Rabu, 29 Juni 2016

Kebijakan Agroforestri

Idealnya kebijakan agroforestri dikeluarkan secara bersama oleh Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan dan Kelautan. Kebijakan makro untuk pengembangan agroforestri harus diwadahi oleh kebijakan lintas sektoral yang pengembangannya nanti secara teknis dapat diterjemahkan oleh masingmasing departemen sesuai dengan wilayah kerja, teknologi dan sistem produksi yang akan dikembangkan dengan dukungan agroforestri.
Pengembangan kebijakan agroforestri seharusnya memperhatikan aspek-aspek kelembagaan, aspek ekonomi dan pemasaran serta aspek konservasi dan pelestarian hutan dan lingkungannya tanpa mengabaikan kondisi sosial dan budaya setempat.

Kebijakan di sektor kehutanan
Sejauh ini kebijakan pemerintah yang cukup menarik dalam mendukung pengembangan agroforestri yang adalah penetapan kawasan wilayah di dalam wilayah hutan negara sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KDTI) di Krui, Lampung. Masyarakat di daerah ini telah mengusahakan kebun damar secara turun temurun di kawasan hutan adat yang juga merupakan hutan negara. Model agroforestri di sini adalah agroforestri tradisional, asli dan lokal tidak dikembangkan oleh pihak luar. Karena masyarakat merasa keberatan kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan negara maka dengan SK Menteri Kehutanan No. 47/Kpts-II/1998 ditetapkanlah areal seluas 29.000 ha sebagai KDTI. Walaupun tanah masih milik negara, ada pengakuan pemerintah akan model pengelolaan yang dibangun masyarakat sendiri yang memadukan upaya peningkatan pendapatan dengan pengelolaan sumber daya hutan yang lestari. Kebijakan ini sangat mendukung dan memberikan insentif yang menarik bagi masyarakat untuk tetap mempertahankan kawasan tersebut dengan memberikan hasil ganda: ekonomi dan ekologis.
Di sektor kehutanan, pemerintah juga pernah mengeluarkan kebijakan untuk pengembangan tanaman pohon serbaguna (Multi Purpose Tree Species=MPTS) dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan.
Di sektor kehutanan khususnya di Jawa pemerintah melalui Perum Perhutani telah mengembangkan kebijakan pola tanam jati dengan tanaman pangan dalam sistem tumpang sari.
Pada tahun 1990 Perum Perhutani mengeluarkan pedoman agroforestri dalam program perhutanan sosial dengan Surat Keputusan Direksi Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) No. 671/KPTS/DIR/1990. Agroforestri dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program perhutanan sosial yang dapat menyatukan kepentingan kehutanan dan masyarakat sekitar hutan khususnya Kelompok Tani Hutan (KTH). Kebijakan Perum Perhutani sebenarnya sangat mendukung pengembangan agroforestri secara teknis, namun kelemahan utamanya adalah pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Agroforestri di kawasan milik perhutani bekembang bagus sedangkan di lahan milik rakyat cenderung sangat terbatas.
Misalnya pada model pengembangan HTI di kawasan Timur Indonesia oleh Perum Perhutani Jawa Timur pada tahun 1980-an – 1990-an Secara teknis model dan teknologi yang dikembangkan bagus sekali. Tetapi HTI kemudian dikritik karena persoalan-persoalan tata guna lahan, konflik kepemilikan lahan dan status lahan hutan yang dikelola. Partisipasi masyarakat hanya sebagai buruh. HTI kemudian berubah menjadi HKM (Hutan Kemasyarakatan) pada tahun 1996, namun kenyataannya cara pendekatan masyarakat tidak berubah. Sebetulnya dari segi teknologi, kehutanan dan agroforestri sangat potensial untuk membangun kerjasama antara masyarakat dan perum perhutani.
Kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (Collaborative forest Management) atau berbasis masyarakat (Community based forest management) telah banyak didiskusikan dan dikembangkan oleh berbagai pihak. Akhir-akhir ini pemerintah memusatkan perhatiannya pada perhutanan sosial (social forestry) sebagai payung dari semua pengelolaan yang berorientasi pada pembangunan hutan masyarakat, bersama masyarakat atau oleh masyarakat maupun yang bersifat kerjasama antara pemerintah dan masyarakat, swasta dengan masyarakat, atau LSM dengan masyarakat, maupun antara semua pihak tersebut dalam pengelolaan hutan kolaboratif.
Di sektor kehutanan kebijakan yang mendukung pengembangan agroforestri  sangat besar peluangnya dalam kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat, apakah itu dalam bentuk perhutanan sosial dengan turunannya seperti hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Gambar 4 di atas memperlihatkan peluang pengembangan agroforestri dalam empat kelompok kebijakan yang berorientasi kepada yang bisa diusulkan kepada pemerintah.
Di sektor kehutaan perhutanan sosial adalah seluruh model pengelolaan yang melibatkan peran serta masyarakat yang dapat dilakukan dalam kerjasama dengan semua pihak. Perhutanan sosial adalah melibatkan semua elemen sosial (artinya bisa masyarakat, lembaga adat, swasta, LSM atau masyarakat madani serta pemerintah sendiri). Di Departemen Kehutanan Perhutanan Sosial dibedakan ke dalam Hutan Kemasyarakatan (Diselenggarakan di kawasan hutan milik negara) dan Hutan Rakyat (Diselenggarakan dalam hutan atau lahan milik perorangan). Pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih menyukai penggunaan istilah Kehutanan Masyarakat (KM). Apapun namanya model pengelolaan hutan seperti ini memberi peluang untuk pengembangan agroforestri di dalamnya, yang menjadi persoalan adalah bagaimana pemerintah bisa mendukung dengan kebijakan yang memadai.
Perhutanan sosial menjadi payung dari Hutan Kemasyarakatan (HKM), kehutanan masyarakat (KM), hutan rakyat, hutan tanaman industri yang dikembangkan bersama masyarakat, wanatani dan sebagainya.

Kebijakan di sektor pertanian dan subsektornya
Kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang penting sejauh ini adalah upaya pengembangan budidaya lorong yang memungkinkan upaya pembangunan pertanian melalui konservasi tanah dan air. Kebijakan ini sudah dikeluarkan sejak akhir tahun 1980-an, namun hanya dalam bentuk petunjuk teknis
Di Departemen Pertanian, agroforestri belum mendapat perhatian serius untuk diwadahi dalam kebijakan di tingkat pusat. Belum ada peraturan perundangan, pedoman petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang berkaitan dengan agroforestri.
Memang ada beberapa pemikiran dasar yang menarik khususnya tentang otonomi daerah. Menurut Deptan persoalan otonomi daerah tidak begitu meresahkan bagi Deptan dibandingkan dengan Dephut karena urusan otonomi sudah dirintis sejak lama. Kewenangan dan hak untuk pengembangan agroforestri sebaiknya diserahkan kepada kebijakan daerah karena daerah yang “mempunyai wilayah” dan menguasai persoalan lokal. Deptan sudah memberikan kewenangan kepada daerah sejak tahun 1950-an dan pada tahun 1970-an memberikan kewenangan beberapa urusan kepada daerah dalam bidang tertentu. Deptan berpikir bahwa urusan wanatani adalah kewenangan dan kemampuan teknis Dephut. Namun tidak ada kebijakan tentang agroforestri dalam Dephut.
Pengembangan agroforestri lintas sektoral menjadi sulit karena masing-masing sektor jalan sendiri. Pertanian dan kehutanan perlu bersatu dalam membantu petani dan lingkungan. Di lapangan, petani berbasis hutan tidak mendapat penyuluhan dari Departemen/Dinas Pertanian dan sebaliknya petani dengan sistem produksi berbasis pertanian tidak disentuh oleh Dephut dan jajaran di bawahnya.
Ada beberapa peluang yang bisa dikembangkan. Kita dapat membuat analisis tentang peluang pengembangannya dan memberikan rekomendasi tentang kebijakan yang mungkin bisa dilakukan. Di tingkat menteri bisa dikeluarkan pedoman (SK Menteri) sedangkan juklak dan juknis dapat dikeluarkan oleh Dirjen (SK Dirjen) berdasarkan masukan dari Badan Libtang Pertanian dan instansi teknis di daerah atau di lapangan. Dirjen-Dirjen di Deptan mempunyai kewenangan tersendiri tergantung bidangnya (Bina Produksi Peternakan, Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, Bina Sarana Pertanian, Bina Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian).
Peluang pengembangan agroforestri ada di Ditjen Bina Produksi Peternakan, Tanaman Pangan, Horti dan Perkebunan). Undang-undang di bidang pertanian kebanyakan belum diubah. Deptan masih mengacu kepada beberapa Undangundang: Undang-undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Pertanian, Undang-undang No. 16/1967 tentang Peternakan (yang saat ini sedang direvisi), Undang-undang Pokok Agraria No. 5/1960 yang sedang direvisi oleh pihak masyarakat madani (civil society) dan banyak diperdebatkan. Undangundang perkebunan masih dalam tahap RUU (Rancangan Undang-Undang) dan sedang dibahas. Deptan juga mengacu kepada UU Pokok Kehutanan No 41/1999 dan PP turunannya (PP34 dan PP35 tahun 2002) untuk pengelolaan pertanian di daerah yang menjadi jurisdiksi atau wilayah kekuasaan departemen kehutanan.
Pihak Departemen Pertanian memberikan peluang kepada berbagai pihak yang bisa memberikan masukan aspek-aspek agroforestri yang mungkin dimasukkan ke dalam rancangan undang-undang peternakan dan perkebunan yang sedang disusun. Pengembangan peternakan (khususnya tanaman pakan ternak) dan perkebunan mempunyai peluang untuk menerapkan agroforestri. Salah satu kemungkinan di perkebunan adalah memberikan kewajiban bagi pengusaha perkebunan swasta seperti perkebunan kelapa sawit misalnya untuk mengembangkan ternak di kebun sawit.
Kebijakan di sektor perikanan dan kelautan
Kebijakan di Sektor Perikanan dan kelautan sangat diperlukan untuk mendukung pengembangan agroforestri yang berkaitan dengan silvofishery. Hampir semua pulau di Indonesia mempunyai areal hutan bakau di kawasan pantai yang sudah banyak dikonversi menjadi kawasan pertambakan.
Pengembangan tambak ikan di daerah bakau merupakan kebiasaan tradisional dan kini sudah dimodifikasi, antara lain dalam model pengembangan empang parit yang dikembangkan di Jambi Sumatera. Konservasi dan pengembangan hutan bakau berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan melalui BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) yang menyelenggarakan tugas dekonsentrasi pemerintah pusat. BRLKT kini telah berubah fungsi menjadi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan mempunyai tugas bukan hanya rehabilitasi kawasan pantai atau pegunungan tetapi juga seluruh DAS. Disini ada peluang untuk memasukkan kebijakan dan kewajiban bagi lembaga ini untuk mengembangkan model agroforestri tergantung pada ekosistem yang akan diperbaiki.
Kebijakan pengembangan perikanan menjadi kewenangan atau tugas Departemen Perikanan dan Kelautan. Harus diakui bahwa kebanyakan daerah (ekosistem) bakau sudah rusak atau dikonversi menjadi kawasan pertambakan. Koordinasi dan kerjasama antara Dapartemen Kehutanan dan Perikanan menjadi kebutuhan yang cukup mendesak pada saat ini. Pihak Departmen Perikanan dan Kelautan mengungkapkan kerusakan ekosistem ini dan perlu direhabilitasi tetapi kewenangan ada di Departemen Kehutanan.

0 komentar: