Saya tertarik dengan artikel ini. Kalau boleh saya akan berbagi sedikit cerita.
Saya punya tiga anak. Kesemuanya memiliki karakter yang berbeda. Satu sama lain memiliki ke-khas-an sendiri-sendiri.
Anak pertama saya sekarang berusia 11 tahun. Bercita-cita ingin jadi disainer. Nilai sekolah cukup baik. Selalu masuk dalam 5 besar (2-5). Dan sangat agresif dalam melakukan setiap aktifitas. Inovasinya selalu terealisasi dalam setiap hal yang ditemuinya. Ada kardus jadi rumah-rumahan. Ada kertas dikasihnya gambar. Ada keong dibuatkannya kandang. Ada tanah dibuatnya boneka. Segala hal yang menarik perhatiannya segera ia realisasikan.
Anak kedua 9 tahun. Tidak terlalu berprestasi di sekoleh. Nilainya biasa-biasa saja. Bercita-cita ingin jadi artis. Yang menarik dari anak ini adalah selalu membuat perbandingan dalam setiap keputusannya. Sebagai contoh, sebelum mantap keputusannya untuk jadi artis dia bandingkan penghasilan seorang artis dengan dokter. Berapa besar peluang dokter untuk bisa keluar negeri dan seberapa besar peluang artis untuk terkenal. Unik memang, dan cukup repot menjelaskan maslah penghasilan dan karir ke anak 7 tahun saat itu. Ketertarikannya pada kemandirian cukup tinggi. Jiwa entrepreneur dan enternatainernya cukup baik. Sekarang setiap hari tekun bernyanyi, berlenggok dan berdandan di depan kaca sebagai ekspresi dari keinginannya untuk jadi seorang artis.
Anak ketiga saya cenderung manja, bergantung pada kakak-kakanya dan memiliki percaya diri yang cukup baik. Bercita-cita ingin jadi Dokter dan Artis. Memiliki disiplin yang baik, cenderung mengerjakan sesuatu yang bersifat rutin secara teratur. Selalu terpacu berbuat yang terbaik.
Diluar sepengetahuan saya, ketiga anak saya berjualan kertas bergambar yang belum diwarnai dan membuka lomba mewarnai dengan hadiah tertentu. Atau menyewakan buku-buku bacaan mereka ke teman-temannya. Uang penjualan gamar digunakannya jajan ekstra di luar jatah jajan harian mereka, Aktifitas ini biasanya mereka lakukan bersama-sama.
Sedikit berbagi kiat saja.
Saya mencoba membentuk karakter anak saya dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih dan berekspresi. Memuji setiap keberhasilannya dan memberi alasan yang logis atas kegagalannya. Tidak memfonis, tapi memberi solusi untuk perbaikan.
Waktu saya tidak banyak untuk bersama anak-anak. Kebetulan saya single parent (5 thn). Dari pengalaman, bukan banyaknya waktu peretmuan yang dapat membentuk anak, tapi kualitas pertemuan yang terpenting. Saya memanfaatkan waktu yang paling efektif dalam menanamkan pemahaman pada anak, yaitu saat saya menemani mereka tidur. Mendongengkan mereka cerita dengan melibatkan mereka sebagai tokoh dalam cerita tersebut dan menutupnya dengan sebuah kesimpulan. Untuk kebersamaan sekali-sekali saya meluangkan waktu untuk pergi ke pegunungan (camping) bersama anak-anak.
Yang terpenting buat saya adalah bukan apa cita-cita mereka. Tapi bagaimana mereka memilih cita-cita (visi). Tentunya harus sesuai dengan keinginan dan kecenderungan bakat mereka. Saya meyakini bahwa segala hal yang dilakukan atas dasar keinginan maka akan memiliki kecenderungan untuk terealisasi secara optimal.
Semoga bermanfaat.
Iwan
Hendry Risjawan <hendry@car.co.id> wrote:
***********************
Your mail has been scanned by InterScan.
PT. AJ Central Asia Raya
***********-***********
MENDIDIK ANAK
Oleh : Leni Wongso Pepatah menyatakan “Anak adalah titipan dari yang kuasa” seperti juga pujangga besar Khalil Gibran, dalam sebuah puisinya yang sangat popular menyebutkan”…. Mereka adalah putra putri kehidupan. Dari kita mereka ada…tetapi mereka bukanlah milik kita…..dst .
Sesungguhnya, setiap manusia (anak atau dewasa), memiliki hak-hak yang melekat sejak dia menghirup oksigen di muka bumi ini. ”. Ironisnya, banyak orang tua yang sering memperlakukan anak-anak mereka dengan semena-mena, otoriter, dengan anggapan, sampai kapanpun anakku adalah anak-anak, yang harus menuruti segala kehendak orang tua. Walaupun yang disebut anak itu mungkin saat ini telah memiliki anak-anak mereka sendiri.
Orang tua = hakim ?? Setiap anak memiliki karakter yang berbeda, maka mendidik anak adalah seni kehidupan yang sangat unik dan spesifik.
Setiap hari menyaksikan ulah anak-anak, dan begitu kenakalan terjadi, hati dan pikiran kita bereaksi, mau diapain anak ini? Cukup diberi pengertian? Atau diperingatkan keras? Atau harus dicubit? Atau …..?
Saat itulah kita siap memvonis bagai seorang hakim. Maka, emosi, kebijaksanaan dan wawasan berpikir sebagai orang tua sangat menentukan, apakah anak merasa diperlakukan secara wajar dan adil oleh orang tuanya terhadap ulah mereka.
Pada sebuah seminar, ada seorang peserta yang bertanya tentang bagaimana kami mendidik anak? Dengan cara baru atau lama? Nah lho, mendidik anak dengan cara baru? (setiap anak melakukan kesalahan, cukup diberi pengertian). Dan cara lama? Dengan pukulan atau kekerasan! Menurut saya, mendidik anak tidak ada cara baru atau lama. Karena kita yang paling tau karakter anak-anak kita, maka cara apapun, asal tidak ekstrim, tidak masalah.
Apakah dalam mendidik anak perlu dipukul? Atau tindakan fisik?
Bagi saya, bila memang diperlukan, bisa saja dilakukan pemukulan (bukan dalam taraf membahayakan). Sekali lagi, kita lah yang paling tau karakter anak sendiri, selama niatnya baik dan kemudian diberi pengertian benar, saya yakin, sebuah pendidikan tidak berbatas pada vonis pemukulan berarti tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tetapi lebih dari itu, mendidik anak berarti menghantar mereka dalam pembentukan karakter dan kepribadian sebagai bekal menjadi diri mereka sendiri. Sehingga dikemudian hari, mereka mampu tampil sebagai pribadi yang baik, berguna bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.
Karena setiap anak memiliki karakter khas yang berbeda satu sama lain, maka temukan metode dan mendidik anak sesuai dengan karakter mereka masing-masing sehingga anak tidak hanya mampu memperbaiki diri dari sebuah kesalahan tetapi juga terdorong untuk senang secara terus-menerus mengembangkan sisi baiknya.
Penutup.
Keluarga adalah basis pendidikan yang paling utama, dan orang tua merupakan figure utama pendidik dalam keluarga. Keteladanan orang tua merupakan pola pendidikan yang paling ringkas, simple dan efektif. Kasih sayang dan komunikasi antar anggota keluarga ditambah dengan contoh nyata dari figure orang tua merupakan unsur penting dalam mendidik buah hati kita. Orang tua yang luar biasa adalah orang tua yang disegani, ditaati dan diteladani oleh anak-anaknya.
Selamat mengarungi samudra pendidikan anak.
Life for Success
Regards,
HENDRY RISJAWAN
- Training & Development Dept.
PT A.J. Central Asia Raya (CAR)
Saya punya tiga anak. Kesemuanya memiliki karakter yang berbeda. Satu sama lain memiliki ke-khas-an sendiri-sendiri.
Anak pertama saya sekarang berusia 11 tahun. Bercita-cita ingin jadi disainer. Nilai sekolah cukup baik. Selalu masuk dalam 5 besar (2-5). Dan sangat agresif dalam melakukan setiap aktifitas. Inovasinya selalu terealisasi dalam setiap hal yang ditemuinya. Ada kardus jadi rumah-rumahan. Ada kertas dikasihnya gambar. Ada keong dibuatkannya kandang. Ada tanah dibuatnya boneka. Segala hal yang menarik perhatiannya segera ia realisasikan.
Anak kedua 9 tahun. Tidak terlalu berprestasi di sekoleh. Nilainya biasa-biasa saja. Bercita-cita ingin jadi artis. Yang menarik dari anak ini adalah selalu membuat perbandingan dalam setiap keputusannya. Sebagai contoh, sebelum mantap keputusannya untuk jadi artis dia bandingkan penghasilan seorang artis dengan dokter. Berapa besar peluang dokter untuk bisa keluar negeri dan seberapa besar peluang artis untuk terkenal. Unik memang, dan cukup repot menjelaskan maslah penghasilan dan karir ke anak 7 tahun saat itu. Ketertarikannya pada kemandirian cukup tinggi. Jiwa entrepreneur dan enternatainernya cukup baik. Sekarang setiap hari tekun bernyanyi, berlenggok dan berdandan di depan kaca sebagai ekspresi dari keinginannya untuk jadi seorang artis.
Anak ketiga saya cenderung manja, bergantung pada kakak-kakanya dan memiliki percaya diri yang cukup baik. Bercita-cita ingin jadi Dokter dan Artis. Memiliki disiplin yang baik, cenderung mengerjakan sesuatu yang bersifat rutin secara teratur. Selalu terpacu berbuat yang terbaik.
Diluar sepengetahuan saya, ketiga anak saya berjualan kertas bergambar yang belum diwarnai dan membuka lomba mewarnai dengan hadiah tertentu. Atau menyewakan buku-buku bacaan mereka ke teman-temannya. Uang penjualan gamar digunakannya jajan ekstra di luar jatah jajan harian mereka, Aktifitas ini biasanya mereka lakukan bersama-sama.
Sedikit berbagi kiat saja.
Saya mencoba membentuk karakter anak saya dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih dan berekspresi. Memuji setiap keberhasilannya dan memberi alasan yang logis atas kegagalannya. Tidak memfonis, tapi memberi solusi untuk perbaikan.
Waktu saya tidak banyak untuk bersama anak-anak. Kebetulan saya single parent (5 thn). Dari pengalaman, bukan banyaknya waktu peretmuan yang dapat membentuk anak, tapi kualitas pertemuan yang terpenting. Saya memanfaatkan waktu yang paling efektif dalam menanamkan pemahaman pada anak, yaitu saat saya menemani mereka tidur. Mendongengkan mereka cerita dengan melibatkan mereka sebagai tokoh dalam cerita tersebut dan menutupnya dengan sebuah kesimpulan. Untuk kebersamaan sekali-sekali saya meluangkan waktu untuk pergi ke pegunungan (camping) bersama anak-anak.
Yang terpenting buat saya adalah bukan apa cita-cita mereka. Tapi bagaimana mereka memilih cita-cita (visi). Tentunya harus sesuai dengan keinginan dan kecenderungan bakat mereka. Saya meyakini bahwa segala hal yang dilakukan atas dasar keinginan maka akan memiliki kecenderungan untuk terealisasi secara optimal.
Semoga bermanfaat.
Iwan
Hendry Risjawan <hendry@car.co.id> wrote:
***********************
Your mail has been scanned by InterScan.
PT. AJ Central Asia Raya
***********-***********
MENDIDIK ANAK
Oleh : Leni Wongso Pepatah menyatakan “Anak adalah titipan dari yang kuasa” seperti juga pujangga besar Khalil Gibran, dalam sebuah puisinya yang sangat popular menyebutkan”…. Mereka adalah putra putri kehidupan. Dari kita mereka ada…tetapi mereka bukanlah milik kita…..dst .
Sesungguhnya, setiap manusia (anak atau dewasa), memiliki hak-hak yang melekat sejak dia menghirup oksigen di muka bumi ini. ”. Ironisnya, banyak orang tua yang sering memperlakukan anak-anak mereka dengan semena-mena, otoriter, dengan anggapan, sampai kapanpun anakku adalah anak-anak, yang harus menuruti segala kehendak orang tua. Walaupun yang disebut anak itu mungkin saat ini telah memiliki anak-anak mereka sendiri.
Orang tua = hakim ?? Setiap anak memiliki karakter yang berbeda, maka mendidik anak adalah seni kehidupan yang sangat unik dan spesifik.
Setiap hari menyaksikan ulah anak-anak, dan begitu kenakalan terjadi, hati dan pikiran kita bereaksi, mau diapain anak ini? Cukup diberi pengertian? Atau diperingatkan keras? Atau harus dicubit? Atau …..?
Saat itulah kita siap memvonis bagai seorang hakim. Maka, emosi, kebijaksanaan dan wawasan berpikir sebagai orang tua sangat menentukan, apakah anak merasa diperlakukan secara wajar dan adil oleh orang tuanya terhadap ulah mereka.
Pada sebuah seminar, ada seorang peserta yang bertanya tentang bagaimana kami mendidik anak? Dengan cara baru atau lama? Nah lho, mendidik anak dengan cara baru? (setiap anak melakukan kesalahan, cukup diberi pengertian). Dan cara lama? Dengan pukulan atau kekerasan! Menurut saya, mendidik anak tidak ada cara baru atau lama. Karena kita yang paling tau karakter anak-anak kita, maka cara apapun, asal tidak ekstrim, tidak masalah.
Apakah dalam mendidik anak perlu dipukul? Atau tindakan fisik?
Bagi saya, bila memang diperlukan, bisa saja dilakukan pemukulan (bukan dalam taraf membahayakan). Sekali lagi, kita lah yang paling tau karakter anak sendiri, selama niatnya baik dan kemudian diberi pengertian benar, saya yakin, sebuah pendidikan tidak berbatas pada vonis pemukulan berarti tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tetapi lebih dari itu, mendidik anak berarti menghantar mereka dalam pembentukan karakter dan kepribadian sebagai bekal menjadi diri mereka sendiri. Sehingga dikemudian hari, mereka mampu tampil sebagai pribadi yang baik, berguna bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.
Karena setiap anak memiliki karakter khas yang berbeda satu sama lain, maka temukan metode dan mendidik anak sesuai dengan karakter mereka masing-masing sehingga anak tidak hanya mampu memperbaiki diri dari sebuah kesalahan tetapi juga terdorong untuk senang secara terus-menerus mengembangkan sisi baiknya.
Penutup.
Keluarga adalah basis pendidikan yang paling utama, dan orang tua merupakan figure utama pendidik dalam keluarga. Keteladanan orang tua merupakan pola pendidikan yang paling ringkas, simple dan efektif. Kasih sayang dan komunikasi antar anggota keluarga ditambah dengan contoh nyata dari figure orang tua merupakan unsur penting dalam mendidik buah hati kita. Orang tua yang luar biasa adalah orang tua yang disegani, ditaati dan diteladani oleh anak-anaknya.
Selamat mengarungi samudra pendidikan anak.
Life for Success
Regards,
HENDRY RISJAWAN
- Training & Development Dept.
PT A.J. Central Asia Raya (CAR)
0 komentar:
Posting Komentar