Jumat, 18 Mei 2012

Masyarakat Islam

A.    Pengertian Umat
Kata  ummat  terambil  dari  kata [tulisan arab] (amma-yaummu) Yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari  akar  yang sama,  lahir  antara  lain kata um yang berarti "ibu" dan imam yang maknanya "pemimpin";  karena  keduanya  menjadi  teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.
Pakar-pakar  bahasa  berbeda  pendapat  tentang jumlah anggota satu umat. Ada yang merujuk ke riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. bahwa beliau bersabda : 
“Tidak seorang mayat pun yang dishalatkan oleh umat dari kaum Muslim sebanyak seratus orang, dan memohonkan kepada Allah agar diampuni, kecuali diampuni oleh-Nya” (HR An-Nasa'i).
Ada juga yang mengatakan bahwa, angka empat puluh  sudah  bisa disebut  umat.  Pakar  hadis An-Nasa'i yang meriwayatkan hadis serupa menyatakan bahwa Abu Al-Malih ditanyai  tentang  jumlah orang yang shalat itu, dan menjawab, "Empat puluh orang”. Kalau   kita   merujuk  kepada  Al-Quran,  agaknya  penjelasan Ar-Raghib dapat dipertanggungjawabkan. Pakar bahasa Al-Quran itu (w.  508  H/1108  M)  dalam  bukunya Al-Mufradat  fi  Gharib  Al-Qur'an, menjelaskan bahwa kata ini didefinisikan  sebagai  semua  kelompok  yang  dihimpun   oleh sesuatu,  seperti  agama,  waktu,  atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka. Secara tegas Al-Quran dan  hadis  tidak  membatasi  pengertian umat hanya pada kelompok manusia. Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS Al-An'am [6]:38).
Rasulullah Saw. bersabda:
“Semut (juqa) merupakan umat dan umat-umat (Tuhan)” (HR.Muslim).
“Seandainya anjing-anjing bukan umat dan umat-umat (Tuhan) niscaya saya perintahkan untuk dibunuh” (HR At-Tirmidzi dan An-Nasa'i).
Ikatan persamaan apa pun yang menyatukan makhluk hidup manusia atau  binatang seperti jenis, suku, bangsa, ideologi, atau agama, dan sebagainya, maka ikatan itu telah menjadikan mereka satu   umat.  

Bahkan  Nabi  Ibrahim  a.s.  sendirian  yang menyatukan sekian banyak sifat terpuji dalam dirinya,  disebut oleh  Al-Quran  sebagai  "umat"  (QS Al- Nahl [16]: 120), dari sini  beliau  kemudian  menjadi  imam,  yakni  pemimpin   yang diteladani.
Kata  umat  tidak  hanya  digunakan untuk manusia-manusia yang taat beragama, karena  dalam  sebuah  hadis  dinyatakan  bahwa Rasul Saw. bersabda, :
"Semua umatku masuk surga, kecuali yang enggan." Beliau ditanyai, "Siapa yang enggan itu?" Dõjawabnya, "Siapa yang taat kepadaku dia akan masuk surga, dan yang durhaka maka ia telah enggan" (HR Bukhari melalui Abu Hurairah).
Al-Quran surat Al-Ra'd ayat 30 menggunakan  kata  ummat  untuk menunjuk  orang-orang  yang enggan menjadi pengikut para Nabi. Begitu kesimpulan Ad-Damighani  (abad  ke-ll  H)  dalam  Kamus Al-Quran yang disusunnya. Kata  ummat  dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam Al-Quran. Ad-Damighani menyebutkan sembilan  arti  untuk kata itu, yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang  kafir, dan manusia seluruhnya. Benang  merah  yang  menggabungkan  makna-makna di atas adalah "himpunan".
Sungguh indah, luwes, dan  lentur  kata  ini,  sehingga  dapat mencakup  aneka  makna,  dan  dengan  demikian dapat menampung dalam kebersamaannya aneka perbedaan.
Al-Quran  memilih  kata  ini  untuk  menunjukkan  antara  lain "himpunan  pengikut  Nabi Muhammad Saw. (umat Islam)", sebagai isyarat    bahwa    ummat    dapat     menampung     perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama, yaitu Allah Swt.
Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al-Anbiya' [21]: 92).







Dalam kata "umat" terselip makna-makna yang cukup dalam.  Umat mengandung  arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu arah,  harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat  yang  sama  membutuhkan  waktu  untuk mencapainya.  Al-Quran  surat  Yusuf (12): 45 menggunakan kata umat untuk arti waktu. Sedangkan  surat  Al-Zukhruf  (43):  22 untuk arti jalan, atau gaya dan cara hidup, Ali  Syariati  dalam bukunya Al-Ummah wa Al-Imamah menyebutkan keistimewaan kata ini dibandingkan kata  semacam  nation  atau qabilah  (suku).  Pakar  ini  mendefinisikan kata umat dalam konteks sosiologis sebagai "himpunan manusiawi yang  seluruh anggotanya  bersama-sama  menuju  satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama." Umat Islam disebut oleh Al-Quran  surat  Al-Baqarah  {2):  143 sebagai ummat(an) wasatha. Demikianlah itu Kami menjadikan kamu ummatan wasatha agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan  agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Mulanya, kata wasath berarti segala yang  baik  sesuai  dengan obyeknya.  Sesuatu  yang baik berada pada posisi di antara dua ekstrem.  Keberanian  adalah  pertengahan  sifat  ceroboh  dan takut.  Kedermawanan  merupakan pertengahan antara sikap boros dan kikir. 
Kesucian merupakan pertengahan  antara  kedurhakaan karena  dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini, kata wasath berkembang maknanya menjad tengah. Yang menghadapi dua pihak  berseteru  dituntut  untuk  menjadi wasath  (wasit)  dan  berada  pada  posisi tengah agar berlaku adil. Dari sini, lahirlah makna ketiga wasath, yaitu adil. Ummatan wasatha adalah umat moderat, yang posisinya berada  di tengah,  agar  dilihat  oleh  semua  pihak,  dan  dari segenap penjuru. Mereka dijadikan demikian --menurut lanjutan  ayat  di  atas agar mereka menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan  pada  saat  yang  sama  mereka menjadikan Nabi Muhammad Saw. sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.
Keberadaan umat Islam dalam posisi tengah  menyebabkan  mereka tidak  seperti  umat yang hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga  tidak lagi  berpijak  di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani,  material,  dan  spiritual dalam segala sikap dan aktivitas.
Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua  pihak (agama,  budaya,  dan  peradaban),  karena  mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika  mereka  tertutup  atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.

B.    Karakter Umat Menurut Al – Quran
Berbicara menyangkut wawasan Al-Qur’an tentang “Karakter Bangsa Yang Unggul” terlebih dahulu perlu digarisbawahi dua hal. Pertama, di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan uraian bahkan kata menyangkut bangsa, karena kata bangsa dalam pengertian modern, belum dikenal pada masa turunnya Al-Qur’an. Faham kebangsaan baru popular di Eropa pada abad XVIII dan baru dikenal oleh umat Islam setelah kehadiran Napoleon ke Mesir tahun 1798 M.
Ketika itu Napoleon bermaksud menyingkirkan kekuasaan Mamâlîk dan untuk itu ia mengatakan bahwa Mamâlîk adalah orang-orang Turki yang berbeda asal keturunannya dengan orang-orang Mesir. Di sana dan ketika itulah dipopulerkan istilah Al-Ummah Al-Mashriah, bangsa Mesir.
Kedua, kendati uraian tentang kebangsaan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun itu bukan berarti Al-Qur’an menentang faham kebangsaan, karena betapapun berbeda-beda pendapat para pakar tentang unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk lahirnya satu bangsa, namun tidak ada satu unsurpun yang disebut-sebut sebagai unsur kebangsaan, yang dimungkiri atau bertentangan dengan tuntunan Al-Qur’an.
Pilihan kata أمّة (ummat, dalam bahasa Indonesia umat) untuk menunjuk bangsa seperti dikemukakan di atas– tidaklah meleset, karena kata itu menurut Ar-râgib Al-Asfahany (508 H/1108 M) digunakan menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama, waktu atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa, maupun atas kehendak mereka. Dan seperti diketahui untuk lahirnya satu bangsa diperlukan adanya sekian banyak kesamaan yang terhimpun pada satu kelompok manusia, misalnya kesamaan cita-cita, sejarah, wilayah, dan boleh jadi juga bahasa, asal usul dan lain-lain.
Kata umat dalam arti bangsa juga menjadi pilihan Ensiklopedia Filsafat yang ditulis oleh sejumlah Akademisi Rusia dan yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Samir Karam, Beirut, 1974 M.
Ali Syariâti dalam bukunya Al-Ummah Wa Al-Imamah menguraikan secara panjang lebar perbedaan beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk himpunan manusia, seperti nation, qabîlah, sya’b, qaum, dan lain-lain dan pada akhirnya ia menilai bahwa kata ummat lebih istimewa dan lebih tepat dibandingkan dengan kata -kata tersebut. Pakar ini mendefinisikan kata umat sebagai “himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya menuju satu arah yang sama, bahu membahu guna bergerak secara dinamis menuju tujuan yang mereka harapkan, di bawah kepemimpinan bersama”.
Atas dasar uraian di atas kita dapat berupaya menggali pandangan Al-Qur’an tentang karakter bangsa yang unggul bertitik tolak dari kata أمّة (ummat). Tentu saja kita juga dapat meraba persoalan tersebut melalui ayat-ayat yang berbicara dalam konteks tuntunan Allah kepada kaum mukminin, atau kepada keluarga bahkan kepada individu-individu muslim –karena benih lahirnya satu bangsa atau sel intinya adalah mereka, namun titik berat uraian ini akan mengarah pada ayat-ayat yang berbicara tentang umat.
Ummat dan Ciri-cirinya :
Dalam Al-Qur’an kata ummat ditemukan terulang dalam bentuk tunggal sebanyak lima puluh dua kali, dan dalam bentuk jamak sebanyak dua belas kali. Ad-Dâmighâny yang hidup pada abad XI H. menyebut sembilan arti untuk kata ummat, yaitu, 1) ‘Ushbah/kelompok, 2) (Millat/ cara dan gaya hidup, 3) tahun-tahun yang panjang (waktu yang panjang), 4) kaum, 5) pemimpin, 6) generasi lalu, 7) ummat Nabi Muhammad saw (umat Islam), 8) orang-orang kafir secara khusus, dan 9) Makhluk (yang dihimpun oleh adanya persamaan antar mereka).
Kita bisa berbeda pendapat tentang makna-makna di atas, namun yang jelas adalah Q.S. Yusuf [12]: 45 menggunakan kata ummat untuk arti waktu, dan Q.S. Az-Zuhruf [43]: 22 dalam arti jalan, atau gaya dan cara hidup. 
Sedang Q.S. Al-Baqarah [2]: 213, hemat penulis, menggunakannya dalam arti kelompok manusia dalam kedudukan mereka sebagai makhluk sosial. Selanjutnya gabungan dari firman-Nya yang menamai Nabi Ibrahim sebagai ummat (Q.S. An-Nahl [16] 120) sama makna dan kandungannya dengan kata imâm yakni pemimpin sebagai ditegaskan oleh Q.S. Al-Baqarah [2]: 124. Benang merah yang menggabungkan makna-makna di atas adalah “himpunan”.
Dari sini kita dapat berkata, pada kata ummat terselip makna-makna yang cukup dalam. Ia mengandung arti gerak dinamis, arah, karena tidak ada arti satu jalan kalau tidak ada arah yang dituju dan jalan yang dilalui, dan tentu saja perjalanan guna mencapai kejayaan umat memerlukan waktu yang tidak singkat sebagaimana diisyaratkan oleh salah satu makna umat serta pemimpin baik seorang atau sekelompok orang yang memiliki sifat-sifat terpuji dan dengan gaya kepemimpinan serta cara hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh anggota masyarakat bangsa itu. Yang paling wajar dari seluruh umat manusia dinamai umat adalah umat Nabi Muhammad saw yang memang telah disiapkan Allah untuk menjadi Khaira Ummat (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 110).
Kata ummat, dengan kelenturan, keluesan dan aneka makna di atas memberi isyarat bahwa Al-Qur’an dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok umat, betapapun kecil jumlah mereka, selama perbedaan itu tidak mengakibakan perbedaan arah, atau dengan kata lain selama mereka Berbhinneka Tunggal Ika. Hakikat ini diisyaratkan antara lain oleh Firman-Nya :
Dan janganlah kamu menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.
Firman-Nya sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka, dipahami oleh banyak ulama berkaitan dengan kata berselisih bukan dengan kata berkelompok, dan ini berarti bahwa perselisihan itu berkaitan dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Adapun yang dimaksud dengan berkelompok-kelompok, maka ia dapat dipahami dalam arti perbedaan dalam badan dan organisasi. Memang perbedaan dalam badan dan organisasi dapat menimbulkan perselesihan walaupun tidak mutlak dari lahirnya aneka organisasi lahir pula perselisihan dalam prinsip dan tujuan.
Jika demikian ayat ini tidak melarang ummat untuk berkelompok, atau berbeda pendapat, yang dilarangnya adalah berkelompok dan berselisih dalam tujuan. Adapun perbedaan yang bukan pada prinsip atau tidak berkaitan dengan tujuan, maka yang demikian itu dapat ditoleransi bahkan tidak mungkin dihindari. Rasul saw sendiri mengakuinya bahkan Allah menegaskan bahwa yang demikian itu adalah kehendak-Nya jua. 
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada Kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (Q.S Al-Maidah [5]: 48).
Beberapa Karakter Bangsa yang Unggul
Sebelum menguraikan beberapa karakter bangsa yang unggul, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa karakter terpuji sulit untuk dibatasi dan karena itu tentu uraian ini tidak dapat mengungkap semua ciri dan karakter bangsa yang unggul. Namun demikian, di bawah ini penulis upayakan untuk menghidangkan sebagian yang terpenting di antaranya yaitu :
•    Kemantapan Persatuannya
Di atas telah dikemukakan benang merah yang menghimpun semua makna-makna ummat yaitu keterhimpunan. Tanpa keterhimpunan, maka umat tidak dapat tegak bahkan mustahil akan wujud, jangankan dalam kenyataan, dalam ide bahasa pun tidak! Dari sini kita dapat berkata bahwa satu bangsa yang terpecah belah tidaklah dapat tegar dan sebaliknya syarat pertama dan utama untuk keunggulan satu bangsa adalah kemantapan persatuannya.
Itu sebabnya sehingga Al-Qur’an mengingatkan perlunya kesatuan dan persatuan antara lain dengan firman-Nya :
Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal [8]:46).
Persatuan dan kesatuan tersebut tidak harus melebur perbedaan agama atau suku yang hidup di tengah satu bangsa. Ini dapat terlihat antara lain dalam naskah Perjanjian Nabi Muhammad saw dengan orang-orang Yahudi ketika beliau baru saja tiba di kota Madinah. Salah satu butir perjanjian itu berbunyi :
Dan sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Bany ‘Auf merupakan satu umat bersama orang-orang mukmin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka (juga).
•    Adanya Nilai-Nilai Luhur yang Disepakati
Guna memantapkan bahkan mewujudkan persatuan dan kesatuan itu, diperlukan nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup bangsa dan menjadi pegangan bersama.
Dalam konteks ini Al-Qur’an menegaskan bahwa :
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. Al An’am [6]: 108).
Dari ayat di atas terlihat bahwa setiap ummat mempunyai nilai-nilai yang mereka anggap indah dan baik. Atas dasar nilai-nilai itulah mereka bersatu, mengarah dan melakukan aktivitas dan atas dasarnya pula mereka menilai pandangan pihak lain, apakah dapat mereka terima atau mereka tolak. Dengan kata lain, nilai-nilai itu merupakan filter bagi apapun yang datang dari luar komunitas mereka. Perlu digarisbawahi bahwa apapun nilai yang mereka anut, nilai-nilai itu harus mereka sepakati. Semakin luas kesepakatan, semakin mantap dan kuat pula persatuan dan semakin besar peluang bagi unggulnya karakter bangsa. Karena jika mereka tidak sepakati, maka akan lahir perpecahan dalam masyarakat.
Di sisi lain substansi nilai yang mereka sepakti itu tidak harus merupakan nilai yang baik, seperti terlihat pada konteks uraian ayat di atas, tetapi yang penting adalah pandangan tersebut mereka sepakati. Memang harus diakui bahwa semakin luhur dan agung nilai-nilai itu semakin mantap dan langgeng persatuan. 
Semakin jauh kedepan visi masyarakat bangsa semakin kokoh pula mereka. Dari sini Tauhid dan Kepercayaan tentang kehidupan setelah kehidupan dunia merupakan hal yang amat penting dalam karakter bangsa yang unggul. Bisa saja satu bangsa mencapai kejayaan dalam kehidupan dunia, tetapi bila visinya terbatas, maka akan lahir kejenuhan yang menjadikan mereka mandek, lalu sedikit demi sedikit kehilangan motivasi dan hancur berantakan. Q.S. Al-Isra’ [17]: 18-19 menyatakan :
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang, maka Kami segerakan baginya di sini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (Q.S.Al-Isra’ [17]: 18).
Yang menghendaki kehidupan dunia saja, akan sangat terbatas visinya dan ini menjadikan usahanya pun terbatas sampai pada visi duniawi saja. Dia tidak lagi akan menaman benih, jika ia ketahui bahwa esok kiamat tiba, tetapi yang visinya jauh, akan tetap bekerja dan bekerja serta memperoleh hasil walau ia sadar bahwa besok akan terjadi kiamat, karena pandangannya tidak terbatas pada dunia ini, dan karena dia yakin bahwa hasil upayanya akan diperolehnya di akhirat nanti. Yang menghendaki kehidupan duniawi, bukan hanya terhenti upayanya bahkan akan bosan hidup, jika ia merasa bahwa apa yang diharapkannya telah tercapai. Bukankah ia hanya mencari kenikmatan duniawi, sedang kini semua telah diperolehnya ?.
Adapun yang menghendaki kehidupan akhirat, maka dia tidak pernah akan berhenti berusaha serta meningkatkan upaya dari saat ke saat, karena betapapun kenikmatan duniawi telah dicapainya, pandangannya tidak terhenti di sini. Ia melihat jauh ke depan, yakni kehidupan sesudah hidup dunia ini.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa salah satu karakter bangsa yang unggul adalah bangsa yang memiliki pandangan hidup berdasar nilai-nilai luhur yang langgeng.
•    Kerja Keras, Displin dan Penghargaan Kepada Waktu
Perintah Al-Qur’an kepada umat manusia agar beramal shaleh serta pujian terhadap mereka yang aktif melakukannya demikian juga penghargaan kepada waktu bukanlah satu hal yang perlu dibuktikan. Ayat Al-Isra’ yang dikutip di atas dilanjutkan dengan menyatakan:
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usaha mereka disyukuri (Q.S. Al-Isra’ [17]: 19).
Yang usaha mereka disyukuri yakni yang terpuji adalah yang visinya jauh ke depan mencapai akhirat, percaya kepada Allah dan keniscayaan akhirat serta berusaha secara bersungguh-sungguh.
Dengan demikian ayat ini menggaris bawahi perlunya kesungguhan dalam berusaha guna meraih apa yang dikehendaki dan dicita-citakan.


Yang menghendaki kehidupan akhirat haruslah berusaha dengan penuh kesungguhan dan harus pula dibarengi dengan iman yang mantap, sambil memenuhi segala konsekwensinya, karena iman bukan sekedar ucapan, tetapi dia adalah sesuatu yang mantap dalam hati dan dibuktikan oleh pengamalan.
Di sini dapat dimengerti mengapa pesan-Nya kepada setiap pribadi :
Maksudnya : Maka apabila engkau telah selesai yakni sedang berada di dalam keluangan setelah tadinya engkau sibuk maka bekerjalah dengan sungguh-sungguh hingga engkau letih atau hingga tegak dan nyata suatu persoalan baru dan hanya kepada Tuhanmu saja, tidak kepada siapapun selain-Nya, hendaknya engkau berharap dan berkeinginan penuh guna memperoleh bantuan-Nya dalam menghadapi setiap kesulitan serta melalukan satu aktivitas.
Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka jarak waktu antara selesainya pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya.
Ayat di atas memberi petunjuk antara lain bahwa seseorang harus selalu memiliki kesibukan positif. Bila telah berakhir suatu pekerjaan, ia harus memulai lagi dengan pekerjaan yang lain, dan dengan waktunya selalu terisi.
•    Kepedulian yang Tinggi
Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran [3]: 110 menegaskan sebab keunggulan umat Nabi Muhammad saw dengan firman-Nya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Ayat di atas menggaris bawahi keunggulan umat Islam disebabkan oleh kepedulian mereka terhadap masyarakat secara umum, sehingga mereka tampil melakukan kontrol sosial, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran disertai keimanan kepada Allah. Kepedulian itu bukan saja berkaitan dengan pemahaman dan penerapan serta pembelaan terhadap nilai-nilai agama yang bersifat universal yang dijelaskan oleh ayat di atas dengan kata al-khair, tetapi nilai-nilai budaya masyarakat yang tidak bertentangang dengan nilai-nilai al-Khair. 


Kepedulian juga mencakup pemenuhan kebutuhan pokok anggota masyarakat lemah. Kepedulian ini tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mampu, tetapi mencakup semua anggota masyarakat. Q.S. Al-Ma’un [107]: 1-2 menegaskan bahwa yang menghardik anak yatim dan yang tidak menganjurkan pemberian pangan kepada orang miskin adalah orang yang mendustakan agama/hari kemudian.
Ayat tersebut menggunakan kata (Yahudhdhu/menganjurkan) untuk mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai penganjur pemberian pangan. Peranan ini dapat dilakukan oleh siapapun selama mereka merasakan penderitaan orang lain. Ayat di atas tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi dan meraskan betapa kepedulian harus menjadi ciri karakter umat yang unggul. Dari sini dapat dimengerti sabda Nabi Muhammad saw :
Siapa yang tidak peduli urusan umat Islam maka ia bukanlah bagian dari mereka.
Dalam konteks ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menuntun umat Islam untuk bahu membahu saling ingat mengingatkan tentang kebenaran, kesabaran, ketabahan dan kasih antar mereka. (Baca misalnya Q.S. Al-Ashr, dan Al-Balad).
•    Moderasi dan Keterbukaan
Umat Islam dinamai Al-Qur’an sebagai ummat(an) wasathan. Allah berfirman : Demikian itu Kami jadikan kamu ummatan Wasathan agar kamu menjadi saksi/disaksikan oleh manusia dan Rasul menjadi saksi atasmu /disaksikan olehmu. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 143).
Kata wasath pada mulanya berarti segala yang baik sesuai objeknya. Sementara pakar berpendapat bahwa yang baik berada pada posisi antara dua ekstrem. Keberanian adalah pertengahan antara sifat ceroboh dan takut, Kedermawanan, pertengahan antara sikap boros dan kikir. Kesucian adalah pertenghan antara kedurhakaan yang diakibatkan oleh dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini kata wasath berkembang maknanya menjadi “tengah” dan dari sini pula yang menghadapi dua pihak berseteru dituntut untuk menjadi wasith (wasit) dengan berada pada posisi tengah, dengan berlaku adil.
Karakter umat yang terpilih dan unggul adalah moderasi Lâ Syarqiyyah Wa lâ Garbîyah, Tidak di Timur dan Tidak di Barat. Posisi ini membawa mereka tidak seperti ummat yang dibawa hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam rohani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan rohani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas mereka.
Wasathîyat (moderasi/posisi tengah ) mengundang ummat Islam berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak yang berbeda dalam agama, budaya, peradaban) karena bagaimana mereka dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global ?.
Keterbukaan ini menjadikan bangsa dapat menerima yang baik dan bermanfaat dari siapapun, dan menolak yang buruk melalui filter pandangan hidupnya. Karena itu pula nabi saw bersabda :
Hikmah (amal ilmiah dan ilmu amaliyah) adalah barang hilang miliki sang mukmin, dimana ia menemukannya, maka dia lebih berhak atasnya”.
Keunggulan masyarakat Islam masa lampau, antara lain karena keterbukaan mereka menerima apa yang baik dari manapun datangnya. Q.S. Az-Zumar [39]: 18 memuji sekelompok manusia yang dinamainya Ulul Albâb dengan firman-Nya :
Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti dengan sungguh-sungguh apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tunjuki dan mereka itulah Ulu Al-Albâb.
Yang dimaksud dengan mendengar perkatan adalah segala macam ucapan, yang baik dan yang tidak baik. Mereka mendengarkan semuanya lalu memilah-milah, dan mengambil serta mengamalkan yang baik bahkan yang terbaik tanpa menghiraukan dari manapun sumbernya. Ini serupa dengan tuntunan :
“Lihatlah kepada (kandungan ) ucapan dan jangan lihat siapa pengucapnya”.




Kalimat ”mengikuti dengan sungguh-sungguh apa yang paling baik di antaranya” mengisyaratkan karakter mereka. Seseorang yang menyukai kebaikan dan tertarik kepada kecantikan akan semakin tertarik setiap bertambah kebaikan itu. Jika ia menghadapi dua hal, yang satu baik dan yang lainnya buruk, maka ia akan cenderung kepada yang baik, dan apabila ia menemukan satu baik dan yang satu lainnya lebih baik, maka ia akan mengarah kepada yang lebih baik. 
Dengan demikian, keterangan ayat di atas yang menyatakan bahwa mereka mengikuti secara sungguh-sungguh yang terbaik menunjukkan bahwa perangai/karakter mereka telah terbentuk sedemikan rupa sehingga mereka selalu mengejar kebenaran dan terus menerus menginginkan yang baik bahkan yang terbaik. dimana dan siapapun yang memaparkannya.
Karakter inilah yang menjadikan satu bangsa maju dan berkembang, dan karena itu kita dapat berkata bahwa karakter satu bangsa yang unggul adalah yang selalu mendambakan kemajuan dan perkembangan serta berusaha mewujudkannya. Dalam konteks ini Al-Quran antara lain melukiskan pengikut- pengikut Nabi Muhammad saw :
Seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya lalu ia menguatkannya lalu tegak lurus di atas pokoknya; menyenangkan hati penanam-penanamnya. ( Q.S. Al-fath [48]: 29).
•    Kesediaan berkorban
Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 213 Allah berfirman:
Manusia adalah umat yang satu. Lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Ayat ini antara lain berbicara tentang kesatuan umat. Kesatuan itu dilukiskan ayat di atas dengan kata kâna yang pada ayat dimaksudkan bukan dalam arti telah terjadi dahulu tetapi dalam arti Tsubut yakni kemantapan dan kesinambungan keadaan sejak dahulu hingga kini. Dengan kata lain manusia sejak dahulu hingga kini merupakan satu kesatuan kemanusaian yang tidak dapat dipisahkan, karena manusia, secara orang-perorang tidak dapat berdiri sendiri. 
Kebutuhan seorang manusia tidak dapat dipenuhi kecuali dengan kerja sama semua pihak. Manusia adalah makhluk sosial, mereka harus bekerja sama dan topang menopang demi mencapai kebahagiaan dan kesejahteraannya.
Manusia di samping memiliki banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi tanpa kerja sama, juga memiliki ego yang selalu menuntut agar kebutuhannya bahkan keinginannya dipenuhi semua dan terlebih dahulu. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Guna menghindari hal itu, setiap orang harus mengorbankan –sedikit atau banyak– dari tuntutan egonya guna kepentingan pihak lain, bahkan untuk kepentingan sendiri demi meraih ketenteraman. Pengorbanan inilah benih dari lahirnya akhlak mulia. Nah jika demikian, tanpa pengorbanan atau tanpa akhlak mulia masyarakat bangsa tidak dapat tegak. Dari sini sungguh tepat kalimat bersayap Buya Hamka: “Tegak rumah karena sendi, Runtuh budi rumah binasa. Sendi bangsa adalah budi, Runtuh budi runtulah bangsa.”
Demikian juga ungkapan Ahmad Syauqi penyair kenamaan Mesir :
Eksistensi bangsa-bangsa terpelihara selama akhlak mereka terpelihara. Kalau akhlak mereka runtuh, runtuh pula mereka itu.
Akhlak atau nilai-nilai moral merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan satu bangsa. Dalam surah Al-Balad (negeri) Allah SWT menyebut tiga kelompok umat manusia, dengan hasil pembangunan yang mengagumkan.
Pertama Kaum Âd, yang bermukim di kota Iram serta dilukiskan oleh surah tersebut sebagai memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah diciptakan yakni dibangun bangunan kota sepertinya di negeri-negeri lain ?.
Kedua Tsamud yang memiliki kemahiran dalam bidang seni sehingga mampu memahat gunung dengan sangat mengagumkan. Yang ketika Kaum Fir’aun yang memiliki kemampuan teknologi yang demikian mengagumkan antara lain kemampuan mereka membangun piramid-piramid yang demikianm kokoh dan indah. Ketiga kelompok masyarakat itu binasa karena keruntuhan akhlak mereka, kendati mereka maju dalam bidang material.
•    Ketegaran Serta Keteguhan Menghadapi Aneka Rayuan dan Tantangan
Q.S. An-Nahl [16]: 92 menyatakan:

Dan janganlah kamu menjadi seperti seorang wanita yang mengurai tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai; kamu menjadikan sumpah kamu sebagai penyebab kerusakan di antara kamu disebabkan adanya satu umat yang lebih banyak dari umat yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengannya. Dan pasti di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.
Tuntutan di atas ditempatkan Allah sesudah memerintahkan menepati janji dan memenuhi sumpah. Ayat ini melarang secara tegas membatalkannya sambil mengilustrasikan keburukan pembatalan itu. Memang penegasan tentang perlunya menepati janji merupakan sendi utama tegaknya masyarakat, sehingga menjadi karakter terpuji bagi seseorang dan suatu komunitas. Sifat dan karakter itulah yang memelihara kepercayaan berinteraksi anggota masyarakat. Bila kepercayaan itu hilang, bahkan memudar, maka akan lahir kecurigaan yang merupakan benih kehancuran masyarakat.
Ayat di atas menyebut kata ummat sebanyak dua kali. Banyak pakar tafsir memahami ayat ini berbicara tentang kelakukan sementara suku pada masa Jahiliah. Mereka (namailah pihak pertama) mengikat janji atau sumpah dengan salah satu suku yang lain (pihak kedua), tetapi kemudian pihak pertama itu menemukan suku yang lain lagi (pihak ketiga) yang lebih kuat dan lebih banyak anggota dan hartanya atau lebih tinggi kedudukan sosialnya daripada pihak kedua. Nah, disini pihak pertama membatalkan sumpah dan janjinya karena pihak ketiga lebih menguntungkan mereka.
Dalam konteks ajaran Islam, ayat ini mengingatkan kaum muslimin agar jangan memihak kelompok musyrik atau musuh Islam, karena mereka lebih banyak dan lebih kaya daripada kelompok muslimin sendiri. Tuntunan ini berarti masyarakat harus tegar, tidak mengorbankan harga dirinya atau nilai-nilai yang dianutnya untuk meraih kepentingan duniawi. Bangsa yang berkarakter unggul tidak akan bertekuk lutut menghadapi tantangan apapun kendati mereka secara fisik telah terkalahkan. Makna ini antara lain terbaca melalui pesan Allah SWT kepada kaum muslimin sesaat setelah kekalahan mereka dalam perang Uhud. Ketika itu turun antara lain firman-Nya :

Maksudnya : Janganlah kamu melemah, (menghadapi tantangan apapun), dan jangan (pula) kamu bersedih hati (akibat kekalahan yang kamu alami dalam perang Uhud, atau peristiwa lain yang serupa, tetapi tegar dan tabahlah). Bagaimana kamu akan melemah, tidak tegar atau larut dalam kesedihan, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya di sisi Allah di dunia dan di akhirat dan paling unggul), jika (benar-benar) kamu orang-orang mukmin (yang telah mantap keimanan dalam hatinya). Q.S. Ali ‘Imran [3]: 139.

C.    Umat Menurut Derajat Pemikirannya
Problematika umat yang demikian pahit dan getir membuat sebagian kaum muslimin yang memiliki semangat dan kepedulian terhadap perkembangan Islam dan kaum Muslimin meneteskan air mata dan berusaha mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut, akan tetapi sebagian mereka salah dalam mengambil pedoman dan sebagian yang lain masih bingung, dengan apa mereka dapat membangkitkan kembali kejayaan Islam dan kaum Muslimin yang telah lama hilang dan runtuh.
Masing-masing kelompok mencoba mengetengahkan ungkapan yang keluar dari pemahaman atas kondisi saat ini dengan berbagai metode, yang antara satu metode dengan metode yang lain saling bertolak belakang. Setiap kelompok memandang Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kacamata mazhab fiqih mereka. Dalam soal perbedaan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah harus mengikuti pendapat mereka, apalagi yang ada kaitannya dengan soal hukum.
Dinamika ilmu pengetahuan dan pendidikan saat ini juga sedang mengalami kejumudan yang sangat parah. Sangat jarang dan bahkan sedikit sekali para pemuda yang tertarik atau mendalami ilmu agama atau ilmu-ilmu lain yang bermanfaat kemudian menjadi imam atau orang yang sangat menguasai dalam masalah tersebut. Sehingga yang muncul adalah pemahaman yang sepotong-sepotong terhadap segala permasalahan. Setiap orang ingin berbicara dan mengemukakan pendapatnya dalam masalah-masalah yang sebenarnya dia tidak memiliki pijakan dasar dan tidak menguasai dalam masalah tersebut, akhirnya terjadi kerancuan-kerancuan dalam banyak masalah. 

Masing-masing menganggap bahwa pendapatnyalah yang paling benar, sehingga muncul anggapan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak, kebenaran hanya bersifat relatif. Keyakinan ini sungguh sangat bathil dan bertentangan dengan hukum-hukum Alloh. Yang lebih parah lagi ialah pola pikir ini telah meracuni pemikiran sebagian kelompok dalam memahami Islam.
Setiap kelompok mengklaim bahwa merekalah yang paling berjasa dan berjuang untuk Islam. Diantara mereka ada yang memahami bahwa Islam hanyalah mengajak orang untuk shalat berjamaah di masjid dan menyibukkan diri dengan melakukan berbagai macam bentuk beribadatan yang hanya tesbatas di masjid dan melupakan aspek-aspek yang lain, sementara orang yang tidak melakukan sebagaimana yang mereka lakukan dianggap tidak berbuat apa-apa. Begitu juga ada yang memahami bahwa Islam adalah kegiatan berpolitik segala sisi kehidupan mereka pandang dengan kacamata politik, mereka merasa paling berjuang untuk Islam dan menganggap bahwa orang yang tidak melakukan sebagaimana yang mereka lakuakan dianggap tidak punya andil terhadap perjuangan kaum Muslimin. Sebagian yang lain menganggap bahwa Islam akan jaya jika ekonominya maju, mereka menyibukkan diri dengan memikirkan masalah ekonomi sedang sisi-sisi yang lain bahkan yang paling mendasar yaitu masalah aqidah mereka abaikan. Memang benar itu bagian dari Islam, akan tetapi itu bukanlah keseluruhan dari Islam.
Pada masa-masa akhir ini orang-orang mulai salah dalam memahami Islam. Ketika mereka memahami Islam, mereka memahaminya secara sepotong-sepotong, persis seperti tiga orang buta memegang gajah. Orang yang pertama memegang bagian ekor gajah dan mengatakan bahwa gajah adalah binatang yang kecil bulat memanjang. Orang kedua memegang bagian perut dari gajah dan mengatakan bahwa salah kalau mengatakan bahwa gajah bentuknya bulat dan kecil, gajah adalah binatang yang besar dan lebar seperti tembok. Orang yang ketiga mengatakan bahwa salah kalau mengatakan gajah seperti yang orang pertama dan kedua katakan, gajah bentuknya lonjong, ukurannya sedang dan ujungnya agak melingkar kebawah semakin kebawah semakin kecil, ini benar karena dia memegang belalai gajah. Orang-orang mengatakan ketiga orang ini tsiqah dan jujur dan semuanya mengaku memegang gajah. Tapi apakah yang mereka katakan dapat mewakili dari gajah ?.
Dalam hal amal perbuatan, setiap kelompok ingin terlihat menonjol dari kelompok lainnya.
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah menjelaskan bahwa Islam ibarat bangunan. Dan kita tahu bahwa suatu bangunan tidak mungkin bisa tegak dan kokoh melainkan memerlukan banyak unsur yang membentuknya. Kita dapati pada masa sekarang orang-orang yang memperjuangkan Islam ingin dilihat bahwa kelompoknya lah yang paling memberikan andil dalam Islam.  Bagaimana mungkin bangunan Islam akan kokoh dan tampak indah jika masing-masing bagian dari bangunan itu ingin terlihat dari luar? Bisa kita membayangkan seandainya besi yang merupakan bagian fital dari bangunan ingin terlihat dari luar, batu bata, semen, batu kali, dan pasir, sama-sama ingin tampak dari luar maka, bangunan yang terbentuk akan sangat rapuh dan sangat buruk dilihat mata.
Dalam situasi demikian, kaum Muslimin memerlukan petunjuk untuk membebaskan diri dari kondisi yang membelenggu. Mereka mendambahkan seorang tokoh yang berpandangan luas tentang fiqih Islam, mendalami Al-Qur’an dan As-Sunnnah, mengetahui sejarah sejak kurun awal, memahami ilmu ushul fiqih, memengetahui waqie’ (kondisi) kaum muslimin pada masa awal maupun masa-masa akhir.
Saat  ini, cakrawala ilmu pengetahuan, kesempatan berdiskusi dan pendalaman agama telah dipersempit sedemikian rupa sehinggga melemahkan pikiran. Jarang ada seorang Ulama Islam yang berani menggali hukum baru. Akibatnya, fiqih Islam telah kehilangan kesempatan untuk maju dan berkembang. Bahkan dapat dikatakan mustahil untuk bisa bertambah dari pusaka fiqih terdahulu. Padahal kemusykilan selalu saja muncul.
Untuk memperbaiki keadaan tersebut diperlukan seorang pakar pembaharu yang memiliki kemampuan di bidang fiqih dan ushul, telah menekuni perbendaharaan perpustakaan Islam dan menangkap rahasianya. Mamahami Al-Qur’an dan As-Sunnah saat orang lain masih kebingungan, dan mengetahui pula Hadits dengan segala macam tingkatan, dan pengumpulannya dengan sempurna.
Lebih dari itu, dia juga harus menguasai benar terhadap perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih lengkap dengan referensi dan dalil-dalil mereka di setiap masa. 


Dia juga mengetahui dengan jelas mazhab-mazhab fiqih yang lain dengan cabang-cabangnya yang amat banyak. Dia tidak melampaui ulama-ulama dalam ber-istinbath (menggali hukum). Dia mengakui kedudukan para imam mujtahid berikut keutamaan dan hak mereka.
Dia menguasai ilmu bahasa sehingga mampu memberikan sanggahan, bahkan dia sangat menguasai ilmu nahwu setingkat dengan pakarya. Dengan kekuatan dan kejeliannya dia mampu memperbaharui periode muhadditsin terdahulu. Dia juga memiliki kecerdasan dan kepribadian yang agung sebagai bukti kesediaannya membangun umat Islam dan menyelamatkan panji-panji Islam. Sehingga dia menjadi bukti kebenaran sabda nabi yang abadi, yang artinya: “Perumpamaan umatku itu seperti hujan. Tidak diketahui apakah yang pertama yang paling baik ataukah yang akhir.” (HR. Tirmidzi).





















Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik [et.al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran Dan Peradaban, vol. 4 cet. III (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005)

Cooper, John, Ronald L. Nettler, Mohamed Mahmoud. Pemikiran Islam, cet. I (Jakarta; Erlangga, 2002)

Saefuddin, A.M [et.al], Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, cet. IV (Bandung; Mizan, 1998)

S. Ahmed, Akbar, Rekonstruksi Sejarah Islam: Ditengah Pluralitas Agama Dan Peradaban, cet. II (Yogyakarta; Fajar Pustaka Baru, 2003)

Irwandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam: Idealitas Nilai dan Realitas Empiris, cet. I (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Press, 2003)

http://prilam.wordpress.com/2010/01/27/pembaharuan-dalam-islam

2 komentar:

Anonim mengatakan...

WOW!!...
I can't say anything.
:-)

Ilyas Rozak Hanafi mengatakan...

Makasih...
:)