Senin, 21 Mei 2012

ADAB PERGAULAN SUAMI-ISTRI

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Karena itu, wanita yang salih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka,
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (QS an-Nisa’
[4]: 34).

Sabab Nuzûl
Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari al-Hasan, berkata bahwa seorang wanita
pernah datang kepada Nabi saw. untuk mengadukan suaminya yang telah
menamparnya. Rasulullah saw bersabda, “Qishâsh (balaslah).” Kemudian
turunlah ayat ini hingga selesai. Selanjutnya, wanita itu pun pergi tanpa
melakukan pembalasan.1

Diriwayatkan bahwa ayat ini berkenaan dengan Sa’ad bin Rabi’—salah seorang
pemimpin di kalangan Anshar—dan istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi
Hurairah. Ketika istrinya melakukan nusyûz, Sa’ad menamparnya. Istri dan
ayah istrinya pun pergi menemui Nabi saw. Ayahnya berkata, “Putriku
meninggalkan suaminya, lalu suaminya memukulnya.” Rasulullah saw bersabda,
“Hendaklah dia membalas perlakuan suaminya.” Kamudian turunlah ayat ini.
Beliau bersabda, “Kami menghendaki suatu perkara, sementara Allah
menghendaki perkara lain. Perkara yang dikehendaki Allah adalah lebih
baik.”2

Kedudukan Suami

Allah Swt. berfirman: Ar-Rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ’ (Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin atas kaum wanita). Kata ar-rijâl dalam ayat ini merujuk
kepada suami. Demikian pula kata an-nisâ’; merujuk kepada istri. Pengertian
ini dapat disimpulkan dari konteks ayat ini yang membicarakan tentang aturan
pergaulan suami-istri dalam kehidupan rumah tangga. Dalam frasa ini, suami
ditetapkan sebagai qawwâm terhadap wanita (istri).



Kata al-qawwâm merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-qâ’im: orang yang
melakukan urusan. Jika dinyatakan bahwa laki-laki adalah qawwâm atas wanita,
berarti laki-laki mengerjakan urusan wanita, menjaga, memerintah dengan
benar, mendidik, dan berhak melarangnya. Dengan kata lain, al-qawâmah
merupakan kepemimpinan (ar-ri’âsah) dan pengaturan urusan keluarga dan
rumah.3 Dengan demikian, selama laki-laki menjadi qawwâm atas wanita, maka
laki-laki harus mengatur, mendidik, dan memperbaikinya.4 Menurut Ibnu
al-’Arabi, kepemimpinan inilah yang disebut Allah Swt. sebagai kelebihan
yang diberikan kepada laki-laki atas perempuan dalam firman-Nya:5

Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya. (QS al-Baqarah [2]: 228).
Patut digarisbawahi, kepemimpinan suami atas istrinya tidak seperti halnya
atasan terhadap bawahannya atau penguasa terhadap rakyatnya yang bisa
bertindak otoriter. Sebab, suami-istri merupakan pasangan sahabat yang
saling menenteramkan (QS ar-Rum [30]: 21, al-A’raf [7]: 189). Hanya saja,
dalam persahabatan itu suami ditetapkan sebagai qawwâm, yang mengharuskannya
menjadi penanggung jawab atas istrinya.
Kendati kehidupan suami-istri dijalin dalam konteks persahabatan, tak
tertutup kemungkinan pada mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
pengelolaan dan pengaturan rumah tangga. Untuk mengatasi persoalan tersebut,
tentu diperlukan pemimpin yang menjadi pemegang keputusan dan kata akhir.
Karena ayat ini menetapkan suami menjadi pemimpinnya, maka keputusan suami
harus ditaati oleh istrinya. Di samping ayat ini, cukup banyak hadis Nabi
saw. yang mewajibkan wanita/istri menaati suaminya.

Berikutnya dijelaskan alasan dijadikannya laki-laki sebagai pemimpin atas
wanita. Allah Swt. berfirman: bimâ fadhdhala Allâh ba’dhahum ‘alâ ba’dh
(karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain).
Menurut penjelasan para mufassir, dhamîr hum pada kata ba’dhahum adalah
laki-laki dan ba’dh adalah wanita.6 Artinya, penyebab ditetapkannya
laki-laki sebagai pemimpin atas wanita disebabkan kelebihan yang diberikan
Allah Swt. kepada laki-laki atas wanita.

Para mufassir pun berusaha merinci kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah
Swt kepada wanita. Kelebihan itu ada yang berupa sifat hakiki dan ada pula
yang berupa hukum-hukum syariah.

Alasan berikutnya: wa bimâ anfaqû min amwâlihim (dan karena mereka
[laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka). Para mufassir
menafsirkan, yang dimaksudkan dengan harta yang dinafkahkan laki-laki kepada
wanita adalah mahar (harta yang diberikan saat pernikahan) dan nafkah
keseharian yang diberikan selama berstatus suami-istri.
Kendati frasa ini  berbentuk kalimat berita, ia memberikan makna perintah; bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah dari sebagian harta yang mereka miliki kepada
istrinya. Kewajiban ini juga ditegaskan dalam beberapa nas lain, seperti
dalam QS al-Baqarah (2): 233 dan ath-Thalaq (65): 6.

Berpijak pada ayat ini, sebagian fuqaha membolehkan wanita melakukan fasakh
nikah tatkala suaminya tidak memberikan nafkah kepadanya. Alasannya,
kedudukan suami sebagai qawwâm atas istrinya adalah karena memberikan nafkah
kepadanya. Karena itu, jika suami tidak memberikan nafkah, kedudukannya
sebagai qawwâm bisa digugat sehingga istri berhak mengajukan fasakh.
Demikian pendapat ulama dari mazhab Maliki dan Syafii.7


Kedudukan Istri

Setelah menjelaskan kedudukan suami beserta tanggung jawab dan kewajibannya,
Allah Swt. menerangkan kedudukan wanita beserta tanggung jawab dan
kewajibannya. Allah Swt. berfirman: Fa al-shâlihât qânitât hâfizhât li
al-ghayb bimâ hafizha Allâh (Karena itu, wanita shalihah ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah
telah memelihara [mereka]).
Wanita shalihah adalah wanita yang lurus agamanya dan mengerjakan kebaikan.8
Dalam frasa ini, mereka digambarkan sebagai qânitât (ism al-fâ’il dari kata
al-qunût). Pada asalnya, kata qunût bermakna mudâwamat ath-thâ’ah
(senantiasa taat). Menurut Sayyid Quthb, qunût adalah ketaatan yang lahir
dari keinginan, niatan, rasa suka, dan kecintaan.9 Jika mereka digambarkan
sebagai qânitât berarti mereka adalah wanita muthî’ât, yakni wanita yang
taat kepada Allah Swt. dan suaminya.10
Patut digarisbawahi, ketaatan istri kepada suaminya itu merupakan
implementasi ketaatan kepada Allah Swt. Sebab, perbuatan itu
diperintahkan-Nya sebagaimana ditetapkan dalam frasa sebelumnya, bahwa
laki-laki adalah qawwâm atas wanita; juga perintah suami yang wajib ditaati
apabila masih berada dalam koridor syar‘i.

Sifat lain wanita shalihah adalah hâfizhât li al-ghayb. Dengan demikian,
wanita shalihah bukan hanya taat kepada suaminya tatkala ada di sampingnya,
namun juga bisa menjaga diri tatkala suaminya sedang tidak ada. Ia bisa
menjaga kehormatannya beserta rumah, harta benda, dan kehormatan suaminya.

Dalam frasa ini ditegaskan, kewajiban tersebut merupakan imbalan dari Allah
Swt. karena Dia telah menjaga mereka: bimâ hafizha Allâh (karena Allah telah
memelihara mereka). Penjagaan Allah terhadap mereka adalah dengan mewajibkan
suami untuk menjaga mereka, mempergauli mereka dengan baik, menafkahi
mereka, dan mengatur urusan mereka. Bisa pula dimaknai, Allah Swt. menjaga,
melindungi, dan memberi taufik kepada mereka untuk menjaga yang gaib.
Demikian penjelasan para mufassir.11

Apabila Istri Nusyûz

Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan istri-istri yang berbuat sebaliknya
berikut sikap yang harus dilakukan suami. Terhadap mereka, Allah Swt.
berfirman: wa al-latî takhâfûna nusyûzahunna fa’izhûhunna wa [i]hjurûhunna
fî al-madhâji’ wa [i]dhribûhunna (wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyûz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka).
Makna khawf (takut atau khawatir) dalam kata takhâfûna menurut para mufassir
adalah azh-zhann (dugaan) atau al-’ilm (keyakinan),12 sementara kata nusyûz
berarti maksiat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan nusyûz adalah
membangkang dan tidak mau taat kepada suaminya. Tindakan membangkang
perintah suami jelas merupakan tindakan dosa. Sebagai qawwâm, suami wajib
meluruskan istrinya dan dan mendidiknya agar kembali pada jalan yang
diridhai-Nya.
Ayat ini pun memberikan beberapa langkah yang dapat ditempuh suami. Langkah
pertama: fa’izhûhunna (maka nasihatilah mereka). Al-’izhah (atau
al-maw’izhah) adalah ucapan yang bisa melembutkan hati yang keras dan
membujuk perangai yang tidak cocok.13 Suami mengingatkan mereka agar mau
bertakwa kepada Allah Swt., meninggalkan perbuatan dosa, dan terdorong
melaksanakan kewajiban dengan taat kepada suaminya.
Jika nasihat itu masih belum bisa memperbaiki sikap mereka, langkah
berikutnya adalah wa [i]hjurûhunna fî al-Madhâji’. Menurut sebagian
mufassir, maksudnya adalah tidak menjimaknya. Sebagian lainnya memaknainya,
tidak tidur bersamanya dalam satu ranjang.14 Perlakuan ini diharapkan bisa
menyadarkan istri dan menghentikan pembangkangannya terhadap suami.
Jika langkah itu masih juga tidak berhasil mengubah sikapnya, maka wa
[i]dhribûhunna (dan pukullah mereka). Pukulan yang dimaksudkan di sini tidak
boleh membekas atau menyakitkan, seperti menggores kulitnya atau mematahkan
tulangnya. Jabir menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan kaum wanita, karena telah
mengambilnya sebagai amanah dari Allah dan menjadikan kehormatannya halal
bagi kalian dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas istri-istri
kalian agar mereka tidak memasukkan ke tempat tidur kalian salah seorang
yang kalian benci. Jika mereka bersikukuh melakukannya, pukullah mereka
dengan pukulan yang tidak membahayakan. (HR Muslim).


Itulah serangkaian langkah yang dapat ditempuh suami untuk mendidik
istrinya. Terhadap suami yang istrinya menyadari kekeliruannya Allah Swt.
berfirman: fa in atha’nâkum falâ tabghû ‘alayhinna sabîlâ (kemudian jika
mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya).

Kemudian Allah Swt. berfirman: Inna Allâh kâna ‘Aliyy[an] Kabîr[an]
(Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar).

Frasa ini mengingatkan, terutama kepada suami, agar takut kepada Allah Swt.
Jika dengan kekuatan dan kekuasannya seorang suami bisa menyusahkan
istrinya, menghukumnya, dan bertindak sewenang-wenang terhadapnya, dia harus
ingat bahwa ada Zat Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Allah Swt. tidak akan
membiarkan hamba-Nya dizalimi oleh sesamanya. Frasa ini bisa pula dimaknai
sebagai dorongan kepada suami untuk menerima tobat istrinya. Jika Allah Swt.
Yang Mahatinggi lagi Mahabesar saja mau menerima tobat orang yang bertobat,
sudah seharusnya suami lebih bisa menerima tobat istrinya.15
Aturan yang Adil
Ayat ini termasuk di antara yang menjelaskan aturan pergaulan suami istri.
Dalam aturan itu, tampak jelas keadilan Islam. Keadilan bukan berarti harus
sama sebagaimana didengungkan sebagian orang. Sebab, pada obyek yang berbeda
sifatnya, penyamaan justru merupakan ketidakadilan. Demikian pula laki-laki
dan wanita. Mereka memang sama-sama manusia. Namun masing-masing memiliki
sifat yang berbeda. Karena sifat yang berbeda itulah masing-masing diberi
hukum, tugas, dan tanggung jawab yang berbeda. Wajar jika laki-laki
mendapatkan tugas sebagai pemimpin bagi wanita karena Allah Swt. telah
memberikan kelebihan kepadanya dalam perkara tersebut. Wajar pula jika
wanita mendapatkan tugas dan tanggung jawab sebagai al-umm wa rabbat al-bayt
(ibu dan pengatur rumah) karena wanita memang diberi kelebihan dan
keistimewaan dalam perkara tersebut. Itulah aturan yang adil. Oleh sebab
itu, jika aturan pergaulan suami-istri ini diterapkan, keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah akan tercipta. Siapa yang tidak
mendambakannya?

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.[]

Catatan kaki:
1 As-Suyuti, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 513;
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, vol. 1 (Beirut: Darl –al-Fikr,
2000), 445; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr,
2 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 524;
al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 51-52.
3 az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 53.
4 Az-Jazairi, Aysar At-Tafâsîr.
5 Ibnu al-Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 531.
6 Ibnu al-Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1, 531; asy-Syaukani, Fath
al-Qadîr, vol. 1, 460; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, ; Said Hawwa, al-Asâs
fî Tafsîr, vol. 2 (tt: Dar al-Salam, 1985), 1053;
7 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân.
8 Al-Mawardi, al-Nukat al-Uyûn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah,
tt), 480; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân,
9 Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân, vol. 5 (Kairo: Dar al-Syuruq,
1992), 652
10 As-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr, vol. 2, 513; al-Mawardi, al-Nukat al-Uyûn,
vol. 1, 480; al-Jaziri, Aysar al-Tafâsîr.
11 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2, 524; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, ;
ar-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 5, 91.
12 Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 268;
asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 5,
56.
13 Said Hawwa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 2, 1054.
14 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 53.
15 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 58.

0 komentar: