolah, ia adalah putra zaman peralihan abad XIX-XX, disaat seorang putra pemangku masjid kesultanan Yogya dianggap haram bersekolah formal { Belanda } . Oleh karena itu ketika menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Pada usia 8 tahun ia telah lancar membaca Al-Qur’an hingga khatam. Menjelang dewasa ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu, diantaranya ia belajar fiqih pada K.H.Muhammad Shaleh, dan nahwu kepada K.H.Muhsin, keduanya adalah kakak ipar Darwis sendiri. Selain itu ia juga belajar ilmu falak pada K.H.R Dahlan, belajar ilmu hadits kepada K.H.Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh, Qira’at Qur’an kepada Syekh Amin dan Sayyid Bakri, serta beberapa guru lainnya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relative muda ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupayauntuk lebih mendalaminya.
Pada tahun 1889 M,ia dikawinkan
dengan Siti Walidah putri K.H.Muhammad Fadil, kepada penghulu kesultanan Yogya.
Jadi Siti Walidah itu masih saudara sepupu M.Darwis .
Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru. Pada tahun 1890
M Darwis berangkat ke Makkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim disana
selama setahun .Setelah musim haji selesai ia pulang, dan tiba di Yogyakarta
pada minggu pertama bulan safar 1309 H/ 1891 M. Dan berganti nama H.A.Dahlan.
Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903
M, ia berangkat lagi ke Makkah dan menetap selama dua tahun . Di kota ini K.H.Ahmad Dahlan
berhadapan langsung dengan tradisi pemikiran dan pembaharuan pemikiran islam ke
Makkah seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Pengamatan langsung terhadap daerah
pusat islam banyak mempengaruhi pemikiran K.H.A.Dahlan, sehingga mendorong
keinginannya untuk melakukan gerakan pembaharuan islam di Indonesia . Intensitasnya dalam
membaca majalah al manar dan beberapa majalah sejenis dari tanah Melayu dan
Sumatra barat, yang banyak memuat ide-ide Muhammad Abduh, berpengaruh terhadap
pemikiran K.H.A.Dahlan dari Yogyakarta . Ahmad
Dahlan bukan seorang penulis sebagaiman Muhammad Natsir. Oeh karena itu,
gagasan – gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk
itu ia lebih dikenal sebagai pelakudibandingkan sebagai pemikir. K.H. Ahmad
Dahlan juga menjadi khatib di masjid kesultanan Yogyakarta, disamping sebagai
guru di sekolah-sekolah pemerintah seperti Kweekschool di Yogyakarta
dan OSVIA di Magelang.
Ketika berusia empat puluh tahun,
1909, K.H.Ahmad Dahlantelah membuat trobodan dan strategi dakwah; ia memasuki
perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, beliau brharap dapat
memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu,karena
anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan
kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran
agama di sekolah-sekolah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama
yang diberikan Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi
Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah
secara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang
bersifat permanen. Melalui organisasi tersebut, selain sistem pengajaran dapat
diatur sedemikian rupa, juga lebih dapat terhindar dari kebangkrutan manakala
pendirinya telah meninggal, sebagaimana sistem pesantren tradisional ketika
kiayinya telah wafat.
Akhirnya, pada 18 November 1912, kiai
Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Organisasi
ini mempunyai maksud “ meyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad Saw. Kepada
penduduj bumi putara “, dan “ memajukan hal agama Islam kepada
anggota-anggotanya “. Untuk mencapai tujuan trsebut, organisasi berupaya
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mangadakan rapat-rapatdan tabligh di
manadibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakf dan masjid-masjid serta
menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat dan majalah-majalah.
Dalam mengarahkan kegiatan-kegiatan
organisasi ini dalam tahun-tahun pertama tidaklah mengadakan pembagian tugas
yang jelas di antara anggota pengurus. Hal ini semata-mata disebabkan oleh
ruang gerak yang masih sangat terbatas, yaitu sampai sekurang-kurangnya tahun
1917 pada daerah Kauman, Yogyakarta , saja.
Ahmad Dahlan sendiri aktif bertabligh, aktif pula mengajar di sekolah
Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk
melakukan berbagai macam kegiatan seperti sholat, dan dalam memeberikan bantuan
kepada fakir miskin dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk meraka. Sifat
sosial dan pendidikan dari muhammadiyah memanglah telah diletakkan di dalam
masa-masa awal tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. DASAR DASAR PENDIDIKAN K.H AHMAD DAHLAN
Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al
Quran, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar
filsafat baginya adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar
pada pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini diperoleh
pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu
penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih. K.H Ahmad
Dahlan adalah slah satu pembaharu pemikiran pendidikan Islam yang mampu
menagkap pesan Al’Quran dan mengkontekstualisasikannya yang bersifat alamiah
inilah yang menempatkan Muhammadiyahsebagai organisasi Islam. Pembaharuan
K.H.Ahmad Dahlan sering dikaitkan dengan pembaru Islam sebelumnya sebagaimana
yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah, Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, dll, namun gerakan amal usahanya yang bercorak taranformasional menjadi
cirri khas pembaharuan beliau.
Bila dilihat secara komparatif, epistemology beliau terbangun dai
dua aksioma, aksioma dasar dan aksioma operasional. Aksioma dasar yang
dijadikan acuan dalam melakukan domestifikasiIslam dalm ranah empiric adalah
Al’Quran dan As Sunnah Rasul. Dengan nalar logis, kritis dan berdimensi praksis
menjadi pilar utama sebagi operasioanlisasi aksioma dasar tersebut.
Dalam pemikiran beliau, akal suci sebagai metode dalam melaksanakan
ajaran agama. Sumber komplemanter untuk memahami agama terdiri dari hadits,
ijma dan Qiyas. Serta inovasi untuk memasukan ilmu-ilmu filosofis yang
rasional.
Fakta otentik yang monumental mewarnai pemikiran beliau seperti
kepiawaian beliau dalam ilmu falaq denganm memakai pendekatan hisab, kisah surat Al Ma’un serta
pendirian berbagai institusi social berupa rumsh sakit, ‘aisyiah, sekolah-sekolah,
dsb. Semua ini semakin mengukuhkan sosok beliau sebagai penggerak pendidikan.
Dapat disimpulkan bahwa pemikiran beliau dari pengkajian
Alqur’an,musyawarah dan amal. Menekankan perlunya penyatun dimensi ajaran
kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan dimensi ijtihad dan tajdid social
keagamaan. Menempuh system gerakan persyarikatan dalam mengaktualisasikan
cita-cita pembaharuannya. Bersikap responsive dan adatif dalam menhadapi
perkembanagan zaman.
Dengan muhammadiyah beliau berhasil mengembangkan lembaga pendidikan
yang beragam, dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi, dan dari
berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum. Beliu juga
memperkenalkan manajemen pendidikan ke dalam system pendidikan yang
dirancangkannya.
Sekali lagi yang menjadi landasan dasar K.H Ahmad Dahlan dalam
pemikiran pendidikannya adlah kembali ke Al Qur’an dan hadis, serta dengan
mengoperasionalkan nalar logis, kritis dan dimensi praksis.
B. KONTRUKSI PENDIDIKAN
K.H. AHMAD DAHLAN
Dalam dunia pendidikan Islam khusunya Indonesia, K.H Ahmad Dahlan memberikan kontribusi yang tidak
sedikit, diantaranya pengabdopsian substansi dan metodologi pendidikan agama,
memberikan muatan pengajaran Islam pada sekolah-sekolah umum modern Belanda
menerapkan system kooperatif, dst. Kesemuanya tercangkup dalam usaha beliau
sebagai persentasi pendidikan integralitik yang merupakan system pendidikan
yang melatih persaan murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap
hiduo, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis
pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar
akan nilai etnis Islam. K.H Ahmad Dahlan memberikan ide klasik dalm pendidikan,
namun tetap menrik perhatian karena merelisasikan ke tataran praksis selalu
tidak mudah.
Kontruksi pendidikan K.H Ahmad Dahlan dapat
dilihat pada kegiatan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Dalam bidang
pendidikan, muhammadiyah melanjutkan model sekolah ysng digabungkan dengan
sistem pendidikan gubernemen ( sekolah Belanda ).. Disamping sekolah desa di kampungnya
sendiri, K.H Ahmad Dahlan juga membuka sekolah yang sama di kampung Yogya yang
lain. Hubungan K.H Ahmad dahlan dengan murid-murid sejkolah pendidikan guru
dilanjutkan terus. Upaya beberapa waktu dia masih mengajar agama di sana , walaupunhanya
diizinkan di luar jam sekolah. Sedangkan beberapa anggota Muhammadiyah lainnya,
setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama, mendapatkan izin mengajar pada
sekolah calon pegawai di Magelang.
K.H. Ahmad Dahlan sebagai pemimpin dalam Muhammadiyah sangat dekat
dan memperhatikan anak-anak remaja dan pemuda. Kedekatan dan kepedulian beliau
Disamping mendirikan sekolah yang mengikuti model gubernemen,
muhammadiyah dalam angka waktu singkat juga mendirikan sekolah yang lebih bersifat
agama seperti Madrasah Diniyah. Sekolah seperti Madrasah Diniyah ini dimaksudkan
untuk mengganti dan memperbaiki pemgajian Alquran yang tradisional. Untuk
pengajian kitab, muhammadiyah juga segera mencari penggantinya sesuai dengan
tuntutan jaman modern, usaha tersebut dapt dianggap sebagai realisasidari
rencana sarekat islam yang semenjak tahun 1912 berusaha mendirikan sekolah
pendidikan agama, yang dapat menyaingi sekolah pendidikan gubernemen.
Pada tanggal 8 Desember 1921, muhammadiyah sudah dapat mendirikan
pondok muhammadiyah sebagai sekolah pendidikan guru agama. Dalam sekolah
tersebut, pelajaran umum diberikan oleh dua orang guru dari sekolah pendidikan (kweekscol),
sedangkan K.H. Ahmad Dahlan sendiri dan beberapa orang guru lainnya memberkan
pelajaran agama yang lebih mendalam.
C. KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM K.H. AHMAD DAHLAN
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat
islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah
melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama
dalam proses pembangunan uamt. Upaya
mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini
meliputi :
1. Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada
usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama,
luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari
tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan
pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren
hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama.
Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang
didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan
tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai
agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu
umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa
tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai
ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi
KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan
dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah
yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan
ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
2. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran
individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan
gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
3. Model Mengajar
Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak
menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama
tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus
diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
§ Cara
belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah
Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
§ Bahan
pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah
Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
§ Hubungan
guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena
para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah
Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
[1] Abdul
Munir Mulkhan, Etika Welas
Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan, (Artikel publikasi)” Yogyakarta
[3] Kartini Kartono, Pengantar
Metodelogi Riset Sosial , ( Bandung
: Mandar Maju, 1996) h. 30
[4] Suharsimi Arikunto, Prosedure
Penelitian Suatu Pendekatan Praktis , ( Jakarta : Rineka Cipta, 1996 ),
h.234
[5] Sutrisno Hadi , Metodologi
Research Jilid I , ( Yogyakarta : Andi Offset. 1997) , h. 35
[6] Sudarminta, Epitemologi Dasar
Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta
:Pustaka Filsafat, 2002.hl 18
[7] Dick Hartoko, Kamus Populer
Filsafat, Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2002.Cet. 3. hl 22
[8] Asmoro Achmadi, filsafat Umum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.Cet.
5. hl 14
[10] Omar Mohammad Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, h. 399
[12] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung : Al-Ma’arif, 1989), h. 19
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992), h.
19
[14] Depag RI , Al-Qura’an
dan Terjemahannya, (Jakarta
: Pustaka Amani, 2005), h.2
[15] Ibid , h.355
[16] Abdullah nashih ulwan, Pendidikan Agama Dalam Islam, (Jakarta
amani, 1995), jld 1. h 123.
[17] M. Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), h. 33
[18] Muhammad Fadhil al-Jamaly, Nahwat Tarbiyat Mukminat, h. 17
[19] Mohammad Athiyah al-Abrasyi,
Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,
Terj Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 17
[20]Teks asli dari rumusan kongres tersebut tentang tujuan pendidikan
islam adalah ; Education should aim at
the ballanced growth of total personality of man through the training of man’s
spirit, intellect of rasional self, feeling, and bodily sense. Education should
therefore cater for growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual,
imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and
collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of
perfection. The ultimate aim of education lies in the realization pf complete
submission to Allah in the level of individual, the community and humanity at large. Second World
Confrence and Curriculla, Recommendation, 15 th to 20 th, March 1980 Islamabad . Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan,
h.206-7
[21] Abdurahman saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-qur’an
Terj. HM. Arifin, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), h. 197
[22] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta : Bina Aksara, 1987), h .97
[23] M. Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), h .99
[25] Lihat barnadib, Op. Cit
,h 113
[26] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi
Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1994), h.221
[27] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma
Intelektual Muslim, (Yogyakarta : Sipress,1993), h. 66
[28] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma
Intelektual Muslim, h. 99
[30] Depag RI , Al-Qura’an
dan Terjemahannya, (Jakarta
:Pustaka Amani, 2005), h.58
[32] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah
Jalan Baru Islam ;Rekonstruksi Pemikiran Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung
: Mizan, 1986), h.76
[34] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Peta
Bumi Intelektualisme, h.218
[35] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma
Intelektual Muslim, (Yogyakarta : Sipress,1993), h.146
[38] Nata abudin, op. cit ,
hlm. 106
0 komentar:
Posting Komentar