MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu
organisasi sosial keagamaan terbesar dan terpenting yang ada di Indonesia
adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah
1330 H bertepatan
dengan tanggal 18 November 1912M di Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan dengan tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
dengan tanggal 18 November 1912M di Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan dengan tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Jauh sebelum
Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan telah merintis
pendidikan modern yang memadukan antara pendidikan Barat yang hanya
mengajarkan “ ilmu-ilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan
“ilmu-ilmu agama”.Gagasan pembaharuan Muhammadiyah di dalamnya sudah termasuk
gagasan pembaharuan di bidang pendidikan. KH. Dahlan melihat adanya
problematika obyektif yang dihadapi oleh pribumi yaitu terjadinya
keterbelakangan pendidikan yang takut karena adanya dualisme model pendidikan
yang masing-masing memiliki akar dan kepribadian yang saling bertolak belakang.
Di satu pihak pendidikan Islam yang berpusat di pesantren mengalami
kemunduran karena terisolasi dari perkembangan pengetahuan dan
perkembangan masyarakat modern, di pihak lain sekolah model Barat bersifat
sekuler dan nasional mengancam kehidupan batin para pemuda pribumi karena
dijauhkan dari agama dan budaya negerinya.
Sejarah
perkembangan kehidupan manusia, pendidikan telah menjadi semacam teknologi yang
memproduksi manusia masa depan paling efektif. Dari fenomena perkembangan yang
terakhir, memberikan petunjuk bahwa pendidikan bukan saja menjadi alat suatu
lembaga atau suatu masa dalam berbagai proyeksi berbagai macam tujuan mereka,
pendidikan bahkan telah menjadi kebutuhan manusia sendiri secara massal,
karenanya pendidikan yang diterima oleh manusia hendaknya pendidikan yang
seimbang antara pendidikan lahir dan batin, antara pendidikan dunia dan
akhirat, sehingga manusia dalam memperoleh pendidikan tersebut memiliki
keseimbangan dalam mengelola kehidupannya untuk dapat mencapai tujuan yang
ideal yakni “fi al-dunya hasanatan wa fi al-akhirati
hasanatan”. Tujuan ideal inilah yang digagas oleh KH. Ahmad Dahlan dalam
hal perjuangan di bidang pendidikan yang menjadi warna pendidikan Muhammadiyah.
Gagasan
pembaharuan di bidang pendidikan yang menghilangkan dikotomi pendidikan umum
dan pendidikan agama pada hakikatnya merupakan terobosan besar dan sangat
fundamental karena dengan itu Muhammadiyah ingin menyajikan pendidikan yang
utuh, pendidikan yang seimbang yakni pendidikan yang dapat melahirkan manusia
utuh dan seimbang kepribadiannya, tidak terbelah menjadi manusia yang berilmu
umum saja atau berilmu agama saja.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah
sejarah Muhammadiyah?
2.
Bagaimanakah
sejarah pendidikan Muhammadiyah ?
3.
Bagaimanakah
perkembangan pendidikan Muhammadiyah di Indonesia?
4.
Apa sajakah garis besar program
pendidikan Muhammadiyah?
5.
Bagaimanakah
perbedaan pendidikan Muhammadiyah dengan pendidikan pada umumnya?
C. TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui sejarah Muhammadiyah.
2.
Untuk
mengetahui bagaimanakah sejarah pendidikan Muhammadiyah.
3.
Untuk
mengetahui perkembangan pendidikan Muhammadiyah di Indonesia.
4.
Untuk
mengetahui garis besar program pendidikan Muhammadiyah.
5.
Untuk
mengetahui perbedaan pendidikan Muhammadiyah dengan dengan pendidikan pada
umumnya.
D. MANFAAT
PENULISAN
Sistem
pendidikan Muhammadiyah merupakan sistem pendidikan yang berbasis ke-Islaman,
di mana ditegakkannya peraturan-peraturan agama yang telah keluar dari
jalurnya. Melalui sistem pendidikan Muhammadiyahlah merupakan salah satu cara
untuk meluruskan sesuatu yang telah bengkok, sesuatu yang telah keliru dalam
pemahaman sebagian besar masyarakat Indonesia mengenai Islam yang sebenarnya,
di sinilah pentingnya pendidikan yang berbasis ke-Islaman dan tentunya sistem
pendidikan Muhammadiyah yang dimaksud. Diharap dengan sistem pendidikan
Muhammadiyah ini selain dapat memperbaiki moral dan prilaku anak bangsa juga
pastinya dapat dapat memperbaiki sesuatu yang telah rusak dalam ajaran agama
Islam
AB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
MUHAMMADIYAH
Kauman, sebuah daerah di kelurahan
Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, sekitar 500 meter ke arah
selatan dari ujung kawasan Malioboro. Di tempat inilah Muhammadiyah lahir pada
8 Dzulhijjah 1330, bertepatan dengan tanggal 18 November 1912. Maksud dan
tujuannya ialah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga
dapat mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Faktor-faktor
lain yang mendorong K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah antara
lain:
1. Ajaran Islam dilaksanakan tidak secara murni bersumberkan Al Qur’an dan
Hadist, tetapi tercampur dengan perbuatan syirik dan khurafat.
2. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak lagi dapat memenuhi tuntunan zaman,
akibat dari terlampau mengisolir diri dari pengaruh luar.
3. Keadaan umat yang sangat menyedihkan dalam bidang sosial, ekonomi, politik,
kultural, akibat adanya penjajahan.
Semangat yang ditunjukkan
Muhammadiyah yang lahir untuk mementingkan pendidikan dan pengajaran yang
berdasarkan Islam, baik pendidikan di sekolah/madrasah ataupun pendidikan dalam
masyarakat. Maka tidak heran sejak berdirinya Muhammadiyah membangun
sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, bahkan juga
menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah yang berdasarkan islam. Di antara
sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan jasanya ialah:
1. Kweekschool Muhammadiyah Yogya.
2. Mu’allimin Muhammadiyah, Solo, Jakarta.
3. Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Zu’ama/Za’imat Yogyakarta.
5. Kuliyah Mubaligin/mubalighat, Padang Panjang.
6. Tablighschool Yogyakarta.
7. H.I.K Muhammadiyah Yogya.
Dan masih banyak lagi
sekolah/madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini, semua sekolah/madrasah
ini didirikan pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, yang tersebar
pada tiap-tiap Cabang Muhammadiyah seluruh kepulauan Indonesia.
Pada masa Indonesia merdeka
Muhammadiyah mendirikan sekolah/madrasah berlipat-lipat ganda banyaknya dari
masa penjajahan Belanda dahulu. Jika di jumlahkan ada 682 buah Madrasah dan 877
buah Sekolah Umum dan totalnya 1559 buah madrasah dan sekolah umum
Mula-mula K.H Ahmad Dahlan memberi
pelajaran agama islam di Kweekschool Jetis, sekolah guru pada zaman penjajahan
Belanda meskipun pelajaran itu hanya diberikan diluar pelajaran-pelajaran yang
formal. Sistem yang beliau gunakan sudah sangat pedagogis. Di samping
memberikan pelajaran islam di Kweekschool. K.H Ahmad Dahlan mendirikan
sekolah-sekolah yang sebagian mengikuti teknik sekolah-sekolah kursi, meja, kapur
dan lain-lain tetapi diberi juga pelajaran agama. Di samping itu didirikan juga
madrasah-madrasah yang merupakan modernisasi dari pesantren-pesantren yang
telah ada kitab-kitab, metode mengajarnya, latihan dan ujian diambil dari
sekolah model barat. Dengan demikian Muhammadiyah berhasil mendekatkan dua
golongan rakyat, yakni kaum intelek Indonesia yang memperoleh
didikan model Barat dengan rakyat dengan rakyat selebihnya yang melulu
mendapatkan pelajaran agama, dua golongan yang sudah mulai terpisah dan
tercerai.
Muhammadiyah
telah mengadakan pembaharuan pendidikan agama dengan jalan modernisasi dalam
sistem pendidikan, menukar sistem pondok pesantren dengan sistem pendidikan
yang modern yang sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman. Mengajarkan agama
dengan cara yang mudah di faham, didaktis, dan pedagogis, selalu menjadi
pemikiran dalam
Muhammadiyah.
Selain jasa
di bidang pendidikan, ada pula usaha dan jasa-jasanya yang besar lainnya yaitu
: mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut mestinya.
Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap ke jurusan
timur dan orang-orang sembahyang di dalamnya menghadap ke arah barat lurus.
Padahal kiblat yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa haruslah miring ke
arah utara ± 24 derajat dari sebelah barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan
tentang ilmu falak itu orang tidak boleh menghadap kiblat menuju barat lurus,
melainkan harus miring ke utara ± 24 derajat. Oleh sebab itu K.H Ahmad Dahlan
mengubah bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju arah kiblat yang betul.
K.H Ahmad Dahlan juga mengajarkan agama islam secara populer, bukan saja di
pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain seperti mendatangi berbagai
golongan bahkan dapat dikatakan bahwa K.H Ahmad Dahlan adalah bapak mubaliq
islam di Jawa Tengah. K.H Ahmad Dahlan memberantas bit’ah-bit’ah dan khurafat
serta adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
B. SEJARAH
PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Berdirinya
Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya
Muhammadiyah, Gerakan Sosial, Keagamaan Modernis mengatakan bahwa Muhammadiyah
didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan ajaran
Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal adalah faktor-faktor
yang berada di luar Islam. Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu
faktor internal yang mendasari Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada
masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem
pendidikan yang berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan
tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan
Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah
pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih
diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai
dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai satu
persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran,
kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran
secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk
bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku
masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam
pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif,
membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai
adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya
hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah
pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan
pelajaran agama tidak diberikan.
Bila dilihat
dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan
tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan
pelajar yang minder dan terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat
dalam menjalankan perintah agama, sedangkan tipe kedua menghasilkan para
pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu
tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama.
Maka atas dasar dua sistem
pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan
Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal yang positif dari dua sistem pendidikan
tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang
berkenaan secara ideologis dan praktis. Aspek ideologisnya yaitu mengacu kepada
tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu untuk membentuk manusia yang berakhlak
mulia, pengetahuan yang komprehensif, baik umum maupun agama, dan memiliki
kesadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyarakat (perkembangan filsafat
dalam pendidikan Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan aspek praktisnya
adalah mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran dan
kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern. Maka inilah sejarah awal
berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal
berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir
yang mengedepankan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan gerakannya
bukan ulama atau pemikir yang say yes pada
kemapanan yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua
sistem tersebut coba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta
penuh percaya diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.
Meskipun tema pembaharuan pendidikan
Muhammadiyah memperoleh perhatian yang cukup serius dari para pengkaji sejarah
pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada satu karya pun yang menunjukkan
bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh
Muhammadiyah. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan dengan beberapa
pendekatan:
1. Pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif Islam
(al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema pendidikan, kemudian
dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat
pendidikan;
2. Pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab
pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan;
3. Pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi
persyarikatan;
4. Pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep dan
praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci dalam Muhammadiyah
lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis.
Corak pendekatan keempat yang
dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan Kyai Dahlan, pendiri
Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum merumuskan landasan
filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki minat yang besar terhadap
kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat tertentu telah memberikan
jalan lempang untuk perumusan satu filsafat pendidikan. K.H Ahmad Dahlan
(1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila
mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk
menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak
merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato
terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena
menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui
filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan
tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu:
1. Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat
dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan
istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci;
2. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia;
3. Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang
hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi Kyai Dahlan adalah pencari
kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar
sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka
lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan
ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model"
dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari
suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi
golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan
paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih
menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan
diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada
gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya.
Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun
1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang
dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam
semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah
menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal
ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang
hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan
pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja
keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua
sistem pendidikan itu.
Cita-cita pendidikan yang digagas
Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai
“ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka
mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua
tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang
sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan
umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena
umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak
dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang
model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih
terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya
warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu,
masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu
pendidikan atau psikologi perkembangan.
Dalam rangka menjamin kelangsungan
sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya
mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang
dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh
klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya
secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan
supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan
isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat
berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah,
yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un
sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan.
Anehnya, yang diwarisi oleh warga
Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga
tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan
dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan
adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk
atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks
pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi
ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya,
sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik
adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di
dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran
mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok
pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang
terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah
Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model
pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak
terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
C. PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Cita-cita
pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang
mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim
yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam
rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan
dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang
sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan
umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena
umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak
dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang
model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih
terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya
warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu,
masalah teknik pendidikan bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu
pendidikan atau psikologi perkembangan.
Dalam rangka
menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya
Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode
pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses
penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada
santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat
itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir miskin, dan harus
mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru
diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik
Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un
sebagaimana dipraktekkan Kyai Dahlan.
Anehnya,
yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan
cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima
inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya,
yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan
perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap
api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik
yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali
menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di
Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem
pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan,
sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya
madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan
pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan
ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan.
Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah
sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
Satu dekade
terakhir ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga
Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK)
hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan
kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini
hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul
Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang
dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di situ
pada umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu
akademik yang tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan metode
pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil
luas.
Apabila
Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah/universitas unggul maka
harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis
pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi
lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya
yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan orientasi filosofis ini
jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan nasional yang
sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena setiap ganti
menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada pengembangan iptek
maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan kebijakan
pemerintah. Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan
kebebasan berpikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi
manusia-manusia yang unggul. . Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan
ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Filsafat yang dianut dan
diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai
konsekuensinya logik, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan
filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini
dan dianutnya
Jika
menengok sekolah atau universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya
itu sama persis dengan sekolah atau universitas negeri ditambah materi al-Islam
dan kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan
itu malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan
melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan
kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi
umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya,
evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an, serta bahasa dengan praktek langsung
tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini.
Perhatian
dan komitmen Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tidak pernah surut, hal ini
nampak dari keputusan-keputusan persyarikatan yang dengan konsisten dalam
setiap muktamar (sebagai forum tertinggi persyarikatan Muhammadiyah) senantiasa
ada agenda pembahasan dan penetapan program lima tahunan bidang pendidikan,
sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dalam lima belas tahun
terakhir (tiga kali muktamar) dapat dilihat bahwa Muhammadiyah senantiasa
memiliki agenda yang jelas berkenaan dengan program pendidikan,
keputusan-keputusan dalam muktamar sebagaimana dapat kita lihat sebagai
berikut:
Rincian program bidang pendidikan keputusan Muktamar 43 Banda Aceh:
1. Peningkatan
kualitas Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah dilakukan dengan empat tema
pokok, yaitu pengembangan kualitas, pengembangan keunggulan, pengembangan
kekhasan program, dan pengembangan kelembagaan yang mandiri. Empat tema pokok
ini diimplementasikan dalam proses belajar mengajar agar secara terpadu
merupakan aktivitas alih pengetahuan, alih metode dan alih nilai.
2.
Menata kembali kurikulum Pendidikan dasar dan Menengah Muhammadiyah pada semua
jenjang dan jenis sekolah Muhammadiyah yang meliputi pendidikan al-Islam
Kemuhammadiyahan dan sebagai kekhasan sekolah Muhammadiyah, spesifikasi
setiap wilayah sesuai kebutuhan dan kondisi setempat, pendidikan budaya dan
seni yang bernafas Islam.
3.
Menyusun peta Nasional Pendidikan Muhammadiyah yang memuat spesifikasi
tiap wilayah/daerah, agar didapatkan relevansi pendidikan dengan
kebutuhan masyarakat setempat.
4. Merespon
secara positif pengembangan “sekolah unggulan” dengan tetap mengembangkan
kekhasan pendidikan Muhammadiyah, terutama dalam pengembangan kurikulum dan
proses belajar mengajar, sehingga misi pendidikan Muhammadiyah tetap
terlaksana.
5.
Dalam pengembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), penyelenggaraan
pendidikan diorientasikan kepada peningkatan kompetensi lulusan yang elastis
dan antisipatif terhadap tuntutan dan kebutuhan masa depan, yang meliputi
kompetensi akademik, kompetensi profesional, kompetensi menghadapi perubahan,
kompetensi kecendekiaan dan kompetensi iman dan takwa.
6.
Mengarahkan program PTM untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
relevan dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan masa depan.
7.
Kaidah pendidikan dasar dan menengah serta kaidah PTM perlu
disempurnakan, sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat.
8. Koordinasi
dan pengawasan pelaksanaan kaidah pendidikan dasar dan menengah serta
perguruan tinggi perlu ditingkatkan.
9.
Meningkatkan dan memantapkan kerja sama antara Majelis Dikdasmen dan Majelis
Dikti.
10.Mengupayakan
beasiswa Muhammadiyah bagi para siswa dan atau mahasiswa yang berprestasi.
11.Melalui
amal usaha pendidikan meningkatkan kualitas kader-kader ulama yang tersebar di
seluruh pelosok Indonesia.
12.Mengembangkan
berbagai lembaga pendidikan khusus seperti pesantren dan madrasah
diniyah, taman pendidikan Al-Qur’an, serta taman kanak-kanak Al-Qur’an.
Penanganan pondok pesantren dan madrasah menjadi tanggung jawab dan wewenang
dari Majelis Dikdasmen.Rencana Strategis
Pendidikan Muhammadiyah Membangun kekuatan Muhammadiyah dalam bidang
pendidikan dan pengembangan sumber daya insani, ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek), dan eksplorasi aspek-aspek kehidupan yang bercirikan Islam, sehingga
mampu menjadi alternatif kemajuan dan keunggulan di tingkat nasional atau
regional.
Keputusan
setiap Muktamar berkenaan dengan program pendidikan bukan hanya sekedar daftar
keinginan, akan tetapi program-program tersebut merupakan bentuk komitmen
persyarikatan Muhammadiyah dalam dunia pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, keputusan-keputusan muktamar berkenaan dengan bidang pendidikan
tersebut menggambarkan betapa Muhammadiyah menjadikan lembaga pendidikan
sebagai pilar yang strategis dalam mendukung tujuan Muhammadiyah.
Program-program tersebut juga mencerminkan dinamika pendidikan yang dikelola
oleh persyarikatan Muhammadiyah.
D. GARIS BESAR PROGRAM PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
(1).
Membangun system informasi kekuatan Sumber Daya Insani (SDI) Muhammadiyah dalam
bidang Iptek.
(2).
Menyusun road map pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi Muhammadiyah.
(3).
Memobilisasi kekuatan Muhammadiyah dalam bidang Iptek melalui pusat-pusat
keunggulan yang berbasis lembaga pendidikan Muhammadiyah.
(4). Membangun
cetak biru (blue print) pendidikan Muhammadiyah untuk menjawab
ketertinggalan pendidikan Muhammadiyah selama ini, dan sebagai langkah
antisipasi bagi masa depan pendidikan yang lebih kompleks.
(5). Menegaskan
posisi dan implementasi nilai Islam, Kemuhammadiyahan dan kaderisasi dalam
seluruh system pendidikan Muhammadiyah.
(6).
Mempercepat proses pengembangan institusi perndidikan Muhammdiyah sebagai pusat
keunggulan dengan menyusun standar mutu.
(7).
Menjadikan mutu sebagai tujuan utama bagi seluruh usaha pengembangan amal usaha
pendidikan Muhammadiyah.
(8).
Mengintegrasikan pengembangan amal usaha pendidikan Muhammadiyah dengan program
pengembangan masyarakat.
(9).
Menyusun system pendidikan Muhammadiyah yang berbasis al-Qur’an dan sunnah.
(10).
Mengembangkan program-program penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan,
ilmu pengetahuan dan teknologi dan berbagai aspek kehidupan yang penting dan
strategis sebagai basis bagi pengambilan kebijakan dan pengembangan kemajuan
persyarikatan.
(11).
Mengembangkan jaringan dan kerjasama lembaga-lembaga serta pusat-pusat
penelitian dan pengembangan di lingkungan persyarikatan.
E. PERBEDAAN
PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DENGAN PENDIDIKAN PADA UMUMNYA
Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang
lain. Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman dan
tertuju pada terbentuknya manusia yang berakhlakul karimah serta taat dan
tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak terlalu
memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang menjadi
prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan indrawi semata.
Indonesia adalah sebuah negara besar
yang memiliki penduduk ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah negara yang
mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia
Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Jika
dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia
dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut
sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila
mampu dioptimalkan peran dan kualitasnya. Jumlah yang sangat besar tersebut
juga mampu menjadi kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar
di atas juga akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan
nasional.
Namun realitas membuktikan lain.
Jumlah manusia Muslim yang besar tersebut ternyata tidak memiliki kekuatan
sebagaimana seharusnya yang dimiliki. Jumlah yang sangat besar di atas belum
didukung oleh kualitas dan kekompakan serta loyalitas manusia Muslim terhadap
sesama, agama, dan para fakir miskin yang sebagian besar (untuk tidak
mengatakan semuanya) adalah kaum Muslimin juga. Kualitas manusia Muslim belum
teroptimalkan secara individual apalagi secara massal. Kualitas manusia Muslim
Indonesia masih berada di tingkat menengah ke bawah. Memang ada satu atau dua
orang yang menonjol, hanya saja kemenonjolan tersebut tidak mampu menjadi
lokomotif bagi rangkaian gerbong manusia Muslim lainnya. Apalagi bila berbicara
tentang kekompakan dan loyalitas terhadap agama, sesama, dan kaum fakir miskin
papa. Sebagian besar dari manusia Muslim yang ada masih berkutat untuk
memperkaya diri, kelompok, dan pengurus partainya sendiri. Masih sangat sedikit
manusia Muslim Indonesia yang berani secara praktis bukan hanya orasi belaka
memberikan bantuan dan pemberdayaan secara tulus ikhlas kepada sesama umat
Islam, khususnya para kaum fakir miskin papa.
Paradoksal fenomena di atas, yakni
jumlah manusia Muslim Indonesia yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki
kekuatan ideologi, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, dan
kekuatan gerakan adalah secara tidak langsung merupakan dari hasil pola
pendidikan Islam selama ini. Pola dan model pendidikan Islam yang dikembangkan
selama ini masih berkutat pada pemberian materi yang tidak aplikatif dan
praktis. Bahkan sebagian besar model dan proses pendidikannya terkesan
“asal-asalan” atau tidak profesional. Selain itu, pendidikan Islam di Indonesia
negara tercinta mulai tereduksi oleh nilai-nilai negatif gerakan dan proyek
modernisasi yang kadang-kadang atau secara nyata bertentangan dengan ajaran
Islam itu sendiri.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan
gambaran secara global tentang pendidikan Islam Indonesia saat ini sebagai
landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa
depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada
asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab
atau “biang keladi” terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara
Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat “amburadul” dan tidak
“karu-karuan”.
Kalau kita kembali kepada sejarah
pendidikan Islam di Indonesia, maka kita akan temukan bahwa pada awal munculnya
pendidikan Islam tidak terlepas dari peran para pembawa Islam ke Indonesia
sendiri. Jadi sebelum pendidikan Islam ada, terlebih dahulu Indonesia dimasuki
oleh para penyebar Islam, walaupun menurut kajian sejarah bahwa para ahli
berbeda pendapat tentang waktu dan pembawanya masuknya Islam ke Indonesia. Ada
yang mengatakan pada abad ke-7 seperti yang dikatakan HAMKA dalam Seminar
Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia (1963). Ada lagi yang mengatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Teori ini dicetuskan oleh
seorang orintalis Snouck Hurgronje, yang belajar agama puluhan tahun di Mekah
dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Terlepas dari perbedaan tersebut,
pendidikan Islam di Indonesia telah ada semenjak Islam masuk ke Indonesia.
Yaitu, melalui dakwah mereka dalam menyebarkan Islam, walaupun bentuknya tidak
formal seperti sekolah-sekolah yang ada sekarang. Seperti, sambil berdagang
mereka mendakwahkan Islam. Seiring perjalanan sejarah, pendidikan Islam semakin
tahun semakin mengalami perkembangan. Apalagi setelah muncul dua organisasi
besar Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ (NU). Kedua organisasi ini bergerak
dalam bidang dakwah melalui pendidikan, ada yang dengan sistem klasik dan ada
yang modern.
Misalnya, Muhammadiyah pada awal
berdirinya 18 November 1912 M mendirikan madrasah pertamanya yaitu Al-Qism
Al-Arqo’. Madrasah ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah
sendiri, dan sekarang berubah nama menjadi PP. Muallimin Muallimat Jogjakarta.
Pendidikan semacam ini didirikan oleh Muhammadiyah untuk mengimbangi pendidikan
kolonial Belanda yang cenderung jauh dari nilai-nilai keislaman, bahkan
cenderung meracuni bangsa.
Sedangkan NU yang didirikan tanggal
31 Januari 1926 M, walaupun menurut sejarah pernah masuk dan menjadi partai
politik dan menjadi kontenstan dalam pemilu 1955 dan 1971, organisasi ini tetap
menaruh perhatian besar terhadap pendidikan Islam. Memang NU tidak bergerak
melalui madrasah-madrasah atau sekolah umum seperti Muhammadiyah, akan tetapi
mayoritas pendidikan Islam di NU banyak berkembang di dalam pesantren yang di
gunakan sebagai tempat pengkaderan.
Walaupun jalan yang ditempuh oleh
kedua organisasi ini dalam mengembangkan pendidikan Islam berbeda, akan tetapi
tetap tujuan utamanya sama, yaitu sama-sama ingin menjadikan Islam tetap berkembang
di Indonesia melalui cara-cara yang menurut masing-masing biasa dilakukan.
Sekarang kita melihat kondisi pendidikan Islam di era modern ini, apakah metode
atau jalan yang ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU, yang dulunya berbeda
tersebut sekarang bisa mengarah pada persatuan. Dan menimbulkan kesadaran pada
masing-masing?.
Kita lihat sekarang Muhammadiyah
yang pada mulanya tidak terlalu berkecimpung dalam dunia pesantren dalam
mengembangkan pendidikan Islam, akan tetapi sekarang sudah mulai memperhatikannya
bahkan sudah banyak pesantren-pesantren yang didirikan Muhammadiyah. Kesadaran
ini muncul setelah nampak di tengah-tengah Muhammadiyah apa yang dinamakan
dengan “krisis ulama’. Relevan dengan ini ialah pendapat Karim yang dikutip
oleh Khozin M.Si (2006) dalam bukunya Sejarah
Pendidikan Islam “efektivitas pendidikan dan pengajaran agama
melalui pesantren juga telah disadari oleh Muhammadiyah yang
sepanjang sejarahnya menaruh perhatian pada sistem pendidikan modern”.
Adapun NU yang pada mulanya banyak mencurahkan
perhatiannya terhadap dunia pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam,
sekarang sudah mulai sadar akan pentingnya dunia sekolah yang cenderung modern
dan mengikuti perkembangan zaman. Apalagi di era yang teknologinya serba
canggih, Realitas saat ini Keterpurukan dan keterbelakangan pendidikan nasional
saat ini tentu mempunyai dampak yang signifikan terhadap pendidikan Islam.
Walaupun pada dasarnya secara historis saat ini pendidikan Islam mengalami
perubahan-perubahan dan perkembangan yang signifikan juga dibanding dengan
kondisi pendidikan Islam sebelumnya yang berlaku di Indonesia.
Apalagi setelah munculnya SKB 3
Mentri, yaitu Menteri Pendidikan, Menteri Agama dan Menteri Kebudayaan. Dengan
ketentuan bahwa ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah
umum yang setingkat, Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum
setingkat lebih atas, dan madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang
setingkat begitupun sebaliknya.
Walaupun demikian, tidak dapat
dinafikan bahwa masih banyak lembaga-lembaga Islam yang jauh tertinggal.
Menurut Abd. Assegaf Pendidikan Islam di Indonesia saat ini bisa dibilang
mengalami intellectual deadlock (kebuntuan intelektual).
Indikasinya adalah minimnya upaya pembaharuan dalam
pendidikan Islam, Praktek pendidikan Islam selama ini masih memelihara budaya
lama yang tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis
terhadap isu-isu aktual, model pembelajaran yang masih menekankan pada
pendekatan intelektualisme verbalistik dan mengenyampingkan urgensi interactive
education and communication antara guru dan murid, orientasi pendidikan
Islam lebih menitikberatkan pada pembentukan insan sebagai abdun (hamba) bukan
pada fitrahnya sebagai khalifah di bumi.
Melihat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, Maka pendidikan Islam dituntut
untuk bergerak dan mengadakan inovasi-inovasi dalam pendidikan. Mulai dari
paradigma, sistem pendidikan dan metode yang digunakan. Ini dimaksudkan agar
perkembangan pendidikan Islam tidak tersendat-sendat. Sebab kalau pendidikan
Islam masih berpegang kepada tradisi lama yang tidak dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan IPTEK, maka pendidikan Islam akan buntu.
Menurut Rahmat Ismail (dalam Khozin,
2006) bahwa ada beberapa hal yang perlu dibangun dan diperbaiki kembali dalam
pendidikan Islam supaya dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,
yaitu:
Pertama : Rekontruksi paradigma, dengan mengganti
paradigma yang lama dengan paradigma baru, bahwa konsep pendidikan yang benar
harus selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.
Rekontruksi ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sedang
dihadapi pendidikan Islam, yakni keluar dari belenggu dikotomi ilmu
pengetahuan, keluar dari sistem pendidikan yang doktrinir dan otoriter,
terlepas dari penyimpangan profesionalitas pendidik.
Kedua : Memperkuat landasan
moral. Kita melihat pengaruh dari globalisasi yang telah menimpa Indonesia,
moral barat dengan mudahnya masuk ke dalam negari ini dan dapat mempengaruhi
masyarakat Indonesia, Maka sangat urgen sekali kalau moral para praktisi
pendidikan Islam dibangun dan dibentuk dengan kokoh, supaya tidak terpengaruh
dengan budaya barat tersebut.
Ketiga
: Menguasai lebih dari dua bahasa.
Keempat
: Menguasai komputer dan berbagai program dasarnya.
Kelima : Pengembangan kompetensi
kepemimpinan.Adapun menurut hemat penulis agar pendidikan Islam terus
berkembang dan selalu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, Maka perlu adanya integrasi antara pendidikan Islam Tradisional
(pesantren) yang sepanjang sejarahnya dikembangkan oleh NU dan pendidikan Islam
modern yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Pendidikan Pesantren diharapkan
untuk tetap dapat menjaga originilitas ulama’. Sedangkan pendidikan Islam
modern diharapkan dapat menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK. Dalam kaedah
usul dikatakan “al-muhafadhoh ‘alal qodimis soleh wal akhdu biljadidil ashlah
(menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik)”
Selain itu juga perlu adanya
rekontruksi metode atau model pembelajaran yang digunakan di dalam pendidikan
Islam. Dalam hal ini pendidikan Islam dapat menggunakan metode pembelajaran CTL
(Contextual Teaching and Learning). Ini diharapkan dapat mengikuti
tuntutan anak modern yang selalu kritis dan lebih berpikiran maju dari anak
zaman dahulu yang cenderung manut dan tunduk terhadap apa yang disampaikan
guru.
Pendidikan Islam ke depan harus
lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang sifatnya aplikatif, bukan saja
dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang teknologi. Sebab selama ini
Pendidikan Islam terlalu terkonsentrasikan pada pendalaman dikotomi halal haram
dan sah batal, namun terlalu mengabaikan kemajuan IPTEK yang menjadi sarana
untuk mencapai kemajuan di era modern ini.
Bila dianalisis lebih jeli selama
ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan
duniawi dengan urusan ukhrowi. Ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari
paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau
berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan
agama atau sains sebaliknya. Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat
Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan agama. Dalam hal ini ada pemisahan
antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya
berorientasi dunia saja.
Sejarah telah mencatat, pada awal
abad VIII umat Islam telah menorehkan tinta emas kemajuan iptek jauh sebelum
terjadinya revolusi Industri yang diagung-agungkan bangsa Eropa. Kala itu,
Ilmuwan-ilmuwan Islam dapat meletakkan dasar kemajuan iptek yang tentu saja
atas dasar agama. Di antara ilmuwan seperti, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya
ar-Razi (Razes [864-930 M]) yang dikenal sebagai ‘dokter Muslim terbesar’, atau
pakar kedokteran Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina (Avicenna [981-1037
M]) yang hasil pemikirannya The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb)
menjadi rujukan utama ilmu kedokteran di eropa. Al Kawarijmi Jabir Ibnu Hayyan
yang meninggal tahun 803 M disebut-sebut sebagai Bapak Kimia. Algoritma yang
kita kenal dalam pelajaran matematika itu berasal dari nama seorang ahli
matematik Muslim bernama Muhammad bin Musa Al-Khwarizmi (770-840M)
Ilmuwan muslim telah diakui menjadi
“jembatan” yang menghubungkan Pra-revolusi dengan kemajuan Eropa melalui
revolusi industri yang sempat diklaim mengubah dunia. Lantas apa yang
menyebabkan Islam dapat bersinar kala itu?. Alasannya adalah peran Islam dalam
mengembangkan iptek sangatlah luar biasa. Selain ilmuwan-ilmuwan yang bekerja
keras, ditambah pemerintahan yang mendukung dengan rela menyewa
penerjemah-penerjemah untuk menerjemahkan warisan-warisan ilmuan kuno Yunani.
Sehingga nampak bahwa Islam tidak hanya berorientasi pada agama, tetapi juga
turut mengembangkan iptek yang sebelumnya dianggap berorientasi pada dunia.
Saat ini bangsa Eropa dan Amerika
sedang berada pada posisi atas, mereka memegang peran yang signifikan dalam
penguasaan seluruh tataran kehidupan di dunia. Hal ini sesuai dengan Sunatullah
yang menyebutkan bahwa, akan ada pergiliran kekuasaan di antara manusia dan ini
adalah sebuah kepastian. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami
pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) …” Namun
pergiliran ini terjadi, selain atas izin Allah, juga bergulir sesuai dengan
sunatullah yang lain yaitu usaha keras bangsa Eropa dan Amerika dalam
penguasaan berbagai macam disiplin ilmu. Salah satunya adalah sains.
Oleh karena itu, umat Islam harus
mengusahakan agar roda itu terus berputar hingga suatu saat nanti giliran umat
Islam berada pada posisi di atas dengan cara memadukan Islam dan sains melalui
sistem pendidikan. Sehingga Umat Islam dapat menggenggam dunia dengan sistem
yang lebih baik dari sekarang. Dan perlu diingat, bahwa Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum, bila kaum itu yang mengubah keadaannya sendiri.
Dan yang sampai sekarang bergolak
dalam dada penulis, kapan Rifaiyah akan melakukan rekonstruksi untuk menuju dan
ikut serta menorehkan tinta emas dalam percaturan sejarah nasional ?. Sekali
lagi, sambil bergumam dalam hati sembari memejamkan mata membangun imajinasi
yang rupawan tentang Rifaiyah, penulis mengajak semua intelektual Rifaiyah
untuk bersatu dan bersama membangun warisan sang guru ini.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah membahas maka dapat disimpulkan tujuan utama
Muhammadiyah adalah:
a. Mengembalikan
amal dan perjuangan umat pada sumber Al Qur’an dan Hadist, bersih dari Bid’ah
dan khurafat.
b. Menafsirkan
ajaran-ajaran Islam secara modern.
c. Memperbaharui sistem
pendidikan Islam secara modern sesuai dengan kehendak dan kemajuan jaman.
d. Membebaskan
umat dari ikatan-ikatan tradisionalisme, konservatisme, taqlidisme dan
formalisme yang membelenggu kehidupan umat.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, MT. 1985.Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Surakarta: Pustaka
Jaya.
Daulay,
Haidar Putra. 2009. Dinamika Pendidikan Islam di
Asia Tenggara. Jakarta: Rineka Cipta.
Http://perkembanganislamdieramodern.blogspot.com/2010/12/perbedaan-pendidikan-islam-dengan.html: akses
April 2013
Http://solomoncell.wordpress.com/2012/06/04/pendidikan-muhammadiyah/: akses April 2013
Muhammad Amien Rais dkk, 1985. Pendidikan
Muhammadiyah dan Perubahan Sosial (sarasehan pimpinan pusat ikatan pelajar
Muhammadiyah). Yogyakarta : PLP2M.
Mahmud Yunus, 1996.Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Mulkhan, Abdul Munir. 1990. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Jakarta:
Bumi Aksara.
Yunus Salam, 1968. Riwayat Hidup
KHA Dahlan Amal dan perjuangannya. Jakarta: Depot
Pengajaran Muhammadiyah.
Sidik Jatmika dan Zahrul Anam, 2010. Kauman
(Muhammadiyah Undercover). Yogyakarta: Gelanggang.
Sutrisno Kutojo dan Mardanas Safwan.
1991. K.H. Ahmad Dahlan : riwayat hidup dan perjuangannya.
Bandung: Angkasa.
Yusuf, M. Yunan (ed.). 2000. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (naskah awal).
Jakarta: Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah.
- See more
at:
http://di-am.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-pendidikan-muhammadiyah_9830.html#sthash.DDpioAsJ.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar