Selasa, 29 Mei 2012

Karena Mati Bukan Ketiadaan Abadi

Tak ada yang lebih misterius dalam hidup kecuali ihwal kematian. Sampai hari ini, sangat banyak rahasia yang belum terungkap mengenai mati. Kitab-kitab suci memang memberi sejumlah gambaran; baik mengenai kematian maupun apa yang terjadi setelah mati. Namun semua tetap dalam misteri yang sama, sebab betapa pun secara empirik belum ada orang yang bisa membawa kisah nyata dari alam kematian — kecuali mungkin kisah nabi-nabi yang oleh Sang Pemilik Hidup & Mati telah diberi “petunjuk”.
Tiga tahun yang silam, saya pernah mengalami “seperti mati” ketika sakit keras dan harus masuk ICU selama 14 hari. Dari 14 hari itu, 3 hari di antaranya saya lewati dalam keadaan koma. Tubuh terbujur kaku tanpa bergerak sedikit pun, kecuali indikator-indikator di komputer yang masih menyimpulkan bahwa jasad saya bernyawa.
Ketika siuman, orang-orang dekat saya bertanya apa yang saya rasakan selama 3 hari tak sadarkan diri itu. Saya hanya menggeleng, bukan karena lupa, tapi karena memang tak ada apapun yang terekam dalam memori; blank, seperti tidur tanpa mimpi. Tiga hari itu seperti lewat begitu saja, semuanya, termasuk ruang dan waktu. Sebab saat itu, saya tak merasa melewati 3 hari seperti halnya orang-orang yang sadar. Ketika siuman dan disampaikan bahwa saya terbujur kaku selama 3 hari, saya pun terheran-heran. Sebab yang saya ingat hanyalah kejadian-kejadian terakhir sebelum koma, dan sungguh, semua terasa sekejap saja.
Seperti itukah mati? Entahlah. Beberapa orang yang pernah merasakan mati suri memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Ada yang blank seperti yang saya rasakan, ada pula yang mengaku “sadar” karena saat mati suri itu dia bisa melihat orang-orang di sekelilingnya, termasuk tubuhnya sendiri yang sedang terbujur kaku — tanpa bisa berbuat apa-apa.
Cerita yang selalu sama dari mereka adalah soal ruang dan waktu. Bahwa di alam “kematian” dimensi ruang dan waktu sudah berbeda dengan alam hidup. Karena dimensi ruang yang berbeda itulah, konon, arwah orang-orang mati bisa leluasa melihat kita yang masih hidup — dan tidak sebaliknya.
***
Akhir pekan lalu, saya pergi ke Muara Labuh, sebuah kota kecil di Sumatera Barat, menemani seorang kerabat yang tengah berduka karena saudaranya meninggal dunia. Saat itulah saya kembali diingatkan mengenai kematian; ketika Tuhan berkehendak maka tiada siapapun bisa mengelak.
Saya mengikuti proses sejak jenazah disemayamkan hingga diantar ke pemakaman. Berkelana dalam pikiran mengenai betapa mati memang harus dibuat misterius; meskipun dalam banyak kesempatan, kita bisa melihat “kematian terencana” ketika Tuhan menghadiahi seseorang penyakit sebelum ajalnya tiba. Lagi pula, seandainya pun Tuhan menetapkan kontrak hidup kepada setiap kita, apakah dengan begitu kita akan berlaku sebaik mungkin menjelang kontrak hidup berakhir?
Sebagian besar agama mengajarkan konsep hidup setelah mati, yang disebut sebagai the real of life karena perjalanan kita di dunia ini hanya fana belaka. Toh, setiap kematian tetap akan disambut dengan tangis duka, bahkan meskipun kita diingatkan bahwa kematian bukanlah musibah, melainkan sebuah awal perjalanan menuju kehidupan yang sesungguhnya.
Saat pemakaman saudara kerabat itu berlangsung, saya larut dalam kesedihan, bukan karena melihat tubuh kaku di balik kain kafan itu perlahan diturunkan ke liang lahat, bukan pula karena isak tangis keluarga seperti berat melepas kepergiannya, tetapi karena saya sendiri tersadar betapa malaikat maut sebenarnya sedang meneropong saya entah dari mana, dalam waktu yang juga tak pernah saya tahu.
Nietzsche boleh bilang kematian adalah ketiadaan abadi, seperti halnya dia membawa kabar heboh bahwa Tuhan telah mati. Tetapi ketika ajal menjemput, bahkan sang filsuf pun hanya bisa mengirim sebuah tatapan kosong. Keberhargaan sesosok tubuh hanya ada ketika nyawa masih tersangkut. Selepas itu semua, siapa pun akan menjadi masa lalu. ***
Smile....

0 komentar: