Senin, 21 Mei 2012

Tuhanku adalah Allah

Salah satu pandangan yang senantiasa dilempar oleh kaum Pluralis Agama
dalam 'mengelirukan' pemikiran kaum Muslim, adalah mengatakan, "semua
agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang satu".

Mereka mengatakan, soal nama "Yang Satu" itu tidaklah penting. Yang Satu
itu dapat dinamai Allah, God, Lord, Yahweh, The Real, The Eternal One,
dan sebagainya. Bagi mereka, nama Tuhan tidak penting. Ada yang menulis:
"Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang,
Tuhan Segala agama."

Kita ingat, dulu, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan kalimat
syahadat dengan: "Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan
(dengan T besar).

Tradisi yang tidak tahu dan tidak mempersoalkan nama Tuhan bisa kita
telusuri dari tradisi Yahudi. Kaum Yahudi, hingga kini, masih
berspekulasi tentang nama Tuhan mereka.

Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui
dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan
mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religions
menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God of Judaism as the 'tetragrammaton
YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God's
name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy."

Karena tidak memiliki tradisi sanad yang sampai kepada Nabi Musa a.s.
maka kaum Yahudi tidak dapat membaca dengan pasti empat huruf "YHWH".
Mereka hanya dapat menduga-duga, empat huruf konsonan itu dulunya dibaca
Yahweh. Karena itu, kaum Yahudi Ortodoks tidak mau membaca empat huruf
mati tersebut, dan jika ketemu dengan empat konsonan tersebut, mereka
membacanya dengan Adonai (Tuhan).

Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi
Kristen tentang "nama Tuhan" yang sangat beragam, sesuai dengan tradisi
dan budaya setempat. Di Mesir dan kawasan Timur Tengah lainnya, kaum
Kristen menyebut nama Tuhan mereka dengan lafaz "Alloh", sama dengan
orang Islam; di Indonesia mereka melafazkan nama Tuhannya menjadi
"Allah"; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God"
atau "Lord".

Bagi orang Kristen, "Allah" bukanlah nama diri, seperti dalam konsep
Islam. Tetapi, bagi mereka, "Allah" adalah sebutan untuk "Tuhan itu"
(al-ilah). Jadi, bagi mereka, tidak ada masalah, apakah Tuhan disebut
God, Lord, Allah, atau Yahweh. Yang penting, sebutan itu menunjuk kepada
"Tuhan itu". Ini tentu berbeda dengan konsep Islam.

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok
Kristen yang menolak penggunaan nama "Allah" untuk Tuhan mereka dan
menggantinya dengan kata "Yahwe". Tahun 1999, muncul kelompok Kristen
yang menamakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM)
yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz
Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah
(BYH). Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang
mengairi bumi. Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.''

Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat
dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab
Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN"
diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus
Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah".

Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya
"Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel
sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok
ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi."
(Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen, bisa dilihat
dalam buku-buku I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana
Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi,
2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK,
2005, cetakan ke-3).

Itulah tradisi Yahudi-Kristen dalam soal penyebutan nama Tuhan.
Sayangnya, oleh sebagian kaum Muslim atau orientalis Barat, tradisi
Yahudi dan Kristen ini kemudian dibawa ke dalam Islam. Pada berbagai
terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, kita menemukan tindakan yang
tidak tepat, yaitu menerjemahkan semua lafaz Allah dalam Al-Quran
menjadi "God". Dalam konsep Islam, Allah adalah nama diri (ismul
'alam/proper name)dari Dzat Yang Maha Kuasa.

Maka, seharusnya, lafaz "Allah" dalam Al-Quran tidak diterjemahkan ke
dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau
"Lord".

Beberapa terjemahan Al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz
Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf Ali - dalam The Holy Qur'an
-- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the name of God".

Begitu juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God",
dan "Qul Huwallahu ahad" diterjemahkan dengan "Say: He is God, the One
and Only". Kasus yang sama - penerjemahan nama Allah menjadi God - juga
bisa dilihat dalam Terjemah al-Quran bahasa Inggris yang dilakukan oleh
J.M. Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit
pertama oleh Everyman tahun 1909). Harusnya, kata Allah dalam al-Quran
tidak diterjemahkan, karena "Allah" adalah nama. Seperti halnya kita
tidak boleh menerjemahkan kata "President Bush" dengan "Presiden semak",
atau nama Menlu AS "Rice" dengan "Menteri Nasi".

Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sesuai dengan konsep
Pandangan Hidup Islam (Islamic worldview) yang bersifat otentik dan
final, maka konsep Islam tentang Tuhan, juga bersifat otentik dan final.
Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu
dalam Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final.

Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan
konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan
dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam
filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur.
(Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam,
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).

Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far
ath-Thahawi (239-321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naquulu fii tawqiidillaahi
mu'taqidiina - bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa syariikalahu."
Dalam Kitab Aqidatul Awam - yang biasa diajarkan di madrasah-madrasah
Ibtidaiyah - ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillaahi
wa-arrahmaani-wa bi-arahiimi daa'imil ihsani." Ayat pertama dalam
al-Quran juga berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan nama Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca
dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan
sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw,
sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam Al-Quran.

Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad - yang sampai
pada Rasulullah saw - maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam
penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang
nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah.

Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan
final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang
sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi
filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan
langsung oleh Allah SWT - melalui Al-Quran, dan diajarkan langsung cara
melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat
Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu.
Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran,
sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal
dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang
SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La
ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan selain Allah,
dan Muhammad adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini tidak boleh
diterjemahkan dengan "Tidak ada tuhan kecuali Tuhan dan Yang Terpuji
adalah utusan Allah".

Kaum Muslim di seluruh dunia - dengan latar belakang budaya dan bahasa
yang berbeda - juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang
sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang
mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong menulis dalam
bukunya:

"Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya
sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin
diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang
Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan
tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai
penghujatan." (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), 2001), hal.
199-200).

Bagi kaum Pluralis Agama, siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah,
karena biasanya mereka memandang, agama adalah bagian dari ekspresi
budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu, tidak manjadi masalah,
apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka
juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang
satu, siapa pun nama-Nya. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan,
bahwa:

"... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan
yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu
adalah jalan dari berbagai Agama." (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan,
(1999), hal. xix).

Seorang Pluralis pendatang baru, juga menulis dalam buku terbarunya,
"Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani,
Yahudi, kembalinya kepada Allah."

Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama,
yaitu Allah, adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana
dipaparkan sebelumnya, di kalangan Kristen saja, muncul perdebatan
sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan. Sebagaimana
kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan'
secara khusus. Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga
tidak mau menggunakan lafaz "Allah" sebagai nama Tuhan mereka.

Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan
"Allah" sama dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh
Al-Quran. (Al-Quran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya
tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka akan
menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87).

Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun
dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah
satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan
sebagainya. Karen Armstrong menyebut, ketika Islam datang, 'Allah'
dianggap sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'. (Lihat,
Karen Armstrong, op cit, hal. 190).

Karena itu, dalam pandangan Islam, mereka melakukan tindakan syirik
terhadap Allah. Sama dengan kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam,
juga telah melakukan tindakan syirik dengan mengangkat Nabi Isa sebagai
Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw - sesuai dengan ketentuan QS
al-Kafirun - menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan
penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian.

Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama
dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi
Muhammad saw akan memenuhi ajakan kafir Quraisy.

"Katakan, hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak
pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan
untukkulah agamaku." (QS 109).

QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang berbeda -
meskipun namanya sama, yaitu Allah -- dan cara beribadah yang tidak
sama pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir
Quraisy menyambah Tuhan yang sama. Itu juga menunjukkan, bahwa konsep
Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu
juga cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad
dilarang mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian
menyembah Tuhan masing-masing.

Sebagai Muslim, kita meyakini, Islam adalah agama yang benar. Tuhan kita
Allah, yang nama-Nya diperkenalkan langsung dalam Al-Quran. Tidaklah
patut kita membuat teori-teori yang berasal dari spekulasi akal, dengan
menyama-nyamakan Allah dengan yang lain, atau menserikatkan Allah dengan
yang lain, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Pluralis
Agama

0 komentar: