Senin, 21 Mei 2012

Hati Dalam Perspektif Islam

Hati Dalam Perspektif Islam

Imam Gazali dalam Ihya Ulumuddin membuat bab khusus yang membahas
Keajaiban Hati (`Ajaib al Qalb). Menurut Al Gazali kemuliaan
martabat manusia disebabkan karena kesiapannya mencapai makrifat
kepada Allah, dan hal itu dimungkinkan karena adanya hati. Dengan
hati, manusia mengetahui Allah dan mendekati Nya, sementara anggauta
badan yang lain berfungsi sebagai pelayannya. Hubungan hati dengan
anggauta badan dimisalkan Al Gazali seperti raja dengan rakyatnya,
atau seorang tukang dengan alatnya pertukangannya. . Hubungan hati
dengan angauta badan dipandang sebagai ilmu lahir, sementara akses
hati ke alam langit (`alam al malakut) masuk kategori ilmu batin
dimana didalamnya sarat dengan rahasia dan keajaiban. Sahal at
Tusturi menserupakan hati sebagai `arasy sementara dada merupakan
kursiy, satu perumpamaan yang menggambarkan bahwa di dalam diri
manusia seakan terdapat satu kerajaan tersendiri dimana hati
bertindak sebagai raja.

Al Gazali mengatakan bahwa hati mempunyai dua unit tentara (junudun
mujannadah), yaitu unit yang dapat dilihat dengan mata kepala dan
yang satu hanya dapat dilihat dengan mata hati. Yang pertama adalah
anggauta badan, sedang yang kedua adalah daya-daya; daya penglihatan,
daya pendengaran, daya hayal, daya ingat, daya fikir dan daya hafal,
yang bekerja dengan sistem yang sangat sophisticated dan hanya Allah
yang mengetahui hakikatnya. Dari kombinasi tentara lahir dan batin
itu dapat lahir kehendak (iradah), marah (ghodob), keinginan
(syahwat), pengetahuan (ilmu), dan persepsi (idrak). Hati juga
diibaratkan sebagai pesawat pemancar (dzauq) yang dapat menangkap
sinjal-sinyal yang melintas. Kapasitas pesawat hati tiap orang
berbeda-beda tergantung desain dan baterainya.

Hati yang telah lama dilatih melalui proses riyadhah memiliki desain
dengan kapasitas besar yang mampu menangkap sinjal yang jauh termasuk
sinjal isyarat tentang masa yang akan datang. Hati seorang sufi bisa
menangkap sinjal tentang prospek sesuatu (seperti penglihatan Nabi
Khidir) sehingga kata-katanya boleh jadi melawan arus atau tidak
difahami oleh orang lain. dengan hatinya ia juga bisa berkomunikasi
dengan orang lain yang berada di tempat lain atau di zaman yang lain,
laiknya telpon genggam saja. Ketajaman hati juga diibaratkan sebagai
cermin (cermin hati). Orang yang bersih dari dosa, hatinya bagaikan
cermin yang bening, yang begitu mudah untuk berkaca diri. Orang yang
suka mengerjakan dosa-dosa kecil, hatinya buram bagaikan cermin yang
terkena debu, jika digunakan kurang jelas hasilnya. Orang yang suka
melakukan dosa besar, hatinya gelap bagaikan cermin yang tersiram cat
hitam, dimana hanya sebagian kecil saja bagiannya yang dapat
digunakan.

Sedangkan orang yang suka mencampuradukkan perbuatan baik dengan
perbuatan dosa, hatainya kacau bagaikan cermin yang retak-retak, yang
jika digunakan akan menghasilkan gambaran yang tidak benar. Hati yang
sudah tumpul karena baterainya lemah seyogyanya diisi dengan stroom
baru, yakni dengan melalui mujahadah dan riyadlah. Ilmu sebagai
produk intelektuil (akal) kebenarannya bersifat nisbi, antara `ilmal
yaqin dan `ainul yaqin, sedangkan ilmu sebagai produk hati atau qalb
sebagai dzauq merupakan kebenaran hakiki (haqqul yaqin).
Sebagai penutup mari kita mencoba bercermin kepada hati kita masing-
masing agar kita juga tahu seberapa besar kapasitasnya. Kata Al
Gazali orang yang tidak mengenal hati sendiri, pasti ia lebih tidak
tahu lagi tentang hal lain. Wallohu a`lam.

Wassalam,

0 komentar: