Senin, 21 Mei 2012

Cinta di Hari Tua

Saat itu saya dalam perjalanan pulang kampung. Karena trayek bis
hanya sampai kota Ngadirojo, sebuah kota kecil sekitar dua puluh kilo
dari tempat tinggal saya, saya harus nyambung angkutan lokal dari
Ngadirojo ke Baturetno.

Matahari belum sempurna terbit saat saya memutuskan memilih
sebuah minibus, berbaur dengan para pedagang kerupuk, serabi, tempe,
bahkan kambing dan ayam. Untuk kambing, jelas tempatnya terpisah,
ditempatkan di bagasi. Sementara, beberapa keranjang berisi ayam yang
tak berhenti berkeciap berikut bau kotorannya yang memengapkan ruangan
minibus, tumpang tindih dengan kardus-kardus berisi kerupuk dan makanan
ringan lainnya, menjejali pintu utama.

Setelah minibus berjalan sekitar lima belas menit, dua orang penumpang naik.
Seorang nenek tua yang terlihat sedang sakit, berjalan dengan menggunakan
tongkat bambu wulung yang dipotong seadanya. Melihat warna mengilap
di bagian pegangan tongkat, saya menyimpulkan bahwa tongkat itu telah
cukup lama dipakai sehingga meninggalkan bekas yang khas. Seorang kakek
di belakangnya. Tak kalah renta. Saya menaksir usianya sekitar awal delapan
puluhan.

Minibus penuh sesak. Tak ada bangku kosong. Sang nenek tertatih-tatih
saat menaiki minibus. Bahkan, sang kondektur harus mengangkatnya
dengan susah payah, sementara si kakek menyusul di belakangnya,
membantu sang kondektur—kendati saya yakin, bantuan ‘tenaga’
si kakek tidak berpengaruh apa-apa, malah mungkin justru merepotkan.

Saya tawarkan tempat duduk saya kepada si nenek, namun ia ragu-ragu.
Hanya senyuman—saya merasa senyum ini begitu sedap dan ikhlas—yang dihadiahkannya. Saya mencoba meyakinkannya. “Silakan, Mbah!
Saya nggak apa-apa, kok, berdiri. ”

Masih dengan ragu-ragu, si nenek kemudian bercerita bahwa ia hendak
periksa ke Dokter ‘X’, seorang dokter yang cukup terkenal di Baturetno.
Ketika sekali lagi saya menawarkan bangku dengan bergegas berdiri,
ia menatap kedua kakinya yang terlihat kaku. “Saya tidak bisa duduk, ”
katanya. “Boleh untuk si Mbah saja?” ia menunjuk sang kakek.

Tentu saja, saya mengangguk, mempersilakan duduk sang kakek.
Dan, setelah itu, yang saya lihat adalah hal yang sungguh dramatis.
Sang nenek, karena kedua kakinya tidak bisa ditekuk, ternyata
memang benar tidak bisa duduk dengan wajar. Suaminyalah yang duduk,
dan setengah memangku isterinya itu dengan penuh kasih. Sebelah tangan
renta keriputnya—yang tak bisa menyembunyikan gemetar—berpegangan
pada sandaran bangku, sedangkan sebelah lagi melingkar di tubuh renta
isterinya. Sedangkan sang nenek, berpegangan pada pundak lelakinya.

Saya tak tahu pasti apa yang lintas dalam pikiran masing-masing.
Yang saya lihat hanyalah ‘kesempurnaan’ cinta seorang manusia.
Saya begitu terharu dan merasa tak akan mampu menaksir kedalaman
cinta keduanya. Cinta yang bertahan hingga di usia senja. Saya hanya
sanggup mereka-reka dialog seperti apa yang layak untuk adegan
semenakjubkan ini. Begini: Si lelaki, dengan bahu kokoh dan
lengannya yang perkasa, menawarkan rasa aman kepada isterinya.
“Tenanglah, Sayang, tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi.
Kau akan aman berada di sampingku. ”

Sementara si wanita, dengan kepasrahan seorang isteri, menyandarkan
kepalanya di dada bidang itu, “Bawalah aku ke mana kau pergi, Kekasih!
Sebab aku tahu, kaulah waliku di akhirat nanti. Bawalah, dan aku akan serta.
Tak peduli sakit ini. Tak usah khawatir, sebab aku tak mengeluhkannya.
Bukankah kita hanya semata berusaha mencari kesembuhan-Nya?”

* *

Saya masih melihat—dan tak ingin melewatkannya—saat sang kakek
menuntun isterinya menyeberang jalan. Ya, sementara banyak pasangan
yang cintanya meredup saat memasuki usia kepala lima, atau malah jauh
sebelumnya. Saya teringat bagaimana banyak pasangan, di hari tuanya
memilih hidup terpisah. Bukan bercerai. Sang ibu mengikut tinggal
di rumah anaknya, sedang si kakek di rumah anaknya yang lain.
Kalaupun ada yang lebih ‘harmonis’ dari itu, tetap saja saya akan begitu sulit
mendapatkan sepasang kakek-nenek membahasakan cinta dengan
begitu romantis. Sayang, saya lupa tidak menanyakan nama keduanya.

0 komentar: