Senin, 21 Mei 2012

God is Everything, but Whether Everything Is God ?

God is Everything, but Whether Everything Is God?

Pengantar


Saya tidak terlalu tahu tentang panteisme, tapi diskusi hari minggu kemarin dengan seorang bekas mahasiswa Indonesia di Moskow, via Yahoo Messenger, membuat saya tergelitik untuk membaca lebih banyak tentang panteisme.


Ada semacam “kesepakatan” diujung diskusi, bahwa manusia itu terbatas, yang setelah penulis baca kembali (teks chatting penulis simpan dalam bentuk dokumen rtf), mengantarkan penulis ke ambiguitas (selain kadang-kadang tidak nyambung karena koneksi di rumah yang terputus-putus) :

1. Jika manusia terbatas, ”bolehkah” dia mendefinisikan Tuhan ?
2. Kalau tidak boleh, ”bisakah” dia mengerti Tuhan ?


Dari Ibnu Taimiyah Hingga Theory of Everything
Menelisik hadits Nabi :

"Tafakkaru fi khalqillah wa laa tafakkaru fi Dzatillah"
fikirkanlah ciptaan-ciptaan- Nya dan jangan fikirkan Dzat-Nya

menyiratkan ada dua entitas yang berbeda, yakni ciptaan Allah dan Dzat Allah.

Dari tafsir Ibn Katsir atas surat Al Ikhlas, maka Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad, merujuk kepada Dzat Allah. Sesuatu yang undefineable.

Bagi penulis, Al Quran adalah sesuatu yang imbang dan mampu menjawab setiap pemikiran yang dilontarkan. Menempatkan akal dalam porsi yang sesuai dan tepat.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka bahwasanya Aku adalah dekat.
(Al Quran Surah Al Baqarah ayat 186)

"Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
(Al Quran Surah Al Baqarah ayat 214)

... dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
(Al Quran Surah Al A’raaf ayat 56)

”Qoorib” (dekat) disini bukanlah dekat dalam artian fisik, tapi hal lain yang dapat dinisbahkan sebagai ”kebesaran Allah”.

Salah satu kesalahan fir’aun ketika memproklamirkan diri menjadi Tuhan adalah masalah ”kedekatan” ini, terekam dalam fragmen dialognya dengan para Tukang Sihir Istana :

Fir'aun menjawab: "Ya, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang dekat (kepadaku)".
(Al Quran Al Karim Surah Al A’raaf ayat 114)

Fir'aun menjawab: "Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)".
(Al Quran Al Karim Surah Asy Syu’araa ayat 42)

Fir’aun dan tukang sihirnya hanya dekat secara fisik, dan itulah titik lemah ”Ketuhanan” Fir’aun.

Bagaimana dengan terminologi Quran “Wajh”. Mari kita susuri Quran untuk mencari ayat yang menggunakan kalimat ini :

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Quran Al Karim Surah Al Baqarah ayat 115)

Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
(Al Quran Al Karim Surah Ar Rahman ayat 27)

Ayat pertama (Al Baqarah 115) bisa dipersepsikan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah di Timur dan Barat, seperti jagad raya, langit, bulat bumi, sebagaimana penulis pahami dari hadits-hadits tentang ayat 115 ini dari Ibn Abbas dan Ibn Umar di Tafsir Ibn Katsir.

Sementara ayat yang kedua tidak bisa diidentikan dengan “tanda-tanda” kebesaran Allah. Karena Kekekalan hanya milik Allah. Terangkai dalam ayat-ayat sebelumnya, tentang kebesaran-kebesaran Allah yang “nampak”.

Kembali terdapat dua entitas yang berbeda yakni wajah Allah dalam artian undefineable dan wajah yang bisa diperspektifkan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, yang kemudian coba diinterpretasikan dengan bahasa Matematika dalam Fisika.

Sama halnya ketika Allah menggunakan kalimat “yadillah” (tangan Allah), [misalnya QS 3 : 73 dan QS 48 : 10], maka perspektif tafsirnya bisa saja menjadi multi interpretasi.


Tangan Allah dalam artian sunnatullah, hukum-hukum Alam kompleks yang diatasnya berjalan mekanisme jagad raya, dan
Tangan Allah yang undefineable.

Kalau kita ingat, Ibn Taimiyah pernah difitnah berkaitan dengan Hadith Nuzul (Hadits Qudsi tentang Turunnya Allah ke langit dunia). Fitnah itu berkaitan dengan paparan Ibn Bathuthah bahwa dalam pengembaraannya ke Damsyik, beliau melihat Ibnu Taimiyah mengajar di atas mimbar Masjid Umawi di Damsyik. Lalu beliau ditanya tentang ‘Hadith An-Nuzul’ itu tadi, lantas Ibnu Taimiyah menjawab, “Tuhan turun sebagaimana turunnya aku ini..!”.

Walau kemudian fitnah itu diklarifikasi oleh beberapa ulama’, tapi kita dapat melihat dengan nyata, bahwa interpretasi tunggal, tekstual belaka, atau kontekstual belaka, membawa kepada dilema yang tak pernah putus.

***

Jika kita merujuk ke beberapa tafsir ma’tsur tentang sindiran Allah terhadap Manusia dan Jin untuk menembus Langit dan Bumi di Surah Ar Rahman ayat 33 :

Hai jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.

Maka kita dapatkan bahwa pertanyaan itu hanya pertanyaan retoris, suatu sindiran lembut.

Oleh para mubaligh Kekuatan disini banyak ditafsirkan sebagai Ilmu Pengetahuan. Boleh-boleh saja. Tapi coba tunjukkan, sampai hari ini, pengetahuan mana yang mampu menjelaskan jagad secara sempurna (Theory of Everything) ? Bisa saja dirumuskan, tapi akan membentuk sebuah deret tak selesai dan tak hingga. Hanya mendekati, tapi tak pernah selesai.

We know now, however, that it is Einstein's theory that ultimately fails. On extremely fine scales, space-time, and thus reality itself, becomes grainy and discontinuous, like a badly overmagnified newspaper photograph. The equations of general relativity simply can't handle such a situation, where the laws of cause and effect break down and particles jump from point A to point B without going through the space in between. (TIME Magazine, 2000)

Bayangkan sebuah balon kartesian yang mengembang karena didalamnya ada waktu. Jika dinding balon itu hilang, masihkah anda dapat membayangkannya ? Atau jika waktu didalamnya tiada, masih tergambarkah bentuknya ?

Allah letakkan kita di dawai yang mengayun, Allah pula yang tetapkan aturan bagaimana dawai itu bergetar, dan terserah Allah pula kapan dawai itu Ia hentikan.

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al Quran Surah Lukman ayat 34)

Bahkan khayal kita pun terbentur dinding-dinding kognitif : Formal Logic, Rules, Patterns, Concept, Analogies, Images, Neural Connection dll. Bagaimanalah pula hendak menghitung sesuatu yang tak terkhayalkan ?

Jika kita mempersepsikan wihdatul wujud sampai sebatas bahwa diri kita adalah bagian dari alam, terikat terangkai dengan hukum-hukum alam, sakit diri kita tak lain karena sakitnya alam, adanya unsur Yin dan Yang, maka sungguh tidaklah sesat adanya.

Disini penulis mendapati konsep seperti Tao misalnya, bermula dari niat luhur untuk memahami alam sebagai bagian dari manusia, dan manusia sebagai bagian dari alam. Tetapi ketika kemudian bergeser menjadi upaya memahami manusia sebagai bagian dari Tuhan, maka definisinya pun menjadi kabur dan susah dimaknai.

Even the whole 81-chapter Tao-Te Ching can not describe Tao completely. It just tells us a good portion of the truth, and the rest takes your own appreciation. When the blind man knows that any part that he touches is not the complete elephant, he will try to pursue its whole picture. And this is precisely why Lao-Tz left Tao-Te Ching—to remind us that do not take any part of the truth we acquire as the Eternal Truth. Religious teachings tend to tell people that what they preach is the Truth, the eternal truth. Many insist their superiority and deny other teachings’ validity. It is as if a blind man is saying an elephant is a rope by holding its tail, and in the meantime denying the claim from another blind man who touches its belly. The stronger and broader the denial is, the weaker and narrower the truth. (What Is Tao, Tao’s Culture Centre, 2003)

Niat sejarah yang sama penulis dapati dalam konsep Wihdatul Wujud dan Pantheisme, lalu godaan akal membawanya menjadi sesuatu yang berlebihan.

Begitu banyak ayat dalam Quran yang mengajak untuk “menghitung” Alam. Tapi ranahnya masih dalam balon spacetime tadi. Diluarnya ? Mengkhayalkannya pun kita tidak mampu ... apatah lagi menjadi bagian dariNya dan bersatu denganNya ...

Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu). (Al Quran Al Karim Surah Al Maidah ayat 18)

Allahu ‘Alam

0 komentar: