Selasa, 29 Mei 2012

Monogami dan Poligami Nabi Muhammad SAW Setia Monogami


Faqihuddin Abdul Kodir, MA (Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah ), 29 Mei 2003


Bismillah hirRohman nirRohim

Rekaman
sejarah jurisprudensi Islam sebenarnya telah lama mematahkan argumen yang sering diyakini oleh kalangan propoligami bahwa “poligami itu Sunnah Nabi Saw.” Usaha mencari justifikasi teologis poligami seringkali dipaksakan, meski Q.s an-Nisa: 3 jelas menunjukkan kemustahilan berlaku adil ketika berpoligami. Tapi, anehnya, kalangan propoligami tetap percaya bahwa poligami turut menentukan tolok ukur keislaman seseorang.

Tanya
: Anda cukup punya perhatian terhadap masalah perempuan pada umumnya dan poligami khususnya. Seserius apakah masalah poligami ini di masyarakat?

FAQIHUDDIN
ABDUL KODIR: Cukup serius. Kalangan propoligami seringkali menyandarkan argumennya pada pemahaman yang salah atas nash Alquran dan hadis. Slogan-slogan seperti “poligami itu Sunnah” dan “poligami itu membawa berkah” sering mereka pakai. Sebetulnya tidak terlalu tepat kalau dikatakan bahwa Islam punya dalil untuk membolehkan poligami.
Sebaliknya, kita juga punya dalil --dalam artian teks—yang membicarakan masalah itu.

Dalam tulisan saya di Kompas (13 Mei 2003) berjudul Benarkah Poligami Sunah..? saya mengatakan bahwa persoalan poligami dan monogami adalah persoalan parsial atau persoalan konteks belaka. Sementara dalam fikih ada beragam padangan soal itu.
Saya membaca lagi kitab Al-Hidâyah karangan Al-Murhinani, seorang ulama dari mazhab Hanafi, bahwa ada suatu saat poligami bisa diharamkan. Pandangan tersebut misalnya, dapat disimak dari Imam Al-Syafii dalam Ar-Risalah-nya. Dia pernah mengatakan, seorang laki-laki merdeka diharamkan berpoligami dengan seorang amat, budak perempuan. Sebab apa?
Dikhawatirkan, nanti akan terjadi kerusakan pada keturunannya. Anak seorang budak, nasibnya saat itu akan menjadi budak juga. Artinya, dalam fikih selalu ada kemungkinan bahwa antara poligami atau monogami, dalam konteks tertentu, salah satunya justru malah lebih diunggulkan. 

Tanya : Selama ini orang yang berpoligami mengambil landasan dari ayat Alquran. Bagaimana menjawab argumen seperti ini?

FAQIHUDDIN:
Sebenarnya kalau mau jujur, dalam Alquran ada tiga poin yang terkaitan dengan poligami. Yang pertama, anggaplah semacam memberi kesempatan untuk poligami. Kedua, peringatan atau warning agar belaku adil: fain khiftum allâ ta‘dilû fawâhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu sajalah! -Red). Ketiga, ada ayat yang mengatakan, walan tashtatî’û ‘an ta’dilî bainan nisâ’ wain harashtum. Artinya, kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha keras.

Ini artinya, kalau kita melakukan komparasi atas berbagai ayat, kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami: masalah keadilan. Intinya, dua ayat justru mengekang poligami. Kalau kita menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Dan ingat, satu-satunya ayat yang seakan membolehkan poligami, yaitu Qs An-Nisa: 2-3, konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Tanya : Bagaimana dengan dalih meneladani praktik Nabi Saw?

FAQIHUDDIN:
Kalau kita bicara tentang praktik Nabi, ketahuilah Nabi itu menjalani bahtera rumah tangga lebih dari 30 tahun. Tapi selama 28 tahun Nabi setia dengan praktik monogami. Dan hanya delapan tahun dia melakukan poligami. Kalau kita menggunakan proporsi waktu juga, maka anggapan bahwa poligami adalah Sunnah itu lucu juga. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Bahkan, praktik monogami Nabi yang sangat lama itu dilakukan di tengah situasi sosial masyarakat Arab yang menganggap poligami itu lumrah.

Jadi jelas Nabi lebih bahagia dan sukses ketika menjalani kehidupan monogami. Ingat, betapa berdukanya Nabi setelah wafatnya Khadijah, isterinya beliau satu-satunya dalam praktik monogami. Bahkan, tahun itu (kesepuluh kenabian) disebut juga sebagai amulhuzn (tahun duka cita, Red). Baru dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani sebentar saja. Selain itu, perlu diingat kasus Nabi melarang Ali bin Abi Thalib melakukan poligami yang berarti memadu putrinya, Fatimah. Itu dikisahkan dalam hadis sahih, dan diriwayatkan, di antaranya oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih mereka. Juga diriwayatkan oleh ulama hadis terkemuka seperti Turmudzi dan Ibn Majah.

Tanya : Artinya, secara subjektif Nabi tidak suka anaknya dimadu?

FAQIHUDDIN:
Ya, Nabi marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah, akan dipoligami Ali. Nabi pun langsung masuk ke masjid, naik mimbar dan berkhutbah di depan banyak orang: Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Sabda Nabi: “innî lâ ‘âdzan, (saya tidak akan izinkan), tsumma lâ ‘âdzan (sama sekali, saya tidak akan izinkan), tsumma lâ âdzan illâ an ahabba ‘ibn Abî Thâlib an yuthalliq ‘ibnatî, (sama sekali, saya tidak akan izinkan, kecuali bila anak Abi Thalib (Ali) menceraikan anakku dahulu). Lalu Nabi melanjutkan, Fâthimah bidh‘atun minnî, yurîbunî mâ ‘arâbahâ wa yu’dzînî mâ ‘adzâhâ, Fatimah adalah bagian dari diriku; apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti hatiku juga (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026). Akhirnya Ali bin Abi Thalib tetap bermonogami sampai Fatimah wafat.

Tanya : Hadis tersebut jarang sekali disiarkan?

FAQIHUDDIN:
Ya. Itulah ironisnya. Ada distorsi yang dilakukan kalangan propoligami. Ketika kita membuka kitab-kitab hadits semacam Majâmi‘ Al-Ushûl, kumpulan enam kitab hadis terbesar–misalnya—akan ditemukan tiga klasifikasi tentang poligami. Pertama, ada pembatasan.
Alkisah, ada sahabat yang kawin dengan sepuluh orang, lantas Nabi menganjurkan untuk menceraikan selain empat orang. Itulah yang dilakukan Nabi pada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Kedua, ada hadis tentang moralitas poligami. Dalam hadits ini, disebutkan kalau orang yang melakukan praktik poligami harus adil, tidak berlaku aniaya atas dua isteri; kalau berbuat aniaya diancam siksa neraka. Ketiga, perilaku Nabi dalam berpoligami.

Coba lihat kitab Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita temukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi. Sebagian besar yang dinikahi Nabi adalah janda-janda yang ditinggal mati suaminya ketika berjihad, kecuali Aisyah binti Abu Bakr.

Jadi anjuran --baik dari Alquran atau hadis-- yang menyebut poligami sebagai sesautu yang baik tidak ada sama sekali. Karena itu, pandangan yang beredar di masyarakat, seperti kasus Puspowardoyo atau Drs. Muhammad Thalib yang menulis buku Tuntunan Poligami dan Keutamaannya kurang tepat. Mereka jelas-jelas menganjurkan, bahkan menganggapnya perintah. Dalam pandangan mereka, orang yang berpoligami lebih baik daripada yang monogami (Rhoma Irama yang berpoligami juga berpendapat demikian, Red). Bahkan disebutkan bahwa poligami akan menambah rezeki, memberi peluang masuk surga lebih banyak. Ini lucu sekali!

Tanya : Apa isi buku Tuntunan Poligami dan Keutamaannya itu?

FAQIHUDDIN:
Poin paling utama dari buku itu mengatakan bahwa poligami adalah anjuran Islam, dan orang yang melakukan poligami lebih baik dari orang yang melakukan monogami. Sebetulnya, perkataan ini bukan berdasarkan Alquran dan hadis, tapi garis besarnya dari perkataan Ibn Abbas yang berbunyi, tazawwaj fainna khaira hâdzi al-ummah aktsaruhâ nisâ’an. Dia mengatakan itu kepada temannya, Said bin Zubeir: “Kawinlah! Karena sungguh sebaik-baiknya umat Islam adalah yang banyak isterinya”. Ini sesuai dengan terjemahan buku itu. Padahal, kalau kita membahas artinya, akan banyak sekali terjemahan yang tidak pas. Tapi, taruhlah terjemahan dia benar, maka masalah (yang tersisa) ini adalah perkataan Ibnu Abbas, seorang sahabat.

Tidak semua ulama mengatakan perkataan sahabat sebagai hujjah atau sesuatu yang bisa dijadikan argumen agama yang valid. Imam Syafi’i misalnya, mengatakan bahwa mazhabus shahâbah, laisat bihujjatin muthlaqah, perkataan sahabat itu bukan dalil sama sekali. Kalau Imam Hanafi lain lagi. Dia masih mengatakan, wain khâlafahul qiyâs fainnahu hujjah, wain lam yukhâlif, fahiyâl hujjah. Artinya, kalau bertentangan dengan analogi (qiyâs), maka bisa  dianggap sebagai hujjah, khususnya kalau dalam bidang akidah. Sebab, bagian akidah dalam agama tidak bisa dilandaskan pada analogi. Selagi berbicara masalah keimanan, azab kubur, dan lain-lain, perkataan sahabat bisa dijadikan sebagai argumen. Tapi kalau bicara tentang sesuatu yang ada analoginya, maka dia tidak bisa dijadikan hujjah, karena masing-masing akan punya analogi; sahabat punya, tabi’in juga punya.

Jadi menurut Hanafi, pendapat sahabat bisa dijadikan sandaran dalam masalah akidah. Tapi kalau berkaitan dengan muamalah dan kehidupan sehari-hari justru tidak bisa. Masalah poligami termasuk dalam masalah kehidupan sosial (muamalah), sehingga perkataan sahabat tak bisa dijadikan sandaran.

Tanya
: Tapi dalam literatur fikih kita selama ini, soal poligami dianggap sebagai praktik agama yang legal dan sah-sah saja. Kenapa formulasi fikih bisa seperti itu?

FAQIHUDDIN:
Kita harus pahami kalau fikih ditulis di masa lalu, di mana posisi perempuan dan daya tawarnya sangat lemah. Tak banyak orang yang menyuarakan kepentingan perempuan. Jadi ketika mereka berbicara tentang keadilan, jarang sekali yang berbicara dari perspektif kaum perempuan.

Tanya : Kitab-kitab fikih juga kebanyakan ditulis oleh laki-laki?

FAQIHUDDIN:
Itu salah satu poin juga. Tapi ada suatu masa di mana ada sekitar 9900 ahli hadis perempuan. Tapi begitu masanya makin ke belakang, justru yang terjadi sebaliknya. Mereka tinggal beberapa orang saja, bahkan kita tidak mengenal seorang ulama perempuan dalam bidang fikih. Kalau
tasawuf kita mengenal Rabiah al-Adawiyah, tapi dalam hal fikih, kita tidak mengenal satu orang pun. Ini salah satu persoalan mengapa factor advokasi perempuan kurang banyak dilakukan.

Tanya
: Pengaruhnya sampai kini juga masih terasa. Juru dakwah, ulama atau cendekiawan dari kalangan perempuan juga sangat sedikit jumlahnya?

FAQIHUDDIN:
Itulah kenyataannya. Selama ini yang mengalami ketidakadilan adalah perempuan. Makanya, monogami atau poligami merupakan persoalan parsial atau partikular saja. Analoginya, kita boleh mencatat atau tidak mencatat hutang-piutang. Itu persoalan pilihan saja. Sementara yang prinsip dalam Islam adalah nilai keadilan. Artinya, masing-masing pihak, baik perempuan atau laki-laki, memperoleh hak mereka secara proporsional. Nah, ketika kita bicara prinsip, tentu saja kita harus
kembalikan kepada realitas.
Masalah poligami itu terkait antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaannya: sejauh mana keadilan diwujudkan melalui poligami. Kalau tidak terwujud, poligami bisa dilarang. Keadilan itu tidak hanya diterjemahkan oleh persepsi laki-laki semata. Selama ini, sering kali makna keadilan
diterjemahkan satu arah saja. Itu tidak tepat. Agar tahu tentang keadilan, banyak yang perlu dilibatkan, terutama perempuan sebagai korban poligami. Lembaga penelitian/advokasi yang mencermati kasus-kasus poligami juga dapat diminta pendapatnya.

Tanya : Bagaimana bila ada perempuan yang menganggap poligami itu adil bagi dirinya?

FAQIHUDDIN:
Kalau secara kasuistik, mungkin saja ada perempuan yang merasa adil. Tapi kita bicara secara sosial. Artinya, bicara fikih, maka kita bicara tentang apa yang sifatnya umum, bukan sesuatu yang sifatnya kasuistik. Sifat umum itu artinya sesuatu yang bisa diaplikasikan dan dirasakan
banyak orang. Nah, dalam kaitannya dengan orang-per-orang, tentu harus dilakukan penelitian terlebih dahulu.

Saya kira, kalau kita bicara statistik secara sosial, praktik poligami akan lebih banyak mendatangkan bahaya. Itu sebetulnya sudah ditegaskan oleh banyak penulis, yang menurut saya, lebih jujur dibandingkan teman-teman kita yang mempromosikan poligami itu.

Tanya : Kalau perempuan tidak mau dimadu, bagaimana status mereka dalam kacamata fikih?

FAQIHUDDIN:
Dari sisi fikih, perempuan yang tidak ingin dimadu punya hak. Dalam fikih ada syarat-syarat bagi laki-laki yang ingin melakukan poligami.
Isteri boleh mengajukan syarat pada suaminya agar jangan sampai dimadu.
Memang, ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa syarat seperti itu
tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa
perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan agar tidak
dimadu. Saya katakan dalam artikel saya, poligami adalah proses
dehumanisasi perempuan. Perempuan yang dimadu banyak yang mengalami
self-depreciation, penderitaan lahir batin luar biasa. Ada yang
menganggap penderitaan itu bagian dari pengorbanan, takdir, atau
menyalahkan dirinya sendiri sehingga membuat suaminya poligami. Kasihan
sekali, bukan?

Tanya
: Jadi ada reduksi atas ajaran Islam dengan menganggap bahwa ayat
poligami adalah pengesah (poligami) dengan sendirinya, sembari
mengabaikan kenyataan sosial dan pendapat ulama yang beragam dalam
menafsirkan ayat tersebut. Menurut Anda?

FAQIHUDDIN:
Ya. Inilah salah satu hal yang mendistorsi pemikiran atau perkembangan
pemikiran fikih kita: ketika fikih dilihat dari satu pendapat saja dan
yang lainnya tidak dianggap. Padahal, dalam fikih pandangan itu justru
banyak dan mengikuti konteks sosial masing-masing ulama. Ketika
berbicara bahwa poligami itu sunnah, mungkin itu hanya dilihat dari
persoalan dan konteks di masa lalu. Jadi, sangat naif kalau fikih hanya
meladeni satu pandangan saja.

Tanya
: Kita tahu, Nabi beristeri sembilan. Tapi dalam kaidah fikih, ada hal
yang tidak boleh diikuti dari Nabi. Bisa dijelaskan lebih lanjut?

FAQIHUDDIN:
Itulah yang dinamakan dengan khushûsiyyât, atau spesifikasi yang
dimiliki Nabi dan tidak dimiliki dan tidak boleh dituruti orang lain.
Mungkin dalam hal ini termasuk masalah poligami juga. Tentang klaim
bahwa poligami berguna untuk proteksi bagi mereka yang janda misalnya
sebagaimana Nabi, mestinya mereka yang ingin poligami melirik ke janda.
Tapi sayangnya, daun muda nampaknya lebih disukai. Hadis yang saya
sebutkan di atas membuktikan poligami itu menyakitkan, baik bagi anak
yang dimadu maupun orangtua yang anaknya dimadu. Atas pertimbangan
semacam ini, poligami itu nantinya bisa saja ditekan, bahkan dilarang.
Dalam konteks personal, poligami itu dilarang karena menyakiti.

Tanya
: Mungkin di masa Nabi terjadi proses graduasi hukum. Suatu ketika yang
diidealkan hukum Islam adalah monogami, dan poligami malah dianggap
haram. Tanggapan Anda?

FAQIHUDDIN:
Bisa saja. Itu salah satu bentuk transformasi. Kebanyakan isteri-isteri
Nabi itu janda. Jadi masalah proteksi itu betul-betul terwujud. Ini
berbeda dengan praktik-praktik poligami di sini yang tidak seperti yang
dilakukan Nabi, sehingga proses proteksi dan transformasi terhadap
perempuan tidak lagi kelihatan. Karena itu, beberapa ulama seperti
Muhammad Abduh, bahkan berani mengatakan bahwa pada zaman kini hukum
poligami haram. Poligami rupanya menimbulkan persoalan, seperti anak
terlantar, pertengkaran, dan lain-lain. Jadi praktik di Mesir saat itu
menginspirasi Abduh untuk mengatakan bahwa pada masa sekarang, poligami
bisa haram. Apalagi Islam amat menekankan masalah keadilan.

Wallahu alam bishowab, Wa min Allah at tawfiq

0 komentar: