Kamis, 16 Juni 2016

Penjualan Menurut Islam

A.        Penjualan
Penjualan merupakan pembelian sesuatu (barang atau jasa) dari suatu pihak kepada pihak lainnya dengan mendapatkan ganti uang dari pihak tersebut. Penjualan juga merupakan suatu sumber pendapatan perusahaan, semakin besar penjualan maka semakin besar pula pendapatan yang diperoleh perusahaan.

B.        Pengertian Penjualan
Aktivitas penjualan merupakan pendapatan utama perusahaan karena jika aktivitas penjualan produk maupun jasa tidak dikelola dengan baik maka secara langsung dapat merugikan perusahaan. Hal ini dapat disebabkan karena sasaran penjualan yang diharapkan tidak tercapai dan pendapatan pun akan berkurang.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari pengertian penjualan itu sendiri adalah sebagai berikut:
Pengertian penjualan menurut Henry Simamora dalam buku Akuntansi Basis Pengambilan Keputusan Bisnis menyatakan bahwa:
Penjualan adalah pendapatan lazim dalam perusahaan dan merupakan jumlah kotor yang dibebankan kepada pelanggan atas barang dan jasa”.(2000;24)
Pengertian penjualan menurut Chairul Marom dalam buku Sistem Akuntansi Perusahaan Dagang menyatakan bahwa :
“Penjualan artinya penjualan barang dagangan sebagai usaha pokok perusahaan yang biasanya dilakukan secara teratur”.(2002;28)
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penjualan adalah persetujuan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli, dimana penjual menawarkan suatu produk dengan harapan pembeli dapat menyerahkan sejumlah uang sebagai alat ukur produk tersebut sebesar harga jual yang telah disepakati.

C.        Penjualan Barang di atas Kredit
Di antara persoalan penting namun kurang diperhatikan oleh kalangan umat islam baik yang pintar apalagi yang awam adalah masalah halal dan haram serta syubuhat saat mencari rizqi.
Padahal masalah ini adalah masalah yang sangat ditegaskan oleh Alloh Ta’ala, Rosululloh dan para ulama’ salaf. Masalah ini juga sangat erat hubungannya dengan amal perbuatan, diterimanya do’a dan lain sebagainya.
Dari Abu Huroiroh berkata :
“Rosululloh bersabda :                
إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا و إن الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين فقال
“Sesungguhnya Alloh itu Maha baik dan hanya menerima yang baik-baik saja. Sesungguhnya Alloh memerintahkan kaum mu’minin sebagaimana Alloh memerintahkan para rosul :
“Wahai para rosul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang sholeh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al Mu’minun : 51)
Alloh juga berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.”
(QS. Al Baqoroh : 172)
Kemudian Rosululloh menyebutkan kisah seorang laki-laki yang berambut kusut, penuh debu, menengadahkan tangannya ke langit sambil berkata : “Ya Robbi, Ya Robbi.” Namun makanannya haram. Minumannya haram dan tumbuh dari makanan yang haram, bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan ?.” (HR. Muslim 1015, Turmudli 2989, Ad Darimi 2817)
Jual beli sistem kredit datang menyeruak diantara segala sistem bisnis yang ada. Sistem ini mulai diminati banyak kalangan, karena rata-rata manusia itu kalangan menengah ke bawah, yang mana kadang-kadang mereka terdesak untuk membeli barang tertentu yang tidak bisa dia beli dengan kontan, maka kredit adalah pilihan yang mungkin dirasa tepat. Namun ada sebuah pertanyaan besar yang muncul, yaitu apa hukum jual beli kredit secara islam, halalkah atau haram ? kalau halal lalu bagaimana aturannya dan kode etiknya baik bagi penjual maupun bagi pembeli ?
Inilah yang ingin saya bahas pada tulisan ini, saya mohon kepada Alloh agar memberi petunjuk kepada kita semua agar semua kreatiftas kita agar sesuai dengan jalan Nya. Amin
Pengertian jual beli kredit (1)
Jual beli dalam pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan memiliki dengan ucapan ataupun perbuatan. (Lihat Taisir Allam oleh Syaikh Ali Bassam 2/232)
Adapun kredit yang dalam bahasa arab disebut تقسيط dalam pengertian bahasa adalah bagian, jatah atau membagi-bagi (Lihat Al Qomus Al Muhith hal : 881 dan lisanul arab Imam Ibnu;l Mandzur hal : 3626)
Dalam Mu’jamul Wasith 2/140 dikatakan : “Mengkredit hutang artinya adalah membayar hutang tersebut dengan cicilan yang sama pada beberapa waktu yang ditentukan.”
Adapun pengertian jual beli kredit secara istilah adalah menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal dari harga kontan (2).
Atau mungkin bisa dikatakan bahwa jual beli kredit adalah :
“Pembayaran secara tertunda dan dalam bentuk cicilan dalam waktu-waktu yang ditentukan.”
Yang dhohir -Wallohu A’lam- bahwa definisi yang kedua lah yang lebih tepat karena inti dari jual beli kredit adalah pembayaran yang tertunda dengan cara cicilan, bisa dengan adanya tambahan harga ataupun tidak, meskipun memang biasanya jual beli kredit itu memang dengan adanya tambahan harga dari yang kontan.
Hukum Jual beli kredit
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum jual beli kredit yang ada pada zaman ini menjadi dua pendapat, yatu :

Jual beli kredit di haramkan
Diantara yang berpendapat demikian dari kalangan ulama’ kontemporer adalah Imam Al Albani yang beliau cantumkan dalam banyak kitabnya, diantaranya Silsilah Ahadits Ash Shohihah 5/419-427 juga murid beliau Syaikh Salim Al Hilali dalam Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyah 2/221 dan juga lainnya. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil berikut :
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : ” أنه نهى عن بيعتين في بيعة
Dari Abu Huroiroh dari Rosululloh bahwasannya beliau melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.”
(HR. Turmudli 1331, Nasa’I 7/29, Amad 2/432, Ibnu Hibban 4973 dengan sanad hasan)
Dalam riwayat lainnya dengan lafadl : “Barang siapa yang melakukan dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka dia harus mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak akan terjerumus pada riba.”
(HR. Abu Dawud 3461, Hakim 2/45 dengan sanad hasan)
Hadits yang senada juga datang dari Abdulloh bin Amr bin Ash dan Abdulloh bin mas’ud dan lainnya . Lihat Irwa’ul Gholil oleh Imam Al Albani no : 1307.
Tafsir dari larangan Rosululloh “Dua transaksi jual beli daam satu transaksi” adalah ucapan seorang penjual atau pembeli : “Barang ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau kredit maka harganya segitu.”
Penafsiran ini datang dari banyak ulama’, yaitu :
Sammak bin Harb, salah seorang perowi hadits ini, Abdul Wahhab bin Atho’, Ibnu Sirin, Thowus, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Ibnu Qutaibah, Nasa’i, Ibnu Hibban.
Berkata Syaikh Salim Al Hilali :
“Penafsiran ini adalah yang paling shohih, karena sebab berikut :
·           Bahwasanya tafsir seorang perwi hadits itu lebih didahulukan daripada lainnya.
·           Ini adalah yang difahami oleh kebanyakan ulama’ dari kalangan ahli hadits.
·           Ini juga yang difahami oleh para uilama’ bahasa dan ulama’ tabi’in.
(Lihat Al Manahi Asy Syariyah 2/221-222)
Dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa ucapan seseorang : “Saya jual barang ini padamu kalau kontan harganya sekian dan kalau ditunda pembayarannya harganya sekian.” Adalah sistem jual beli yang saat ini dikenal dengan nama jual beli kredit. (Lihat juga Silsilah Ash Shohihah Imam Al Albani 4/422)

