Idealnya kebijakan agroforestri dikeluarkan
secara bersama oleh Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan dan Kelautan.
Kebijakan makro untuk pengembangan agroforestri harus diwadahi oleh kebijakan
lintas sektoral yang pengembangannya nanti secara teknis dapat diterjemahkan
oleh masingmasing departemen sesuai dengan wilayah kerja, teknologi dan sistem
produksi yang akan dikembangkan dengan dukungan agroforestri.
Pengembangan kebijakan agroforestri seharusnya
memperhatikan aspek-aspek kelembagaan, aspek ekonomi dan pemasaran serta aspek
konservasi dan pelestarian hutan dan lingkungannya tanpa mengabaikan kondisi
sosial dan budaya setempat.
Kebijakan di
sektor kehutanan
Sejauh ini kebijakan pemerintah yang cukup
menarik dalam mendukung pengembangan agroforestri yang adalah penetapan kawasan
wilayah di dalam wilayah hutan negara sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa
(KDTI) di Krui, Lampung. Masyarakat di daerah ini telah mengusahakan kebun
damar secara turun temurun di kawasan hutan adat yang juga merupakan hutan
negara. Model agroforestri di sini adalah agroforestri tradisional, asli dan
lokal tidak dikembangkan oleh pihak luar. Karena masyarakat merasa keberatan
kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan negara maka dengan SK
Menteri Kehutanan No. 47/Kpts-II/1998 ditetapkanlah areal seluas 29.000 ha
sebagai KDTI. Walaupun tanah masih milik negara, ada pengakuan pemerintah akan
model pengelolaan yang dibangun masyarakat sendiri yang memadukan upaya
peningkatan pendapatan dengan pengelolaan sumber daya hutan yang lestari.
Kebijakan ini sangat mendukung dan memberikan insentif yang menarik bagi
masyarakat untuk tetap mempertahankan kawasan tersebut dengan memberikan hasil
ganda: ekonomi dan ekologis.
Di sektor kehutanan, pemerintah juga pernah mengeluarkan
kebijakan untuk pengembangan tanaman pohon serbaguna (Multi Purpose Tree
Species=MPTS) dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan.
Di sektor kehutanan khususnya di Jawa pemerintah
melalui Perum Perhutani telah mengembangkan kebijakan pola tanam jati dengan
tanaman pangan dalam sistem tumpang sari.
Pada tahun 1990 Perum Perhutani mengeluarkan
pedoman agroforestri dalam program perhutanan sosial dengan Surat Keputusan
Direksi Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) No.
671/KPTS/DIR/1990. Agroforestri dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari program perhutanan sosial yang dapat menyatukan kepentingan kehutanan dan
masyarakat sekitar hutan khususnya Kelompok Tani Hutan (KTH). Kebijakan Perum
Perhutani sebenarnya sangat mendukung pengembangan agroforestri secara teknis,
namun kelemahan utamanya adalah pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat
setempat. Agroforestri di kawasan milik perhutani bekembang bagus sedangkan di
lahan milik rakyat cenderung sangat terbatas.
Misalnya pada model pengembangan HTI di kawasan
Timur Indonesia oleh Perum Perhutani Jawa Timur pada tahun 1980-an – 1990-an
Secara teknis model dan teknologi yang dikembangkan bagus sekali. Tetapi HTI
kemudian dikritik karena persoalan-persoalan tata guna lahan, konflik kepemilikan
lahan dan status lahan hutan yang dikelola. Partisipasi masyarakat hanya
sebagai buruh. HTI kemudian berubah menjadi HKM (Hutan Kemasyarakatan) pada
tahun 1996, namun kenyataannya cara pendekatan masyarakat tidak berubah.
Sebetulnya dari segi teknologi, kehutanan dan agroforestri sangat potensial
untuk membangun kerjasama antara masyarakat dan perum perhutani.
Kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan bersama
masyarakat (Collaborative forest Management) atau berbasis masyarakat
(Community based forest management) telah banyak didiskusikan dan dikembangkan
oleh berbagai pihak. Akhir-akhir ini pemerintah memusatkan perhatiannya pada
perhutanan sosial (social forestry) sebagai payung dari semua pengelolaan yang
berorientasi pada pembangunan hutan masyarakat, bersama masyarakat atau oleh
masyarakat maupun yang bersifat kerjasama antara pemerintah dan masyarakat,
swasta dengan masyarakat, atau LSM dengan masyarakat, maupun antara semua pihak
tersebut dalam pengelolaan hutan kolaboratif.
Di sektor kehutanan kebijakan yang mendukung
pengembangan agroforestri sangat besar peluangnya dalam kebijakan
pengelolaan hutan bersama masyarakat, apakah itu dalam bentuk perhutanan sosial
dengan turunannya seperti hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Gambar 4 di
atas memperlihatkan peluang pengembangan agroforestri dalam empat kelompok
kebijakan yang berorientasi kepada yang bisa diusulkan kepada pemerintah.
Di sektor kehutaan perhutanan sosial adalah
seluruh model pengelolaan yang melibatkan peran serta masyarakat yang dapat
dilakukan dalam kerjasama dengan semua pihak. Perhutanan sosial adalah
melibatkan semua elemen sosial (artinya bisa masyarakat, lembaga adat, swasta,
LSM atau masyarakat madani serta pemerintah sendiri). Di Departemen Kehutanan
Perhutanan Sosial dibedakan ke dalam Hutan Kemasyarakatan (Diselenggarakan di
kawasan hutan milik negara) dan Hutan Rakyat (Diselenggarakan dalam hutan atau
lahan milik perorangan). Pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih menyukai
penggunaan istilah Kehutanan Masyarakat (KM). Apapun namanya model pengelolaan
hutan seperti ini memberi peluang untuk pengembangan agroforestri di dalamnya,
yang menjadi persoalan adalah bagaimana pemerintah bisa mendukung dengan
kebijakan yang memadai.
Perhutanan sosial menjadi payung dari Hutan Kemasyarakatan
(HKM), kehutanan masyarakat (KM), hutan rakyat, hutan tanaman industri yang
dikembangkan bersama masyarakat, wanatani dan sebagainya.
Kebijakan
di sektor pertanian dan subsektornya
Kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang
penting sejauh ini adalah upaya pengembangan budidaya lorong yang memungkinkan
upaya pembangunan pertanian melalui konservasi tanah dan air. Kebijakan ini
sudah dikeluarkan sejak akhir tahun 1980-an, namun hanya dalam bentuk petunjuk
teknis
Di Departemen Pertanian, agroforestri belum
mendapat perhatian serius untuk diwadahi dalam kebijakan di tingkat pusat.
Belum ada peraturan perundangan, pedoman petunjuk pelaksanaan (juklak) dan
petunjuk teknis (juknis) yang berkaitan dengan agroforestri.
Memang ada beberapa pemikiran dasar yang menarik
khususnya tentang otonomi daerah. Menurut Deptan persoalan otonomi daerah tidak
begitu meresahkan bagi Deptan dibandingkan dengan Dephut karena urusan otonomi
sudah dirintis sejak lama. Kewenangan dan hak untuk pengembangan agroforestri
sebaiknya diserahkan kepada kebijakan daerah karena daerah yang “mempunyai
wilayah” dan menguasai persoalan lokal. Deptan sudah memberikan kewenangan
kepada daerah sejak tahun 1950-an dan pada tahun 1970-an memberikan kewenangan
beberapa urusan kepada daerah dalam bidang tertentu. Deptan berpikir bahwa
urusan wanatani adalah kewenangan dan kemampuan teknis Dephut. Namun tidak ada
kebijakan tentang agroforestri dalam Dephut.
Pengembangan agroforestri lintas sektoral menjadi
sulit karena masing-masing sektor jalan sendiri. Pertanian dan kehutanan perlu
bersatu dalam membantu petani dan lingkungan. Di lapangan, petani berbasis
hutan tidak mendapat penyuluhan dari Departemen/Dinas Pertanian dan sebaliknya
petani dengan sistem produksi berbasis pertanian tidak disentuh oleh Dephut dan
jajaran di bawahnya.
Ada beberapa peluang yang bisa dikembangkan. Kita
dapat membuat analisis tentang peluang pengembangannya dan memberikan
rekomendasi tentang kebijakan yang mungkin bisa dilakukan. Di tingkat menteri
bisa dikeluarkan pedoman (SK Menteri) sedangkan juklak dan juknis dapat
dikeluarkan oleh Dirjen (SK Dirjen) berdasarkan masukan dari Badan Libtang
Pertanian dan instansi teknis di daerah atau di lapangan. Dirjen-Dirjen di
Deptan mempunyai kewenangan tersendiri tergantung bidangnya (Bina Produksi
Peternakan, Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, Bina Sarana Pertanian,
Bina Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian).
Peluang pengembangan agroforestri ada di Ditjen
Bina Produksi Peternakan, Tanaman Pangan, Horti dan Perkebunan). Undang-undang
di bidang pertanian kebanyakan belum diubah. Deptan masih mengacu kepada
beberapa Undangundang: Undang-undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya
Pertanian, Undang-undang No. 16/1967 tentang Peternakan (yang saat ini sedang
direvisi), Undang-undang Pokok Agraria No. 5/1960 yang sedang direvisi oleh
pihak masyarakat madani (civil society) dan banyak diperdebatkan. Undangundang
perkebunan masih dalam tahap RUU (Rancangan Undang-Undang) dan sedang dibahas.
Deptan juga mengacu kepada UU Pokok Kehutanan No 41/1999 dan PP turunannya
(PP34 dan PP35 tahun 2002) untuk pengelolaan pertanian di daerah yang menjadi
jurisdiksi atau wilayah kekuasaan departemen kehutanan.
Pihak Departemen Pertanian memberikan peluang
kepada berbagai pihak yang bisa memberikan masukan aspek-aspek agroforestri
yang mungkin dimasukkan ke dalam rancangan undang-undang peternakan dan
perkebunan yang sedang disusun. Pengembangan peternakan (khususnya tanaman
pakan ternak) dan perkebunan mempunyai peluang untuk menerapkan agroforestri.
Salah satu kemungkinan di perkebunan adalah memberikan kewajiban bagi pengusaha
perkebunan swasta seperti perkebunan kelapa sawit misalnya untuk mengembangkan
ternak di kebun sawit.
Kebijakan
di sektor perikanan dan kelautan
Kebijakan di Sektor Perikanan dan kelautan sangat
diperlukan untuk mendukung pengembangan agroforestri yang berkaitan dengan
silvofishery. Hampir semua pulau di Indonesia mempunyai areal hutan bakau di
kawasan pantai yang sudah banyak dikonversi menjadi kawasan pertambakan.
Pengembangan tambak ikan di daerah bakau merupakan
kebiasaan tradisional dan kini sudah dimodifikasi, antara lain dalam model
pengembangan empang parit yang dikembangkan di Jambi Sumatera. Konservasi dan
pengembangan hutan bakau berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan
melalui BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) yang
menyelenggarakan tugas dekonsentrasi pemerintah pusat. BRLKT kini telah berubah
fungsi menjadi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan mempunyai
tugas bukan hanya rehabilitasi kawasan pantai atau pegunungan tetapi juga
seluruh DAS. Disini ada peluang untuk memasukkan kebijakan dan kewajiban bagi
lembaga ini untuk mengembangkan model agroforestri tergantung pada ekosistem
yang akan diperbaiki.
Kebijakan pengembangan perikanan menjadi kewenangan
atau tugas Departemen Perikanan dan Kelautan. Harus diakui bahwa kebanyakan
daerah (ekosistem) bakau sudah rusak atau dikonversi menjadi kawasan
pertambakan. Koordinasi dan kerjasama antara Dapartemen Kehutanan dan Perikanan
menjadi kebutuhan yang cukup mendesak pada saat ini. Pihak Departmen Perikanan
dan Kelautan mengungkapkan kerusakan ekosistem ini dan perlu direhabilitasi
tetapi kewenangan ada di Departemen Kehutanan.
0 komentar:
Posting Komentar