KATA PENGANTAR
Assalamuallaikum Wr.Wb
Puji syukur alhamdulillah ke-hadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya,
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas mandiri ini pada mata kuliah “Sejarah
Peradaban Islam”, tepat pada
waktu yang telah di tetapkan oleh selaku dosen penggampu.
Saya mengucapkan banyak terima kasih
terutama kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas
ini, baik berupa materi maupun moril.
Saya
mengharapkan semoga tugas kelompok ini dapat memberi manfaat kepada semua
pembaca. Saya menyadari bahwa tugas mandiri ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan tugas yang akan datang.
Amien.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Metro,
..................2012
PPenyusun,
A.
Letak Geografis Arab
Masa seblum
lahirnya islam disebut zaman Jahiliyah. Zaman ini terbagi atas dua periode,
yaitu jahiliyah pertama dan jahilyah kedua. Jahilayah pertama meliputi masa
yang sangat panjang, tetapi tidak banya yang bisa diketahui hal ihwalnya dan
sudah lenyap sebagian besar masyrakat pendukungnya. Adapun jahiliyah kedua
sejarahnya bisa diketahui agak jelas. Zaman jahiliyah kedua ini berlangsung
kira-kira 150 tahun sebelum islam lahir. Kata jahiliyah bersal dari kata jahl tetapi yang dimaksud disini
bukan jahl lawan dari ‘ilm, melainkan lawan dari hilm.
Daerah tanah Arab
atau Jazirah Arab, atau semenanjung Arab itu, terletak disebelah barat daya
Benua Asia. Sebelah utara berbatasan dengan negeri Palestina, perkampungan
Badui Syam, dan negeri Irak. Disebelah timur berbatasan dengan teluk
Parsi, teluk Oman. Ke selatan lautan hindia dan teluk Aden . Ke barat
selat Babel Mandeb, laut merah dan terusan Suez. Tanah diantara port said
dengan Aden itu panjangnya sampai 5000 mil, dan diantara Babel Mandeb dengan
Rasul Hadd 1300 mil. Antara port Said sebelah selatan dengan sungai Furad 600
mil. Adapun luas semenanjung Arabia itu sampai 1.200.000 mil persegi, atau
3.000.000 kilometer persegi. Ahli ilmu bumi R.
Blanchard mengatakan sampai 3.700.000 kilometer persegi.
Keadaan tanahnya sebagian
besar terdiri dari Padang Pasir
tandus, bukit dan batu, terutama bagian tengah. Sedang
bagian selatan atau bagian pesisir
pada umumnya tanahnya cukup subur.
Untuk wilayah
bagian Tengah terbagi pada :
1.
Sahara Langit atau disebut pula Sahara Nufud memanjang
140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke
barat. Oase dan mata air sangat
jarang, tiupan angina sering kali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2.
Sahara Selatan disebut al-u'ul Khali yang membentang dan menyambung sahara Langit kearah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan daratan Keras, tandus dan pasir bergelombang.
3.
Sahara Harrat suatu daerah yang terdiri
dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan Terbakar. Gugusan batu-batu hitam
itu menyebar di keluasan Sahara ini, seluruhnya Mencapai 29 buah.
Kondisi alam/tanah adalah :
·
Kering dan tandus, kalaupun ada air hanyalah Oase atau Mata Air ini.
·
Menyebabkan penduduknya suka
berpindah-pindah (Nomaden)
dari satu wilayah ke wilayah lain, oleh para ahli mereka disebut suku Badui.
·
Dari segi pekerjaan mereka umumnya
bekerja menggembalakan kambing dan binatang ternak lainnya.
Sementara wilayah bagian
Pesisir, yaitu terdiri wilayah pesisir Laut
Merah, Samudera Hindia dan Teluk Persi, sehingga
kondisi tanahnya :
·
Sangat subur, di tempat ini banyak dilakukan usaha
pertanian.
·
Di samping itu juga dilakukan usaha perdagangan.
·
Penduduknya menetap dan sangat padat.
Penduduknya pada
masa ini adalah diantara 12 dengan 14 juta.
B.
Aspek Sosial-Budaya Arab Pra-Islam
Sebagian besar daerah Arab
adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur.
Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak
merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan.
Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara
pindah dari suatu tempat ke tempat lain.
Mereka tidak betah tinggal
menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka
tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di
tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran
luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah
kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal
suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan
loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian
penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri,
keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu
tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu
sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan
mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di
setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat
sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak
menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini
tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh
sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang
mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya
dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal
kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak
mempunyai kebudayaan sama-sekali.
Sebagai lalu lintas perdagangan
penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik
karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah
selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang
merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ,
Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya
aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa
Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan,
tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah
ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah,
maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī
al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai
hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan
dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia,
Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan
bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan bahwa
pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar
tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa
Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak
mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas. Pencapaian mereka
membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan
Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan
Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan
perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik
mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau
membaca masih diperdebatkan.
Tetapi fakta tersebut
menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya.
Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi
ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat
seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam
bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suautu mukjizat ada kecuali
untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.
C.
Sistem
Kepercayaan Arab Pra-Islam
Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya
Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru
kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru
menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Waktu terus bergulir sekian lama, hingga
banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada
mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari
agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia
tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek
terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan
hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.
Kemudian Amr Bin
Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam menyembah berhala.
Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya,
Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa HUBAL
dan meletakkannya di Ka’bah.
Setelah itu dia
mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang
Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai
pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.
Pada saat itu, ada
tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat
tertentu, seperti :
1.
Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid.
2.
Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
3.
Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.
Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak
dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang
menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka
menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.
Ada beberapa contoh tradisi dan
penyembahan berhala yang mereka lakukan, seperti :
1.
Mereka mengelilingi berhala dan
mendatanginya, berkomat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala
kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa
berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat disisi Allah dan mewujudkan apa
yang mereka kehendaki.
2.
Mereka menunaikan Haji dan Thawaf
disekeliling berhala, merunduk dan bersujud dihadapannya.
3.
Mereka mengorbankan hewan sembelihan
demi berhala dan menyebut namanya.
Banyak lagi tradisi penyembahan yang
mereka lakukan terhadap berhala-berhalanya, berbagai macam yang mereka perbuat
demi keyakinan mereka pada saat itu.
Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap
berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan
mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya, serta memberikan
manfaat di sisi-Nya.
Selain itu, Orang-orang Arab juga
mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak panah dihadapan berhala Hubal.
Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal, Orang Pintar dan Ahli Nujum.
Dikalangan mereka ada juga yang percaya
dengan Ramalan Nasib Sial dengan sesuatu. Ada juga diantara mereka yang
percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram jika dendamnya
belum dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang
seraya berkata,”Berilah aku minum, berilah aku minum”!jika dendamnya sudah
dibalaskan, maka ruh nya akan menjadi tentram.
Sekalipun masyarakat Arab jahiliyah
seperti itu, toh masih ada sisa-sisa dari agama Ibrahim dan mereka sama sekali
tidak meninggalkannya, seperti pengagungan terhadap ka’bah, thawaf
disekelilingnya, haji, umrah, Wufuq di Arafah dan Muzdalifah. Memang ada
hal-hal baru dalam pelaksanaannya.
Semua gambaran agama dan kebiasaan ini
adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari ,
keyakinan terhadap hayalan dan khurafat selalu menyelimuti kehidupan mereka.
Begitulah agama dan kebiasaan mayoritas bangsa Arab masa itu. Sementara sebelum
itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk
kedalam masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab.
Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah terlalu berkembang pesat.
Itulah agama-agama dan tradisi yang ada
pada saat detik-detik kedatangan islam. Namun agama-agama itu sudah banyak
disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang
mengaku pada agama Ibrahim, justru keadaannya jauh sama sekali dari perintah
dan larangan syari’at Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang
akhlak yang mulia.
Kedurhakaan mereka tak terhitung
banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi para
paganis (penyembah berhala), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarakan
berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas kekehidupan
social, politik dan agama.
Sedangkan orang-orang Yahudi,
berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka
menjadi sesembahan selain Allah. Para pemimpin inilah yang membuat hukum
ditengah manusia dan menghisab mereka menurut kehendak yang terbetik didalam
hati mereka.
Ambisi mereka hanya tertuju kepada
kekayaan dan kedudukan, sekalipun berakibat musnahnya agama dan menyebarnya
kekufuran serta pengabaian terhadap ajaran-ajaran yang telah ditetapkan Allah
kepada mereka, dan yang semua orang dianjurkan untuk mensucikannya.
Sedangkan agama Nasrani berubah
menjadi agama paganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan pencampuradukkan
antara Allah dan Manusia. Kalaupun ada bangsa Arab yang memeluk agama ini, maka
tidak ada pengaruh yang berarti. Karena ajaran-ajarannya jauh dari model
kehidupan yang mereka jalani, dan yang tidak mungkin mereka tinggalkan.
Semua agama dan tradisi Bangsa Arab pada
masa itu, keadaan para pemeluk dan masyarakatnya sama dengan keadaan
orang-orang Musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaan mereka
hampir serupa.
Daftar Pustaka
Syalabi, Ahmad. Sejarah Dan
Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2000).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2008).
Bardrika, I Wayan. 2006. Sejarah. Jakarta: Gelora
Aksara Pratama.
Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa (Akar-Akar
Budaya Jepang). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Boomgard,Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah
Sosial Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta: KITLV & Djambatan.
Buchori, Mochtar. 2007. Evolusi Pendidikan di
Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress.
0 komentar:
Posting Komentar