Jual beli kredit diperbolehkan
Adapun pendapat yang kedua mengatakan bahwa jual beli kredit diperbolehkan, diantara yang berpendapat demikian dikalangan para ulama’ adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Syaikh Al Jibrin dan lainnya. Namun kebolehan jual beli ini menurut para ulama’ yang memperbolehkannya harus memenuhi beberapa syarat tertentu yang insya Alloh kita sebutkan di belakang.
Mereka berhujjah dengan beberapa dalil berikut yang bisa diklasifikasikan menjadi beberapa bagian :
Pertama :
Dalil-dalil yang memperbolehkan jual beli dengan pembayaran tertunda.
·           Firman Alloh Ta’ala :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…”
(QS. Al Baqoroh : 272)
Ibnu Abbas menjelaskan : “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan jual beli As Salam (3) saja.”
Imam Al Qurthubi menerangkan :
“Artinya, kebiasaan masyarakat Madinah melakukan jual beli salam adalah penyebab turunnya ayat ini, namun kemudian ayat ini berlaku untuk segala bentuk pinjam meminjam berdasarkan ijma’ ulama’.”
(Lihat Tafsir Al Qurthubi 3/243)
·           Hadits Rosululloh :
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم اشترى من يهودي طعاما إلى أجل ,و رهنه درعا من حديد
“Dari Aisyah berkata : “Sesungguhnya Rosululloh membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran tertunda. Beliau memberikan baju besi beliau kepada orang tersebut sebagai gadai.
(HR. Bukhori 2068, Muslim 1603)
Hadits ini tegas bahwa Rosululloh mendapatkan barang kontan namun pembayarannya tertunda.
Kedua :
Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya memberikan tambahan harga karena penundaan pembayaran atau karena penyicilan.
·           Firman Alloh Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
(QS. An Nisa’ : 29)
Kemumuman ayat ini mencakup jual beli kontan dan kredit, maka selagi jual beli kredit dilakukan dengan suka sama suka maka masuk dalam apa yang diperbolehkan dalam ayat ini.
·          Hadits Rosululloh :
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال : قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة والناس يسلفون في الثمر العام والعامين فقال : من سلف في تمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم
Dari Abdulloh bin Abbas berkata : “Rosululloh dartang ke kota Madinah, dan saat itu penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan dengan cara salam dalam jangka satu atau dua tahun, maka beliau bersabda : “Barang siapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.”
(HR. Bukhori 2241, Muslim 1604)
Pengambilan dalil dari hadits ini, bahwa Rosululloh membolehkan jual beli salam asalkan takaran dan timbangan serta waktu pembayarannya jelas, padahal biasanya dalam jual beli salam uang untuk membeli itu lebih sedikit daripada kalau beli langsung ada barangnya.
Maka begitu pula dengan jual beli kredit yang merupakan kebalikannya yaitu barang dahulu dan uang belakangan meskipun lebih banyak dari harga kontan.
Ketiga :
Dalil Ijma’
Sebagian Ulama’ mengklaim bahwa dibolehkannya jual beli dengan kredit dengan perbedaan harga adalah kesepakatan para ulama’. Di antara mereka adalah :
·           Syaikh Bin Baz saat menjawab pertanyaan tentang hukum menjual karung gula dan sejenisnya seharga 150 real secara kredit, yang nilainya sama dengan 100 real tunai. Maka beliau menjawab :
“Transaksi seperti ini boleh-boleh saja, karena jual beli kontan tidak sama dengan jual beli berjangka. Kaum muslimin sudah terbiasa melakukannya sehingga menjadi ijma’ dari mereka atas diperbolehkannya jual beli seperti itu. Sebagian ulama’ memang berpendapat aneh dengan melarang pemanmbahan harga karena pembayaran berjangka, mereka mengira bahwa itu termasuk riba. Pendapat ini tidak ada dasarnya, karena transaksi seperti itu tidak mengandung riba sedikitpun.”
(Lihat Ahkamul Fiqh oleh Syaikh Abduloh Al Jarulloh hal : 57-58)
·           Syaikh Muhammad Sholih Al Utsaimin
Beliau berkata dalam Al Mudayanah hal : 4 :
“Macam-macam hutang piutang :
Seseorang membutuhkan untuk membeli barang namun dia tidak mempunyai uang kontan, maka dia membelinya dengan pembayaran tertunda dalam tempo tertentu namun dengan adanya tambahan harga dari harga kontan. Ini diperbolehkan. Misalnya : Seseorang membeli rumah untuk ditempati atau untuk disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana seandainya dijual kontan akan seharga 9.000 real, atau seseorang membeli mobil baik untuk dipakai sendiri atau disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana harga kontannya adalah 9.000 real. Masalah ini tercakup dalam firman Alloh Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang piutang sampai waktu tertentu, maka catatlah.”
(QS. Al Baqoroh : 282)
Seseorang membeli barang dengan pembayaran tertunda sampai waktu tertentu dengan tujuan untuk memperdagangkannya. Misal seseorang membeli gandum dengan pembayaran tertunda dan lebih banyak dari harga kontan untuk menjualnya lagi ke luar negeri atau untuk menunggu naiknya harga atau lainnya, maka ini diperbolehkan karena juga tercakup dalam ayat terdahulu. Dan telah berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyah tentang dua bentuk ini adalah diperbolehkan berdasarkan Al Kitab, as sunnah dan kesepakatan ulama’ (4)
(Lihat Majmu’ Fatawa 29/499).”
Syaikh Utsaimin berkata selanjutnya :
“Tidak dibedakan apakah pembayaran tertunda ini dilakukan sekaligus ataukah dengan cara menyicil atau ngangsur. semacam kalau penjual berkata : “Saya jual barang ini kepadamu dan engkau bayar setiap bulan sekian …”
(Lihat Al Mudayanah hal : 5)
Keempat :
Dalil qiyas
Sebagaimana yang telah lewat bahwasannya jual beli kredit ini dikiaskan dengan jual beli salam yang dengan tegas diperbolehkan Rosululloh, karena ada persamaan, yaitu sama-sama tertunda. hanya saja jual beli salam barangnya yang tertunda, sedangkan kredit uangnya yang tertunda. Juga dalam jual beli salam tidak sama dengan harga kontan seperti kredit juga hanya bedanya salam lebih murah sedangkan kredit lebih mahal.
Kelima :
Dalil Maslahat
Jual beli kedit ini mengandung maslahat baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Karena pembeli bisa mengambil keuntungan dengan ringannya pembayaran karena bisa diangsur dalam jangka waktu tertentu dan penjual bisa mengambil keuntungan dengan naiknya harga, dan ini tidak bertentangan dengan tujuan syariat yang memang didasarkan pada kemaslahatan ummat. Berkata Syaikh Bin Baz disela-sela jawaban beliau mengenai jual beli kredit :
“Karena seorang pedagang yang menjual barangnya secara berjangka pembayarannya setuju dengan cara tersebut sebab ia akan mendapatkan tambahan harga dengan penundaan tersebut. Sementara pembeli senang karena pembayarannya diperlambat dan karena ia tidak mampu mambayar kontan , sehingga keduanya mendapatkan keuntungan.”
(Ahmkamul Ba’I disusun oleh Syaikh Jarulloh hal : 58)

Fatwa para ulama’ seputar jual beli kredit
Ini adalah nukilan pendapat fuqoha’ madhab empat juga para ulama’ kontemporer mengenai masalah ini :
Fiqh Hanafiyah
Harga bisa dinaikkan karena penundaan waktu. Penjualan kontan dengan kredit tidak bisa disamakan. Karena yang ada pada saat ini lebih bernilai dari pada yang belum ada. Pembayaran kontan lebih baik dari pada pembayaran berjangka. (Lihat Badai’ush Shona’I 5/187)
Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin 5/142 : “Bisa saja harga ditambahkan karena penundaan pembayaran.”
Fiqh Malikiyah
Berkata Imam Asy Syathibi :
“Penundaan salah satu alat tukar bisa menyebabkan pertambahan harga.”
(Lihat Al Muwafaqot 4/41)
Imam Az Zarqoni menegaskan :
“Karena perputaran waktu memang memiliki bagian nilai, sedikit atau banyak, tentu berbeda pula nilainya.
(Lihat Hasyiyah Az Zarqoni 3/165)
Fiqh Syafi’iyah
Imam Asy Syirozi berkata :
“Kalau seseorang membeli sesuatu dengan pembayaran tertunda, tidak perlu diberitahu harga kontannya, karena penundaan pembayaran memang memiliki nilai tersendiri.”
(Lihat Al Majmu An Nawawi 13/16)
Fiqh Hanbali
Imam Ibnu Taimiyah berkata :
“Putaran waktu memang memiliki jatah harga.”
(Majmu’ Fatawa 19/449)
Lajnah Daimah tatkala ditanya tentang seseorang yang menjual mobil dengan sistem kredit yang dengan tertundanya pembayaran akan ada tambahan harga, namun juga akan semakin bertambah dengan semakin mundurnya pembayaran dari waktu yang telah ditentukan. Apakah transaksi ini boleh ataukah tidak ?
Jawab :
Jika menjual mobil tersebut dengan sistem kredit, dilakukan dengan harga yang jelas, sampai waktu yang jelas, yang tidak ditambah harga lagi kalau membayarnya lebih dari batas waktu yang ditentukan, maka transaksi itu tidak mengapa. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang sampai waktu tertentu, maka tulislah.” Juga yang telah shohih dari Rosululloh bahwasannya beliau pernah membeli sesuatu sampai waktu tertentu. Adapun kalau si kreditor itu harus menambah harga apabila terlambat membayarnya dari waktu yang ditentukan, maka hal ini tidak diperbolehkan dengan kesepakatan ummat islam, karena itulah riba jahiliah yang dilarang oleh Al Qur’an, yaitu ucapan mereka kepada yang berhutang padanya : “Kamu mungkin bisa melunasi hutang itu atau kamu tambah lagi bayarannya.” (Lihat Fatwa Lajnah Daimah 13/154)

Adab dalam jual beli kredit
Ada beberapa adab yang harus diperhatikan tatkala seseorang itu melakukan jual beli sistem kredit, yaitu :
Pertama : Adab penjual
Tidak memanfaatkan kebutuhan masyarakat terhadap kredit dan sejenisnya dengan melipat gandakan keuntungan. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seekor kuda yang dibelinya dengan harga seratus delapan puluh dirham, lalu datang orang lain hendak membeli darinya seharga tiga ratus dirham dengan pembayaran tertunda selama tiga bulan, apakah ini halal ?
Beliau menjawab :
“Alhamdulilah, kalau kuda yang dibelinya itu untuk digunakan sendiri atau untuk diperjual belikan, boleh boleh saja ia menjualnya kembali dengan pembayaran tertunda. Akan tetapi yang dituntut disini adalah agar dia hanya mengambil untung sewajarnya, tidak boleh melebihkan keuntungan karena kondisi pembeli yang sangat membutuhkan.”
(Lihat Majmu’ Fatwa 29/501)
Dalam kesepatan lain beliau juga berkata :
“Jangan mengambil keuntungan dari pembeli yang lugu (pembeli yang tidak pandai tawar menawar) lebih banyak dari pada pembeli lainnya, Demikin juga dari orang yang terpepet yang hanya mendapatkan kebutuhannya pada diri penjual tertentu. Si penjual tidak boleh mengambil keuntungan lebih banyak dari biasanya, Hendaknya dia mengambil harga standart yang bukan merupakan harga buatannya sendiri.” Abu Tholib menceritakan : “Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad : “Apakah mengambil keuntungan lima puluh persen, misalnya dari harga sepuluh diambil keuntungan lima. Itu termnasuk dilarang? Beliau menjawab : “Kalau penundaan pembayaran itu dilakukan selama satu tahun atau kurang sedikit sesuai dengan kadar keuntungan, tidak menjadi masalah.” Ja’far bin Muhammad pernah menceritakan : “Aku pernah mendengar Abu Abdilah menyatakan : “Jual beli dengan pembayaran tertunda kalau harganya tidak terpaut jauh tidak apa-apa.”
(Lihat Al Ikhtiyarot Al Ilmiyah hal : 122-123)

D.       Hubungan Kredit dengan Riba
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila...” (QS.Al-Baqarah:275) 
Mengapa kredit termasuk riba?
Kredit adalah kegiatan membeli barang atau pinjaman uang dengan mencicil pembayaran beberapa kali dan besarnya bunga sesuai dengan ketentuan penjual atau pemberi pinjaman. Bunga inilah yang membuat kredit termasuk riba. Meskipun kebiasaan di masyarakat, bunga sudah dipandang wajar sebagai 'upah pembayaran' disebabkan karena diperpanjangnya jatuh tempo pembayaran.
Daruquthni meriwayatkan bahwa seorang wanita berkata kepada Aisyah ra., "Aku menjual (atas suruhan Zaid bin Arqam) seorang budak kepada Atha' seharga 800 dirham secara kredit. Beberapa waktu kemudian, sebelum jatuh tempo, Atha' membutuhkan uang. Lalu aku beli (juga atas suruhan Zaid) budak tersebut seharga 600 dirham secara kontan." Mendengar hal tersebut, Aisyah ra. berkata,"Alangkah buruknya apa yang kamu jual dan apa yang kamu beli. Sampaikan kepada Zaid bin Arqam bahwa Allah akan menghapus pahala jihad dan hajinya yang ia lakukan bersama Rasulullah, jika ia tidak bertaubat." Kemudian Zaid menemui Aisyah dan meminta maaf, kemudian Aisyah membacakan: "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan)." (QS.Al-Baqarah: 275)
Jadi, sebelum turunnya firman Allah tersebut, maka orang-orang yang melakukan riba dibolehkan untuk mendapatkan harta yang dibayarkan, masalah berdosa atau tidak, urusannya adalah terserah kepada Allah. Secara syari'at, mereka diberikan ampunan. Namun setelah turunnya ayat tersebut hingga akhir zaman, orang-orang yang memakan riba ini akan dimasukkan neraka. "..Barangsiapa mengulangi (memakan riba tersebut), maka mereka kekal di dalamnya" (QS.Al-Baqarah:275)
Kenapa ada trend kredit?
Semakin bertambahnya komoditi barang dagang yang menarik dan fusngsional baik untuk memenuhi kebutuhan keluarga ataupun kebutuhan pribadi membuat masyarakat semakin memiliki hasrat untuk memperbanyak properti hidup yang dimilikinya.
Meskipun hal tersebut bukan merupakan kebutuhan pokok, namun tak sedikit akhirnya orang-orang terjebak dalam angan-angan dengan fasilitas barang baru yang menurutnya akan menambah kenyamanan hidupnya. Apalagi barang tersebut ada di depan mata. Meskipun tidak punya uang, tetapi demi 'keinginannya' orang modern sekarang sanggup menghilangkan logikanya
terhadap barang tersebut. Melihat permintaan yang besar namun daya beli yang rendah, akhirnya diambil kesepakatan untuk membayar 'upah pembayaran' dari cicilan barang tersebut. Jika diantara pembeli dan penjual sudah dicapai kesepakatan jumlah upah pembayaran yang harus dibayar maka transaksi dagang akan terjadi. Lama-kelamaan, penentuan besarnya upah pembayaran ini menjadi hak penjual. Alasannya, untuk membuat transaksi menjadi mudah. Jadi pembeli tinggal mengikuti besarnya upah ini sesuai dengan kebiasaan yang berada di dalam masyarakat. Di sisi lain, hal ini sangat menguntungkan penjual yang berjiwa kapitalis.
Apa ruginya kredit? Bagaimana Islam menyelesaikannya?
Kredit membuat pembeli menderita kerugian materi yang sangat besar. Sebuah benda seharga sepuluh juta, jika dibeli dengan kredit selama setahun bisa dibayar dengan harga total lima belas juta. Dalam hal ini pembeli memang mendapatkan kemudahan pembayaran tiap bulan dan dapat menikmati barang tersebut secepatnya ketimbang harus menabung setahun, namun barang tersebut mendatangkan kerugian 5 juta kepada pembelinya.
Untuk menyelesaikan masalah ini, maka menurut Imam Malik dan Ahmad, si pembeli boleh membatalkan transaksi mereka. Kemudian Imam Malik menambahkan, "Jika kerugian yang dialami mencapai sepertiga harga barang, maka pembeli boleh membatalkan transaksi."
Allah swt menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Jual beli tanpa riba itu sah dan halal dalam Islam. Jika khawatir di dalam jual beli ada riba, maka hilangkanlah kekhawatiran itu dengan cara mencari tahu harga pasar secara kontan dari barang yang kita beli. Kemudian, hilangkanlah rasa khawatir itu. Hibban bin Munqidz mengadu kepada Rasulullah saw. bahwa ia khawati telah melakukan penipuan dalam jual beli karena berkembang riba di dalam masyarakat zaman tersebut.
Kemudian Rasulullah saw menjawab "Jika kamu melakukan jual beli katakanlah 'Tidak ada penipuan di dalam jual beli'."(h.r. Muslim dan yang lain disampaikan oleh Ibnu Umar).
Cerdas dalam memprioritaskan kebutuhan hidup
Ibu-ibu adalah sasaran empuk para debitur yang ingin mengkreditkan barang-barang atau uangnya. Mulai dari sandal japit hingga mobil. Jika kita masuk ke daerah perkampungan, ternyata barang-barang kebutuhan rumah tangga yang dibeli ibu-ibu tersebut adalah dari hasil kredit kepada tukang kelontong yang datang ke perkampungan tersebut. Bahkan, bahan makanan yang dimakan sehari-hari pada tukang sayur pun dibelinya dengan cara kredit. Setiap hari dihitung berapa belanjaan yang ia ambil. Lalu di akhir bulan dibayar dengan bunga mencapai 50%.
Berhati-hatilah dengan kredit, apalagi jika barang tersebut langsung dimakan. Makanan yang kita makan dari hasil yang tidak halal (meskipun thayyib/baik zat-zatnya), maka makanan tersebut akan menjadi racun dalam darah dan daging. Karena tidak halal, makanan tersbut bisa menjadi penghambat kecerdasan anak, membuat anak menjadi nakal dan durhaka pada orang tua, membuat anak akan mengikuti jejak orang tuanya yang suka memakan riba, menjadikan anak seorang manusia yang hanya mau enaknya saja dan tidak bertanggung jawab terhadap lingkungannya.
Yang terbaik sebagai seorang ibu rumah tangga yang cerdas adalah melakukan pendataan terhadap barang-barang kebutuhan pokok yang diperlukan di dalam rumah tangga, dan harus disesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga yang dimiliki. Jika memiliki keinginan terhadap barang-barang yang sekunder yang sifatnya hanya memberikan kesenangan sementara, maka lebih baik menahan diri. Lama kelamaan, keinginan itu akan hilang seiring dengan hilangnya trend masyarakat terhadap barang tersebut.
Meminta pandangan suami
Semua barang yang dibeli harus dibeli dengan kontan. Jika memang belum mampu membeli, maka menabunglah dulu. Pada zaman sekarang, lebih banyak keluarga yang akhirnya besar pasak daripada tiang (lebih besar pendapatan daripada pandapatan).
Allah swt sendiri membatasi hal tersebut dalam firmanNya di dalam (QS. Asy-Syuura:27), “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas dimuka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”
Bersabarlah terhadap keinginan kita, meskipun itu sulit. Jika tidak kuat bersabar, maka alihkan perhatian kita pada anak-anak dan suami. Mintalah selalu pandangan suami tentang barang yang ingin kita beli. Meskipun kadang terlihat sepele. Katakan padanya, jika kita membeli barang ini, maka akan mengurangi uang belanja. Hal ini pastinya akan berakibat pada uang ongkos kerja yang diberikan padanya. Dengan berkata seperti itu, maka suami yang tadinya tidak perhatian dengan barang yang akan kita beli menjadi perhatian dan akan memberikan pandangannya. Alasan terpenting mengapa seorang istri harus meminta pandangan suami adalah :
Laki-laki itu dianugerahi 9 akal dan 1 perasaan sedangkan wanita justru sebaliknya, sehingga dalam mengambil pilihan, biasanya wanita hanya menggunakan keinginannya sesaat tanpa mempertimbangkan kemanfaatan barang tersebut di dalam rumah tangganya. Karena seringnya wanita hanya terjebak pada keinginan yang disebabkan 'rumput tetangga lebih hijau'.
Dengan adanya komunikasi dua arah di dalam keluarga maka akan terjadi hubungan yang harmonis di dalam keluarga. Biasanya jika terjadi hubungan yang harmonis, maka istri cenderung merasa cukup dengan kebutuhan rumah tangganya. Cukuplah suami dan anak-anaknya yang menjadi barang berharga dibandingkan dengan barang yang ingin dibelinya. Dengan cara ini, maka sang istri akan lebih dapat menahan keinginannya terhadap barang tersebut.

Daftar Pustaka


Amir, Amri.2009.Hubungan Inflasi dan Suku Bunga. http://amriamir.wordpress.com/2009/12/02/hubungan-inflasi-dan-suku-bunga/ [Diakses pada tanggal 26 Desember 2009]

http://belajarforex.com/index.php [Diakses pada tanggal 27 Desember 2009].
Mankiw, N. Gregory. 2007. Makro Ekonomi. Jakarta : Erlangga
Muhammad, Nur Ichwan Muslim. 2009. Riba dan Dampaknya (2)

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-dan-dampaknya-2.html. [Diakses pada tanggal 20 November 2009].

Sakti, Ali.2007.Ekonomi Islam : Jawaban Atas kekacauan Ekonomi Modern.Paradigma & Aqsa



0 komentar: